Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Mengatasi Rasa Takut

Monday, April 22nd, 2013

scared-fahmi-amharSemua orang pernah mengalami rasa takut.  Tetapi dalam perkembangannya, rasa takut itu ternyata bermacam-macam alasan dan manifestasinya.

Setiap anak kecil, biasanya takut gelap.  Kadang itu juga karena ditakut-takuti orang dewasa yang mengasuhnya.  Gelap itu “ada setan”.  Kalau nakal nanti dikunci di gudang yang gelap.  Ini takut yang sifatnya mithycal.  Mungkin berfungsi mencegah anak nakal, tetapi sebenarnya tidak baik.

Anak yang pernah kepleset atau tangannya kegores benda tajam akan takut mengalaminya lagi.  Sakit.  Maka dia akan hati-hati.  Ini takut yang sifat fisikal-rasional.  Sepertinya positif, asal tidak lalu paranoid saja, misalnya anak jadi tidak berani jalan sendiri di kamar mandi atau tidak berani pegang pisau.

Anak juga biasanya takut ditinggal ibunya pergi terlalu lama.  Ini takut yang sifatnya relasional (hubungan personal).  Di masa dewasa, tidak ada orang yang tidak takut ditinggalkan orang yang dicintainya, baik kawan, pasangan atau anak.

Anak juga takut tidak kebagian oleh-oleh kalau ibunya pulang.  Ini takut yang sifatnya material.  Kelak kalau dewasa, orang takut tidak kebagian proyek, atau orang lain naik gaji dia tidak naik gaji sendiri.

Dan yang paling ditakuti anak adalah takut dimarahi kalau salah.  Akibatnya dia sering menyembunyikan kesalahan itu.  Ini takut yang sifatnya juridical (hukuman pelanggaran).  Dampaknya bisa dua: anak jadi hati-hati agar tidak salah, atau anak lalu belajar berbohong.  Misalnya, dia bangun kesiangan, sehingga kalau sholat shubuh sudah di luar waktunya.  Ketika ditanya, dia bisa saja berbohong, bahwa dia tadi pagi sudah sholat terus tidur lagi.  Karena dia tahu bahwa kalau ngomong apa adanya, dia bisa dimarahi, atau bahkan dihukum tidak boleh nonton kartun seminggu.  Kalau ini berlarut hingga dewasa, dia akan belajar untuk berpura-pura, hidup dalam sembunyi pencitraan.

Ketika sang anak sekolah, dia menghadapi beberapa rasa takut yang baru.  (more…)

Lima Paradigma Hubungan Islam & Sains

Monday, May 14th, 2012

oleh Fahmi Amhar

Science (from Latin scientia, meaning “knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes knowledge in the form of testable explanations and predictions about the universe.

Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.

Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang.  Sains tentang panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM).   Sains tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM).  Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).

Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu.  Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.

Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains.  Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.

1. SAINS – ISLAM

Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”.  Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya sendiri dengan sains.  Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi & langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan.  Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an.  “When the science end, begin the faith”.  Islam memberikan kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta manusia.  Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar diberlakukannya norma tersebut.  Seorang muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.

Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam Qur’an.  Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”.  Mereka menjadikan syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama mencari ilmu itu.  Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh kesyirikan.  Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan.  Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang mengalir terus meski ditinggal mati.  Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.  Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.

2. ISLAMISASI SAINS

Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia.  Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam.  Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu.  Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya.  Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru.  Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.

Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam.  Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah.  Tetapi sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala laboratorium”.  Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji.  Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan kapanpun.  Mengapa?  Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji.  Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.

3. SAINTIFIKASI ISLAM

Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20.  Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah.  Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik.  Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang Hawari.  Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa.  Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik.  Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam.  Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.

4. SAINS TA’WILI

Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20.  Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau eksperimen.  Contohnya adalah, ketika ada ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta.  Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar teknologi ruang angkasa saat ini.  Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”.  Mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri.  Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada.  Existensi es di kutub-kutub bumi tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada.  Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu.  Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri.  Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan adanya evolusi.  Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia.  Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama (ratusan ribu tahun).  Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja.  Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.

Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan.  Ketika ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”.  Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun bisa diklaim begitu saja.  Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu.  Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah.  Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah sudah dikerjakan.

5. SAINS SEKULER

Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan.  Akibatnya, Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya.  Ilmuwan yang masih melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak serius.  Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi.  Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains.  Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.

Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat.  SAINS ISLAM sangat berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi.  Hasilnya: SAINS ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.

(tentang hal ini lihat http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html)

 

Lantas kita akan memilih paradigma yang mana?

SISTEM LEVEL APA YANG INGIN DIGANTI? — Ganti Orang Ganti Sistem

Tuesday, April 24th, 2012

SISTEM LEVEL APA YANG INGIN DIGANTI?

Banyak kalangan menilai bahwa berbagai kemunduran dan kerusakan di negeri ini sudah sangat sistemik.  Oleh karena itu tidak cukup hanya ganti orang, tetapi juga ganti sistem.  Persoalannya, kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan …

Soalnya, ganti orang terkadang otomatis ganti sistem.  Bukankah yang menentukan itu pada akhirnya juga orang?  Istilah kerennya “Not the gun but the man behind the gun” ?   Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin sekedar me-refresh beberapa pengertian sistem dan leveling sebuah sistem itu.

Sesuatu disebut SISTEM kalau ia merupakan “is a set of interacting or interdependent components forming an integrated whole”.  Karena itu sebuah sistem itu (1) memiliki struktur yang terdiri dari komponennya, (2) memiliki pola perilaku (behavior) yang mengolah suatu input menjadi output tertentu secara konsisten, (3) memiliki interkonektifitas bagaimana bagian-bagian sistem saling berhubungan, dan (4) mungkin memiliki beberapa fungsi atau kelompok fungsi.

Dengan pengamatan yang serius, dalam kehidupan ini ternyata dapat diidentifikasi 5 jenis level sistem:

1. Level Praktis – yakni sistem di tataran pelaksana.  Pada umumnya ini cukup lokal.  Misalnya, seorang Kepala Sekolah membuat aturan – kadang tidak tertulis – misalnya seluruh siswa wajib memakai seragam batik tiap Jum’at, atau seluruh siswa wajib menabung di sekolah, atau ada iuran untuk pengadaan AC, atau siswa yang terlambat kena denda Rp. 1000/menit, dsb.  Sebaik apapun tujuannya, semua ini akan berakibat sistemik tetapi hanya pada siswa di sekolah itu.  Kalau ada siswa yang keberatan karena berbagai alasan, mereka pantas protes ke Kepala Sekolah.  Kalau Kepala Sekolah ngeyel, lalu orang tua siswa yang berpengaruh lapor ke Dinas, lalu sang Kepala Sekolah dimutasi, dan Kepala Sekolah penggantinya mencabut beberapa aturan itu, maka dampak sistemik itu juga akan berubah.

2. Level Mekanis – yakni sistem yang sudah dimekaniskan.  Pintu lintasan kereta api atau mesin ATM adalah contoh sistem yang sudah dibuat mekanis.  Pengguna jalan atau pemilik rekening mau tidak mau wajib tunduk.  Sekalipun ada pengguna jalan yang tergesa-gesa untuk suatu persoalan kemanusiaan yang urgen, dia tidak bisa menerobos palang pintu kereta api.  Demikian juga, sekalipun pemilik rekening punya uang 1 Milyar, tetapi kalau quota menarik uang dari ATM dibatasi Rp. 10 juta perhari, ya hanya segitu saja yang bisa dia tarik, tidak ada toleransi.  Untuk mengubah sistem di level mekanis ya harus ke otoritas yang memprogramnya/mengoperasikannya.

3. Level teknis – yakni sistem tatacara kerja yang sudah dibuat prosedur operasional baku (Standard Operating Procedure, SOP).  Misalnya SOP pembukaan rekening bank – yang di bank konvensional pasti akan diberikan bunga.  Atau SOP penerimaan mahasiswa PTN – yang calon mahasiswa akan dikenakan uang pangkal sesuai tingkat penghasilan orang tuanya.  SOP ini sebagian juga dimekaniskan (seperti dalam kasus rekening Bank), tetapi sebagian tidak, sehingga bisa dimainkan.  Namun yang jelas sistem level teknis hanya bisa diubah oleh otoritas yang berwenang, dalam kasus tadi Pimpinan Bank atau Pimpinan PTN ybs.

4. Level juridis – Keberadaan sistem teknis kadang-kadang karena dipayungi atau bahkan diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.  Misalnya, Peraturan Bank Indonesia atau UU Perbankan, atau UU Sistem Pendidikan Nasional.  UU Perbankan mengijinkan bank dengan sistem bunga atau sistem syariah (dual-system).  UU Sisdiknas mendorong peran serta masyarakat dalam pendidikan, yang diterjemahkan dengan kebolehan membuat sekolah swasta, atau kebolehan sekolah negari menarik iuran dari peserta pendidikan dengan sepersetujuan komite sekolah.  Andaikata peraturan perundang-undangan ini tidak membuka keran sistem bunga, atau keran iuran, ya pasti sistem pada level teknisnya tidak mungkin ada — walaupun mungkin akan muncul persoalan lain, misalnya tidak ada lagi orang mau nyimpan uang di Bank, atau mutu sekolah menjadi merosot sekali …  Apapun yang terjadi, level juridis ini biasanya diputuskan tidak oleh satu pihak tetapi banyak pihak, misalnya DPR bersama Pemerintah (Presiden beserta Kabinet).

5. Level politis – Perundang-undangan apapun tergantung pada sistem politis sebuah negara.  Yang dimaksud misalnya konstruksi NKRI, UU45 berikut seluruh amandemennya, adanya lembaga-lembaga seperti DPR, Presiden, MK, BPK dll berikut kewenangannya, juga eksistensi partai-partai politik.  Mengapa Presiden bisa terkunci oleh DPR meski dia dipilih langsung, ini semua adalah sistem di level politis.  Hasilnya tidak bisa langsung ke level praktis, karena pasti melalui juridis, teknis, mekanis dan praktis.  Tetapi jelas level politis ini sangat strategis, dan untuk mengubahnya juga tidak sederhana.  Di Indonesia yang bisa mengubah sistem politis hanya MPR, itupun setelah melalui proses politik yang panjang dan melelahkan.

Di atas level politis ini ada 3 suprasistem lagi, yaitu:

6. Level akademis – Kebijakan politis perlu dasar (atau pembenaran) secara akademis, demikian juga pembuatan hukum (juridis).  Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus “lulus”, kalau dia ingin legitimate & sustain dalam jangka panjang.  Untuk mengganti sistem di level akademis ini berarti kita harus mengganti akademisinya (kalau punya stock :-)), atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan –  dan karena itu tidak mudah!  Revolusi di berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.

7. Level ideologis – Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat tergantung pada ideologi yang mendasarinya.  Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis, atau campuran, atau bukan semuanya?  Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat labil.  Untuk mengubah sistem di level ideologi, mirip seperti di level akademis, yakni mengubah para ideolog, yakni tokoh-tokoh yang paling gencar meyakini, mendukung dan mengemban sebuah ideologi.  Mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam politik atau intelektual, yang faktanya diikuti oleh banyak orang, termasuk para pemegang kekuasaan.

8. Level filosofis – Level ideologis ini hanya akan dipegang oleh orang-orang yang memiliki idealisme.  Jadi ujung-ujungnya memang kembali ke orang lagi.  Tetapi di sini yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki pengaruh besar, bisa pemimpin politik atau “guru bangsa”.  Repotnya, pada level ini ada juga tokoh-tokoh yang sebenarnya miskin idealisme, tetapi bekerja karena kepentingan (interest) atau tekanan (intrik).  Untuk dua jenis mahluk terakhir ini kita tidak ada gunanya bicara ideologi, tetapi harus kita tanamkan dulu kepada mereka keimanan, iman pada akherat, iman kepada qadha & qadar, rejeki dan ajal.  Tentu saja pada para idealist, tetapi ideologinya masih sekuler, kita juga wajib menyampaikan jalan menuju keimanan pada mereka.

Jadi, mari jangan loncat logika … ketika ada jalan rusak, atau sekolah reyot, kita langsung ingin mengganti sistem di level yang tertinggi … jangan-jangan itu cukup level praktis saja, karena Kepala Dinas PU atau Kepala Sekolahnya malas atau korup.

Salam.