Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
June 1st, 2006

Indahnya Ukhuwah Islamiyah

Makalah ini disiapkan sebagai pengantar untuk Kajian Al-Muhajirin, Cagak – Gunungputri, Bogor. 14 April 2002.
Pendahuluan

Dunia ini penuh masalah. Masalah ini ada yang bersifat internal maupun external, ada yang bersifat lokal maupun global. Banyak orang mengeluhkan “keterasingan dalam keramaian” (masalah internal). Orang juga mengeluhkan berbagai krisis yang ada saat ini: ekonomi yang makin “mencekik”, keamanan yang makin rawan, pendidikan yang amburadul, politik yang korup, dsb. (masalah external). Masalah ini terjadi di Indonesia (Ambon, Poso, Aceh, Papua), di dunia kaum Muslimin (Palestina, Afghanistan, dll), dan juga di dunia (krisis lingkungan hidup global, krisis utara-selatan dsb).

Sering terbersit dalam hati banyak orang, mengapa tidak tersisa rasa “kesetiakawanan” antara elit politik dengan rakyatnya yang menderita, antara para konglomerat dengan orang-orang melarat, antara negeri Islam yang kaya migas (Emirat, Kuwait) dengan yang miskin (Bangladesh, Afghanistan) dan antara negara-negara maju (USA, Eropa, Jepang) dengan negara-negara terbelakang.

Semua “dibiarkan” menghadapi nasibnya sendiri-sendiri. Yang sudah diuntungkan oleh “taqdir”, merasa bukan tugasnya untuk peduli dan berbagi, bahkan merasa bahwa yang kurang beruntung itu tidak berpotensi apa-apa untuk diajak bersama-sama menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.

Keadaan seperti ini adalah ciri-ciri keruntuhan suatu peradaban, betapapun besar peradaban itu. Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”-nya menyimpulkan bahwa era kebesaran peradaban besar seperti Mesir atau Romawi Kuno, bahkan Daulah Abbasiyah, berakhir ketika ikatan semangat kesetiakawananan yang menyatukannya mulai memudar. Penulis modern seperti Paul Kennedy pun menyimpulkan hal yang sama. Benarlah firman Allah:

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Qs. 17:16)

Pertanyaannya sekarang: ikatan kesetiakawanan seperti apa yang bisa mengatasi itu semua? Bagaimana menumbuhkannya dan merawatnya agar tidak memudar dan kemudian dilupakan?

Macam-macam Ukhuwah

Ikatan kesetiakawanan disebut juga “ukhuwah”.

Di dunia dikenal beberapa jenis “ukhuwah”.

Secara alami, manusia akan membuat suatu ikatan dengan manusia-manusia lain yang sering berinteraksi dengannya. Maka tidak heran bahwa ikatan yang terkecil adalah ikatan kekeluargaan. Ikatan ini bisa berkembang menjadi ikatan kesukuan/kebangsaan (ukhuwah ashobiyah).

Ikatan yang lain terjadi karena kesamaan domisili, yang dalam cakupan yang luas menjadi ikatan setanah-air (ukhuwah wathoniyah).

Sering pula suatu ikatan muncul karena kesamaan minat atau kepentingan yang perlu diperjuangkan, sebagaimana tampak dalam banyak perkumpulan dan perserikatan (ukhuwah maslahatiyah).

Dan ada pula ikatan karena kecenderungan spiritual yang sama, tanpa suatu sistem untuk urusan non spiritual (ukhuwah ruhiyah bi ghoiri nizham).

Keempat jenis ukhuwah di atas memiliki cacat yang serius. Mereka bersifat emosional, temporal dan reaktif, sehingga tidak akan proaktif mengantisipasi tantangan yang bersifat global dan jangka panjang.

Bahkan ikatan-ikatan itu memiliki efek samping yang berbahaya. Ukhuwah ashobiyah telah menjadi akar penjajahan dan peperangan antar bangsa, atau setidaknya egoisme / egosentrisme nasional. Dan pada level terbatas ia adalah akar nepotisme (pemanfaatan hubungan kekerabatan untuk melawan hukum).

Ukhuwah wathoniyah telah menyulut tawuran antar kampung atau sekolah. Memang bila suatu negeri diserang dari luar, warga negeri itu akan setiakawan. Namun bila serangan itu hilang, kesetiakawanan itu akan terreduksi ke tingkat yang lebih rendah, bahkan sampai ke kampung atau sekolah.

Ukhuwah maslahatiyah akan hilang bila kepentingan bersama itu tidak aktual lagi. Inilah arti “tidak ada teman abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”.

Demikian juga ukhuwah ruhiyah bi ghoiri nizham. Suatu kelompok pemeluk agama tertentu, bisa jadi setiakawan sepanjang menyangkut urusan ritual atau sentimen-sentimen agama. Namun begitu masuk urusan kehidupan bermasyarakat, tiadanya sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang plural, membuat ikatan ini tidak produktif. Ini yang membuat bangsa-bangsa Eropa berabad-abad saling berperang meski mereka sama-sama Nasrani, dan demikian juga saat ini di antara negeri-negeri Islam atau partai-partai Islam yang justru centang perenang, bukannya mensinergikan kekuataannya, namun justru saling mengeliminir satu sama lain.

Bila demikian Ukhuwah Islamiyah itu apa?
Ukhuwah Islamiyah Mabda’iyah

Ikatan yang tidak emosional dan mampu menembus batas-batas ruang dan waktu serta tidak sekedar merupakan reaksi sesaat atas suatu kejadian adalah ikatan ideologis (mabda’iyah). Mabda adalah suatu pemikiran yang mendalam dan menyeluruh, yang di atasnya bisa dibangun suatu sistem (nizham) yang lengkap untuk mengatasi berbagai masalah hidup manusia, menjelaskan cara pelaksanaannya dan memelihara serta mengemban ide tersebut.

Islam adalah salah satu mabda’ itu. Dengan demikian ukhuwah Islamiyah adalah ikatan karena mabda’ Islam, karena diterimanya ideologi Islam, karena diterapkannya sistem Islam – dan bukan sekedar ikatan antar pemeluk Islam yang emosional, temporer dan reaktif saja.

Inilah rahasia, mengapa ikatan ini bisa lintas batas. Islam begitu mudah diterima oleh segala bangsa, di segala lokasi, di segala waktu, dan lebih dari itu, ia produktif. Sejarah Islam telah menunjukkan bahwa pada saat ukhuwah ini masih terjaga dengan baik, peradaban emas Islam diemban bersama-sama oleh bangsa-bangsa dari tepi Atlantik sampai perbatasan Cina, dari ujung Kaukasus sampai ujung Sahara, dari yang berkulit putih sampai yang berkulit hitam, dari yang bermata sipit sampai yang berambut pirang. Bahkan tak cuma muslim saja yang bangga menjadi pemanggulnya. Banyak dari tokoh peradaban Islam yang sejatinya adalah non muslim, namun mereka berkarya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Peradaban Islam ini baru runtuh ketika ukhuwah Islamiyah mabda’iyah digerogoti virus-virus dari ukhuwah jenis lain, yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam pada saat tubuh ummat Islam sedang lemah karena kendurnya dakwah dan jihad.
Menanam dan Merawat Ukhuwah

Menumbuhkan Ukhuwah Islamiyah bukanlah hal yang mudah. Ukhuwah tidak bisa dibeli atau dibuat secara instant (biarpun dengan do’a), namun ia harus ditanam hati-hati dengan pemikiran (tsaqafah) Islam yang jernih; lalu dipupuk, disiram dan dijaga dari hama dengan amal-amal Islam yang tulus dalam kerangka sistem Islam.

Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (Pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min. Dan Yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. 8:62-63)

Contoh pemikiran Islam yang terbukti telah mampu menumbuhkan ukhuwah pada dimensi global adalah semangat egaliter dalam Islam:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. 49:13)

Sedang contoh amal Islam yang diajarkan untuk merawat ukhuwah dari hari ke hari misalnya:

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Qs. 41:34)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. 49:11)

Masih banyak amalan-amalan praktis sehari-hari yang diajarkan Rasulullah yang mampu menanam dan merawat ukhuwah, dan menjadikan manusia merasakan sejuknya ukhuwah Islamiyah. Yang jelas, ukhuwah ini baru akan produktif menjawab segala masalah bila kita jadikan sistem Islam sebagai al-miqyas (tolok ukur) dalam segenap amalan kita, baik yang sifatnya individual maupun sosial.

Wallahu ‘alam bis shawab.

Bacaan Lanjut

Abdullah Nashih Ulwan: Merajut Keping-keping Ukhuwah. CV Ramadhani, 1989.

Fauzy Sanqarith: Taqarrub ilallah thariqut-taufiq. Daarun Nahdlah al Islamiyah, Beirut. 1997.

Ibnu Khaldun: Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, 2001.

Paul Kennedy: The Rise and Falls of Great Powers. Random House, New York, 1987.

Penulis adalah alumnus Vienna University of Technology, Austria; dan saat ini aktif sebagai Peneliti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Cibinong; Aktivis Pusat Studi dan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Bogor; dan Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta.

Tags:

.

Leave a Reply