Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for October, 2007

Teknologi Pertanian Pangan

Thursday, October 4th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Bahwa beras kini mahal, tidak ada orang yang membantah.  Apalagi kini menjelang lebaran. Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah.  Kecil, tapi ini cukup untuk membeli 233 kg beras kelas sedang yang hanya Rp. 1500/kg.  Kini, beras yang sama Rp. 4800/kg, sehingga meski gaji PNS III-A sudah Rp. 1 juta, yang didapat hanya 208 kg.  Pemerintah mengklaim bahwa stock beras nasional di Bulog merosot, sehingga perlu impor.  Namun harga beras di pasaran hanya turun sebentar.

Bicara masalah beras adalah bicara teknologi pertanian pangan.  Di sini dikenal tiga fase pekerjaan, yaitu (1) produksi, (2) pascapanen dan (3) distribusi.

Berapa produksi beras kita?  Mungkin hanya Allah yang tahu pastinya.  Di Indonesia sedikitnya ada tiga angka yang berbeda karena berasal dari metode yang berbeda. 

Badan Pusat Statistik menggunakan data citra satelit untuk menghitung luasan sawah yang aktual.  Tentu saja tidak mudah karena ada sawah yang baru tanam (masih berair), sawah yang sedang menghijau, sawah yang sudah menguning, dan sawah yang sudah dipanen.  Selain itu di citra juga ada awan yang mengganggu.  BPS juga melakukan survei di berbagai daerah untuk mencari indeks panen (kg gabah kering per hektar).  Dari luas dan indeks panen dapat dihitung produksi gabah kering nasional.  Dari angka itu menjadi beras tinggal diasumsikan rendemen (rugi-rugi pada pasca panen) sekitar 20% maka didapatkan angka produksi beras nasional 2006 sekitar 54,7 juta ton per tahun dari sekitar 11,8 juta hektar sawah.

Sementara itu Pusat Studi Ekonomi Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian mengandalkan laporan dari bawah tentang luasan dan indeks panen.  Mereka memberi angka sekitar 67 juta ton beras per tahun.

Sedang angka Bulog jelas jauh lebih kecil, karena tidak semua hasil panen beras dibeli Bulog.

Kalau diambil angka BPS saja, kemudian dihitung dengan jumlah penduduk 2007 (sekitar 225 juta orang), maka didapatkan beras per kapita 243 kg/orang/tahun, suatu jumlah yang mencukupi – karena 1 kg beras dapat untuk makan enam kali atau 2 hari, alias kebutuhan per orang per tahun hanya sekitar 185 kg.

Secara internasional, produktivitas beras kita ada pada nomor 3 (sekitar 4,6 ton/ha) setelah Jepang (6,5 ton/ha) dan China (6,1 ton/ha).  Tanah kita memang subur, air melimpah (kecuali di beberapa tempat di musim kemarau), jadi meski masih “biasa-biasa saja”, produktivitas beras kita sudah lebih tinggi dari Vietnam (4,2 ton/ha) atau Thailand (2,5 ton/ha).  Kalau pertanian kita secanggih Jepang, misal dengan “precission farming” (pertanian presisi) sehingga jarak tanam, takaran air, pupuk, anti hama – semuanya optimal, mungkin hasilnya lebih besar dari Jepang.

Jadi di produksi sebenarnya tidak masalah.  Pada pasca panen terdapat rugi-rugi, misalnya saat pemanenan (9,5%), perontokan (4,8%), pengangkutan (0,2%), pengeringan (2,2%), penyimpanan (1,5%) atau rata-rata 20%.  Masih bisa diterima.  Namun bagaimana harga beras tetap tinggi?

Kuncinya ternyata di mekanisme distribusi.  Selama ini terdapat perbedaan harga di level petani dengan di pasar hingga mencapai Rp. 2500 per kg.  Ini artinya keuntungan di level distributor antara 200% – 300%.  Petani ditekan harganya karena mereka tidak punya gudang atau teknologi pascapanen untuk menjaga agar beras tahan lama. Kadang-kadang petani bahkan terpaksa menjual padinya sebelum panen (ijon), demi menutup utang-utang mereka untuk benih, pupuk, anti hama atau kebutuhan keluarga mereka.

Sementara itu para pedagang bermodal besar mampu menyediakan gudang, jaringan angkutan beras dan jaringan informasi harga di seluruh Indonesia – bahkan dunia.

Beras adalah komoditas yang relatif inelastis.  Di satu sisi tingginya permintaan tidak bisa segera diantisipasi dengan produksi (karena menanam padi perlu minimal tiga bulan!).  Di sisi lain, selama pola makan bangsa ini masih didominasi beras, maka bisnis beras hampir tak mungkin rugi.  Dengan gudang modern yang memiliki pengatur udara, beras dapat disimpan hingga bertahun-tahun, dan dilepas hanya ketika harga tinggi.  Celakanya adalah ketika hal seperti ini justru dilakukan dengan semata-mata pertimbangan bisnis.

Sejak Bulog berubah dari lembaga pelayanan masyarakat (perusahaan umum penyangga tata niaga bahan pokok) menjadi mirip BUMN yang mencari untung, maka distribusi beras benar-benar diatur dengan prinsip kapitalisme.

Jadi jelas bahwa kuncinya sebenarnya bukan pada teknologi pertanian sich, tetapi lebih pada sistem distribusinya. 

Walaupun demikian teknologi pertanian tetap penting untuk dikuasai.  Pada komoditas selain beras seperti terigu, kedelai dan susu, produksi kita memang sangat rendah.  Adalah ironis bahwa “makanan orang miskin” seperti tahu-tempe, bahan baku kedelainya ternyata banyak diimpor!

Indonesia sebenarnya memiliki keanekaragaman hayati yang jauh lebih tinggi dari negara manapun di dunia.  Namun anehnya, kita lebih mengenal keunggulan jambu Bangkok atau semangka Bangkok daripada produk lokal.  Di Indonesia ada banyak fakultas pertanian dan balai litbang pertanian, namun produknya juga jarang terdengar.  Alumni suatu institut pertanian konon bahkan lebih banyak yang bekerja di bank atau jadi wartawan.

Kebutuhan alat-alat mekanisasi pertanian (seperti traktor) juga besar, namun jarang terdengar investor lokal masuk ke bisnis ini.  Apalagi untuk teknologi pasca panen. 

Agar produk pangan kita dapat diekspor, diperlukan sistem pengolahan yang rapi, hampir mendekati steril, sehingga produk seperti tahu atau tempe lebih tahan berhari-hari.  Di sinilah inovasi berperan.  Di sinilah dunia pertanian mesti bekerjasama dengan pakar mesin, elektronika atau kimia, bukan sebaliknya melecehkan mereka yang menggeluti teknologi canggih itu seakan lepas dari akar Indonesia.

Dr. Ir. Adhi Sudadi Soembagyo, MSME, seorang pakar robotik lulusan Belgia mengisahkan bahwa ketika dia belajar robotik, banyak orang melecehkan bahwa ilmunya tak akan terpakai di Indonesia karena yang dibutuhkan adalah teknologi tepat guna dan padat karya.  Belakangan, justru robot yang pertama kali dibangun sepulangnya dari Belgia adalah mesin pembuat tahu.  Dengan robot ini, pekerja manusia cukup memasukkan kedelai, sedang selebihnya dikerjakan secara otomatis dan hygienis.  Hasilnya, tahu dalam kemasan yang tahan lama, siap untuk ekspor.

Sayangnya, saat ini para pionir teknologi pertanian sering merasa kurang didengar – baik oleh kolega sendiri apalagi oleh para pengguna umum.  Sebenarnya kuncinya kembali lagi kepada (1) motivasi individual – baik di level produsen maupun konsumen; (2) kultur pangan yang ada di masyarakat; (3) peran negara yang seharusnya pro-aktif menghilangkan kelaparan di negeri yang dilindunginya.

(dimuat di Suara Islam, minggu I-II Oktober 2007)

Jadi APU (PU IV/e)

Wednesday, October 3rd, 2007

Sekali ini bukan tulisan yang dipublikasikan di media massa (cetak) …

Senin (1 Okt 2007) lalu saya menerima surat PAK (Penetapan Angka Kredit) dari Kepala LIPI no. 1580/D/2007 tertanggal 26 Juni 2007.  Intinya saya telah meraih AK 1173.8, dan dapat diangkat dalam jabatan Peneliti Utama Gol IV/e (dulu “Ahli Peneliti Utama” alias APU) mulai 01-07-2007, bidang Sistem Informasi Spasial.  Ya inilah mungkin maksimal yang dapat diraih seorang pejabat peneliti.

Saya tinggal nunggu waktu orasi ilmiah untuk dilantik sebagai Professor Riset.  Tetapi aturan yang ada sekarang mengatakan, untuk itu pangkat PNS-nya harus sudah IV/e juga.  Saya sekarang baru IV/b (t.m.t. 1 April 2006).  Jika saya tiap 2 tahun naik pangkat, maka baru 1 April 2012 saya IV/e, artinya baru 2012 itu bisa dilantik jadi Professor Riset.  Itu juga kalau masih hidup 🙂  dan itu juga kalau LIPI masih ada …

Jadi ingat iklan rokok “Yang Muda Yang Gak Boleh Bicara …”.  Usia saya baru 39 tahun, jadi ya masih terhitung muda lah … he he …  Adik kelas saya di Wina (www.ipf.tuwien.ac.at) dulu, kelahiran 1969, dan 2001 sudah jadi Professor (usia 32 tahun).  Kalau dia hidup di Indonesia … capek dech … 🙂

Tapi itulah realita.  Sebenarnya saya hanya ingin menunjukkan bahwa jadi APU itu tidak hebat-hebat amat.  Tidak perlu dibandingkan dengan kolega di Luar Negeri.  Di Indonesia juga banyak yang bisa jadi APU – meski kemudian “gak bunyi”.  Jangan-jangan saya termasuk itu juga ya …  Obsesi saya bikin buku-buku yang menjadi trendsetter di bidang keahlian saya, atau mempatenkan suatu teknologi yang laris manis, atau menginisiasi suatu lembaga (perusahaan, LSM) yang berpengaruh, juga belum tercapai.  Tapi gini-gini saja koq sudah APU ya ???

Tapi di sisi lain saya lihat ada juga orang-orang cerdas nan tekun yang menghasilkan karya-karya hebat yang sesungguhnya, tetapi tidak sempat ngurus jabatan fungsional penelitinya.  Yang kasihan, secara administratif orang-orang ini nantinya akan dinilai oleh rekan-rekannya yang hanya sibuk ngumpulin AK tanpa menghasilkan karya yang sesungguhnya.

Dan saya pengalaman: sekedar ngumpulin AK itu tidak susah-susah amat.  Yang susah itu mempertanggungjawabkan terutama kepada Tuhan, dan kepada rakyat yang telah membayar tunjangan peneliti dan dana penelitian melalui pajak.

Yang susah juga adalah sistem birokrasi di Indonesia.  Karena sekarang saya gol IV/b, saya diserahi tugas jadi Kepala Balai Penelitian Geomatika (eselon III/A).  Saya tidak tahu sampai berapa lama saya akan di posisi ini.  Secara finansial gak ada untungnya … tunjangan fungsional saya sudah lebih tinggi dari tunjangan struktural.  Tahun depan saya IV/c, dan itu berarti – menurut pemahaman Kepala Biro Kepegawaian di Lembaga saya – tidak boleh menjabat eselon III.

Jadi ada dua kemungkinan: saya tidak boleh naik pangkat pilihan (sekalipun sudah ada Kepres yang mengangkat saya menjadi Peneliti Utama IV/e), atau saya harus mengundurkan diri dari Kepala Balai.  Kalau disuruh milih, sepertinya milih mundur saja.

Jadi Peneliti bagaimanapun lebih bebas, tidak harus rapat hampir tiap hari, tidak harus tanda tangan soal keuangan atau personil, yang kadang dirasa belum sreg benar, tetapi someone must do that job!

Sejak jadi Ka Balai, saya juga hampir tidak sempat menulis paper ilmiah lagi.  Untungnya tidak lagi harus ngumpulin AK lagi (kecuali cuma Maintanance, 20 AK per tahun).  Tapi rasanya sayang ya … Yang sempat tinggal jadi “selebriti”.  Nulis populer di media massa alhamdulillah masih bisa.  Tapi mudah-mudahan dengan amanah yang ada ini, saya bisa memberi manfaat lebih besar ke lebih banyak orang.

Saya sering gundah kalau belum bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Padahal di hadapan Tuhan nanti yang penting bukan apa gelar, jabatan atau penghasilan yang kita raih tetapi sejauh apa itu bermanfaat bagi kemanusiaan?

Kata Rasul: sebaik-baik mu’min adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lain.