Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘News’ Category

Ketika Bumi Mengeluarkan Berkah

Tuesday, July 3rd, 2012

oleh: Dr. Fahmi Amhar

Hari-hari ini para pemimpin dunia berkumpul di Rio de Janeiro (Brazil) untuk membahas suatu agenda yang disebut “Rio Post-20”.  Dua puluh tahun yang lalu (1992) di tempat yang sama, para penguasa dunia saat itu juga berkumpul memikirkan langkah-langkah menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan yang semakin serius.  Sayang, banyak rekomendasi yang ditelurkan saat itu justru tidak diratifikasi oleh negara pemboros sumber daya alam dan pembuat pencemaran terbesar di dunia saat ini, yaitu Amerika Serikat!

Padahal bumi ini memiliki mekanisme sendiri.  Dia akan terus mengeluarkan berkah tanpa henti, selama dikelola dengan syariah.  Dan umat Islam dalam sejarah telah membuktikan.  Mereka juga tidak berhenti hanya dalam bentuk pengaturan syariah, tetapi juga mengembangkan segala teknologi untuk menjadikan bumi makin berkah.

Para ilmuwan Islam terdahulu telah menjadikan ilmu bumi (geografi) sebagai ilmu yang menghubungkan langit (yakni pengamatan astronomi dan meteorologi) dan bumi (geodesi dan geologi).  Juga ilmu yang menghubungkan dunia hidup (biotik) dan mati (abiotik).  Yang hidup pun mencakup flora, fauna dan manusia beserta interaksinya.

Dan yang lebih penting: geografi tidak cuma ilmu untuk memetakan dan memahami alam semesta di sekitar kita, namun juga untuk mengubahnya sesuai kebutuhan kita.  Berbeda dengan filsafat, geografi memiliki kegunaan praktis, baik di masa damai maupun di masa perang.  Sampai hari ini, geografi mutlak diperlukan baik oleh wisatawan, perencana kota hingga panglima militer.

Dari sisi sejarah, para geografer pertama muncul hampir bersamaan dengan mereka yang dianggap filosof pertama.  Anaximander dari Miletus (610 – 545 SM) dikenal sebagai pendiri geografi.  Anaxagoras berhasil membuktikan bentuk bulat bumi dari bayangan bumi saat gerhana bulan.  Namun dia masih percaya bahwa bumi seperti cakram.  Yang pertama mencoba menghitung radius bumi sebagai bola adalah Eratosthenes.  Sedang Hipparchus menggagas lintang dan bujur serta membaginya dalam 60 unit (sexagesimal) sesuai matematika Babylonia saat itu.  Penguasa Romawi-Mesir Jenderal Ptolomeus (83-168) membuat atlas yang pertama.

Setelah kejatuhan Romawi, terjadi migrasi dari geografi Eropa ke dunia Islam.  Alquran memerintahkan untuk melakukan penjelajahan demi penjelajahan (QS Ar Ruum: 9).  Para geografer Muslim ternama dari Abu Zaid Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048), Ibnu Sina (980-1037), Muhammad al-Idrisi (1100–1165), Yaqut al-Hamawi (1179-1229), Muhammad Ibn Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibn Battutah (1305-1368) dan Abū Zayd ‘Abdu r-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami, (1332-1406), menyediakan laporan-laporan detail dari penjelajahan mereka.

Namun tentu saja selembar peta sering berbicara lebih banyak dari jutaan kata-kata.  Fenomena juga harus ditafsirkan dengan teori atau informasi yang dikenal sebelumnya.  Untuk itulah para ilmuwan Islam menafsirkan ulang karya-karya sebelumnya baik dari Romawi, Yunani maupun India dan mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad untuk tujuan itu.  Al-Balkhi bahkan mendirikan “Mazhab Balkhi” untuk pemetaan di Baghdad.

Al-Biruni menyediakan kerangka referensi dunia pemetaan.  Dialah yang pertama kali menjelaskan tentang proyeksi polar-equi-azimutal equidistant, yang di Barat baru dipelajari lima abad setelahnya oleh Gerardus Mercator (1512-1594).   Al-Biruni dikenal sebagai sosok yang paling trampil dalam soal pemetaan kota dan pengukuran jarak antar kota, yang dia lakukan untuk banyak kota di Timur Tengah dan anak benua India.  Dia mengombinasikan antara kemampuan astronomis dan matematika untuk mengembangkan berbagai cara menentukan posisi lintang dan bujur.  Dia juga mengembangkan teknik mengukur tingginya gunung dan dalamnya lembah.  Dia juga mendiskusikan tentang habitabilitas planet (syarat-syarat planet yang dapat didiami) dan menaksir bahwa seperempat permukaan bumi dapat didiami manusia.  Dia juga menghitung letak bujur dari kota Khwarizm dengan menggunakan tinggi matahari dan memecahkan persamaan geodetis kompleks untuk menghitung secara akurat jari-jari bumi yang sangat dekat dengan nilai modern.  Metode al-Biruni ini berbeda dengan pendahulunya yang biasanya mengukur jari-jari bumi dengan mengamati matahari secara simultan dari dua lokasi yang berbeda.  Al-Biruni mengembangkan metode kalkulasi trigronometri berbasis sudut antara dataran dan puncak gunung yang dapat dilakukan secara akurat oleh satu orang dari satu lokasi saja.

John J O’Connor dan Edmund F Robertson menulis dalam MacTutor History of Mathematics archive: “Important contributions to geodesy and geography were also made by Biruni. He introduced techniques to measure the earth and distances on it using triangulation. He found the radius of the earth to be 6339.6 km, a value not obtained in the West until the 16th century. His Masudic canon contains a table giving the coordinates of six hundred places, almost all of which he had direct knowledge.”

Seiring dengan al-Biruni, Suhrab pada abad ke-10 membuat buku berisi koordinat-koordinat geografis serta instruksi untuk membuat peta dunia segi empat dengan proyeksi equi-rectangular atau cylindrical-equidistant.  Sedang Ibnu Sina berhipotesa tentang sebab-sebab munculnya pegunungan secara geologis, apa yang sekarang disebut ilmu geomorfologi.

Dengan kerangka tersebut Al-Idrisi membuat peta dunia yang detil atas permintaan raja Roger di Sicilia, yang waktu itu dikuasai Islam.  Peta al-Idrisi ini disebut di Barat “Tabula Rogeriana”.  Peta ini masih berorientasi ke Selatan.  Al-Hamawi menulis Kitab Mu’jam al-Buldan yang merupakan ensiklopedi geografi dunia yang dikenal hingga saat itu.  Ibn Battutah membuat laporan geografi hingga pulau-pulau di Nusantara, yang Majapahit atau Sriwijayapun tidak meninggalkan catatan.  Sementara itu Ibnu Khaldun menulis dalam kitab monumentalnya “Muqadimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi, termasuk klimatologi dan geografi manusia.

Peta Eropa & Timur Tengah buatan al-Idrisi (“Tabulla Rogeriana”), orientasi ke selatan (gambar ini sudah dirotasi).

Peta Eropa & Timur Tengah buatan al-Idrisi (“Tabulla Rogeriana”), orientasi ke selatan (gambar ini sudah dirotasi).

Geografer Muslim dari Turki Mahmud al-Kasygari (1005-1102) menggambar peta dunia berbasiskan bahasa, dan ini pula yang dilakukan oleh Laksamana Utsmani Piri Rais (1465–1555) agar Sultan Sulayman I (al-Qanuni) dapat memerintah daulah khilafah dengan efisien.

Geografi di kalangan kaum Muslimin masih bertahan ketika Khilafah masih menegakkan jihad.  Begitu era jihad mengendur, antusiasme pada geografi pun mengendur.  Kaum Muslimin jadi kehilangan “kompas” dan wawasan mereka dalam peta geopolitik dunia.  Akibatnya satu demi satu tanah air mereka lepas atau sumber dayanya diperas atau dicemari penjajah kafir.  Maka keberkahan dari bumi pun lenyap sudah.

Ketika Keterbatasan Energi menjadi Berkah

Sunday, June 10th, 2012

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Harga Bahan Bakar Minyak memang tidak jadi naik per tanggal 1 April 2012 ini.  Bagi sebagian kalangan, itu dianggap bukti keberhasilan berbagai demonstrasi di seluruh antero negeri.  Bagi sebagian yang lain, itu bukti bahwa masyarakat tidak lagi dapat dibodohi dengan argumentasi ngawur bin tidak akurat, yang diboncengi oleh agenda liberalisasi energi.   Tapi ada sebagian yang tetap kritis, apakah dengan ini berarti ada “hikmah” yang juga tak jadi diraih?

Dalam sejarah, respon manusia terhadap kesulitan selalu ada dua macam: pertama marah, kedua mengambil hikmah – bahkan “berkah”.  Dalam sejarah umat Islam yang panjang, ternyata mereka lebih sering mengambil hikmah.

Krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun Khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom Khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batubara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinya pun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, eksploitasi batubara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat. Hanya dengan itu, keterbatasan energi benar-benar justru mendatangkan berkah![]

Saat Sistem Menjaga Orang

Thursday, June 7th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah Anda terlambat shalat?  Sering?  Janganlah ya!.  Pernahkah Anda telat check-in pesawat?  Juga janganlah!  Masalahnya telat check-in sering berarti uang hilang, tapi bagaimana kalau shalat sampai telat?

Masalah waktu adalah contoh masalah perorangan yang ternyata bisa dijaga dengan suatu sistem.

Dulu, ketika belum ada jam, atau sudah ada jam tetapi belum ada standarnya, maka termasuk susah untuk menjaga ketepatan suatu acara.  Karena tiap orang punya waktu masing-masing.  Saat manusia mulai menggunakan kereta api jarak jauh, mau tidak mau standar waktu harus dibuat agar waktu keberangkatan atau kedatangan kereta bisa dipastikan.

Para ilmuwan memikirkan agar ada sebuah aturan tentang waktu yang dapat berlaku antara negara, dari soal yang mendasar seperti: sehari dibagi berapa jam, sejam berapa menit, semenit berapa detik, hingga tentang acuan meridian (sekarang di Greenwich), zona waktu, hingga lokasi garis batas tanggal internasional!

Aturan ini kemudian diadopsi dalam berbagai undang-undang di berbagai negeri.  Undang-undang ini adalah contoh sebuah sistem pada level yuridis.  Sebuah negara biasanya mengeluarkan banyak aturan baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan di bawahnya.  Karena diwajibkan oleh organisasi berupa negara, maka terjadilah perubahan sistemik.  Mau tidak mau semua dipaksa ikut “sistem” itu.

Sistem pada level yuridis ini sering harus didetilkan lagi dalam suatu sistem pada level teknis.  Misalnya, kapan jam belajar di sekolah mulai, kapan jam buka/tutup toko, kapan kereta berangkat, dsb.

Sistem pada level teknis ini pun sering harus dipaksakan lagi dalam bentuk sistem pada level mekanis, agar subyektifitas manusia bisa diminimkan lagi.  Dibuatlah bel otomatis yang akan berbunyi ketika sekolah akan dimulai, atau lampu yang akan menyala sendiri ketika toko akan buka/tutup, bahkan pintu kereta yang akan menutup sendiri ketika saatnya harus berangkat.  Semua orang yang berada di situ dipaksa oleh sistem agar mereka disiplin.

Kaum Muslim memiliki kontribusi yang luar biasa dalam teknologi sistem pada level mekanis ini.

Teknologi jam dimulai oleh para astronom. Ini karena pengamatan obyek langit sangat tergantung penunjuk waktu yang akurat.  Berbagai jam telah dibuat, namun secara umum terdiri dari tiga prinsip penunjuk waktu: fenomena astronomi (jam matahari), aliran air (jam air), dan fungsi mekanik (komputer analog).  Pada era modern, ditemukan jam quartz dan jam atom.

 

Jam Astronomi

Penunjuk waktu ini tergantung dari gerak matahari.  Sebuah paku aku melempar bayangannya ke sebuah permukaan lengkung yang berisi garis dan kurva, dan dengan sedikit latihan kita akan dapat membaca tanggal dan jam.  Di beberapa pesantren dan masjid di Indonesia, masih bisa dijumpai jam semacam ini.  Di masa lalu, astronom Muslim bahkan membuatkan jam-jam matahari untuk penghias taman istana-istana di Eropa.

am astronomi yang lebih portabel (bisa dibawa kemana-mana) adalah astrolab.  Pada abad-10, al-Sufi menuliskan lebih dari 1000 macam penggunaan astrolab, termasuk untuk menghitung waktu shalat dan awal Ramadhan.

Jam matahari di taman istana Schoenbrunn, Wina dibuat dengan konsep dari Ibnu As-Syatir  Astrolab saku

Jam matahari di taman istana Schoenbrunn, Wina
dibuat dengan konsep dari Ibnu As-Syatir
Astrolab saku

 

Jam Air

Jam air ditulis pertama kali oleh Ibn Khalaf al-Muradi dalam “Kitab Rahasia-Rahasia” pada tahun 1000 M.  Kitab ini disimpan pada Museum of Islamic Art di Doha, Qatar.  Namun banyak desain jam air yang spektakuler dilakukan Al-Jazari (1206 M).  Salah satu di antaranya memiliki tinggi sekitar satu meter dan lebar setengah meter. Jam ini menunjukkan gerakan dari model matahari, bulan dan bintang-bintang.  Inovasinya adalah, sebuah jarum yang ketika melewati puncak perjalanannya akan membuat pintu terbuka setiap jam.  Jam asli al-Jazari ini berhasil direkonstruksi dan dipamerkan di Science Museum London pada tahun 1976.  Selain jam ini al-Jazari juga membuat jam air yang berbentuk gajah.

Jam gajah dari Kitab karangan Al-Jazari pada 1206.  Ia menggunakan regulator aliran, suatu loop tertutup

Jam gajah dari Kitab karangan Al-Jazari pada 1206. Ia menggunakan regulator aliran, suatu loop tertutup

Jam Mekanik

Jam mekanik menggunakan prinsip gerak yang dapat diatur perlahan dan teratur, misalnya pegas atau bandul.  Yang menarik, pada tahun 1559, Taqiuddin as-Subkhi, seorang astronom Utsmani saat itu sudah mendesain berbagai jam mekanik yang dilengkapi dengan suatu alarm, misalnya untuk penggerak teleskop, sehingga akan sangat memandu astronom dalam mengamati obyek langit, misalnya yang mendekati meridian.  Dia menulisnya dalam bukunya “Al-Kawākib al-durriyya fī wadh’ al-bankāmat al-dawriyya” (The Brightest Stars for the Construction of Mechanical Clocks).

Ada juga jam mekanik yang sudah digabung dengan kalender lunisolar (gabungan bulan dan matahari).  Ini adalah embrio dari komputer analog.  Ibn as-Syatir pada awal abad-14 membuat jam yang menggabungkan penunjuk hari universal dan kompas magnetik untuk menentukan jadwal shalat dalam perjalanan.  Semakin hari jam karya insinyur Muslim semakin teliti.  Abad-15 M, mereka sudah mampu menghasilkan jam yang dapat mengukur sampai detik.  Presisi dalam penunjuk waktu berarti akurasi dalam navigasi, dan ini adalah modal keunggulan dalam jihad fi sabilillah, terutama di lautan.

Tinggal apakah sistem mekanis ini dioperasikan atau tidak, tergantung yang mengendalikan, “man behind the gun”.  Seorang kepala sekolah dapat saja dengan suatu alasan menonaktifkan bel sekolah otomatisnya.  Demikian juga dengan pemilik toko atau masinis kereta.  Dampaknya tentu saja juga sistemik, meskipun lokal.  Ini adalah sistem pada level praktis (pelaksana).  Sistem pada level ini biasanya paling mudah diubah, begitu ganti orang, sistem bisa dengan cepat ikut diganti.

Namun di atas sistem pada level juridis, itu sebenarnya ada sistem pada level politis.  Kenapa khilafah pada tahun 1884 ikut hadir dan menyetujui Konferensi Meridian yang mengadopsi Greenwich sebagai acuan?  Ini tidak lepas dari pribadi Sultan Abdul Hamid II yang memiliki pemahaman yang tajam, bahwa Konvensi itu hanya kesepakatan tentang aturan teknis, bukan soal syar’i.  Demikian juga mengapa kaum Muslimin belajar membuat berbagai jenis jam dari bangsa Yunani, Persia atau Cina, juga tak lepas sistem politis khilafah yang mendorong kaum Muslimin untuk mencuri teknologi dari manapun.  Sistem politis yang tepat akan menjaga agar teknologi tetap dikembangkan dan digunakan secara syar’i.

Ketika sistem pada level politis membusuk, maka berbagai level sistem di bawahnya ikut membusuk.  Undang-undang tidak dimutakhirkan, atau dimutakhirkan tetapi malah jadi tidak syar’i, akibatnya aturan teknisnya juga tidak punya payung yang tepat.  Selanjutnya mau dibuat mekanis juga malah menzalimi orang.  Dan sudah dapat dipastikan, pelaksananya akan bimbang.  Pada kondisi ini, maka sistem harus diganti.  Tetapi kita wajib tahu, pada level mana masalah yang dihadapi, agar penggantian sistem ini dapat dilakukan dengan tepat dan cepat.

Sistem pada level politis kadang-kadang sangat kompleks, karena tak hanya menyangkut perkara di dalam negeri tetapi juga luar negeri, tidak hanya soal pejabat negara namun juga pandangan hidup rakyat yang membelanya.  Kalau harus sudah pada tataran ini yang harus diubah, maka kita bicara sistem pada level ideologis.

Dalam sejarah panjang khilafah, perubahan-perubahan yang ada baru sampai ke sistem level politis.  Perubahan sistem secara ideologis hanya terjadi sekali ketika khilafah dibubarkan oleh Mustafa Kamal pada tahun 1924.