Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mengatasi Problem BBM secara Syariat

Wednesday, September 18th, 2013
Antri minyak tanah gambar diambil dari antarafoto.com

Antri minyak tanah,  gambar diambil dari antarafoto.com

oleh: Fahmi Amhar

Meskipun harga BBM sudah naik, subsidinya masih sangat besar. Pemerintah beralasan, subsidi itu lebih baik dialihkan untuk membiayai pembangunan. Sebab, subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang sudah kaya, yakni mereka yang punya kendaraan, atau bisa lebih banyak memborong sembako yang murah karena BBM disubsidi. Tapi, ada yang menduga kenaikan harga BBM belakangan ini lebih terjadi karena paksaan IMF.

Mengapa BBM perlu subsidi? Ada tiga poin di sini yang perlu kita soroti. Pertama adalah masalah teknologi. Agar BBM ini bisa ditemukan, diambil dan diolah, diperlukan sejumlah teknologi, yang faktanya saat ini semuanya dikuasai oleh industri asing. Karena itu, pihak asing memaksakan sejumlah aturan yang pasti akan menguntungkan mereka, bilamana Indonesia mau mendayagunakan potensi migasnya. Pada umumnya mereka menginginkan sistem kontrak bagi hasil, yaitu mereka memasukkan modal terlebih dulu (investasi), kemudian setelah menghasilkan (operasional), mereka ”dibayar” dengan bagi hasil BBM yang dihasilkan itu.

Hanya saja kontrak bagi hasil itu berjangka waktu yang sangat panjang, misalnya 10, 25, atau bahkan 50 tahun. Padahal barangkali, dengan hanya beberapa tahun saja, investasi mereka sudah akan kembali. Namun, kalau Indonesia menginginkan skema yang lain, misalnya mereka hanya dibayar secukupnya saja, atau kita beli saja teknologi mereka secara langsung lalu kita operasikan sendiri, maka mereka juga akan ”kong-kali-kong”. Prinsipnya mereka harus untung besar. Inilah fakta yang ada, dan ini semua berasal dari politik teknologi selama ini yang tidak efektif. (more…)

Ketahanan Energi

Saturday, July 27th, 2013

Oleh: Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial

fahmi-amhar-ketahanan-energiAntrian BBM di SPBU kini telah menjadi pemandangan sehari-hari di banyak wilayah tanah air.  Kalau antrian ini hanya terjadi secara insidental dan lokal, mungkin ini hanya masalah teknis belaka.  Tetapi karena ini gejala nasional dan berlarut-larut, maka ini pasti sistemis.   Sistemis ini ada yang sifatnya kebijakan makro-ekonomis dan ada yang teknis.  Yang makro-ekonomis adalah realita bahwa selama ini, meski produksi energi nasional masih lebih dari cukup, tetapi gas alam dan batubara mayoritas justru diekspor dengan harga jauh di bawah pasar internasional.

Asumsi APBN kita memang baru menghitung produksi minyak (lifting), dan belum produksi energi secara keseluruhan.  Sedang secara teknis, baik minyak, gas dan batubara suatu hari memang akan habis, karena merupakan energi yang tidak terbarukan. Apalagi pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi juga menaikkan kebutuhan energi.  Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu saat minyak mereka akan habis.  Karena itu mereka mengembangkan nuklir.

Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global.  Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata.  Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986.  Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.

Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas.  Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor.  Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.

Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan.  Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui.  Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.

Indonesia adalah negeri dengan sekitar 130 gunung api, yang berarti ada sekitar 130 lokasi berpotensi panas bumi.  Panas bumi yang tidak bisa diekspor ini andaikata digunakan untuk pembangkit listrik akan menghasilkan daya di kisaran 30 GW, atau setara dengan seluruh pembangkit PLN saat ini. (more…)

Minyak Tetap Milik Rakyat

Friday, March 2nd, 2012

wawancara Eksklusif dengan Dr.-Ing. Fahmi Amhar
(Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia 2008-2009)
sumber : Majalah Islam Al-wa’ie.No 92TahunVIII 1-30 April2008

Pengantar:

Setiap kali terjadi kenaikan harga, kita diributkan dengan harga BBM. Sebagian pihak menyebut pengelolaan minyak oleh negara yang tidak benar turut andil terhadap mahalnya BBM. Jika ini benar, dimana letak kesalahannya? Lalu bisakah syariah mengatasi persoalan seputar BBM ini? Dr.-Ing. Fahmi Amhar memaparkan pendapatnya seputar masalah di atas berikut ini melalui wawancara dengan Redaksi.

Mengapa setiap kali terjadi kenaikan harga minyak dunia kita selalu diributkan dengan masalah harga BBM?

Begini. Sebagian dari BBM yang kita pakai itu ada yang harus diimpor. Tahun 1990, seluruh sumur minyak di negeri ini mampu menghasilkan 1,46 juta barel minyak mentah perhari, sedangkan konsumsi dalam negeri cuma 0,61 juta barel. Ingat, penduduk kita saat itu baru sekitar 160 juta orang. Kita pernah kecipratan booming minyak dari tahun 1970-an. Makanya kita jadi anggota OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak.

Lalu banyak sumur-sumur minyak kita yang makin tua, kering, atau mesin-mesinnya tidak efisien lagi sehingga sekarang minyak yang dihasilkan cuma sekitar 920 ribu barel/hari; sedangkan konsumsi dalam negeri, akibat pertumbuhan penduduk dan naiknya tingkat industrialisasi, sudah lebih dari 1,2 juta barel/hari. Tahun 2007 kita memang masih mengekspor minyak mentah sekitar 390 ribu barel/hari, tetapi ini hanya taktik dagang, karena kualitas minyak mentah kita lebih baik, karena yang kita impor lebih besar, yakni 665 ribu barel/hari. Sejak tahun 2004 kita sudah menjadi neto importir. Jadi, sebenarnya memang sudah tidak layak kita ada di dalam OPEC.

Menurut sistem yang dipakai sekarang, sebenarnya SDA, khususnya minyak, itu milik siapa?

Dalam UU yang ada di negeri ini, minyak itu secara filosofis-yuridis tetap milik rakyat, yang secara teknis dikonsesikan kepada para pemegang PSC, dan secara ekonomis dibagihasilkan: PSC sekian, negara sekian. Bagian negara ini yang kemudian didistribusikan oleh Pertamina yang mendapat hak melakukan PSO (Public Service Obligation).

Produksi minyak negeri ini dikelola oleh swasta, kebanyakan swasta asing, dengan skema PSC (Production Sharing Contrac) atau kontrak bagi hasil. Bisa dijelaskan, seperti apa praktiknya?

PSC ini diberikan untuk mencari (explorasi) cadangan hidrokarbon di area tertentu sebelum berproduksi secara komersial. PSC berlaku untuk beberapa tahun, bergantung pada syarat kontrak serta penemuan minyak dan gas dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara kontraktor dan BP Migas. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali prosentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area tersebut terkait dengan permukaan lapangan tempat minyak dan gas. telah ditemukan.

Mengapa ada sistem ini? Pada awal republik ini kemampuan modal dan teknologi Pertamina masih rendah, padahal minyak dibutuhkan, dan booming minyak di dunia harus dimanfaatkan. Pemerintah lalu mengundang perusahaan minyak asing untuk terjun berinvestasi di Indonesia dengan modal dan risiko mereka sendiri. Reward-nya adalah mereka diberi konsesi bagi hasil.

Lalu apa konsekuensinya terhadap penyediaan dan harga minyak (BBM) untuk rakyat?

Konsekuensinya ada tiga: (1) Jika tim Pemerintah yang melakukan negosiasi tidak benar-benar dapat menaksir potensi kandungan minyak itu dengan akurat sehingga dari awal tidak mampu menghitung porsi bagi hasil yang fair. Walhasil, proporsi bagi hasil dalam kontrak sudah tidak adil dari awal. (2) Sebelum bagi hasil dilaksanakan, PSC mengurangi dulu dengan apa yang disebut biaya pemulihan (cost recovery). Konsepnya, ini adalah biaya real yang dikeluarkan PSC sejak dari explorasi hingga produksi. Namun, bisa saja PSC sangat royal dalam meminta cost-recovery ini. Kita tahulah “standar gaya hidup” di dunia perminyakan. Jadi kesannya, cost recovery ini biasa di di-mark-up. Akibatnya, porsi yang dibagihasilkan otomatis lebih kecil. (3) Berapa angka real produksi hanya diketahui PSC. Negara tidak memiliki akses langsung, walaupun secara teoretis dapat menyewa auditor independen, tapi ini jarang dilakukan. Jadi, angka real produksi ini sebenarnya rawan dimanipulasi.

Lalu apa hubungannya hal itu dengan harga minyak (BBM) yang dibeli oleh rakyat?

Jika minyak untuk konsumsi dalam negeri lebih banyak diimpor maka harganya secara langsung ditentukan oleh pasar dunia. Sekarang ini hampir 275 ribu barel/hari yang kita impor. Kalikan saja dengan harga sekitar 100 US$/barel. 1 barel itu sekitar 150 liter. Jadi, harga minyak mentah itu seliternya sudah 66 sen dolar atau Rp 6000,-. Kalau sudah diolah menjadi BBM tentu harganya akan lebih tinggi.

Sebenarnya kalau yang dihitung dengan harga dunia ini cuma yang diimpor, kenaikan harga untuk total BBM dalam negeri tidak terlalu besar. Kalau kita hitung, biaya mencari, mengambil, mengolah dan mendistribusikan menjadi BBM itu hanya US$ 34/barel (seperti tahun 2004). Itu artinya hanya Rp 2.040,-/liter. Dengan sekitar 1/4 BBM impor berharga pasar dunia, harga BBM mestinya hanya sekitar Rp 3400/liter. Sekarang kan jauh lebih dari itu, karena semua BBM dihargai sesuai dengan pasar dunia dulu, baru kemudian yang dijual ke masyarakat disebut mendapat subsidi.

Bagaimana strategi pricing (penetapan harga) BBM yang dipakai Pemerintah saat ini dan bagaimana konsekuensinya terhadap harga BBM untuk rakyat?

Pemerintah menetapkan harga BBM dengan berbagai pertimbangan. Pertama: acuan harga pasar dunia. Harga ini diterapkan pada kapal-kapal atau pesawat asing yang mengisi BBM di sini. Namun, jika harga di dalam negeri jauh lebih rendah dari pasar dunia maka itu akan memicu penyelundupan. Ini terjadi pada masa lalu ketika ketika masih surplus minyak. Sekeras apapun pengawasan, tetap saja keuntungan dari penyelundupan yang begitu besar memacu kongkalikong para penyelundup dan aparat.

Kedua: acuan kemampuan masyarakat. Pertamina sebagai operator PSO berkewajiban menyediakan BBM dengan harga sama di seluruh SPBU di seluruh Indonesia. Jadi, sejak dulu konsumen di Jakarta, misalnya, membeli BBM lebih mahal daripada biaya produksinya, karena mesti “mensubsidi” konsumen di Jayapura, misalnya.

Ketiga: pertimbangan ekonomi. Sejak kenaikan harga minyak dunia, Pemerintah memberlakukan dua jenis harga: satu harga untuk industri yang mengikuti harga minyak dunia; satu harga untuk rakyat, yang disubsidi. Adanya dua jenis harga di dalam negeri ini juga menimbulkan penyimpangan: BBM untuk rakyat dijual untuk industri.

Lalu bagaimana peran UU Migas dalam hal BBM dan harga jualnya kepada rakyat?

UU no 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu dikeluhkan banyak pihak sehingga diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam risalah keputusan MK no 002/PUU-I/2003 dapat dibaca bahwa yang diadukan para pemohon mencakup aspek legalitas formal hingga material. Pada sisi material, UU itu dinilai sangat liberal sehingga mengancam pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, mengancam daya saing industri nasional, hingga memunculkan potensi disintegrasi. MK menolak uji formal tetapi mengabulkan sebagian uji material sehingga sebagian pasal-pasal UU itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Apakah syariah Islam bisa menyelesaikan problem BBM itu?

Tentu. Memang masih banyak pendetilan yang harus dilakukan. Namun, beberapa hal bisa dijelaskan di sini. Misalnya, ketika syariah menetapkan bahwa minyak adalah kekayaan milik umum. Karena itu, syariah juga menetapkan bahwa industri yang mengelolanya adalah industri milik umum. Namun, karena tidak mungkin industri ini dikelola langsung oleh rakyat, maka negaralah yang berkewajiban untuk mengelolanya. Dengan demikian, negara juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan biaya explorasi hingga distribusi.

Jika dana APBN negara tidak cukup untuk membiayai semuanya tadi, maka negara bisa mendorong rakyat yang mampu, khususnya kaum Muslim, untuk berpartisipasi, bisa dengan sistem pinjaman atau pemberian cuma-cuma.

Kasus serupa pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ketika di Madinah kekurangan pasokan air, dan satu-satunya sumber air yang ada di Madinah dikuasai oleh seorang Yahudi. Nabi saw. menawarkan kepada para Sahabat, “Siapa yang mau membeli sumur untuk memenuhi kebutuhkan kaum Muslim dari tangan Yahudi itu, maka dia mendapatkan imbalan surga?”

Mendengar itu, Utsman ra. segera mengajukan diri. Dibelilah sumur itu. Namun, orang Yahudi tersebut tidak mau menjual sumur tersebut semua-nya, tetapi hanya mau menjual separonya saja. Sehari untuk mereka, sehari untuk kaum Muslim. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kaum Muslim, Rasul saw. pun ingin agar sumur tersebut dibeli semua. Kembali lagi Utsman membelinya, meski untuk itu harus dibayar berapapun harganya. Akhirnya, sumur itu pun jatuh ke tangan kaum Muslim, dan problem kekurangan pasokan air itu pun bisa diatasi. Sumur itu hingga kini masih ada di Madinah, yang dikenal dengan Bi’r ‘Utsman.

Syariah juga telah mengajar-kan agar tidak terjadi pemborosan, dengan mekanisme yang unik. Andai saja, pasokan BBM dari dalam negeri kurang, dan harus dibeli dari pasar dunia, kemudian dijual lebih murah dengan subsidi, maka negara juga bisa membuat mekanisme agar distribusinya adil, sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya dengan layak.

Syariah tentang pengembangan iptek juga harus diterapkan, agar umat Islam makin menguasai semua teknologi yang dibutuhkannya, sehingga tidak bergantung pada teknologi yang ditawarkan korporasi asing. Pada abad-21 ini makin tampak bahwa pemilik teknologi akan dapat mendikte pasar dan pada akhirnya mendikte politik. Pada sisi lain, syariah diterapkan agar efisiensi energi dapat dinaikkan, tidak ada pemborosan, sehingga kebutuhan energi dapat ditekan.

Terakhir, syariah untuk mempersatukan seluruh Dunia Islam dalam satu Kekhilafahan harus diterapkan. Jika negeri-negeri Islam penghasil minyak bersatu maka di dalam negeri tidak akan ada kelangkaan BBM. Produksi minyak mentah Dunia Islam tahun 2004 total sekitar 9,2 miliar barel/tahun atau 25 juta barel/hari. Kalau ini dibagi populasi, didapat angka 3,2 liter perorang perhari. Sekadar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter perorang perhari.

Ketika syariah diterapkan, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan minyak swasta, khususnya asing?

Dengan logika di atas, perusahaan minyak jelas merupakan milik umum, yang dikelola sepenuhnya oleh negara. Hanya perusahaan inilah yang berhak mengelolanya. Tidak boleh ada privatisasi pada sektor ini, baik kepada swasta asing maupun domestik.

Karena itu, langkah yang bisa dilakukan pertama kali, ketika Khilafah berdiri, adalah: semua kontrak dengan pihak swasta dibatalkan. Sebab, semuanya tidak dilakukan berdasarkan ketentuan syariah. Setelah itu, jika negara membutuhkan, negara bisa membuat kebijakan, dalam sektor mana perusahan-perusahaan swasta, khususnya domestik tersebut, bisa beroperasi.

Adapun terkait perusahaan swasta asing, harus dilihat negara asal perusahaan tersebut. Jika negara kafir mu’ahad, maka peluang beroperasinya perusahaan tersebut masih dimungkinkan, selama dianggap tidak mengancam kepentingan negara. Adapun negara kafir harbi sama sekali tidak diizinkan untuk beroperasi.

Seandainya nanti dalam sistem Islam, rakyat harus membayar harga BBM, seperti apa strategi pricing yang sebaiknya digunakan?

Harus dipahami, misi negara adalah melayani kebutuhan rakyat, bukan bisnis ataupun dagang. Jika pandangan seperti ini dimiliki Pemerintah, Pemerintah tidak akan pernah berpikir mencari untung dari penjualan minyak domestik. Kalaupun negara harus menetukan harga, maka ketentuan tersebut dipatok sesuai dengan biaya yang dikeluarkan hingga minyak tersebut sampai ke tangan mereka.

Alternatif kedua, bisa saja negara menetapkan harga lebih dari biaya yang telah dikeluarkan sebagai sumber pendapatan negara, agar bisa membiayai pembangunan fasilitan umum, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat yang lainnya; baik kebutuhan pribadi, seperti sandang, papan dan pangan, maupun kebutuhan sosial, seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan. Dengan begitu, negara mempunyai cukup dana untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.

Kalaulah alternatif kedua ini ditempuh, dan tentu dengan tingkat akuntabilitas negara yang tinggi, maka saya kira masyarakat tidak akan merasa dizalimi. []