Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for August, 2013

Kita Masih Dijajah

Friday, August 30th, 2013

Penjajahan adalah sebuah keadaan ketika suatu bangsa tidak memiliki kedaulatan atas diri dan/atau hak miliknya.  Dia tidak berdaulat mutlak untuk mengatur dirinya sendiri.  Pikiran-pikiran dan keyakinannya ditentukan atau mengikuti penjajahnya.  Otomatis aturan yang diberlakukan atas dirinya, sebagian atau seluruhnya, dipaksakan oleh penjajahnya.  Demikian juga siapa yang memerintah mereka; dengan siapa mereka harus berkawan atau bermusuhan; bagaimana mereka mendidik anak-anaknya; bahkan apa saja jenis makanan, pakaian, olahraga, hiburan, kesenian hingga mitos-mitos yang mereka percaya.

Tingkat keterjajahan negeri-negeri di dunia bervariasi, bergantung pada seberapa kuat peradaban sang penjajah, dan seberapa tinggi peradaban bangsa negeri itu sebelum penjajah datang.  Dari sejak zaman Romawi dan Persia kuno, penjajahan dapat dikatakan selalu menghabisi jatidiri suatu bangsa. Bangsa Mesir semula memiliki peradaban yang panjang di berbagai dinasti Firaun. Setelah dijajah oleh Romawi, peradaban Mesir kuno itu pun punah.  Yang tertinggal hanya piramid.  Bahkan tulisan Mesir kuno (hieroglif) pun nyaris dilupakan.  Andaikata tidak ditemukan adanya batu Rosetta yang berisi sebuah naskah bilingual (Mesir kuno dan Latin), niscaya tulisan Mesir kuno itu untuk selamanya tidak dapat dipahami lagi maknanya.

Penjajahan bisa bermula dari persaingan antarbangsa untuk berebut pengaruh. Bangsa yang memiliki kepemimpinan, organisasi dan teknologi yang lebih baik akan cenderung lebih unggul.  Sebaliknya, bangsa yang memiliki kepemimpinan yang lemah, atau bahkan elitnya penuh dengan para koruptor dan pengkhianat, akan cenderung dikalahkan.  Inilah sunnatullah sejarah penjajahan bangsa-bangsa di dunia, hingga saat ini.

Umat Islam sebenarnya memiliki sejarah yang unik.  Peradaban dan negara yang ditinggalkan Rasulullah saw. sejatinya adalah peradaban dan negara yang sangat kuat, yang kebal terhadap penjajahan.  Bahkan saat tentara Tartar (Mongol) memasuki kota Baghdad pada tahun 1258 M, yang muncul karena pengkhianatan beberapa pembesar Abbasiyah, hanya tiga tahun penguasa Mongol dapat bertahan.  Setelah itu justru mereka yang masuk Islam dan kemudian pada masa selanjutnya ikut menyebarkan Islam.  Tentara Salib yang merebut Jerusalem pada 1096 M pun mengalami era sejenis. (more…)

Teknologi Keadilan — benarkah keadilan itu jelas & sederhana?

Wednesday, August 28th, 2013

teknologi-keadilanSemua orang cinta keadilan.

Semua konstitusi di dunia mencantumkan keadilan.

Tetapi apakah makna “keadilan” itu sendiri sesungguhnya jelas & sederhana?

Mari kita coba dengan sebuah test-case berikut:

“Kalau Anda jadi ketua DKM, terus ada bantuan dari seorang aghniya pecinta umat – misalnya uang Rp. 100 juta – untuk dibagikan ke jama’ah masjid, maka menurut Anda, yang adil membaginya itu bagaimana?”

Untuk satu pertanyaan sederhana ini, ternyata ada banyak jawaban:

1. Bagi rata saja uang itu ke jama’ah yang hadir di masjid.
Jadi kalau sewaktu sholat shubuh ada 40 orang, kasih masing-masing Rp. 2,5 juta”.

2. Bagi rata saja uang itu ke jama’ah yang khusus diundang.
Jadi pada hari yang ditentukan, orang-orang tertentu diundang untuk sholat shubuh.
Nah di situ dibagi rata …. he he …
Kalau biasanya yang sholat jama’ah cuma 40, dengan undangan itu jadi 100.
Jadi tiap orang dapat Rp 1 jt.

3. Bagi rata/tidak rata uang itu sesuai dengan perannya di masyarakat.
Di masyarakat itu kan macam-macam, ada yang pengabdiannya besar, sedang, rata-rata dsb.
Jadi yang besar (misal pak ketua DKM, pak imam, pak khatib) kasih lebih banyak,     lalu berikutnya muadzin, pak marbot, dst.  Baru jama’ah yang tak punya tugas khusus.

4. Bagi tidak rata, tetapi rata menurut blok-nya.
Jadi karena jama’ah masjid ini berasal dari 5 RT, maka per RT-nya kasih Rp. 20 juta.
Nanti dari setiap bloknya itu gimana mbaginya, terserah mereka.
Jadi RT-1 yang jama’ahnya paling banyak, dapatnya lebih kecil,
Sedang RT-5 yang jama’ahnya paling sedikit, jadi dapat insentif.

5. Bagi tidak rata, tetapi hasilnya memeratakan pendapatan.
Jadi dilihat, yang masih dhuafa, kasih banyak.
Yang sudah kaya, kasih sedikit saja, atau tidak sama sekali.
Padahal sama-sama jama’ah masjid.

6. Bagi tidak rata, tetapi memiliki nilai yang sama.
Jadi, yang masih perlu bayar utang, atau berobat, kasih lebih banyak.
Sedang yang lebih penting dzikir, tidak usahlah, dia kan uang tidak ada nilainya.

7. Bagi tidak rata, tetapi semua memiliki starting point yang sama.
Jadi, uang ditaruh di tengah masjid, jama’ah suruh berdiri di pinggir pada jarak yang sama.
Lalu dengan teriakan takbir, semua silakan berebut …  Tentu saja kompetisi ini bisa dilakukan dengan cara yang berbeda, misalnya dari tempat duduk di shaf berapa, jumlah ayat baru yang dihafal dalam seminggu terakhir, dsb.

8. Bagi tidak rata, tetapi semua dengan peluang statistik yang sama.
Artinya, setiap jama’ah dikasih kertas undian, lalu diundi.
Hanya yang keluar nomornya di 3 penarikan pertama akan dapat uang.

9. Bagi tidak rata, tetapi semua memiliki suara yang sama.
Serahkan urusan pembagian pada satu orang.
Satu orang itu kita pilih dengan voting.

….

Inilah fakta “keadilan” di dunia nyata …

Mungkin Anda akan bisa mengidentifikasi, bahwa teknis mewujudkan keadilan (EQUITY TECHNOLOGY) ini di berbagai keadaan nyata, misalnya membagi kekayaan sumberdaya alam, membagi beban anggaran, membagi ekosistem planet bumi (oksigen, carbon), dsb.

🙂

BULAN PERUBAHAN – Ramadhan Hari-30: UBAH KONSISTENSI

Wednesday, August 7th, 2013

fahmi-amhar-ubah-konsistensiSesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu cara mereka konsisten dalam hidupnya.

Konsistensi itu setidaknya ada tujuh macam:

Pertama, konsistensi internal.  Yakni konsistensi pada diri sendiri.  Konsisten antara fikiran dengan ucapan, antara ucapan dengan perbuatan.  Dengan ini kita pasti akan menjadi sosok pribadi yang memiliki reputasi tinggi, karena apa yang diucapkan benar-benar sesuai dengan yang dipikirkan dan benar-benar dilakukan.  Bukan seperti politisi jaim, yang hanya menjaga citranya dengan retorika atau keramahan jelang pemilu, tetapi apa yang dipikirkan dan diperbuatnya sama sekali berbeda.

Kedua, konsistensi temporal.  Yakni konsistensi sepanjang waktu.  Kesalehannya tidak cuma di bulan Ramadhan.  Setelah dilatih selama bulan Ramadhan, maka di bulan-bulan lain dia semakin meningkatkan amalnya.  Dia tidak cuma sholat, menutup aurat, menahan diri, qiyamul lail dan tadarrus di bulan Ramadhan, tetapi pasca Ramadhan dia tetap juga sholat, menutup aurat, menahan diri, qiyamul lail dan tadarrus – walaupun untuk yang terakhir ini, sebagai amalan sunnah mungkin tidak seintensif di bulan Ramadhan.

Ketiga, konsistensi spasial.  Yakni konsistensi di semua tempat.  Kesalehannya tidak cuma ketika dia berada di masjid, tetapi juga ketika dia tempat kerja, di pasar, di jalan raya, dan sebagainya. (more…)