Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
August 10th, 2006

Masalah Pertanahan Pasca Bencana

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Bencana apapun, gempa, tsunami, erupsi gunung berapi, banjir, lumpur panas dan sebagainya akan meninggalkan setumpuk pekerjaan rumah.  Sekian orang meninggal, yang lain luka-luka atau mengungsi.  Sekian orang kehilangan mata pencahariannya.  Sekian anak putus sekolah.  Sekian kekasih kehilangan yang dicintainya, menjadi yatim atau janda.

Di antara PR itu yang kurang mendapat perhatian adalah masalah pertanahan.  Filosofinya: orang yang telah menderita itu sebaiknya jangan ditambah lagi dengan kehilangan hak-hak atas tanah miliknya.

Di Aceh, sekian ratus hektar tanah, setelah tsunami tiba-tiba menjadi bagian dari laut, setelah ketinggiannya kini lebih dari semeter di bawah muka laut rata-rata.  Di beberapa tepi sungai di Sulawesi yang belum lama ini banjir, sekian tanah dan bangunan di atasnya terkena erosi, sehingga kini penghuninya yang masih hidup tak tahu lagi, di mana harus membangun kembali.  Di lereng Merapi, sekian petani tiba-tiba mendapatkan sawah atau kebunnya telah menjadi padang batu lava.  Di Sidoarjo, ribuan orang kehilangan rumah dan sawahnya yang tergenang lumpur panas, tanpa tahu kapan mereka dapat kembali hidup seperti semula.

Sebenarnya peristiwa kehilangan tanah ini tidak hanya terjadi saat ada bencana.  Bisa pula ini karena politik kehutanan atau pertambangan yang belum peduli rakyat kecil, terutama yang hidup dalam masyarakat adat.  Di banyak tempat di Sumatera, Kalimantan dan Papua, ratusan masyarakat adat tiba-tiba kehilangan akses ke hutan yang sudah mereka huni berabad-abad, bahkan sejak sebelum adanya Republik Indonesia.  Tiba-tiba tanah-tanah mereka itu dinyatakan sebagai tanah negara, lalu diserahkan kepada pengusaha HPH, perkebunan sawit atau pertambangan.

Pertanyaannya, bagaimana solusi pekerjaan rumah ini, dan siapa yang harus melaksanakan solusi ini?

Berbeda dengan asset lainnya, tanah adalah barang tak bergerak yang juga bukan buatan manusia.  Secara adat dan juga menurut syariat Islam, manusia berhak atas tanah yang dia hidupkan.  Maksud “dihidupkan” misalnya dibuat bangunan atau dikelola sehingga produktif.  Asal muasalnya, tanah di dunia ini bukan milik siapa-siapa.  Ia hanya milik Sang Pencipta.

Baru sejak adanya hukum positif yang diterapkan Belanda, tanah yang bukan milik pribadi dinyatakan sebagai milik negara.  Pribadi yang ingin memiliki tanah dari tanah negara itu, wajib memohon dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.  Mereka lalu mendapat secarik surat dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.  “Lumayan”.  Tanah yang tadinya tidak menghasilkan “apapun”, kini menghasilkan – minimal – pajak.

Banyak dampak dari politik pertanahan ini.  Di daerah-daerah terpencil, masyarakat adat menjadi terancam eksistensinya, karena tiba-tiba tanah-tanah mereka – yang jelas belum bersurat itu – tiba-tiba diklaim oleh pengusaha yang telah membayar biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Pengusaha yang mendapatkan tanah itu secara legal, terkadang hanya menjadikan tanah-tanah itu objek jarahan – ketika masih ada kayunya – atau spekulasi.  Kalau ini terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab, tentu tanah yang ditelantarkan seperti ini akan ditarik lagi oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang lebih mampu mengelolanya.

Sementara itu, di daerah-daerah yang lebih ramai, orang sudah agak lupa asal muasal kepemilikan tanah adalah seperti itu.  Di bayangan banyak orang, tanah hanya dapat dimiliki dengan cara dibeli atau diwarisi.  Walhasil ketika tanahnya hilang oleh bencana, mereka jadi putus asa.

Sesungguhnya, tanah-tanah korban bencana, bila itu sudah mustahil direstorasi, selayaknya dideklarasikan menjadi milik umum, dan kepada yang bersangkutan diberikan ganti rugi yang sesuai, sehingga dapat bereksistensi seperti sedia kala.  Kenapa dijadikan milik umum, hal itu karena tanah itu dipandang sebagai buffer bagi kemaslahatan umum, buffer dari erosi, erupsi gunung berapi, tsunami dan sebagainya.

Sedang bila tanah itu bisa direstorasi, misalnya tanah bekas tsunami direklamasi lagi, tentu saja pemilik sebelumnya lebih berhak, tentunya setelah pekerjaan reklamasi itu dibayar dengan sepadan.

Dalam hal ini, status kepemilikan tanah perlu diperluas dari dua macam (milik pribadi – milik negara) menjadi tiga macam (milik pribadi – milik negara – milik umum).  Tidak selayaknya negara mengalihkan kepemilikan negara kepada pribadi / swasta, ketika tanah itu sebenarnya milik umum, kecuali dipastikan tidak ada hak umum yang dilanggar.  Jadi aspek ekologis, sosial, termasuk hak masyarakat adat harus diperhatikan.  Sementara itu tanah pribadi dapat dijadikan milik umum setelah dibayar ganti ruginya, atau bila oleh pemiliknya telah diwakafkan.  Karena itu sudah saatnya pendataan tanah yang ada di negeri ini terintegrasikan.

Selama ini, ada dua institusi pendaftar tanah di Indonesia. Pertama Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk tanah milik.  Kedua Departemen Kehutanan yang mendaftar tanah hutan.  Data luas tanah dari kedua lembaga ini bila dijumlah akan jauh lebih besar dari luas resmi seluruh daratan Indonesia saat ini.  Ini indikasi banyak tumpang tindih karena sistem yang kusut dan administrasi yang tidak rapi.

Semoga bencana yang bertubi-tubi menggugah segenap pihak – terutama pemerintah – untuk membenahi sistem pertanahan negeri ini.  Agar mereka korban bencana tidak terus gigit jari disuguhi mimpi.

Qur’an berkata: Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi dan memperhatikan akibat (perbuatan) orang-orang sebelum mereka. Orang-orang itu lebih kuat dan telah mengolah dan memakmurkan bumi lebih banyak dari mereka.  Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan bukti-bukti yang nyata (namun mereka mengingkarinya).  Maka Allah sekali-kali tidak zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (Qs. 30 ar-Rum:9)

Tags: ,

.

Leave a Reply