Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

SEBUAH KISAH TENTANG ALOS

Wednesday, April 27th, 2011

Mendengar berita kematian satelit ALOS yang diemail oleh Dr. Manasobu Shimada (ALOS Science Manager JAXA) hari ini tentu saja saya sangat bersedih.

Sebenarnya satelit ALOS yang telah beroperasi 5 tahun 3 bulan telah jauh melampaui life-design-nya yang semula hanya 3 tahun.  Sebenarnya, jet-gas untuk manuver satelit ini masih cukup untuk beroperasi hingga 10 tahun.  Namun kegagalan sistem power dari solar-cell-nya membuat komunikasi dengan satelit terputus, sehingga satelit itu tidak bisa dikendalikan lagi.  Namun dalam kurun waktu 5 tahun 3 bulan itu, telah banyak yang kita peroleh, kita pelajari, kita rencanakan kembali.

Sebagian dari pelajaran itu adalah design yang sama sekali baru untuk ALOS-2 dan ALOS-3 nanti, yaitu dipisahkannya antara sistem optik dari sistem radar.  Pada ALOS-1, 2 sensor optik (pan-stereo, XS) dan 1 sensor radar ada dalam satu platform. Namun pada prakteknya, mustahil mengoperasikan 3 sensor sekaligus, karena keterbatasan power, board-memory dan downlink-bandwidth.

Bakosurtanal mengenal ALOS sejak sebelum diluncurkan.  Tahun 2005, proposal saya untuk “Generating & Updating of Topographic Map using ALOS-data”, dipilih mewakili Bakosurtanal untuk suatu Pilotproject antar instansi yang dikoordinir oleh LAPAN.

Tahun 2006, bersamaan dengan ISPRS-Symposium di Tokyo, saya mengunjungi RESTEC, yang ditunjuk JAXA mempromosikan ALOS ke negara berkembang. Ternyata meski waktu itu satelit sudah diluncurkan, tetapi masa comissioning masih membutuhkan waktu hingga data bisa keluar.  Namun perkenalan saya langsung dengan RESTEC, yang dilanjutkan dengan kunjungan mereka ke Bakosurtanal, membuka mata mereka, bahwa potential user untuk ALOS yang sangat besar di Indonesia adalah Bakosurtanal.  Akhirnya, selain kita bisa mendapatkan citra ALOS dari jalur LAPAN, kita bisa mendapatkan saluran ke-2, yaitu download langsung dari RESTEC.  Beberapa peneliti dari LAPAN sendiri pernah memanfaatkan saluran ke-2 ini, karena ternyata saluran-1 terbilang lamban, karena data dikirim dengan DHL.

Bahkan, RESTEC pernah mengajak teknisi dari JAXA datang ke Bakosurtanal dan memasang software pengolah DEM khusus dari mereka di Bakosurtanal (saat itu di salah satu komputer ber-OS Linux di Balitka).  Sayangnya software ini cuma diberi nyawa untuk 1 bulan, dan sayangnya juga, JAXA tidak berniat mengkomersilkan.

Tahun 2007, saya mencoba mengajukan proposal riset sendiri langsung ke JAXA, tentang korelasi citra optik (AVNIR) dan radar (PALSAR) dengan tujuan dapat mendeteksi dini kebakaran hutan dan tembus awan.  Proposal ini di-acc dalam skema RA-2, di mana kita dapat citra gratis langsung download sendiri dari server JAXA selama 3 tahun, di mana tiap tahun sampai 50 citra.  Sayangnya, kemudian saya dapatkan bahwa tidak ada satupun citra AVNIR yang benar-benar diambil pada saat yang sama dengan citra PALSAR.  Lebih dari itu, ternyata dalam setahun, cuma ada 2 cycle (dari 8 cycle per tahun) citra PALSAR yang diambil dengan modus full polarimetry.  Jadi akhirnya, cukup sulit untuk mewujudkan impian saya mendeteksi dini kebakaran hutan dengan main-main citra radar polarimetry yang tembus awan itu.  Akhirnya jatah citra ALOS selama 2008-2011 itu saya bagi-bagi ke siapa saja peneliti yang membutuhkan, termasuk mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Setiap acara Seminar GeoCampus dari Balitka ke 10 perguruan tinggi di seluruh Indonesia saya promosikan data ALOS.  Itupun, sampai passwordnya expired pada bulan Maret 2011, masih ada 70 citra yang tersisa, belum termanfaatkan.

Namun bagaimanapun saya banyak belajar.  Gembar-gembor Dr. Makoto Ono dari RESTEC, bahwa ALOS dapat menyediakan peta topo skala 1:25.000 TANPA GCP, ternyata – mohon maaf – pepesan kosong!  Semua contoh peta berbahan baku ALOS dari GSI (Bakosurtanal-nya Jepang), menggunakan GCP yang cukup massif, yang di Jepang memang sudah tersedia sangat merata.

Saya hanya dapat mengatakan bahwa untuk produksi peta RBI lengkap, ALOS PRISM+AVNIR cuma sanggup sampai skala 1:50.000.

Untuk 1:25.000, ALOS hanya dapat menyediakan update unsur planimetrisnya.  Untuk juga dapat menyediakan data vertikal (DEM) dengan akurasi yang dibutuhkan pada skala 1:25.000, perlu investigasi yang cukup mendalam tentang pengaruh penggunaan dari berapa GCP dan/atau RPC, dikaitkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan GCP dan/atau RPC tersebut.

Data archive ALOS yang jutaan citra banyaknya masih dapat kita akses.  Di Tokyo mereka sudah menyediakan satu lantai gedung yang luas dengan puluhan rak untuk menaruh data server – yang Januari 2007 itu masih kosong.  Di Bakosurtanal, sejak 2011 yang masih dapat akses langsung (dalam skema RA3) adalah Dr. Ibnu Sofian.

Saya sendiri juga masih dapat akses ke archive tersebut melalui LAPAN, karena sejak 2010, saya ditunjuk menjadi WG2-chair, dengan fokus pada coastal studies & small-island research.  Tahun ini, saya mendapat insentif riset kompetitif dari Ristek untuk mencari algoritma mendapatkan garis pantai MSL secara otomatis dari 2 citra ALOS (PRISM, AVNIR dan PALSAR) yang diambil pada 2 kondisi pasang surut yang berbeda.

Selama terlibat dengan ALOS ini saya sudah melakukan 4 kali perjalanan ke Luar Negeri, yakni 2 kali ke Jepang (1 ISPRS Symposium dan 1 Training Disaster Management berbasis Space Technology), 1 ke Rhodos Yunani (ALOS PI-Symposium) dan 1 ke Kona, Hawaii (ALOS PI-Symposium).  Ada sejumlah paper lain yang ditulis bersama dengan peneliti Balitka yang dipresentasikan di tempat lain, seperti di Jerman, China dan Malaysia.

Semoga dalam beberapa tahun ke depan ini archive data ALOS tetap dapat memberikan banyak pengetahuan baru kepada kita tentang bagaimana sebaiknya mengelola lingkungan ini.

Dan semoga, tidak lama lagi, Indonesia juga dapat mengirim sendiri satelit Earth Observation dari Indonesia, yang dapat sepenuhnya kita gunakan untuk memantau lingkungan alam Indonesia, mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya, mendeteksi bencana, menjaga kedaulatan dan mencerdaskan anak bangsa.

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Professor for Spatial Information System
National Coordination Agency for Surveys & Mapping
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong – INDONESIA

Ketika Muslim Cerdas Spasial

Tuesday, August 24th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Lebaran segera tiba.  Separuh penduduk ibu kota akan mudik.  Itu berarti jalanan macet.  Kenapa?  Karena sebagian besar tidak tahu jalan, sehingga mengandalkan jalan yang paling populer.  Macetlah.

Hal yang sama terjadi di jalanan ibu kota setiap hari.  Jalan tol yang semestinya lancar malah paling macet.  Kenapa sebagian orang pakai jalan tol?  Banyak yang karena tidak tahu jalan.

Selama musim haji ternyata sama juga.  Jalanan Makkah – Arafah – Muzdalifah – Mina macet oleh orang-orang yang tidak tahu jalan, termasuk sopir-sopir musiman.

Selain masalah jalan, kaum muslim juga sering kelihatan kurang cerdas dalam soal lokasi.  Tak jarang dua masjid terletak berdampingan, sedang pada saat yang sama ada satu kampung yang sangat jauh dari masjid, atau ukuran masjidnya sangat tidak memadai.  Dalam bertanipun, tidak sedikit kaum muslim yang menanam secara latah.  Ketika harga suatu komoditas pertanian sedang tinggi, mereka ramai-ramai menanamnya, tanpa ilmu tentang apakah tanah itu optimal untuk jenis komoditas yang ditanam.  Kalau ini dilakukan oleh petani kecil yang miskin dan tak pernah sekolah, mungkin kita paham.  Tetapi bila ini dimobilisasi oleh pemerintah, tentu kita bertanya-tanya.

Dan kalau kita tanya para pelajar dan mahasiswa tentang nama-nama negeri muslim, atau bahkan lokasi kota-kota di negeri mereka sendiri, kita kadang-kadang mengelus dada.  Kalau mereka tidak tahu di mana lokasi dan batas-batas kedaulatan mereka, bagaimana mereka akan peduli kalau tanah-tanah mereka telah dijarah penjajah dan sumberdaya alamnya telah dihisap?

Padahal kaum muslim generasi awal adalah kaum yang cerdas spasial, atau cerdas dalam mengenali dan memanfaatkan ruang.  Mereka didorong untuk mengenali ruang tempat hidupnya.  Dan lebih dari itu mereka ditantang mengenali ruang hidup bangsa-bangsa lain karena dorongan dakwah dan jihad.  Allah SWT berfirman: “Sungguh telah berlaku sunnah Allah,  maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat (perbuatan) orang-orang mendustakan ayat-ayat-Nya”. (QS. Al-Imran: 137).

Perintah ini telah membuat umat Islam di abad-abad pertama berupaya untuk melakukan ekspedisi. Mereka mulai menjelajah daratan dan mengarungi lautan untuk menyebarkan agama Allah.  Jalur-jalur darat dan laut yang baru dibuka, menghubungkan seluruh wilayah Islam yang berkembang dari Spanyol di barat hingga Asia Tenggara di timur, dari Sungai Wolga di utara hingga lereng gunung Kilimanjaro di pedalaman Afrika.

Ekspedisi di abad-abad itu mendorong para sarjana dan penjelajah Muslim untuk mengembangkan ilmu-ilmu kebuman seperti geodesi dan geografi, atau di era modern disebut geospasial. Umat Islam memang bukan yang pertama menguasai ilmu bumi. Ilmu ini diwarisi dari bangsa Yunani, dari tokoh-tokoh seperti Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristoteles, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan Ptolemeus.  Salah satu buku karya Ptolomeus yang sudah diterjemahkan ke bahasa Arab, yaitu Almagest, adalah buku favorit yang dipakai sebagai pegangan kajian tafsir di Baghdad, ketika yang dibahas adalah surat al-Ghasiyah.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan (Qs. 88:17-20)

Kerja keras para sarjana Muslim itu berbuah manis. Al-Biruni mampu menghitung keliling bumi lebih akurat dari yang pernah didapat Eratosthenes. Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan para intelektualnya menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 ahli lainnya membuat globe pertama pada 830 M.  Dia juga menulis kitab Surah Al-Ardh (Risalah Bumi). Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah buku berjudul “Tentang Bumi yang Berpenghuni”.

Pada awal abad ke-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan universitas khusus survei pemetaan di Baghdad.  Pada abad ke-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri dari Spanyol menulis kitab Mu’jam Al-Ista’jam (Eksiklopedi Kebumian) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan). Ini buku pertama tentang toponimi (nama-nama tempat) di Jazirah Arab. Pada abad ke-12, Al-Idrisi membuat peta dunia dan menulis Kitab Nazhah Al-Muslak fi Ikhtira Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.

Seabad kemudian, Qutubuddin Asy-Syirazi (1236–1311 M) membuat peta Laut Tengah, dan Yaqut Ar-Rumi (1179-1229 M) menulis enam jilid ensiklopedi bertajuk Mu’jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).

Penjelajah muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di abad 14 M memberi sumbangan yang signifikan dalam menemukan rute perjalanan baru setelah berekspedisi selama hampir 30 tahun. Penjelajah Muslim lainnya, yaitu  Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok menemukan banyak rute baru perjalanan laut setelah berekspedisi tujuh kali dari tahun 1405 hingga 1433 M.  Mereka juga mendata sebaran objek tematik yang diamatinya di atas peta.  Muncullah antara lain geo-botani, untuk mencatat distribusi dan klasifikasi tumbuhan,  atau geo-lingua untuk mencatat sebaran bahasa dan dialek.

Karena dorongan syariah, kaum muslim generasi awal telah cerdas spasial, sehingga mereka lalu pantas diberi amanah menguasai negeri Barat dan Timur.  Kapan kita akan secerdas mereka, atau lebih cerdas lagi?

Kota Terrencana Kota Islami

Wednesday, January 20th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apa yang terpikir oleh orang akan kota Jakarta?  Survei membuktikan bahwa jawaban terbanyak adalah: macet!

Macet adalah dampak dari sebuah kota yang kurang terrencana.  Setiap hari, tiga juta orang harus bergerak dari luar Jakarta untuk bekerja di Jakarta.  Mereka harus tinggal di luar Jakarta, karena di Jakarta tidak lagi tersedia permukiman yang layak dan terjangkau oleh mereka.  Sementara itu, penciptaan lapangan kerja masih tetap berpusat di Jakarta.  Akibatnya timbul pergerakan massal.  Celakanya, untuk pergerakan massal ini tidak tersedia sarana transportasi massal yang memadai.  Jalur kereta api kita sangat terbatas, kumuh dan tidak aman.  Konsentrasi penduduk yang sangat tinggi ini juga kurang ditopang dengan sarana dan prasarana yang memadai, seperti air bersih, pengolahan sampah, taman bermain apalagi fasilitas penanggulangan bencana.  Kata Gubernur DKI Fauzi Bowo, Ruang Terbuka Hijau di DKI tinggal 9,1 persen, padahal menurut Undang-Undang no 26/2007 tentang Penataan Ruang mestinya 30 persen.  Makanya setelah macet, Jakarta juga langganan banjir.  Kalau dikatakan itu karena letak geografisnya yang lebih rendah dari muka air laut pasang, maka Amsterdam di Belanda sebenarnya lebih rendah lagi, yakni rata-rata tujuh meter di bawah muka laut), tetapi kota itu sudah sekian puluh tahun tidak pernah kebanjiran.   Sedang kalau dikatakan bahwa Jakarta seperti itu karena populasi yang sangat tinggi, maka sebenarnya populasi Jakarta dan sekitarnya belum ada setengahnya Tokyo Jepang yang saat ini berpenduduk 39 juta jiwa.  Saat ini Tokyo adalah kota terbesar dan terpadat di dunia, yang juga menghadapi ancaman bencana seperti gempa dan taifun.  Namun siapapun yang pernah ke Tokyo tidak mendapati masalah seperti yang dihadapi Jakarta kecuali masalah itu teratasi.

Kuncinya adalah usaha tak pernah henti untuk merencanakan kota dengan baik, melaksanakan rencana dan mengawasinya supaya tidak ada pelanggaran.  Ada banyak teknologi yang dapat dilibatkan agar penataan kota itu berjalan optimal.  Dan ini pernah dilakukan di kota-kota besar Khilafah Islam seribu tahun yang lalu!

Seribu tahun yang lalu, tidak banyak kota besar di dunia dengan penduduk di atas 100.000 jiwa.  Menurut para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler, Baghdad di Iraq memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M.  Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa.  Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibu kota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.

Namun sebagaimana laporan para pengelana Barat, baik Baghdad maupun Cordoba adalah kota-kota yang tertata rapi, dengan saluran sanitasi pembuang najis di bawah tanah serta jalan-jalan luas yang bersih dan diberi penerangan pada malam hari.  Ini kontras dengan kota-kota di Eropa pada masa itu, yang kumuh, kotor dan di malam hari gelap gulita, sehingga rawan kejahatan.

Pada 30 Juli 762 M Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad.  Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibu kota Khilafah.  Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga konon dia berucap, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.

Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia.  Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibu kota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.

Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa.  Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota.  Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota.  Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 Kilometer.  Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah percaya bahwa itu saat yang tepat, karena air Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir.  Memang ada sedikit astrologi di situ, tetapi itu bukan pertimbangan utama.  Batu bata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 centimeter pada seluruh seginya.  Abu Hanifah adalah penghitung batu bata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air baik untuk pembuatan batu bata maupun untuk kebutuhan manusia.

Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.  Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.

Namun perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan.  Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut.  Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.

Tak heran bahwa kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibu kota Kekaisaran Persia yang terletak 30 Kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada perang al-Qadisiyah pada tahun 637.  Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al Rasyid pada awal abad 9 M.

Kejayaan Baghdad baru surut pasca serangan tentara Tartar pada tahun 1258 M, yang terjadi setelah ada pengkhianatan di antara pejabat Khilafah.  Serangan ini berakibat terbantainya sekitar 1,6 juta penduduk Baghdad dan musnahnya khazanah ilmu yang luar biasa setelah buku-buku di perpustakaan Baghdad dibuang ke sungai Tigris, sampai airnya menghitam.