Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for January, 2012

Mensinergikan Tulisan Ilmiah Dengan Tulisan Inspiratif

Thursday, January 26th, 2012

Sebuah tulisan, agar dia menjadi produktif, bermanfaat bagi kehidupan, tidak harus ilmiah!

Mungkin tidak semua ilmuwan setuju pernyataan ini.  Bahkan anak-anak yang baru lulus sarjana, ketika membaca buku saya tentang “Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam (TSQ-Stories)” memprotes, bahwa buku itu tidak memuat catatan kaki maupun daftar pustaka sebagai lazimnya karya ilmiah.  Padahal di Sekapur Sirih (Pendahuluan) buku itu memang ditegaskan bahwa buku itu tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah!

Namun sebaliknya, ada beberapa mahasiswa S2 dan S3 yang ghirah Islamnya sangat tinggi, justru meminta judul tesis atau disertasi terkait syariah atau Studi Islam, bahkan beberapa terang-terangan meminta saya kalau bisa menjadi salah satu pembimbing mereka.  Ada yang temanya terkait “Pembangunan Infrastruktur dalam Daulah Islam”, “Penataan Kota di masa Khilafah”, “Geostrategi Perspektif Islam”, “Islamic-Economics”, “APBN Syari’ah”, “Audit Syariah”, “Pajak dalam Islam”, “Fisika Qur’ani” dan sebagainya.  Mereka berasal dari fakultas yang berbeda-beda, ada yang Magister Studi Islam, Magister Ekonomi, Fisipol, bahkan FMIPA dan Fakultas Teknik.

Tentu saja, dunia ilmiah modern – yang diawali oleh kaum muslimin – memiliki tradisinya sendiri.  Anda sama sekali tidak layak menjadi pembimbing skripsi, tesis apalagi disertasi, kalau anda belum menunjukkan prestasi ilmiah di bidang itu. Dan prestasi ilmiah diukur dari pendidikan atau penelitian yang dibuktikan dari publikasi ilmiah.  Sekali lagi publikasi ilmiah!

Publikasi ilmiah tampak dari dua hal:

1. Tulisan itu dibuat dalam style ilmiah, yakni setiap pernyataan dilengkapi dengan kutipan yang bisa ditelusuri dari buku apa karangan siapa terbitan mana tahun kapan dan halaman berapa, atau didapat sendiri dari data yang diolah sendiri. Boleh saja itu merupakan topik tentang agama, tetapi dari awal langsung kelihatan bahwa itu tulisan ilmiah, ketika setiap pernyataan disebutkan bahwa itu misalnya dari Qur’an ayat berapa, atau Hadits Riwayat Bukhari nomor berapa, atau ijtihad Imam Syafi’i di kitab apa halaman berapa.

2. Tulisan itu dimuat di sebuah jurnal ilmiah atau prosiding konferensi ilmiah yang spesifik, tidak terlalu lebar.  Jadi kalau menyangkut pendapat di bidang ekonomi syariah, tentunya harus di konferensi ilmiah para ahli ekonomi syariah, bukan di konferensi para ahli hukum, atau di rembug nasional yang audiensnya nano-nano.

Dari sini jelas, bahwa meski di sebuah publikasi ilmiah bisa menyitir sebuah dalil dari al-Qur’an, tetapi al-Qur’an sendiri bukan buku ilmiah !  Ingat itu !  Bukan berarti al-Qur’an isinya tidak ilmiah yang berkonotasi banyak salahnya, tetapi al-Qur’an tidak ditulis dalam style publikasi ilmiah.

Jadi kebenaran sebuah bacaan tidak tergantung dengan apakah ia ditulis dalam style ilmiah atau bukan.  Hanya saja, bacaan yang ditulis dalam style ilmiah lebih mudah ditelusuri tingkat kebenarannya.  Sebaliknya, kebenaran al-Qur’an hanya dapat didekati ketika orang sudah beriman.  Orang bisa beriman, ketika melihat bahwa al-Qur’an memiliki kualitas bahasa yang supranatural, yang tidak mungkin manusia bisa membuatnya.  Orang yang tidak beriman dan mengingkari kemukjizatan al-Qur’an, tidak akan mendapatkan sedikitpun manfaat dari al-Qur’an.

Kalau al-Qur’an saja bukan buku ilmiah, maka demikian pula dengan sederet buku yang inspiratif.  Baik itu buku-buku motivasional, buku-buku yang mendorong kita menjadi enterpreneur sukses ataupun buku-buku perjuangan.  Tulisan Bill Gates (Microsoft) tentang masa depan IT di News Week tahun 1991 ataupun orasi Steve Jobs (Apple) di Stanford University bukanlah tulisan ilmiah, sekalipun super-inspiratif, dan faktanya telah membentuk IT menjadi seperti sekarang ini.

Demikian juga tulisan perjuangan ideologis di manapun, entah itu karya Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Bung Hatta, Hasan al-Bana, Taqiyyuddin an-Nabhani dll, bukanlah buku ilmiah, dan mereka memang tidak ingin tulisannya hanya sekedar berakhir di suatu perpustakaan ilmiah.  Mereka ingin tulisan-tulisan mereka menggerakkan sebuah masyarakat untuk bertransformasi sesuai dengan cita-cita yang mereka perjuangkan.

Karena itu, kalau Anda ingin menselaraskan perjuangan ideologis dengan kehidupan akademis, dan Anda serius ingin meng-ilmiah-kan pendapat yang sudah Anda yakini dari buku-buku yang inspiratif tadi, maka Anda harus berjuang lebih keras.  Anda tidak cukup hanya mengutip satu dua buku inspiratif yang sudah “taken-for-granted” itu, kecuali kalau riset Anda sekedar studi komparasi pendapat antara beberapa tokoh inspiratif.

Tetapi kalau Anda serius ingin menunjukkan sisi-sisi ilmiah dari -misalnya- ekonomi Islam, maka Anda harus mencari banyak kutipan dari publikasi ilmiah terkait, serta data berbagai hal dari sumber yang otoritatif.

Kalau Anda beruntung, mungkin cukup membuka scholar.google.com Anda akan ketemu banyak jurnal yang tersedia online yang membahas salah satu aspek dalam ekonomi Islam.  Namun mungkin mayoritas berbahasa asing.  Mungkin bahkan kata kunci yang harus Anda masukkan harus dalam bahasa Arab, Urdu, Persia atau Turki.  Untung sekarang juga sudah ada translate.google.com.

Demikian juga, kalau bicara angka statistik misalnya perbandingan jumlah pria : wanita, maka Anda harus mengacu kepada data Statistik Nasional yang resmi, sekalipun mungkin Anda menuduh bahwa mereka sudah berkonspirasi memalsukan angka-angka itu untuk sebuah kepentingan politik tertentu.  Boleh saja Anda menuduh, kalau Anda juga memiliki angka lain dari sumber lain yang kurang lebih sama atau lebih baik reputasinya di bidang statistik.

Tetapi kalau ternyata Anda memang tak sanggup untuk menghadirkan karya ilmiah, tidak usah berkecil hati.  Mungkin bakat Anda memang tidak di situ.  Mungkin Anda lebih berbakat menjadi pejuang atau motivator kelas dunia yang menginspirasi jutaan orang.  Banyak di antara mereka itu yang bahkan tidak pernah kuliah atau bahkan hanya punya ijazah SD.  Tetapi kalau mau seperti mereka, Anda harus membuktikan punya prestasi di bidang itu, misalnya:

– meski cuma lulusan SD, terbukti mampu membuat perusahaan dengan laba Rp 1 juta/jam, atau

– meski bukan anak orang kaya, terbukti mampu menjadi multi-milyarder pada usia 24 tahun, atau

– meski bukan Ustadz, terbukti berhasil merekrut 1000 kader dakwah dalam tempo 1 tahun, dsb.

Jadi memang tidak ada yang mudah di dunia ini …Selamat Bekerja!

PUISI PENGUSAHA: Karena Aku Seorang Pengusaha

Tuesday, January 24th, 2012

Karena Aku Seorang  Pengusaha…

Ketika orang lain baru mulai bekerja, aku sudah menyelesaikan ¼ dari pekerjaanku hari itu. Tetapi ketika orang lain selesai dengan pekerjaannya, aku baru menyelesaikan ¾ dari pekerjaanku.

Aku bekerja 2 kali lebih banyak dari yang dilakukan orang lain, bukan karena ada yang  menyuruh aku melakukannya. Bukan pula karena aku harus melakukannya, tetapi karena aku memang senang melakukannya.

Ketika akhir bulan tiba, orang-orang lain yang bekerja umumnya gembira menerima upah dari pekerjaannya. Akupun gembira, tetapi bukan karena menerima upah dari pekerjaanku – karena aku masih mampu membayar upah para bekerja.

Ketika segala sesuatunya tidak berjalan semestinya, orang lain bisa menyalahkan atasannya, bisa menyalahkan system, bisa menyalahkan pasar, bisa menyalahkan krisis dan bahkan bisa menyalahkan cuaca. Tidak demikian denganku, the buck stops here – nobody else to blame, semua masalah menjadi tanggung jawabku – tidak ada orang lain yang patut disalahkan.

Ketika orang lain melihat masalah di sekitar mereka, aku melihatnya peluang untuk diatasi. Ketika orang lain melihat sampah, aku melihatnya bahan baku untuk industri.

Ketika orang lain sibuk untuk menabung kelebihan uang mereka, aku juga selalu sibuk untuk mencari solusi bagaimana mendanai berbagai ide usaha. Orang lain mendapat bagi hasil yang pasti, tidak demikian dengan dana usahaku – tidak ada yang bisa memberikan jaminan yang pasti.

Di akhir pekan, di hari liburan – orang lain bisa sepenuhnya istirahat dengan melupakan segala persoalan pekerjaannya. Tidak demikian denganku, tidak ada waktu untuk berlibur dari tanggung jawab – aku harus tetap siaga dimanapun aku berada.

Ketika orang lain berlibur adalah berlibur – tidak ada yang boleh mengganggunya, kadang aku-pun ber –‘libur’ tetapi bukan untuk berlibur – aku mencari peluang dengannya.

Di akhir malam, ketika orang lain berdoa untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan yang baik dan karir yang cemerlang nanti. Akupun berdoa untuk mampu menjaga amanah, untuk diberi dan dipertemukan dengan orang-orang yang jujur – adil – dan hati-hati agar tidak ada rasa bimbang di hati.

Orang lain akan pensiun pada waktunya, menikmati hari tua dengan dana pensiunnya atau dengan tunjangan hari tuanya. Tidak denganku, usia tidak menghalangiku untuk tetap bekerja, dana pensiun dan tunjangan hari tua-ku telah habis ketika aku membutuhkan modal usaha.

Ketika istri-istri orang lain sibuk mengelola penghasilan para suami mereka, istriku-pun sibuk – bukan untuk mengelola penghasilanku, tetapi untuk ikut berusaha dan menjaga agar orang lain tetap bisa bekerja.

Ketika anak-anak orang lain mendapatkan jatah uang saku bulanannya, anak-anakku harus bekerja untuk memperoleh uang sakunya. Bagi anak-anakku, uang saku bukan something to be given (sesuatu yang harus diberikan) kepada mereka, tetapi something to be earned (sesuatu yang harus diusahakan) oleh mereka.

Satu demi satu usaha terus aku rintis, bukan karena aku ingin terus bertambah kaya – karena memang ternyata tidak semuanya berbuah hasil. Tetapi karena aku memang senang melakukannya, untuk tetap bisa berbuat adil.

Aku tahu domainku hanya untuk berusaha dan bekerja dengan senang, masalah hasil adalah domain dan kuasa dari Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku hanyalah pelaku, Dia-lah Sang Penentu.

Karenanya, tidak patut aku berbangga dengan hasil usaha, tetapi syukurku yang terus aku panjatkan atas kesempatan yang telah diberikanNya kepadaku  untuk tetap bisa berusaha. Karena aku seorang pengusaha, tugasku hanya berusaha …

(sumber: http://www.geraidinar.com/index.php?option=com_content&view=article&id=827: karena-aku-seorang-pengusaha&catid=34: enterpreneurship&Itemid=86&utm_source=twitterfeed&utm_medium=facebook)

Simulasi Hitungan Subsidi BBM

Wednesday, January 18th, 2012

Simulasi  Hitungan Subsidi BBM

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor?  Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM saat ini?  Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya terpuaskan.

Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.

Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi.  Untuk minyak mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang dihitung dengan liter.  1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel.  Untuk gas alam (LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic (TSCF).  Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel.  Tapi karena kandungan energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE).  Ada juga satuan energi yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik.  1 Peta Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.

Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur, minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar), minyak bakar, lilin hingga asphalt.  Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7 liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan nilai oktannya berbeda.

Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap hari.  Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi.  Kadang suatu sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi.  Jadi angka lifting adalah angka rata-rata.  Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi maupun di pasar.  Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai, laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada.  Di pasar dunia juga harga bervariasi mengikuti musim.  Ketika musim dingin orang butuh lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung.  Dan karena minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.

Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN.  Ini karena di APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu.  Jadi bagi Pertamina harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN.  Yang Rp 0,- adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah.  Untuk mengangkatnya perlu biaya juga.  Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi dsb.

Contoh asumsi itu adalah, untuk APBN 2011:

Lifting                : 970.000 barrel/hari
Harga minyak     :US$ 80 / barrel
Nilai tukar 1 US$ = Rp. 9300,-

Dari ketiga asumsi ini, didapat angka sebagai berikut:

Produksi tahunan minyak mentah adalah 970.000 x 365 = 354,1 juta barrrel / tahun dan pendapatan negara dari minyak mentah adalah 354,1 juta barrel x US$ 80 x Rp. 9300 = Rp. 263,4 Trilyun.  Angka inilah yang harus dibayarkan oleh siapapun yang akan membeli minyak mentah tersebut, baik Pertamina maupun dari Luar Negeri.

 Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40% dari harga lifting).

Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun.  Tetapi, untuk sebuah “ongkos”, Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar.  Mungkin ini termasuk cost-recovery di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak asing, dan keuntungan pertamina hulu.

Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.

Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN 2011 adalah 38,2 juta kiloliter.  Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter.  Kalau ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.

Masalahnya data prosentase produk-produk kilang minyak di dalam negeri cukup sulit dijampai.
Yang ada adalah data dari Kementrian ESDM tentang Arus minyak nasional pada tahun 2007.

Dari sini bisa disimulasi sembilan hal (dalam juta barrel):

A. Minyak mentah sendiri yang diproduksi (348)
B. Minyak mentah sendiri yang diekspor (135)
C. Minyak mentah sendiri yang diolah (204)
D. Minyak mentah impor yang diolah (116)
E. BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri (244)
F. Hasil non BBM (89)
G. BBM yang diimpor (150)
H. Total BBM yang dijual (392)
I. BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276)

 

Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter).  Harga B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk BBM).  Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter.  Harga H karena merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter.  Hanya harga I yang mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp. 4500/liter atau US$ 0,715/liter.  Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus minyak dalam satuan yang sama.

Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).

Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non subsidi = Rp. 571,79 T.

Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi Rp. 581,44 T.

Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65 T.  Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat tingkat motorisasi yang semakin besar.  Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya, pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga tertentu.  Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.

Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi (huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di Harian Kompas 10 Februari 2011.  Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3), maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T.  Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp. 4815/liter, maka defisit sudah kembali 0.  Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.

Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T.  Jadi pada model ini, subsidi baru 0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.

Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru.  Semoga bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu.  Maklum penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan.  Tetapi tolong, tunjukkan hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap.  Agar kami kaum intelektual tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

 

 

 

flow migas nasional dari KemESDM 2007