Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Meraih Multi-Target secara Efisien

Sunday, January 13th, 2013

Kadang ada pertanyaan yang diluncurkan kepada beberapa aktivis dakwah yang menurut mayoritas orang “sukses” dalam meraih multi-target.  Maksud multi-target itu: dakwahnya sukses, sekolahnya sukses, keluarga sukses, dan karier atau bisnisnya juga sukses.  Karena manusia itu memang mahluk multi-target.  Memang ada nasehat, bahwa agar menjadi manusia yang istimewa, itu harus fokus, karena otak tidak bisa berpikir dua hal pada saat yang bersamaan.  Itu benar.  Tetapi, kita semua diberi waktu 24 jam sehari kan ?  Dan toh tidak harus 24 jam itu hanya memikirkan satu hal saja, selamanya.  Yang namanya ibadah saja, sholat misalnya, hanya diminta paling 5 x @ 10 menit.  Di luar sholat ya mikir yang lain.  Bahkan, di Qur’an Surat Al-Jumu’ah, itu malah diperintahkan agar habis sholat Jum’at, itu supaya “bertebaran mencari rizki Allah” – bukan malah duduk-duduk atau ngobrol di masjid 🙂

Tapi sebelum lebih jauh, kata “sukses” sendiri mesti jelas ukurannya.  Kalau ukuran dasar, bahwa itu sesuai dengan perintah Allah, ooo tentu saja.  Tetapi kita biasa menilai kesuksesan dari output dibanding input.  Dakwah disebut sukses kalau bisa merubah pikiran – dan lalu perilaku – orang yang mendengarkan, sehingga makin islami.  Dan makin banyak orang yang bisa berubah, berarti makin sukses.  Sekolah disebut sukses, kalau berhasil meraih level tertinggi dengan nilai baik, dan setelahnya mampu mengamalkan ilmunya itu, atau dijadikan rujukan dalam bidang keahliannya itu.  Keluarga disebut sukses, kalau berhasil membangun rumah tangga yang harmonis, jauh dari konflik, sinergi dalam aktivitas, juga menghasilkan anak-anak yang shaleh/shalihah, sehat, cerdas dan juga sejak dini terikat dengan berbagai aktivitas positif.  Sedang karier atau bisnis disebut sukses, kalau makin berkembang, makin memberi manfaat banyak orang, makin banyak menghasilkan zakat-infaq-shadaqah, dan bisa menjadi washilah membuka jejaring yang makin mendukung tercapainya visi.

Persoalannya, banyak aktivis dakwah yang ternyata kelabakan di jalan.  Mereka yang merasa aktif dalam dakwah, ternyata ada yang sekolahnya jadi berantakan.  Atau sekolah dan dakwah semula jalan, tetapi begitu masuk dunia kerja, langsung suaranya berangsung-angsur senyap … bahkan lama-lama hilang.  Ada juga yang senyapnya ini setelah berkeluarga.  Sebaliknya ada terus rajin sibuk dalam dakwah dan bisnis, tetapi keluarga kurang mendapatkan haknya, yang bahkan berujung pada sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci Allah, sesuatu yang menggetarkan Arasy, yakni perceraian !!!

Karena setiap dari kita mendapatkan “anggaran” yang sama dari Allah, yaitu sehari 24 jam, maka tentu kita perlu belajar “best-practice” dari mereka yang terlebih dulu dapat kita identifikasi sebagai sukses meraih multi-target tersebut.  Mungkin memang kelebihan tiap orang tidak sama, tetapi jelas mereka yang saya jadikan teladan, itu dapat disebut sukses, jauh di atas aktivis dakwah kebanyakan.

Ada yang saya lihat, pada saat itu usia beliau belum 40 tahun – pada saat dakwahnya sangat kencang – beliau sudah menjadi icon dakwah nasional, ternyata juga masih sempat menyelesaikan S2-nya, juga mendirikan sebuah sekolah dan perguruan tinggi Islam, juga menulis banyak sekali buku, juga sukses membangun lembaga konsultan bisnis & manajemen yang sudah bisa jalan sendiri, rumah tangganya juga tampak harmonis, masih sempat mengajak anak-anaknya liburan dsb. (more…)

Belajar Memahami Urgensi perbuatan Kita

Friday, September 28th, 2012

Setiap Anda melakukan sebuah perbuatan, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak melakukan itu?”

Silakan Anda uji sendiri:

– Bila Anda nonton piala dunia sepak di TV: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak menonton siaran tersebut?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi komentator terkenal, yang mampu memindahkan ketegangan antar negara dari kancah militer ke lapangan bola saja ?

– Bila Anda sedang kuliah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kuliah?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi seorang profesional kelas dunia, dan ketidakhadiran Anda pada kuliah itu, menyebabkan Anda gagal menjadi sarjana, dan tertutup pula jalan menjadi profesional tersebut ?

– Bila Anda sedang kontak dakwah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kontak?” – jangan-jangan orang yang Anda kontak itu ditakdirkan menjadi pencerah bagi seorang jenderal sangat berpengaruh yang akan mengusir penjajahan dan menopang keadilan berdasarkan syariah ?
Hidup ini tidak linier.  Kita tidak pernah tahu peran apa yang sesungguhnya Allah gariskan untuk kita.  Tetapi kita bisa menimbang-nimbang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, seberapa urgen perbuatan kita.  Tinggal seberapa jauh kita dapat menghayati, “jangan-jangan” kita ditakdirkan memiliki peran yang signifikan di dunia ini, tetapi hanya efektif bila kita memilih pilihan yang tepat dalam garis hidup kita.

Masyarakat yang paling rendah mutunya adalah DOING-NOTHING-SOCIETY.  Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ngerumpi, ngomongin orang, atau ngomongin sesuatu yang tidak terkait dengan solusi atas masalah real yang dihadapi.

Agak naik sedikit adalah WATCHING-SOCIETY.  Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menonton, bisa menonton TV, menonton kecelakaan, menonton kemungkaran, tanpa berbuat apa-apa.  Kemungkaran atau kesusahan hidup orang lain hanya menjadi objek tontonan.

Lebih tinggi lagi adalah LISTENING-SOCIETY.  Mereka mulai mau mendengarkan.  Bagi orang-orang yang sedang pepat hatinya karena kesulitan hidup yang terlalu besar, adanya orang yang mau mendengarkan memang bisa sedikit meringankan beban pikiran, meski belum merupakan solusi tuntas.

Naik lagi adalah READING-SOCIETY. Mereka mulai mau membaca, baik membaca buku, kitab suci, media elektronik atau membaca alam.  Mereka mulai mengambil ilmu di luar ruang lingkup hidupnya sehari-hari, bahkan dari masa yang berbeda.  Menurut Islam, ini adalah standard minimal dari bentuk masyarakat. Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca.

Lebih afdhol lagi adalah WRITING-SOCIETY.  Masyarakat yang mulai maju ditandai dengan produk tulisan yang semakin banyak, yang mendokumentasikan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berguna menembus ruang dan waktu.

Dan puncaknya adalah LEARNING-SOCIETY.  Ini adalah masyarakat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar sikap dan perbuatannya.  Mereka telah membaca pengalaman dari siapapun, dan terus memperbaiki diri.  Inilah masyarakat yang memiliki banyak mujtahid.

Nah, sudahkah kita menempatkan diri menjadi LEARNING-PERSON – pribadi yang terus belajar, terus memperbaiki diri ?  Kata Nabi, belajar adalah kewajiban setiap muslim sejak dari buaian hingga liang lahat.  Dan kita terus belajar memahami urgensitas setiap perbuatan kita.  Dengan itu kita akan mendapatkan kualitas amal yang makin baik. Bukanlah Allah menciptakan hidup dan mati itu hanya untuk menilai siapa dari kita yang lebih baik amalnya?  Amal yang baik adalah amal yang benar (menurut syariah) dan ihlas (ditujukan untuk meraih keridhaan Allah). Dan kata Nabi, orang yang terbaik adalah orang yang paling mendatangkan manfaat bagi manusia lain.

Kalau ini kita gabungkan, maka perbuatan yang paling urgen adalah perbuatan yang syar’i, yang hanya ditujukan untuk meraih keridhaan Allah, dan paling besar mendatangkan manfaat bagi manusia.

Kegagalan Kebangkitan ala Indonesia

Monday, May 21st, 2012

Definisi Kebangkitan

Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.

Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.

Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.

Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.

Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya.  Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain.  Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain.  Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain.  Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut.  Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan  besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih.  Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.

Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan.  Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?

Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya.  Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai.  Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.

Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain.  Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.

Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya.  Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif.  Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.

Peta Kebangkitan Dunia

Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika.  Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”.  Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.

Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris.  Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda.  Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.

Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia.  Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua.  Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar.  Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya.  Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.

Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2.  Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela.  China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri.  Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri.  Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.

Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3.  Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman.  Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.

Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3.  Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu.  Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai.  Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana.  Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.

Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan.  Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb.  Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing.  Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif.  Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden.  Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi.  Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll,  Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.

Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi.  Perang Saudara dapat diredam.  Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali.  Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“)  investor asing.  Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.

Faktor Ideologi

Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3.  Amerika bangkit dengan kapitalisme.  Soviet dulu bangkit dengan sosialisme.  Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.

Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri.  Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari.  Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet.  Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.

Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya.  Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap.  Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.

Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3.  Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan  pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.

Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah.  Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.

Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih.  Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.

Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan.  Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.

Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll).   Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia.  Itulah kebangkitan yang kita dambakan.