Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for November, 2006

Laboratorium Geospasial

Thursday, November 16th, 2006

Oleh : Dr Ing Fahmi Amhar
Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Jumat, 17 November 2006

PARANGTRITIS bakal kian menarik. Even yang dilakukan, jangka panjangnya bakal menjadi sebuah ‘kekayaan’ baru DIY. Tentu tidak terkait dengan peristiwa (demo) akhir-akhir ini. Namun Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerjasama dengan Badan Pariwisata DIY menggelar Festival Ekowisata Pesisir Parangtritis 2006. Festival yang digelar 18-19 November ini sekaligus menandai peresmian Laboratorium Geospasial Parangtritis.

Lab ini akan menjadi suatu lab yang unik. Seunik fenomena gumuk pasir di sana. Gumuk pasir ini adalah buah perkawinan ekosistem Gunung Merapi, Sungai Opak dan Laut Selatan. Indonesia – dan terutama DIY – mendapat karunia yang luar biasa berupa fenomena yang sulit dicari padanannya di dunia.

Indonesia adalah negara dengan pesisir tropis terpanjang di dunia. Di pulau Jawa bagian selatan saja, kabupaten-kabupaten pesisir membentang dari Pandeglang hingga Banyuwangi. Namun pustaka tentang kepesisiran masih cukup langka. Maka di lab itu pertama-tama akan dibangun perpustakaan pesisir yang terlengkap di dunia – Insya Allah, beserta peta-petanya dari masa ke masa, serta teknologi geospasial pendukungnya, yaitu Global Positioning System (GPS), Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografi. Berbagai peralatan peraga iptek geospasial ini akan disediakan oleh Bakosurtanal, BPPT dan LAPAN dan mungkin juga Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Lab – dan juga festival ini – memang dimaksudkan untuk mendekatkan sains informasi spasial pesisir ke masyarakat.

Lab ini idealnya memang diintegrasikan dalam suatu taman wisata bertema pesisir (Coastal-Themapark). Agar pengunjung mudah memahami fenomena gumuk pasir yang bisa berpindah-pindah ini, ada baiknya dibangun simulator peraga. Mungkin mirip simulator gunung berapi di suatu tempat wisata di Malang Jawa Timur. Atau setidaknya setiap pengunjung akan disuguhi peragaan multimedia terbentuknya gumuk pasir.

Yang sudah pasti, di depan lab yang dibangun Bakosurtanal akan dipasang pilar dengan angka koordinat GPS dan dilengkapi dengan penunjuk arah meridian, jam matahari, dan informasi batas-batas laut dari pilar tadi sebagai garis pangkal (garis pasang tertinggi Highest Astronomical Tide, garis rata-rata Mean Sea Level, garis surut terrendah Lowest Astronomical Tide, batas teritorial, batas ZEE, Landas Kontinen).

Kepedulian akan pesisir juga mencakup informasi kelautan, dari potensi hayati, mineral sampai potensi energi (Pasang Surut, gelombang dan perbedaan suhu air laut ocean thermal energy conversion). Menurut Prof Rokhmin Dahuri, potensi ekonomi kelautan Indonesia kalau diolah dengan benar dapat mencapai Rp 256 Triliun pertahun, serta menyerap 10 juta tenaga kerja.

Selanjutnya lab alam Parangtritis ini mestinya menjadi tempat bertemu para peneliti kearifan lokal. Saya yakin banyak sekali kearifan lokal dari Ujung Kulon sampai Blambangan yang perlu dipertemukan, didokumentasikan dan direkomendasikan untuk diterapkan. Kearifan ini bisa berupa budi daya ikan di laut hingga, pengolahan ikan pasca panen tanpa formalin, dan budaya menghadapi bencana laut mulai dari abrasi hingga tsunami dan sebagainya.

Badan Pariwisata DIY konon bahkan telah membuat suatu landasan kecil untuk didarati oleh pesawat layang bermesin (trike). Kalau begitu festival tersebut dapat sekalian dijadikan festival trike, atau kalau belum sanggup ya cukup festival layang-layang saja, sebagaimana saat ini sudah dilakukan secara teratur di Bali.

Para pecinta olahraga juga dapat memanfaatkan lab alam itu untuk ‘sensing’ yang lain. Saya teringat pada perguruan beladiri tangan kosong Merpati Putih yang melatih kepekaan batin sehingga orang bisa bernavigas dengan mata tertutup. Saya rasa ‘another sensing’ ini akan banyak menarik perhatian para ahli remote sensing dari seluruh dunia.

Dan bicara ‘kesaktian’ semacam ini, lab alam ini dapat juga dipakai untuk penelitian hantu (!). Konon teman-teman peneliti yang telah berada di lab itu sering melihat penampakan. Ya paling tidak – kata mereka – nanti bisa muncul di acara ‘Dunia Lain’ atau ‘Uji Nyali’.

Festival ini dimaksudkan untuk memperkenalkan lab alam tersebut, sekaligus menarik perhatian masyarakat pada dunia ilmu kepesisiran dan geospasial. Untuk itu, idealnya festival pesisir ini diadakan tidak cukup sekali ini, namun dapat dijadikan agenda tahunan. Dalam festival tahunan ini, dapat diadakan acara populer seperti Lomba Membuat Peta bagi Non Spesialis (Peta berbasis masyarakat), acara camp training kecerdasan spasial anak-anak (‘Geospatial Kids’) hingga acara yang serius semacam Forum Ilmiah atau Seminar.

Yang jelas, keberadaan gumuk pasir harus kita syukuri. Kalau kita syukuri secara proaktif, kreatif dan produktif, Insya Allah nikmat itu ditambah ke berbagai dimensi nikmat yang lain.

(Penulis adalah Peneliti Utama Bakosurtanal)-

Kemungkinan Empat Lebaran 1427H

Thursday, November 2nd, 2006

oleh Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Praktisi Astronomi Falakiyah, Peneliti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta (www.kr.co.id) tgl 19 Oktober 2006

Benarkah tahun ini ummat Islam bakal sholat Iedul Fitri pada dua hari yang berbeda?

Jawabannya: tidak, melainkan pada EMPAT hari yang berbeda?

Apa benar?  Koq bisa?

Jawaban ringkasnya: demikianlah, karena ummat Islam tidak bersatu dan tidak memiliki institusi pemersatu di level global.

Jawaban cerdasnya: ini persoalan yang memerlukan perhatian segenap pihak.  Perbedaan ini bukan sekedar masalah hisab vs rukyat.  Bukan pula sekedar karena perbedaan negara bangsa.  Bahkan sesama mazhab hisab atau rukyatpun sesungguhnya berbeda pendapat.

Organisasi Persis dan Muhammadiyah, sama-sama memakai hisab mutlak.  Namun mereka berbeda pendapat tentang kriteria masuk tanggalnya.  Persis memakai kriteria hilal dua derajat di atas horizon sedang Muhammadiyah mencukupkan diri dengan 0 derajat (“wujudul hilal”), ini menurut kalkulasi bagi suatu tempat tertentu di saat maghrib.  Karena itu, kalkulasi ini sangat tergantung pilihan tempatnya.

Untuk Indonesia Barat, menurut Muhammadiyah, tgl 23 Oktober 2006 ini sudah masuk 1 Syawal.  Namun untuk Indonesia Timur, belum masuk.  Sedang menurut kriteria Persis, semuanya belum masuk, karena hilal tertinggi pada Ahad 22 Oktober 2006 di wilayah Indonesia itu kurang dari satu derajat.

Terus mana yang benar secara ilmu astronomi?

Secara astronomi modern, kalkulasi poin-poin kunci dalam hisab falakiyah itu sudah sangat akurat.  Data ijtima’ (miladul hilal, moon conjunction), umur bulan dan irtifa’ (sudut elevasi hilal di atas horizon) itu dapat dihitung dengan akurat dan para astronom di seluruh dunia tidak berbeda pendapat.

Persoalannya, bagaimana menerjemahkan sabda nabi untuk melihat hilal (rukyatul hilal) itu ke suatu momen astronomis yang terukur dan calculable ?

Sebelum masa Islam, kalender qomariyah sudah ada dan dibuat berdasarkan rumus-rumus urfiyah yang pasti dan konsisten.  Dalam sistem urfi ini, bulan Sya’ban selalu 29 hari sedang Ramadhan 30 hari.  Namun sejak Nabi menyuruh melakukan rukyat, maka yang sering terjadi, Sya’ban teristikmalkan (tergenapkan 30 hari) dan Ramadhan menjadi 29.  Persoalannya, rukyatul hilal menyangkut tiga aspek faktual:, yaitu A (Astronomi), B (Baik-buruknya pengamat dan lingkungan pengamatan) dan C (Cuaca).  Dari tiga hal ini hanya faktor A yang dapat dihitung.  Allah dan RasulNya tentu amat memahami wisdom di balik ketentuan ini.

Hilal awal bulan selalu terlihat di ufuk barat tak lebih dari setengah jam setelah Maghrib.  Setelah itu bulan ikut terbenam.  Sebelum matahari terbenam, cahaya bulan yang masih kurang dari 1% dibanding purnama, akan kalah oleh silau matahari yang puluhan ribu kali lebih cerah.

Para ahli hisab hanya berbeda pendapat tentang momen astronomis yang pantas untuk pergantian bulan kalender Hijri.  Perbedaan ini muncul karena penafsiran berita-berita rukyatul hilal sebelumnya yang diklaim sukses saat dicocokkan dengan data hisab.  Dari segi metodologis, hal ini terjadi karena data rukyatul hilal cenderung mengandalkan klaim kesaksian, tanpa didukung peralatan scientifik seperti alat teleskop dengan fotografi atau perekam citra.  Mereka mempertaruhkan semuanya pada asumsi bahwa para perukyat tidak akan berbohong.  Asumsi ini tentu saja bisa dikritisi, karena orang yang tidak berbohong dapat saja tersalah atau keliru.

Akibatnya mazhab hisab belum pernah sepakat: Muhammadiyah memegang 0 derajat (wujudul hilal) sedang Persis 2 derajat.  Di dunia ada beberapa pendapat lain sepeti Ijtima’ qabla ghurub (moon-conjunction before sunset) atau Ijtima qabla fajr (moon-conjunction before dawn).  Jadi semisal di hari Jum’at malam baru ijtima’ maka Sabtunya sudah tanggal baru, karena terjadi sebelum Sabtu fajar.

Ada juga pendapat yang semata-mata menggunakan umur bulan.  Jadi kalau bulan sudah empat jam setelah ijtima’, dianggap pastilah kelihatan.  Padahal belum tentu juga, karena hal itu sangat tergantung posisi lintang bujur tempat itu, azimut matahari dan azimut bulan.  Pada kondisi yang paling ideal, penelitian yang serius mendapatkan umur termuda bulan bisa dirukyat adalah 8 jam.  Pada kondisi yang tidak ideal bisa lebih dari 20 jam belum terrukyat.

Jadi rumit juga ketika orang sudah memiliki opini “pasti kelihatan”, kemudian dia merukyat, dan menyangka apa yang dilihat matanya pastilah hilal.

Para astronom tidak akan segegabah itu.  Untuk memastikan faktor A memang mudah – tinggal lihat kriterianya.  Namun bagaimana dengan faktor B?  Apakah kita wajib menerima laporan hilal dari orang yang diketahui rabun jauh?  Atau tinggal di tengah kota?  Atau kita tahu pasti sedang diguyur hujan?

Karena itu dalam mazhab rukyatpun ada sejumlah ikhtilaf.  Pandangan terklasik adalah wajib menerima setiap laporan hilal selama si pelapor adalah seorang muslim mukallaf.  Pandangan lain memberi peluang menolak laporan itu kalau faktor A, B atau C tidak masuk akal.  Meski begitu, ini bukan berarti pindah menjadi mazhab hisab, karena hisab hanya untuk menegasikan laporan yang berada di area mustahil.  Hisab tidak untuk menyatakan “ya sekarang masuk tanggal”.  Untuk itu tetap hasil rukyat yang dipakai.  Selain itu juga ada masalah rukyat lokal dan global.

1427 H

Contoh untuk 2006: ijtima’ awal Ramadhan terjadi Jum’at 22 September pukul 11:45 UT (=18.45 WIB).  Pada saat itu ada gerhana matahari sebagian.  Gerhana matahari memang pertanda bulan baru, namun bukan hilal.  Di seluruh Indonesia, Jum’at sore itu hilal masih di bawah ufuk (belum wujud).  Walhasil NU dan Muhamadiyah akan sepakat, Sabtu belum 1 Ramadhan, walau Jum’at sore itu NU tetap merukyat.  Namun di Afrika Selatan, Jum’at sore hilal sudah wujud.  Bagi yang bermazhab hisab wujudul hilal, di Afrika Selatan Sabtu sudah 1 Ramadhan.

Faktanya di Saudi, Jum’at sore lalu sudah ada yang mengklaim melihat hilal dan disahkan oleh negara.  Sejumlah negara Timur Tengah mengikuti Saudi.  Secara teoretis astronomis, rukyat di Saudi mustahil karena umur bulan baru 4 jam dan bulan terbenam sebelum matahari.  Yang lebih mungkin terjadi, para pengamat optimis dengan yang mereka lihat karena terbawa kriteria hisab yang dipakai Libya, yaitu ijtima’ qobla ghurub atau qobla fajr.

Di beberapa negeri seperti Iran, India dan Pakistan, sistem kalender mereka sudah beda, sehingga mereka baru merukyat hari Sabtu – dan belum berhasil, dan karena yang dipakai hanya rukyat lokal maka diistikmal dan puasa dimulai pada hari Senin.  Kalau mereka menggunakan rukyat global, maka akan mendapatkan info keberhasilan rukyat pada Sabtu sore di negara lain (Eropa misalnya) seperti yang dilaporkan di www.icoproject.org, sehingga juga akan memulai puasa pada hari Ahad.

Hal serupa akan terulang untuk Syawal.  Karena ada tiga awal puasa, maka dengan memperhitungkan yang istikmal karena rukyat lokal, bakal ada 4 hari raya.  Ahad 22 Oktober, di beberapa negara Timur Tengah sudah puasa 30 hari, jadi mau tak mau 23 Oktober harus Ied.  Sementara itu di Indonesia baru 29 hari.  NU baru akan merukyat Ahad sore itu.  Sedang Muhammadiyah sudah bisa mematok Senin 23 Oktober Ied, karena hisab menunjukkan bulan sudah di atas ufuk untuk sebagian wilayah Indonesia (bagian barat), atau juga memutuskan istikmal untuk Indonesia timur (jadi Selasa 24 Oktober).  Meskipun ada pandangan untuk memandang Indonesia sebagai satu wilayah hukum, disadari tidak mudah untuk memilih satu pendapat tadi.  Dalil-dalil global yang ada adalah untuk rukyat, bukan untuk hisab.

Bagi yang mulai berpuasa pada Sabtu 23 September, Sabtu 21 Oktober mereka sudah puasa 29 hari, jadi sorenya akan merukyat.  Bisa saja ada klaim hilal telah terlihat sehingga Ied pada Ahad 22 Oktober.  Padahal ijtima’ sendiri baru terjadi Ahad 22 Oktober 2006 pkl 05:13 UT (12:13 WIB), sehingga klaim ru’yat tersebut akan aneh sekali.  Tapi yang seperti ini sudah pernah berkali-kali terjadi.

Bagi yang mulai berpuasa pada Senin 25 September, maka pada 23 Oktober mereka baru puasa 29 hari, sehingga baru Senin sore itu mereka merukyat untuk syawal.  Bila di tempat mereka berawan, sementara mereka bermazhab rukyat lokal, maka mereka akan istikmal, dan baru Ied pada Rabu 25 Oktober.  Andaikata mereka mau beralih ke rukyat global, maka peluang hilal terlihat Senin sore itu di negara lain cukup besar, karena mayoritas sudah di atas 5 derajat, sehingga Ied dapat Selasa 24 Oktober.

Dalam menghadapi keragaman ini, di mana otoritas resmi kurang dipercaya, mau tak mau ummat akan berpegang pada siapa yang mereka percaya, entah ustadz, pimpinan organisasi ataupun kabar dari luar negeri, misalnya Saudi.

Untuk ibadah mahdhoh, sebenarnya tidak diperlukan kepastian yang tinggi, melainkan cukup dugaan kuat (ghulabatud dhon).  Seperti halnya saat orang tidak tahu arah kiblat, maka dia boleh sholat ke arah mana saja yang diperkirakan benar.  Andaipun ternyata keliru, dia tidak harus mengulang sholatnya.  Yang penting satu sama lain tidak saling memvonis salah atau sesat.  Sentimen politis tak perlu dibawa-bawa.  Para astronom juga jangan dilibatkan bila sekedar ingin mencari pembenaran.

Dalam jangka panjang, karena ibadah puasa atau haji memiliki unsur sosial, peran penguasa yang kredibel, yang “keputusannya mampu menghentikan perbedaan” sangat dinantikan.  Dialah yang nanti bertanggungjawab mengadopsi landasan fiqih yang kuat, metode hisab yang akurat, syarat-syarat rukyat yang tepat, hingga penyebaran informasi secara global yang cepat.  Dan untuk mencapai kredibilitas itu, tak ada cara lain selain bahwa para penguasa ini harus mengurus ummat dengan syariat, dan menyatukan dunia di bawah sistem khilafat, agar selamat dunia akherat.