Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Bakal ada 3 hari sholat Iedul Fitri 1431 ini …

Wednesday, September 8th, 2010

Prof. Dr. Fahmi Amhar
Praktisi Astronomi Islam, Bakosurtanal

Di Indonesia orang umumnya optimis, lebaran tahun 2010 (1431 H) ini bakal seragam, yaitu hari Jum’at 10 September 2010 lusa.  Ini tentu saja di luar Jama’ah an-Nadzir, yang sudah sholat Ied Rabu 8 September 2010 pagi tadi.
Mengapa saya katakan 3 hari?
Begini:
Meski kita mulai puasa pada Rabu 11 Agustus 2010, karena konon pada Selasa sore 10 Agustus 2010 itu hilal terlihat di wilayah Indonesia, namun hilal ini baru HILAL SYAR’IE.
Hilal syar’ie adalah hilal karena pengakuan / kesaksian seseorang atau beberapa orang
  (tentu saja muslim dan aqil baligh) yang telah disumpah dan disahkan oleh pengadilan agama (di Indonesia disahkan oleh sidang Itsbat Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama).  Sebagai alat bukti hukum, sumpah adalah cukup dan sah.  Dan di Indonesia ada ketentuan, selama kesaksian itu terjadi pada saat tinggi hilal menurut ahli hisab sudah lebih dari 2 derajat, maka kesaksian ini wajib diterima.
Apakah ada hilal yang lain?  Ada, yaitu HILAL ASTRONOMI.  Ini adalah hilal yang memang teruji secara ilmiah keabsahannya oleh ilmu astronomi.  Uji ilmiah itu yang paling otentik adalah foto secara langsung, tentu saja tanpa rekayasa.  Dari pengamatan astronomi selama ini, belum pernah ada hilal dapat difoto saat tingginya kurang dari 5 derajat atau umur bulan kurang dari 17 jam setelah moon conjunction (ijtima’).
Jadi yang dilihat kemarin di Indonesia itu apa?  Wallahu a’lam.  Jelas dia hilal syar’ie, sah untuk dasar hukum menetapkan puasa, dan mengikat bagi orang yang berada di wilayah hukum Indonesia.  Namun kalau orang yang tidak merasa terikat dengan itu, dia boleh mengikuti boleh tidak.  Tergantung sejauh mana keyakinannya ….  Kalau dia menganggap para perukyat yang telah bersumpah itu keliru, ya sudahlah …  Dia tidak menganggap perukyat itu berdusta.  Tetapi kekeliruan adalah sesuatu yang wajar, karena hilal itu sangat tipis, sehingga perlu ada latihan (bila perlu ada sertifikasi) untuk mendapatkan kemahiran tersebut.  Boleh saja seseorang mengaku telah berpengalaman 20 tahun, tapi boleh jadi selama 20 tahun itu ia mengamati fenomena yang salah.  Siapa tahu, karena tidak ada foto?
Pada level global, para pengamat hilal yang punya latar belakang astronomi dan bergabung di ICOP (Islamic Crescent Observation Project), ternyata tak satupun melaporkan melihat hilal pada Selasa 10 Agustus 2010 lalu itu.  Di Indonesia juga para perukyat yang dilengkapi teleskop rukyat yang ada CCD-kameranya, juga tidak mendeteksi hilal.  Padahal CCD kamera biasanya lebih awas dari mata manusia biasa.
Karena itulah, dunia kemudian terbelah.  Banyak negara, termasuk Indonesia memulai puasa pada hari Rabu 11 Agustus 2010 itu, sebagian dengan dasar hilal syar’i, sebagian – seperti Muhammadiyah – dengan dasar hisab wujudul hilal.
Namun sebagian negara lain seperti Pakistan, Bangladesh, Oman dan Iran, telah mengistikmalkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, sehingga mereka memulai puasa pada hari Kamis 12 Agustus 2010.
Walhasil kalau yang kelompok pertama Rabu sore 8 September 2010 ini sudah akan melakukan ibadah Rukyatul Hilal – karena merasa sudah tanggal 29 Ramadhan, maka di kelompok kedua, baru akan melakukan hal yang sama Kamis besok, tanggal 9 September 2010.
Maka akan muncul 3 kemungkinan:
Pertama, mereka yang rukyat pada Rabu sore ini, yang sebenarnya dari Maroko sampai Merauke hilal masih negatif atau di bawah ufuk, mestinya tidak akan melihat hilal.  Namun boleh jadi akan ada yang mengaku melihat dan berani bersumpah.  Hilal Syar’ie juga jadinya. Maka mereka ini akan sholat Ied pada besok pagi, Kamis 9 September 2010.
Kedua, mereka yang rukyat pada Rabu sore ini, namun mengakui bahwa hilal tidak terlihat, dan bila ada yang mengaku melihat, kesaksian itu mereka tolak karena dimustahilkan secara ilmiah.  Sama mustahilnya seperti seorang perawi hadits yang mengaku mendengar dari Ibnu Abbas ra., padahal dia baru lahir setelah Ibnu Abbas ra. wafat.  Jadi kelompok ini akan istikmal, sehingga baru akan sholat Ied pada hari Jum’at pagi, 10 September 2010.
Di sisi lain, di negeri seperti Pakistan, Bangladesh, Oman atau Iran, mereka baru akan rukyatul hilal pada hari Kamis sore 9 September 2010.  Kalau mereka melihat hilal – dan ini secara astronomis cukup optimis – mereka juga akan sholat Ied pada hari Jum’at yang sama.
Jadi pada hari Jum’at itu orang sholat Ied dengan alasan yang berbeda-beda, satu karena istikmal, satu karena rukyatul hilal pada Kamis sore, dan satu karena hisab.
Ketiga, mereka yang rukyat pada hari Kamis sore, namun karena cuaca mendung tidak melihat hilal, boleh jadi mereka akan istikmal, sehingga Jum’at masih puasa, dan sholat Ied baru pada hari Sabtu pagi 11 September 2010.
Tetapi kelompok yang ketiga ini sebenarnya masih bisa tertolong kalau mereka mengikuti pendapat wihdatul matla (rukyat global), bukan ikhtilaful matla (rukyat lokal).  Yakni, kalau mereka mau mengikuti hasil rukyat (yang juga dilakukan Kamis sore) di negeri lain dan tidak tertutup mendung, sehingga hilal terlihat.  Walhasil perbedaan yang terjadi tidak sampai tiga hari, tetapi cukup 2 hari saja.  Dari 4 imam madzhab, hanya Imam Syafii yang mendukung pendapat ikhtilaful matla, di mana matlanya hanya radius sekitar 120 Km.
Jadi semuanya punya dasar, tidak perlu saling menjelekkan, apalagi menganggap yang lain telah melakukan keharaman, baik karena masih berpuasa di hari yang dianggap telah Iedul Fitri, ataupun telah makan minum di hari yang dianggap masih bulan Ramadhan.
Perbedaan ini akan ada terus, selama orang tidak berpegang pada kriteria hisab yang sama (yang menjadi dasar pembuatan kalender), minimal untuk menentukan hari rukyat awal Ramadhan pada tanggal 29 Sya’ban, serta kriteria kesaksian hilal yang dapat dipercaya, sehingga hilal syar’ie akan bertemu dengan hilal astronomi.
Namun sepertinya, kesatuan ini juga tergantung Imam yang dipercaya kaum muslimin secara global, yang akan mengadopsi kriteria hisab maupun rukyat yang terbaik, karena ada ijma shahabat “Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf” (Keputusan Imam menghentikan perselisihan).  Sayangnya di dunia saat ini masih ada ratusan imam, baik yang imam jama’ah / ormas, imam partai, maupun kepala negara – kepala negara muslim.