Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Menyelesaikan Masalah Pertanahan

Saturday, May 26th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007

Sebuah kasus pertanahan yang cukup kolosal sedang menarik perhatian anak negeri.  Areal seluas 59 hektar, yang di atasnya telah berdiri ribuan bangunan, termasuk fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, yang mayoritas mengantongi sertifikat tanah, tiba-tiba terancam tergusur, karena konon proses jual belinya puluhan tahun yang lalu bermasalah.  Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung telah memerintahkan agar tanah di Meruya Selatan Jakarta Barat itu dikosongkan karena telah menjadi hak PT Porta Nigra.

Masyarakatpun resah.  Harga tanah dan bangunan di sana mendadak turun.  Real estate merugi.  Banyak pihak menduga ini hanya akal-akalan mafia tanah untuk dapat memborong tanah dengan harga murah.  Gubernur DKI konon siap pasang badan membela masyarakat melakukan upaya Peninjauan Kembali.  Sementara itu pengacara PT Porta Nigra menuduh BPN telah sewenang-wenang saat memberikan sertifikat atas tanah yang sedang dijadikan sita jaminan.

Lepas dari soal kepastian hukum kasus yang sedang hangat ini, sebenarnya sejauh mana ”state of art”  dari teknologi yang dapat digunakan untuk mencegah kasus semacam ini terulang lagi di masa depan?.

 Administrasi Pertanahan

Kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) – yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda – dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).  Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.

Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).  Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB.  Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut.  Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap.  Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.

Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu.  Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).

Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu.  Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.  

 Teknologi Pertanahan

Untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, dewasa ini tersedia setidaknya tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.

(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan.  Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut.  Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah.  Ortofoto dan batas-batas ini lalu diumumkan minimal dua bulan di kantor pemerintah setempat.  Pada masa kini, data semacam ini dapat ditayangkan di internet – mirip yang ada dalam bentuk yang lebih sederhana di Google Earth

Bila tidak ada komplain, maka setelah dua bulan klaim itu dapat dinyatakan sah.  Bila ada sengketa, maka dilakukan penegasan batas (ajudikasi) di lapangan, di mana kedua belah pihak bertemu, sepakat, untuk kemudian dibuat berita acara. 

Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu.  Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan.  Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah.  Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS).  Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS. 

(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu.  Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya.  Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim), sehingga dapat ditemukan tanah-tanah terlantar yang tidak produktif – yang umumnya tanah-tanah yang dikuasai seseorang namun tak termanfaatkan.

(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya.  Di negara-negara maju, LIS ini terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam.  LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan.  Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud.  LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang.  Bahkan LIS dapat digunakan untuk mencegah pemberian izin atau konsesi yang tumpang tindih (misalnya antara hutan lindung dan pertambangan). 

LIS juga dapat membantu mendata dengan cepat tanah-tanah yang harus dibebaskan untuk suatu proyek publik (misalnya pengadaan tanah untuk sekolah, saluran pencegah banjir atau pengadaan makam).  Kalau LIS ini digunakan oleh pemerintah yang menerapkan syariat Islam, LIS ini dapat digunakan untuk memantau tanah pertanian yang terlantar lebih dari tiga tahun (sehingga menurut syariat Islam harus disita oleh negara), atau mendeteksi kemungkinan penyewaan tanah pertanian bila tanah itu dimiliki seseorang yang domisilinya sangat jauh. 

Sistem administrasi pertanahan terpadu akan memudahkan negara merencanakan kawasan pertanian pangan – termasuk alih fungsinya, menghitung subsidi penggarapan lahan atau zakat untuk komoditi pertanian tertentu, hingga membuat perencanaan ruang yang lebih rapi.  Kota-kota peninggalan masa khilafah (seperti Cordoba) dikenal rapi.  Kota dari abad-8M ini bahkan sudah memiliki drainase yang baik.  Ini hanya bisa dilakukan bila ada sistem pertanahan yang relatif rapi, yang teknologi saat ini semestinya lebih mendukung lagi.

Insya Allah dengan sistem pertanahan syari’ah, yang dilaksanakan oleh aparat yang amanah dan kafaah (capable), serta didukung dengan teknologi pertanahan yang tepat, kisruh pertanahan di masa depan tidak terjadi lagi.

 Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional.  Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

Monday, February 5th, 2007
Berapa besar kekuatan umat Islam bila bersatu?  Sanggupkah dia dihadapkan pada adidaya Amerika Serikat?  Dapatkah dia bertahan bila diembargo?  Mampukah dia menang dalam perang?  Ini pertanyaan-pertanyaan yang kadang hinggap di benak kaum muslim bila melihat peta dunia saat ini. 

Kita memang memiliki beberapa keunggulan seperti keunggulan aqidah, syariah, posisi geografis, sumber daya alam, dan jumlah penduduk.  Namun secara empiris berapa sebenarnya kekuatan itu?

 Data Dunia Islam

Di antara lembaga yang mengumpulkan data seperti itu adalah Statistical, Economic, and Social Research & Training Center for Islamic Countries (SESRTC) di Turki.  Data yang dikumpulkan dapat diakses melalui alamat: www.sesrtcic.org/statistics/byindicators.php

Meski sudah menolong, namun database ini belum lengkap ataupun 100% akurat.  Ada peluang over- atau under-estimated.  Informasi di negeri-negeri Islam memang langka atau simpang siur.  Banyak pemerintah yang menutup-nutupi informasi dengan berbagai motif.  Oleh sebab itu, data di sini harus dipandang sebagai taksiran atau pendekatan awal.

Untuk menjembatani beberapa negara yang datanya tidak tersedia, dalam mengolah data ini terkadang dipakai angka maksimum atau rerata dari data beberapa tahun terakhir.

Dewasa ini ada 57 negara yang ada dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).  Negara-negara ini dijuluki ”dunia Islam”, karena penduduknya mayoritas atau 50% lebih muslim.  Jadi sekitar 148 juta muslim India (13,4% populasi) dan 26 juta muslim Cina (2% populasi) belum terhitung.

Menurut CIA the World Factbook dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Economy_of_the_OIC produk domestik bruto (GDP) dunia Islam adalah US$ 5,54 triliun US$ pertahun atau setara 9,14% GDP dunia.  Untuk perbandingan GDP Uni Eropa atau AS adalah sekitar 12 triliun US$.

Bila dibagi penduduknya yang pada 2005 ditaksir 1,24 miliar didapatkan GDP/capita sebesar US$ 4.454/tahun, atau dengan kurs sekarang Rp 3,3 juta/orang per bulan.  Namun distribusi harta ini amat tidak merata.  GDP/capita tertinggi diraih Uni-Emirat Arab (US$ 45.200/tahun atau Rp 34 juta/bulan) dan terrendah di Somalia (US$ 600/tahun (Rp 450.000/bulan).

Luas wilayah 57 negara OKI ini adalah 32 juta km2, lebih luas dari AS atau Uni Eropa.  Kepadatan penduduk rata-ratanya adalah 38 orang per kilometer persegi.  Kepadatan tertinggi ada di Bahrain yang hanya”negara kota”, yaitu 1055 jiwa per Km-persegi, diikuti Maladewa (933), Bangladesh (817) dan Palestina (626).  Mereka harus berdesakan di tempat yang sempit, padahal bumi Allah sangat luas.

Memang area luas ini baru bermakna bila produktif.  Di satu sisi banyak bumi Islam itu berupa gurun pasir yang belum dihidupkan.  Karena itu perlu ditinjau sejumlah indikator vital, seperti produksi minyak, bahan pangan, baja dan sebagainya. 

 IndikatorProduk Vital

Barangkali untuk analisis ekonomi yang komprehensif diperlukan seluruh parameter dalam statistik, namun mengingat tidak untuk setiap item tersedia data di seluruh negara serta belum adanya pembobotan yang disepakati, maka dipilih produksi minyak mentah sebagai sumber energi utama (meski di sejumlah negara tersedia sumber energi lain), lalu biji-bijian dan daging sebagai bahan pangan, dan baja untuk indikator industrialisasi. 

Produksi minyak mentah tahun 2004 total sekitar 9,2 Milyar Barrel per tahun.  Kalau ini dibagi populasi, akan didapat angka 3,2 liter per orang per hari.  Sekedar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter per orang per hari.

Sementara itu produksi biji-bijian makanan pokok adalah 240,3 juta ton.  Kalau dibagi populasi, didapat angka 0,529 kg per orang per hari.  Meski ini masih di bawah kebutuhan rata-rata (menurut FAO) yakni 750 gram per orang per hari, namun insya Allah ancaman kelaparan tidak terjadi.  Apalagi teknologi pertanian masih bisa ditingkatkan dan umat Islam biasa puasa.

Sementara itu untuk produksi daging ditaksir 19,5 juta ton.  Kalau ini dibagi dengan populasi, akan didapat angka 15,7 kg daging per orang per tahun, atau 42 gram per orang per hari.  Sebuah angka yang lumayan untuk komposisi gizi harian, mengingat sumber protein kita seharusnya bervariasi antara daging, ikan, unggas atau nabati. 

Setelah energi dan pangan, baja adalah produk vital yang jadi modal dasar industri dan konstruksi.  Produksi baja di dunia Islam ditaksir baru 60 juta ton per tahun.  Bila setengahnya dipakai untuk konstruksi (gedung, jalan, jembatan, jaringan listrik &  telekomunikasi), mesin pabrik, kereta api, kapal dan persenjataan, lalu setengahnya untuk memproduksi mobil berbobot rata-rata 2 ton, maka ini baru menghasilkan 15 juta mobil.  Angka yang kecil untuk 1,2 milyar populasi, karena bila satu keluarga rata-rata terdiri dari 4 orang, akan ada 300 juta keluarga.  Jadi baru setelah 20 tahun setiap keluarga itu akan memiliki mobil baru.

Kalau cerdas, keterbatasan produksi itu malah mendorong inovasi agar efisien, misal dengan transportasi massal kereta super ringan, atau menggalakkan sepeda yang selain hemat juga baik untuk kesehatan.

Kenyataannya, saat ini sumber daya negeri-negeri Islam banyak diekspor, sering dengan nilai tukar amat rendah karena kandungan teknologinya rendah.  Contoh, tahun 1980, sebuah negeri muslim menukar 12910 karung kopi untuk satu lokomotif dari Swiss.  Tahun 1990, untuk lokomotif serupa mereka harus menukar 45800 karung!

Neraca perdagangan dunia Islam sebenarnya positif (1042,9 Milyar US$ ekspor – 733,7 Milyar US$ impor).  Namun dari jumlah ini, yang merupakan ekspor ke sesama dunia Islam hanya 113 Milyar US$ dan impor 118 Milyar US$.  Jadi ketergantungan ke luar dunia Islam sangat besar.  Bila ini dibiarkan akan jadi kendala saat Kesatuan Islam di bawah Daulah Khilafah diserukan dan lalu diembargo dari luar.

 

Sumber Daya Non-tangible

Selain sumber daya yang terukur dalam bentuk materi, terdapat sumber daya non-tangible yang tak dapat langsung terukur, misalnya SDM terdidik, organisasi (jejaring) dan informasi (pengalaman) yang terkumpul.  Sumber daya ini terukur dengan melihat data penduduk melek huruf, rasio yang masuk perguruan tinggi, bagian pemerintah pada penciptaan GDP dan distribusi penghasilan.

Angka melek huruf pada orang dewasa di dunia Islam baru 69%!  Inipun masih dengan bahasa nasional masing-masing (Arab, Persi, Urdu, Turki, Perancis, Russia, Melayu, dll.). 

Sedang rasio yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi baru 15% dari lulusan SLTA.  Inipun masih di luar soal mutu asal-asalan dari pendidikan sekuler yang kapitalistik.

Bagian pemerintah dalam penciptaan GDP menggambarkan tingkat partisipasi rakyat pada aktivitas ekonomi.  Makin tinggi sharing pemerintah, makin rentan ekonomi negeri itu pada gejolak.  Idealnya pemerintah bertindak mengatur urusan umat dengan syariat, bukan sebagai pelaku bisnis yang bertindak dengan pertimbangan ekonomi.  Di dunia Islam, pemerintah rata-rata masih berperan hingga 35% dalam aktivitas ekonomi.  Ekonomi Sudan atau Guyana yang dilanda perang bahkan praktis 100% mengandalkan pemerintah.  Pemerintah Brunei memegang 84% GDP karena produk utamanya minyak – semua milik raja yang memerintah. 

Dalam hal ekonomi terkait SDA yang besar seperti minyak, angka-angka statistik boleh jadi akan rancu antara pemerintahan feodalistik, sosialistik dan Islami, di mana minyak masuk kepemilikan umum yang harus dikelola pemerintah – namun bukan terus dibisniskan.

Partisipasi rakyat juga terlihat pada distribusi penghasilan.  Kalau menggunakan batas miskin tiap negara, maka angka kemiskinan rata-rata adalah 38,65%.  Namun bila menggunakan standar Bank Dunia yaitu US$ 2 per orang per hari, maka 50% jatuh di bawah garis (UNDP Human Development Report 2006).  Yang terparah Nigeria (92,4%), yang terbaik Iran (7,3%)

 Menyatukan Ekonomi Dunia Islam

Dengan berbagai cara, ekonomi dunia Islam ini telah berkali-kali dicoba disatukan.  OKI telah gagal.  Pakta selatan-selatan – yang melibatkan negara-negara Amerika Latinpun gagal.  Percobaan terakhir adalah dengan kelompok D-8 (Development-Eight), yang terdiri dari Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan dan Turki.  Realitasnya, pengaruh D-8 ini bahkan lebih kecil dari kelompok semacam ASEAN, apalagi terhadap G-8, yakni negara-negara industri maju (AS, Canada, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Jepang dan Russia) yang merupakan 65% dari ekonomi dunia.

Penyebabnya kegagalannya terlalu banyak, mulai dari ego-nasionalisme tiap negara, para pemimpinnya yang tidak benar-benar kapabel maupun independen (menjadi boneka negara besar), hingga produk antar negara yang terlalu mirip sehingga tidak saling melengkapi. 

Tanpa suatu perubahan yang fundamental dalam cara berpikir di dunia Islam, yaitu cara berpikir tentang visi dan missi negeri mereka di dunia, rasanya sulit akan ada sinergi dari penyatuan ekonomi dunia Islam.

Dengan perubahan paradigma itu akan ada upaya-upaya di masyarakat tiap negeri untuk tak sekedar jadi ”lahan” negara-negara maju, tetapi jadi agen perubahan ke dunia yang diridhai Allah.  Perlahan namun pasti mereka mereformasi cara berpikir, bersikap serta ikatan-ikatan yang selama ini menjadikan mereka berbangsa dan bernegara. 

Kemudian suatu negara yang masyarakat serta kekuatan politik-militernya paling siap, akan memimpin mendeklarasikan berdirinya negara baru, Daulah Khilafah.  Negara di saat awal akan menunjukkan kinerjanya, sebagai negara yang adil dan benar-benar merdeka, sambil mengajak negeri-negeri muslim lain untuk bergabung.  Ketika rakyat negeri lain melihat bahwa dengan bergabung itu terbuka peluang luas untuk berkehidupan yang lebih baik, maju dan kuat sehingga mampu memimpin dunia, mereka akan mendesak pemerintah masing-masing untuk bergabung ke Daulah Khilafah. 

Satu demi satu negeri Islam akan masuk ke dalam Khilafah, seperti dulu bergabungnya daerah-daerah Hindia Belanda ke Republik Indonesia, atau kini bergabungnya negara-negara Eropa ke Uni Eropa.  Kekuatan dunia Islam yang bersatu di bawah Daulah Khilafah akan jadi realita, bahkan lebih besar lagi, jika sistem Islam telah mengoptimasi pengaturan seluruh potensi alam maupun manusia di dalamnya, serta muslim-muslim terbaik yang selama ini ada di negara-negara maju ramai-ramai pulang untuk membaktikan dirinya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.


 Penulis: Dr. Fahmi Amhar, dosen pascasarjana Universitas Paramadina.

Mencari Lokasi Musibah

Tuesday, January 2nd, 2007

oleh: Dr Fahmi Amhar

Rubrik Analisis Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 3 Januari 2007.

http://222.124.164.132/article.php?sid=108401

BAGI sebagian orang, tahun 2006 telah berakhir dengan suatu misteri, dan tahun 2007 telah berawal dengan misteri yang lain. Pada Kamis 28 Desember kapal motor Senopati Nusantara yang berlayar dari Kalimantan Tengah ke Semarang telah tenggelam di perairan Jepara. Belum ada separo korban ditemukan dan dievakuasi, pekerjaan Tim SAR ditambah dengan hilangnya pesawat Adam Air yang terbang menuju Manado, semula konon karena menabrak gunung, namun kemudian informasi ini dicabut. Misteri yang beruntun, baik bagi Tim-SAR, Komite Nasional Keselamatan Transportasi maupun bagi keluarga atau relasi para korban.

Kedua hal itu membuat kita bertanya-tanya, belum mampukah kita lebih cepat menemukan kapal atau pesawat (wahana) yang hilang? Tentu saja wahana darat seperti mobil atau motorpun juga bisa hilang dicuri orang. Lebih jauh lagi tentunya, bagaimana mencegah itu semua terjadi, atau setidaknya tidak berdampak begitu buruk.

Kita tidak perlu buru-buru bertanya kepada dukun atau paranormal, karena secara teknologi sebenarnya ada alat yang dapat digunakan. Teknologi itu adalah Sistem Penentuan Posisi Global (Global Positioning System / GPS). Sistem ini menerima sinyal-sinyal yang diterima dari 24 satelit-satelit GPS yang dipasang Amerika Serikat di orbit sekitar 22.000 kilometer. Dengan menerima sinyal dari minimal 4 satelit GPS, maka posisi XYZ setiap titik di muka bumi dapat ditentukan. Perlu dicatat, Rusia dan Uni Eropa juga membangun sistem sejenis untuk menjaga kemandirian mereka dari Amerika Serikat.

Koordinat posisi yang telah didapatkan kemudian dapat dikirim dengan radio ke pusat-pusat pemantau seperti pelabuhan, bandara atau juga kantor polisi (untuk kasus di darat), yang akan melihat titik-titik dengan identitas yang jelas di atas peta digital di layar komputer. Setiap identitas terhubung ke sebuah database yang memuat informasi lebih rinci atas wahana itu, semisal surat izin, kapasitasnya dan sebagainya. Setiap wahana itu bergerak, maka titik di layar komputer juga ikut pindah.

Bila wahana itu mengalami masalah serius dan kontak radio terputus, maka beberapa titik terakhir akan tersimpan dan terpampang dengan warna khusus di layar. Dengan demikian kita dapat melakukan simulasi ekstrapolasi ke mana posisi wahana tersebut berlanjut.

Posisi wahana dipengaruhi kelembaman terakhir (arah dan kecepatan) serta faktor eksternal (arah dan kecepatan angin, arus atau gelombang laut). Makin lama waktu terbuang, makin besar area kemungkinan yang harus diekstrapolasi, karena kita tak selalu tahu data faktor eksternal. Berita terakhir ada korban kapal yang sudah mencapai perairan Madura (beberapa ratus kilometer dari posisi terakhir kapal). Pencarian akan lebih cepat kalau areanya telah terbatasi. Mungkin masih ada korban yang bisa terselamatkan.

Maka tim pencari segera diberangkatkan. Tentu tak mudah mencari objek kecil di areal yang luas secara langsung (visual). Mungkinkah memakai citra penginderaan jauh?

Kita tahu bahwa di langit bersliweran satelit-satelit observasi bumi yang memindai negeri kita. Memang ada satelit yang memberi gambar beresolusi pixel 1 meter bahkan 60 cm, seperti Ikonos atau Quickbird, sehingga mampu mendeteksi wahana naas itu, asalkan cuaca bersahabat. Citra satelit itu bersensor pasif, sehingga bisa tertutup awan. Bagaimana dengan radar? Radar memang tembus awan, dan mudah mendeteksi logam. Namun saat ini resolusi satelit radar seperti Radarsat atau ERS masih kasar. Kalau satelit TerraSar-X yang resolusi pixelnya bakal 1 meter jadi diluncurkan Jerman-Perancis tahun ini, mungkin situasinya akan berubah.

Namun tetap saja nanti ada tugas yang tidak ringan: menemukan objek di citra yang diduga pesawat yang jatuh atau kapal yang celaka itu. Di sinilah peran teknologi pengenal pola (pattern recognition) diharapkan. Satu catatan lagi: kalau posisi kapal sudah jauh di dalam air, maka citra satelit apapun sulit menjangkaunya.

Untuk wahana darat, teknologi ini bisa lebih sederhana. Di Indonesia bahkan Polda Metro dan beberapa perusahaan taksi serta expedisi sudah memakainya untuk memantau armadanya. Ada juga perusahaan yang menjual piranti kecil GPS untuk dipasang secara rahasia di mobil sebagai alarm. Kalau mobil yang kita parkir digeser orang lebih dari nilai toleransi yang diberikan, maka alat itu otomatis akan mengirim SMS ke nomor yang ditentukan (bisa ponsel pemiliknya atau polisi). Koordinatnya kemudian juga dapat terus diikuti.

Penggunaan GPS ini selain dapat mengurangi dampak kecelakaan kapal dan pesawat juga dapat menjaga aset-aset rakyat, misalnya untuk memantau illegal logging atau fishing (pencurian ikan). Misalnya semua kapal nelayan dengan ukuran di atas tonase tertentu wajib memasang alat GPS. Maka polisi air atau Dinas Perikanan dapat memantau posisi setiap kapal nelayan besar, apakah mereka mengambil ikan di wilayah yang diizinkan atau tidak. Dan di lapangan, kalau secara visual ada kapal yang tak tampak di komputer (karena tidak memasang alat GPS ini), maka berarti kapal itu tidak berizin, izinnya kedaluarsa atau dia mengambil ikan di luar wilayahnya. Tentu saja diasumsikan alat itu kalau dipasang harus berfungsi dengan baik.  Hal serupa bisa diterapkan untuk kendaraan darat yang beroperasi di hutan. Kalau tidak muncul di komputer, berarti ilegal. Mau diapain kapal atau kendaraan seperti ini? Cabut izinnya atau disita untuk negara. Tentu saja kalau petugas kita berani – berani mati dan berani menolak suap. Karena para bandit juga sering punya senjata dan juga duit.

(Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-