Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Mengenali Hobby untuk dimiliki

Friday, October 19th, 2012

Apa hobby Anda?

Apa pekerjaan Anda?

Apa pendidikan Anda ?

Apa cita-cita Anda ?

Apakah hobby Anda relevan dengan pekerjaan Anda?  Sejauh apa?

Kadang orang sengaja mencari hobby yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan.  Katanya biar bisa punya dunia yang berbeda.  Biar ada keseimbangan.  Pekerjaannya dosen matematika, hobbynya menciptakan puisi.  Pekerjaannya dokter spesialis kandungan, hobbynya karate.  Pekerjaannya peneliti kimia anorganik, hobbynya main piano, bahasa asing, dan olahraga menembak.

Sebaliknya ada yang sengaja mencari hobby yang dekat dengan pekerjaan.  Alasannya, sebenarnya dia tidak ingin merasa bekerja, dia ingin punya hobby yang menghasilkan.  Pekerjaannya survey, hobbynya fotografi.  Dia bisa mencari objek fotografi di manapun dia ditugaskan survey.  Pekerjaannya kolumnis media, hobbynya travelling.  Jadilah dia pengembara sambil membuat tulisan travelling.  Pekerjaannya pedagang, hobbynya berdakwah.  Jadilah setiap orang yang melihat-lihat barang dagangannya diajak ngobrol-ngobrol untuk menyebarkan pemahaman keagamaannya.

Hobby anak-anak

Hobby anak-anak

Asal muasal seseorang memiliki hobby memang beraneka ragam.  Dan hobby pun berubah-ubah tergantung peluang dan tuntutan keadaan, juga bacaan, teman-teman dan lingkungan.  Apa hobby pertama Anda, adik Anda atau anak Anda ?  Anak kecil kalau ditanya hobby biasanya menjawab “bernyanyi”, “menggambar”, atau “bermain bola”.  Agak besar sedikit akan menjawab “membaca”, “nonton kartun”, atau “main computer-games”.  Mungkin tidak banyak yang menjawab hobby “memasak”, “main sepatu roda akrobatik” atau “astronomi”.

Hobby adalah aktivitas “mengisi waktu senggang” yang ditekuni untuk beberapa lama, sehingga dalam beberapa hal menjadi habbit juga.   Batasan menekuninya adalah tiga tahun terus menerus.  Kalau aktivitas senggang itu dilakukan 1 jam per hari, maka tiga tahun kira-kira sudah 1000 jam.  Memang belum bisa melahirkan seorang expert (yang ini perlu 10000 jam! dan biasanya tak lagi kelas “hobby”, tapi “profi”), tetapi jelas hobbyist sudah lebih mahir dari orang yang mencoba sekali-sekali.  Hobbyist sepatu roda tidak hanya main sepatu roda ketika teman-temannya lagi musim main sepatu roda.  Dia akan mengembangkan kemampuannya sampai bisa melakukan banyak sekali hal dengan sepatu rodanya itu.  Ada hobby astronomi yang benar-benar memiliki reputasi tinggi di dunia astronomi, lebih dari orang yang memang profesinya astronom.  Pekerjaan tetapnya sendiri malah jualan di toko atau sopir.  Demikian juga ada hobby hacker (penjebol jaringan komputer), yang pendidikan dan profesinya malah astronom, bukan IT.  Dunia sudah campur aduk.

Ketika saya SD, saya memulai hobby koleksi perangko (filateli).  Dan ternyata hobby ini saya bawa sampai saya kuiliah di Luar Negeri.  Sekarang hobby ini sudah sangat jarang saya sentuh lagi, apalagi teknologi sekarang sudah berganti dengan sms dan email.  Tapi ada tahun-tahun ketika banyak orang yang saya kenal saya tanya apakah mereka memiliki perangko bekas?  Sebagian ternyata bahkan juga kolektor, sehingga kami barter koleksi.  Saya pernah memiliki sampai 20 album perangko dari seluruh dunia.  Hebatnya, nyaris tidak ada perangko yang beli.  Semua didapatkan dari tukar menukar dan dari hadiah.  Teman, saudara, atau temannya saudara yang tahu saya punya hobby filateli sering membawa oleh-oleh perangko bekas ketika mereka ke luar negeri.  Setiap melihat koleksi itu, saya teringat dengan sosok baik hati yang menjadi jalannya.  Saya belajar melepas perangko itu dari amplopnya dengan merendamnya di air lalu mengeringkannya di tempat teduh, merawatnya dengan memberi tepung, memasukkannya dalam album, atau membuatnya hiasan yang menarik, misalnya dalam sebuah pigura atau vas bunga.  Saya juga belajar banyak negara di dunia dari perangko.  Bahkan, ketika saya masih SD, saya sudah tahu bahwa OSTERREICH adalah Austria, HELVETICA adalah Swiss, CCCP adalah Soviet.  Dan perangko yang tidak ada nama negaranya hanyalah perangko Inggris!

Filateli

Filateli

Selain perangko, saya pernah juga mengumpulkan kartu telepon (phonecard), uang coin, uang kertas yang sudah tidak laku, dan kertas surat.  Tetapi ternyata yang ini tidak berkembang seperti halnya perangko.  Mungkin karena ilmu yang didapat berbeda.   Waktu itu saya tidak berpikir bahwa boleh jadi, semua koleksi ini suatu saat akan menjadi investasi yang sangat mahal.  Saya melakukannya karena mengasyikkan saja.

Setelah itu, saya pernah punya hobby elektronika.  Ini sejak kelas 1 SMP.  Di sekolah memang ada pelajaran ketrampilan elektronika, tetapi yang membuat elektronika menjadi hobby adalah seorang teman saya.  Ternyata dia sejak SD sudah memiliki hobby itu.  Asyik sekali melihat seorang anak SMP sudah bisa membuat  alarm maling sendiri, handy talky sendiri, bahkan pemancar radio sendiri.  Pemancarnya bahkan saat itu begitu kuat, sehingga kalau mau, radio lain bisa di-jam di area satu desa.  Dan itu tahun 1980!  Saya meminjam buku-bukunya untuk disalin (karena saat itu fotocopy masih relatif mahal), lalu sejak itu tertarik mengklipping rubrik elektronika dari suatu surat kabar.  Kemudian mencoba sendiri.  Dengan sembunyi-sembunyi, saya membeli AVO-meter sendiri dengan tabungan saya seharga Rp. 10.000.  Kalau Ibu saya tahu uang sebanyak itu untuk beli AVO-meter, saya mungkin akan sangat dimarahinya.  Uang itu seharga emas 1 gram saat itu.  Kalau tak salah, saat itu gaji guru anyar masih Rp. 25.000 !

 

Elektronika

Elektronika

Rupanya hobby elektronika itu memupuk bakat saya sebagai peneliti.  Sepulang sekolah, saya betah asyik duduk berjam-jam merangkai berbagai komponen, menyoldernya, lalu mencobanya sambil ukur sana-sini.  Dan ini bisa saya lakukan sambil menjaga warung sembako ibu saya.  Saya terinspirasi kisah Thomas Alva Edison yang membuat “lab” di gerbong kereta api yang berjalan, tempat dia berdagang asongan.

Saya mencoba mengembangkan amplifier model baru, radio mini yang dimasukkan tempat sabun, lampu “peramal” (karena setelah dibacain “mantra” lalu bisa kelap-kelip), juga mencoba membuat kompor listrik efisiensi tinggi, alat stimulator ikan (dengan memasukkan strom aneka tegangan dan frekuensi ke akuarium), dan sebagainya.  Kendalanya saat itu, banyak komponen elektronik yang tidak bisa didapat di kota kecil Magelang.  Lebih dari itu, di Magelang sangat sulit mencari mahasiswa teknik elektro yang bisa ditanya-tanya …  Namun hobby itu bertahan cukup lama.  Sewaktu di Austria, saya sangat menyadari kalau tenaga service di sana sangat mahal.  Ketika komputer saya rusak, saya merasa lebih menguntungkan membeli buku dan perlengkapan service komputer, lalu perbaiki sendiri!  Sampai sekarangpun, meski akhirnya saya menjadi profesor sistem informasi spasial, saya masih terobsesi untuk kembali menciptakan alat-alat elektronik unik yang siapa tahu bisa dipatenkan dan lalu diproduksi massal oleh perusahaan elektronik kelas dunia milik umat … 🙂

Di SMP pula, saya mendapat motivasi seorang guru Bahasa Indonesia yang inspiratif.  Guru itu menyuruh anak-anak bikin Majalah Dinding.  Isinya diharapkan orisinil, bukan klipping, bukan nyalin … Dan saya mulai merasakan asyiknya menulis sebuah “kisah-kisah lucu di kelas” atau “fantasi anak SMP”.  Saat di kelas 3 SMP, tulisan saya yang paling pertama, sebuah Cerpen Petualangan, muncul di Majalah Remaja Zaman (anak majalah Tempo).  Saya dapat honor Rp. 25.000.  Saya sujud syukur.  Kalau anak sekarang mungkin akan koprol sambil bilang Wow !  🙂   Uang itu hampir sama dengan gaji sebulan guru saya !   Saya jadi semakin punya keyakinan, bahwa menulis adalah sebuah hobby yang harus saya kuasai dengan baik, karena bisa untuk gantungan hidup saya kelak.  Saya menulis puisi, novel, features, reportase kegiatan sekolah, juga mengikuti puluhan lomba mengarang / menulis ilmiah.  Apalagi saat itu saya sudah lancar mengetik.  Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali saya menangkan adalah Lomba tingkat Nasional yang disponsori Cerebrovit.  Hadiahnya Rp. 250.000 !   Itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SMP.  Judul KTI saya “Pengaruh Hobby pada Kesehatan Mental Remaja”.  Sumber literaturnya: majalah-majalah “Dunia Hobby” yang dibeli di tukang loak.  Heran ya, kenapa majalah sebagus itu sekarang sudah tidak terbit lagi …

Tahun 1992, cerita bersambung saya muncul di Majalah Sabili.  Judulnya “Expedisi ke Bosnia”.  Waktu itu Perang Bosnia lagi ramai-ramainya.   Tetapi tokoh cerita saya belum syahid, majalah itu “syahid” duluan.  Tiarap, dan baru bangun lagi setelah Reformasi 1998.   Tetapi menurut Pemrednya, cerbung saya sempat mengangkat tiras Sabili cukup signifikan.  Itu salah satu jejak kesusasteraan saya … he he …  Sayang hingga 20 tahun setelahnya, ternyata masih banyak obsesi tulisan yang belum juga terwujud.  Banyak plot cerita yang telah saya susun sejak 30 tahun yang lalu yang ternyata belum jadi buku.  Pada kurun waktu yang sama, Hilman sudah membuat seratus atau lebih novel dan film LUPUS.  Andrea Hirata sudah menyalip dengan meluncurkan tetralogi Laskar Pelangi yang national best seller.  Dan J.K. Rowling sudah menjadi orang terkaya di Inggris setelah menyelesaikan 7 epics world bestseller Harry Potter.  Hidup memang tidak linear …

Di SMA saya mendapat mencoba mainan baru: sebuah kamera.  Ini berani beli karena saya sudah punya tabungan hasil mengarang.  Kamera saya pertama hanyalah Fujica M-1, kamera dengan lensa fokus fix 1 meter sampai tak terhingga, diafragma konstan pada angka 8 dan speed konstan pada angka 1/100 detik.  Artinya ya hasilnya tidak bisa tajam-cemerlang.  Harganya waktu itu Rp. 15.000.  Lumayanlah untuk main-main.  Walaupun mahal juga, karena mesti beli film, lalu cuci cetak foto.  Saya membaca buku-buku fotografi.  Bahkan sempat bikin kamar gelap untuk mengolah sendiri film dan mencetak foto.  Kadang bermain dengan film hitam putih atau film positif (slide).  Ternyata, meski kamera sederhana, kalau digunakan dengan cara-cara istimewa, hasilnya bisa istimewa pula.  Tetapi memang kamera ini ada keterbatasannya.  Akhirnya, dua tahun kemudian, saya membeli Ricoh RX-1 yang fokus, speeed dan diafragmanya bisa diatur, cuma lensanya belum bisa diganti.  Di sekolah dan di kampung, saya sering didapuk menjadi tukang foto acara atau seksi dokumentasi.  Banyak teman yang kakaknya menikah, mengundang saya menjadi fotografernya.  Jadi walaupun kameranya belum SLR, hasilnya sering bisa menjadi “alternatif”.  Pada berbagai acara di pesta di dalam ruangan, saya sering bereksperimen dengan pemotretan tanpa lampu blitz.  Hasilnya, lebih indah dari semua kamera yang lain.  Di sekolah, saya membuat kartu ucapan dengan latar belakang foto-foto unik bidikan saya.

Fotografi

Fotografi

Ketika saya ikut seleksi beasiswa ke Luar Negeri, semula saya berminat pada jurusan Fisika Nuklir atau Teknik Elektro.  Tetapi kemudian saya dipindah ke Teknik Geodesi.  Hal yang semula tidak begitu saya tahu.  Tetapi ketika saya temukan bahwa salah satu yang dipelajari di geodesi adalah ilmu fotogrametri, maka saya jadi tertarik.  Hobby fotografi saya akan tersalurkan!  Dan benarlah.  Fotogrametri adalah fotografi yang diolah secara matematis yang dieksekusi dengan programming komputer tingkat tinggi.   Saya lalu membeli kamera Yashica SLR dengan 2 lensa tele dan banyak varian filter.  Mantap.  Benar-benar seperti profi lah.  Kalau pergi-pergi survei ke atas gunung, meski sudah berat membawa instrumen survei (teodolit, statif), masih ditambah kamera SLR satu tas!  Ketika zaman beralih ke digital, rasa-rasanya hobby ini mau meledak.  Terlalu banyak yang sekarang bisa difoto tanpa keluar biaya lagi !!!  Tapi membawa SLR kemana-mana memang kurang praktis.  Akhirnya saya membawa kamera pocket yang cukup bagus (sekarang Canon, sebelumnya Nikon) yang hampir selalu ada di ikat pinggang atau di ransel saya.  Saya membuat koleksi foto tempat-tempat unik yang pernah saya kunjungi, juga flora, wajah anak-anak yang lucu, kuliner, bahkan ujud teknologi atau poster di pinggir jalan yang jarang kita lihat. Kalau saya ada urusan ke suatu kantor, lalu ada dokumen yang menarik, saya dengan cepat akan memutuskan memotretnya.  Walaupun itu 100 halaman!  Jauh lebih cepat daripada pergi ke tukang foto copy, dan belum tentu dokumen itu boleh dibawa keluar kantor.  Bahkan, kalau saya sedang didaulat untuk jadi pembicara seminar, sambil mendengarkan peserta bertanya, saya sering iseng memotret wajah audiens.  Orang-orang sering heran melihat seorang penceramah memotret audiensnya … 🙂  Ingin saya menyeleksi isi gudang foto jepretan saya itu untuk mendapatkan foto-foto terunik buat diikutikan kontes fotografi.  Tetapi rupanya aktiivitas saya yang lain masih banyak menyita perhatian.

Terus sejak kapan saya hobby “ngomong” ?  Hobby saya berbicara di depan publik, saat ini sangat membantu saya dalam berdakwah maupun mengajar.  Dan ini ternyata juga bermula di masa SMP.  Sesungguhnya ketika saya masih duduk di SD, saya cenderung pemalu dan penakut.  Teman-teman suka “mem-bully” saya, dan saya kadang mengadu kepada guru sambil menangis.  Tetapi di masa SMP, di masjid kampung, saya bertemu seorang mahasiswa yang inspiratif.  Dia yang aktivis HMI ini memprovokasi anak-anak ababil (anak baru labil) ini untuk jadi lebih militan, dengan dasar Islam, “awas, Islam sedang dipinggirkan”.  Mungkin mahasiswa ini kalau sekarang bisa dianggap “provokator Rohis & pintu masuk Teroris” … Waktu itu Orde Baru sedang perkasa-perkasanya, dan Ali Murtopo adalah intel yang menjadi Menteri Penerangan “Yang Maha Kuasa” … :-).

Di masjid itu bersama sejumlah anak-anak sebaya, saya ditantang untuk berani pidato di mimbar.  Apa yang saya dapat di luar sekolah itu seakan berresonansi dengan aktivitas di sekolah.  Saya didaulat untuk mengikuti latihan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di Polres, lalu menularkan ke sejumlah adik kelas di sekolah.  Jadi, masih di kelas 3 SMP, saya sudah “mengajar”.  Akhirnya sikat aja  …  Di SMA ini berlanjut.  Yang namanya hobby tidak bisa dibendung.  Terus sampai kuliah bahkan sampai kerja.  Meyakinkan orang atau berbicara di muka umum dengan ide yang lebih segar sudah menjadi panggilan.  Kalau tak ada yang berani maju mengisi kultum, ya saya maju saja!  Kalau yang khutbah mendadak absen, ya saya menyediakan diri jadi “Khatib tembak” …  Pokoknya kita terus mengupgrade diri dan mempersiapkan diri.  Lama-lama, bagaimana mengartikulasikan pikiran dengan runtut, tertata, sistematis, menjadi habbit.  Akhirnya kalau mengajar juga rapi.  Seminar juga rapi.  Training juga rapi.  Tema boleh gonta-ganti apa saja, isi semua rapi.  Kecuali kalau pesanannya salah atau miskomunikasi.  Pesan nasi uduk, eh yang dihidangkan malah bubur ayam.  Heran juga itu, nasi sudah menjadi bubur, koq malah dijual  … he he … 🙂

Jadi, hidup yang memang yang ideal itu memang harus menggabungkan antara HOBBY, PROFESI, dan OBSESI menjadi satu rangkaian.  Semua saling mendukung.  Apalagi kalau ditambah MENGHASILKAN … he he … Kalau sekedar profesi tanpa obsesi, monoton, tidak ada strongwhy untuk bersabar meraih kemajuan.  Sedang tanpa hobby, profesi apapun lama-lama benar-benar bikin bete.  Apalagi tidak menghasilkan, wah apes bener … 🙂

Belajar Memahami Urgensi perbuatan Kita

Friday, September 28th, 2012

Setiap Anda melakukan sebuah perbuatan, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak melakukan itu?”

Silakan Anda uji sendiri:

– Bila Anda nonton piala dunia sepak di TV: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak menonton siaran tersebut?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi komentator terkenal, yang mampu memindahkan ketegangan antar negara dari kancah militer ke lapangan bola saja ?

– Bila Anda sedang kuliah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kuliah?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi seorang profesional kelas dunia, dan ketidakhadiran Anda pada kuliah itu, menyebabkan Anda gagal menjadi sarjana, dan tertutup pula jalan menjadi profesional tersebut ?

– Bila Anda sedang kontak dakwah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kontak?” – jangan-jangan orang yang Anda kontak itu ditakdirkan menjadi pencerah bagi seorang jenderal sangat berpengaruh yang akan mengusir penjajahan dan menopang keadilan berdasarkan syariah ?
Hidup ini tidak linier.  Kita tidak pernah tahu peran apa yang sesungguhnya Allah gariskan untuk kita.  Tetapi kita bisa menimbang-nimbang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, seberapa urgen perbuatan kita.  Tinggal seberapa jauh kita dapat menghayati, “jangan-jangan” kita ditakdirkan memiliki peran yang signifikan di dunia ini, tetapi hanya efektif bila kita memilih pilihan yang tepat dalam garis hidup kita.

Masyarakat yang paling rendah mutunya adalah DOING-NOTHING-SOCIETY.  Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ngerumpi, ngomongin orang, atau ngomongin sesuatu yang tidak terkait dengan solusi atas masalah real yang dihadapi.

Agak naik sedikit adalah WATCHING-SOCIETY.  Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menonton, bisa menonton TV, menonton kecelakaan, menonton kemungkaran, tanpa berbuat apa-apa.  Kemungkaran atau kesusahan hidup orang lain hanya menjadi objek tontonan.

Lebih tinggi lagi adalah LISTENING-SOCIETY.  Mereka mulai mau mendengarkan.  Bagi orang-orang yang sedang pepat hatinya karena kesulitan hidup yang terlalu besar, adanya orang yang mau mendengarkan memang bisa sedikit meringankan beban pikiran, meski belum merupakan solusi tuntas.

Naik lagi adalah READING-SOCIETY. Mereka mulai mau membaca, baik membaca buku, kitab suci, media elektronik atau membaca alam.  Mereka mulai mengambil ilmu di luar ruang lingkup hidupnya sehari-hari, bahkan dari masa yang berbeda.  Menurut Islam, ini adalah standard minimal dari bentuk masyarakat. Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca.

Lebih afdhol lagi adalah WRITING-SOCIETY.  Masyarakat yang mulai maju ditandai dengan produk tulisan yang semakin banyak, yang mendokumentasikan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berguna menembus ruang dan waktu.

Dan puncaknya adalah LEARNING-SOCIETY.  Ini adalah masyarakat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar sikap dan perbuatannya.  Mereka telah membaca pengalaman dari siapapun, dan terus memperbaiki diri.  Inilah masyarakat yang memiliki banyak mujtahid.

Nah, sudahkah kita menempatkan diri menjadi LEARNING-PERSON – pribadi yang terus belajar, terus memperbaiki diri ?  Kata Nabi, belajar adalah kewajiban setiap muslim sejak dari buaian hingga liang lahat.  Dan kita terus belajar memahami urgensitas setiap perbuatan kita.  Dengan itu kita akan mendapatkan kualitas amal yang makin baik. Bukanlah Allah menciptakan hidup dan mati itu hanya untuk menilai siapa dari kita yang lebih baik amalnya?  Amal yang baik adalah amal yang benar (menurut syariah) dan ihlas (ditujukan untuk meraih keridhaan Allah). Dan kata Nabi, orang yang terbaik adalah orang yang paling mendatangkan manfaat bagi manusia lain.

Kalau ini kita gabungkan, maka perbuatan yang paling urgen adalah perbuatan yang syar’i, yang hanya ditujukan untuk meraih keridhaan Allah, dan paling besar mendatangkan manfaat bagi manusia.

Saat Hidup Menguji Siswa

Monday, June 4th, 2012
Dr. Fahmi AmharBerapakah angka kelulusan Ujian Nasional (UN) di daerah Anda?  Di atas 90%?  Percayakah Anda bahwa semuanya didapat dengan kejujuran?  Prof. Dr. Ir. Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pernah di suatu acara di Direktorat Pembinaan SMP tahun 2009 menyampaikan bahwa indeks objektivitas UN SMA bidang Matematika IPA hanya 0,383 (dari maksimum 1), sedang untuk Bahasa Inggris cuma 0,411.  Jadi meski angka lulus nasional waktu itu mencapai 93,5%, dan dengan rerata nilai 7,31, tetapi sudah rahasia umum, bahwa itu hasil bohong-bohongan, yang sayangnya dilakukan sistemik oleh pemerintah daerah, dinas pendidikan setempat dan para guru !  Hasilnya adalah “lulusan dodol”, hasil didikan “guru dodol” yang diurus oleh “penguasa dodol”.

Semula, UN diadakan untuk memetakan kualitas sekolah.  Sekolah yang hasil UN-nya masih rendah, perlu lebih diperhatikan kelengkapan sarananya, mungkin gurunya perlu diberikan diklat penyegaran, bahkan ekonomi orang tua siswa perlu ditingkatkan.  Namun ketika UN dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan daerah, maka penguasa daerah menghalalkan segala cara agar daerahnya tampak kinclong, minimal pada nilai UN.

Padahal sekalipun UN didapatkan dengan jujur dan bermartabat, tetap saja UN baru mengukur sedikit dari kompetensi anak didik.  Terlalu banyak hal yang masih belum terukur dengan UN, misalnya kreativitas, integritas, kemampuan menaklukkan tantangan dan sebagainya.

Jika pendidikan terus dengan sistem yang membiarkan terjadinya “kedodolan” ini, maka tak perlu heran bahwa 25 tahun mendatang, boleh jadi tingkat butu huruf sekunder di Indonesia mencapai 30-40%.  Seperti apa negara seperti itu?  Seperti Eropa!

Eropa abad 9 – 12 M memiliki tingkat buta huruf 95%! Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu!  Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca.  Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis.  Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).

Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini.  Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas.  Pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang.  Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma.  Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol.  Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.  Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas.  Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.  Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar.  Yang “salah” adalah politik. Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat.  Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah.  Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya.  Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan.  Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!

Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus.  Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku.  Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi.  Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan.  Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi.  Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.  Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar.  Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.

Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya.  Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah.  Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru.  Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.

Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid.  Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan.  Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah.  Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama.  Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar.  Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.

Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji.  Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan.  Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism).  Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan.  Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut.  Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.

Dunia Islam memberi inspirasi seluruh manusia untuk belajar, karena belajar adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan dan mendapatkan hikmah kehidupan.