Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Teknologi Pendidikan Islam

Saturday, May 26th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Suara Islam no 20, minggu I-II Mei 2007

Apakah itu teknologi pendidikan?  Apa pula teknologi pendidikan Islam?  Apa bedanya dengan pendidikan teknologi?

Memperingati hari pendidikan nasional saat ini, banyak orang mengajak menoleh kepada teknologi di bidang pendidikan. 

Pertama, pendidikan teknologi kita dapat dianggap gagal.  Faktanya, pendidikan sains dan teknologi masih dianggap momok oleh mayoritas anak didik kita, sehingga masih banyak warga kita yang gagap teknologi (gaptek) – tidak terkecuali anggota DPR (yang jadi bahan lelucon karena minta Laptop), dan akibatnya makin hari kita makin tergantung pada impor teknologi yang menguras devisa kita dan memaksa kita terus berhutang ke luar negeri.

Kedua, pendidikan kita belum optimal, dan ini disinyalir karena belum digunakannya metode pendidikan kontemporer, termasuk teknologi pendidikan mutakhir.  Teknologi pendidikan lebih sering dipahami secara konvensional dengan lab-lab yang relatif mahal – dan akibatnya tidak terjangkau oleh mayoritas sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.

Dengan demikian, pendidikan teknologi adalah pendidikan untuk menumbuhkan technological-attitude (sikap benar berteknologi) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga orang memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi, merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi.   Sedang teknologi pendidikan adalah teknologi yang didesain untuk mendukung aktivitas pendidikan secara komprehensif.  Aktivitas pendidikan adalah aktivitas untuk membentuk manusia seutuhnya, yakni yang memiliki kedalaman iman, kecerdasan akal, kepekaan nurani, keluasan wawasan, kebijakan sikap, kreativitas karya, kehalusan estetika, keberanian berjuang dan seluruh nilai-nilai positif lainnya.

Dengan memahami pokok masalah di atas, maka jelas bahwa posisi Islam di sini adalah untuk memberi arah dan nilai dari pendidikan, dan demikian pula teknologi pendidikan.  Karena itu teknologi pendidikan Islam bukanlah sekedar teknologi untuk membantu siswa belajar shalat atau belajar membaca Qur’an, namun teknologi yang seluas pendidikan itu sendiri.  Teknologi pendidikan Islam membuat siswa mudah memahami sains dan ilmu-ilmu apapun, mampu menghubungkannya dengan Sang Pencipta dan menyadari apa tujuan diciptakannya alam serta bagaimana sains itu dapat dimanfaatkan secara syar’i.  Dia akan menguasai sains dalam pandangan hidup Islam.  Teknologi ini mengakselerasi siswa mendapatkan tujuan-tujuan pendidikan, sehingga membantu mengatasi keterbatasan kemampuan guru, sempitnya ruang kelas, kekurangan buku dan terbatasnya dana.

Di atas itu semua, teknologi pendidikan Islam seharusnya juga dibuat dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam, seperti kesederhanaan dan kemudahan.  Jadi akan kontradiktif ketika teknologi pendidikan islam ini justru jadi tidak terjangkau oleh mayoritas umat karena dia terlalu canggih dan mahal. 

Karena itu pertimbangan dasar teknologi pendidikan yang tepat harus juga melihat calon penggunanya.  Di pedesaan yang sederhana, teknologi berbasis bahan lokal tentu lebih disukai. Namun di perkotaan di mana tersedia listrik, komputer dan akses internet, teknologi interaktif berbasis komputer atau web mungkin menjadi alternatif yang lebih baik dan termurah.

 

Bentuk Teknologi Pendidikan Islam

Lalu seperti apa bentuk-bentuk teknologi pendidikan Islam?

Bentuk-bentuk teknologi pendidikan secara umum akan optimal bila menggunakan seluruh aspek berpikir manusia.  Manusia berpikir bila dia: (1) menerima informasi dunia realitas dari panca inderanya; (2) memasukkan informasi ke dalam otaknya; (3)  mengolah / menghubungkan informasi itu dengan informasi yang tersimpan sebelumnya. 

Karena itu teknologi pendidikan yang baik akan menggunakan (1) sebanyak mungkin jalur indera, setidaknya tekstual, visual, dan akustikal, namun tentunya lebih optimal lagi kalau juga indera penciuman, perasaan maupun perabaan; (2) sebanyak mungkin bagian otak, baik otak kiri yang bersifat analitis rasional, otak kanan yang bersifat intuitif-kreatif-emosional maupun bagian otak yang disebut God-Spot yang bertanggung-jawab atas perasaan spiritual; (3) membantu menghubungkan dengan informasi yang tersimpan sebelumnya atau yang pernah dialami atau dipelajari siswa.

Berikut ini adalah tiga contoh gagasan teknologi pendidikan Islam berbasis komputer guna mengajarkan suatu topik dalam (1) Fisika, (2) Biologi, (3) Ekonomi.

(1) Untuk mengajar fisika-mekanika, ditunjukkan film audio-visual berbagai peristiwa alam (air terjun, jatuhnya batu, pergerakan benda langit).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang alam semesta untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan rumus matematis yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan dan analisis pelajar.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan mekanika secara syar’i, dilanjutkan film aplikasi mekanika yang baru dipelajari (PLTA, peluncur roket untuk jihad, satelit), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (banjir, teror atas bumi Islam, satelit mata-mata asing).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(2) Untuk mengajar biologi-lingkungan ditunjukkan film audio-visual berbagai jenis mahluk hidup (pohon, serangga, mamalia).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang kehidupan untuk menghubungkan intelektualitas dengan spiritualitas.  Lalu ada teks dan yang menjelaskan fenomena itu, dan di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ekologi secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekologi yang baru dipelajari (reboisasi hutan, biopestisida, peternakan), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan syari’at (kerusakan hutan, hama, kepunahan bison).    Kemudian terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan aplikasi teknologi apapun justru dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

(3) Untuk mengajar ekonomi perdagangan – yang berarti suatu realitas masyarakat manusia, ditunjukkan film audio-visual berbagai aktivitas manusia (jual-beli, kafilah dagang, bank).  Di akhir film disampaikan ayat Qur’an atau Hadits tentang manusia yang menghubungkan intelektualitas ke spiritualitas.  Lalu ada teks yang menjelaskan fenomena itu, ditambah beberapa ayat yang spesifik mengatur sistem ekonomi di masyarakat.  Di beberapa tempat terdapat soal untuk menguji ingatan.  Di akhir kajian terdapat ayat yang mendorong pemanfaatan ilmu ekonomi perdagangan secara syar’i, dilanjutkan film yang menunjukkan aplikasi ekonomi yang baru dipelajari (desain pasar, jaringan logistik, bank syari’ah), termasuk dampak bila aplikasi itu bertentangan dengan koridor syari’at (penipuan, penimbunan, jeratan hutang). Lalu terdapat uji-kreatifitas untuk merangsang pelajar menerapkan ilmunya dalam simulasi.  Seluruh sesi diakhiri dengan muhasabah untuk mengingatkan betapa kecilnya manusia, dan ilmu apapun dapat mendatangkan bencana bila bertentangan dengan syari’at.

Memang perlu kerja keras untuk merealisasi material teknologi pendidikan Islam untuk segala jenis topik di semua jenis pelajaran.  Namun upaya semacam ini akan menjadi mudah ketika ada dukungan masyarakat.  Dan bentuk masyarakat yang paling optimal untuk itu adalah dalam bentuk negara Khilafah.

Juara Sejati Olympiade

Wednesday, July 26th, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Mantan anggota Dewan Juri Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI.

 

Indonesia juara Olympiade Fisika Internasional, bahkan tahun 2006 meraih “Absolute Winners”.  Mengharukan.  Membanggakan.  Saya teringat awal-awal ketika Saudara Yohannes Surya, yang saat itu masih mahasiswa S3 di College Williamsburg and Marry menggalang dukungan via milis-milis Indonesia.  Di kampusnya itu akan diselenggarakan Olympiade Fisika Internasional.  Akhirnya beberapa pelajar SMU dari Indonesia dibiayai ke Amerika untuk ditentor oleh Yohannes sendiri beberapa bulan.  Maklum, soal-soal yang akan keluar adalah soal-soal fisika level S2.  Karena partisipasi pertama itu tidak mengecewakan, maka sponsor untuk partisipasi berikutnya semakin banyak.  Sepulang dari LN dan menjadi dosen di UPH, fokus Yohannes pada TOFI (Team Olympiade Fisika Indonesia) jauh melebihi penelitian-penelitian dia sendiri.  Visinya, tahun 2020 akan ada pemenang Nobel bangsa Indonesia.  Adanya pemenang Nobel dari suatu bangsa, mau tidak mau akan menaikkan posisi tawar bangsa itu, baik dalam kancah ristek maupun dalam kancah politik.

Saya kiri visi itu realistis.  Beberapa anak asuh Yohannes (alumni TOFI) bahkan kini sudah ada yang menjadi Associate Professor di Perguruan Tinggi top di Amerika.  Sanggat membanggakan, bahwa IQ bangsa ini ternyata sangat unggul.  Namun saya merasa perlu untuk melakukan sedikit kontemplasi.  Setidaknya ada tiga hal yang perlu direnungkan.

Pertama, sejak adanya OFI, bermunculan OF tingkat nasional, provinsi bahkan kabupaten/kota.  Juga olympiade jenis lainnya (matematika, kimia, biologi, komputer, astronomi).  Semua ajang ini saya yakin baik sekali untuk penyaluran aktivitas remaja.  Namun sejujurnya, ini baru ajang kecerdasan intelektual (IQ).  Soal-soal Olympiade adalah soal-soal yang memerlukan analisis, bukan soal-soal yang memerlukan kreatifitias ataupun kepekaan sosial.  Ini berbeda dengan kompetisi dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan baik LIPI maupun Depdiknas.  Namun sejak “musim” Olympiade, tingkat popularitas kegiatan LIPI maupun Depdiknas ini dapat dikatakan turun cukup signifikan.

Kedua, alumni Olympiade, apalagi yang meraih medali di level internasional, selalu akan diperebutkan oleh universitas-universitas top dunia.  Apakah mereka benar-benar akan jadi “orang”?  Bila ya, siapa yang akan menarik manfaat dari mereka?  Sejujurnya, penelitian-penelitian dalam bidang SDM justru menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosi, bukan kecerdasan intelektual.  Pada kecerdasan emosilah terletak idealisme, motivasi, empati, kerjasama, kreatifitas, dan sejenisnya.  Sementara itu, kompetisi dalam olympiade-olympiade ini lebih menonjolkan IQ.  Saya teringat, tahun 1985 dulu, ada 50 anak berbakat yang dipilih dari SMU-SMU top di Jakarta, diberi pengayaan ilmu secara khusus, kemudian diberi beasiswa ke Negeri Belanda tanpa kewajiban ikatan dinas setelahnya.  Apa hasilnya?  Dari 50 orang itu, hanya 1 orang yang sampai PhD!  Kemudian pada periode yang sama, Kementrian Ristek yang saat itu masih powerful di bawah BJ Habibie, mengirim ratusan orang ke berbagai negara maju.  Saya termasuk yang beruntung berada di dalamnya.  Namun sejujurnya, mayoritas alumni program Habibie kini lebih banyak yang “lari” dari kewajiban ikatan dinasnya dan lebih memilih mengabdi untuk korporasi asing.  Terakhir bahkan dikabarkan data karyasiswa ini di BPPT (yang waktu itu merupakan sekretariat program) telah hilang.  Sesuatu yang menurut saya tidak lucu.  Dari sekian ratus orang itu, sedikit yang sampai PhD.  Dari yang sedikit ini, mayoritas menetap di negara maju, berkarya untuk negara maju, menghasilkan PDB untuk negara maju.

Mengapa mereka enggan pulang?  Mungkin gegar budaya.  Atau memang iklim riset di negeri ini jauh dari kondusif.  Yang kondusif cuma korupsi!  Seorang peneliti yang bekerja di lembaga riset pemerintah, jarang yang bisa fokus pada penelitiannya.  Mereka harus berpartisipasi dalam segudang agenda lain dari lembaga itu, kalau mereka ingin survive.  Memang ada apologi, bahwa yang di luar negeri bisa dikatakan sedang menabung jaringan riset dan bisnis, dan menunggu saat yang tepat untuk kembali.  Mereka juga dapat memberi jalan bagi “adik-adiknya” untuk juga sekolah, riset atau bisnis ke sana.  Lalu pada siapa terletak tugas menjadikan “saat yang tepat” dan membangun “iklim yang kondusif” ini?

Ketiga, memberi penghargaan yang demikian tinggi pada para juara OFI, hingga mengundangnya beradiensi dengan Presiden, itu pantas dan wajar.  Itu akan memotivasi para remaja yang lain.  Namun akan lebih pantas lagi untuk memberi penghargaan yang tinggi kepada para peneliti yang sudah banting tulang bekerja untuk negeri ini, menyiapkan iklim riset yang kondusif meski dengan segala keterbatasan, sambil tetap menghasilkan karya-karya besar dalam kesepian.  Contoh, para peneliti tsunami, bertahun-tahun hanya “diejek” sampai “frustrasi”.  Baru akhir-akhir ini saja mereka menjadi bak “selebriti”.  Indonesia sudah lama jadi “nett-importer technology & nett-exporter brain”.  Orang-orang kita yang cerdas lebih suka bekerja untuk korporasi atau negara asing, karena kita tidak sediakan lahan yang subur untuk mereka.  Kita semakin lama semakin memandulkan teknologi kita sendiri.

Sementara orang-orang cerdas yang tetap nekad bekerja untuk negeri ini, karena idealisme tinggi untuk mandiri dalam teknologi, tidak didukung agar terus kerja keras, kerja cerdas serta kerja ihlas; namun justru diajari untuk kerja meras, kerja culas dan kerja (me)nindas.

Namun di depan Tuhan Yang Maha Esa, barangkali merekalah para juara sejati.

Pengalaman Mencoba Menghidupkan Inovasi di Bakosurtanal

Thursday, July 20th, 2006

Makalah Seminar Inovasi Nasional, Hotel Crown Plaza Jakarta, 19-20 Juli 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911
email: famhar@yahoo.com

Abstrak

Inovasi di Bakosurtanal dijumpai dalam upaya peningkatan kualitas, kuantitas dan aplikabilitas survei dan pemetaan. Meski kegiatan riset untuk itu tidak dianggarkan tersendiri, bahkan juga mengalami kesulitan dalam penilaian angka kreditnya, namun manfaat dari inovasi dapat dirasakan secara langsung dalam bentuk efisiensi dan efektivitas program-program survei dan pemetaan nasional.

Inovasi seharusnya menjiwai semua Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) di bawah koordinasi Kementrian Riset dan Teknologi (Ristek). Hasil-hasil inovasi ini kemudian disebarkan ke para pengguna, terutama kalangan industri, sehingga langsung memberi nilai tambah untuk masyarakat. Namun sejauh ini belum ada kajian yang cukup rinci tentang pengalaman berinovasi pada LPND-LPND di bawah Ristek. Bagaimanapun juga karakteristik setiap LPND adalah berbeda.

1. Latar Belakang

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional secara resmi adalah salah satu LPND di bawah Ristek. Namun meski demikian, Bakosurtanal lebih tepat disebut lembaga “semi”. Berbeda dengan LPND Ristek lainnya, Bakosurtanal memiliki fungsi utama menyediakan peta-peta dasar dan tematik di seluruh wilayah Indonesia untuk dapat digunakan oleh berbagai sektor dalam pembangunan. Aktivitas ini lebih mirip “industri”, meski produk yang dibuat selalu unik, karena daerah yang dikerjakan tidak ada yang sama serta jenisnyapun bermacam-macam. Yang mirip-mirip hanyalah sumber data dan metode membuatnya. Dengan demikian, Bakosurtanal lebih mirip dengan industri penerbitan buku, yang mengeluarkan ratusan judul buku per tahun dalam berbagai jenis atau format. Output aktivitas Bakosurtanal agak sulit bila dihitung dari jumlah karya ilmiah yang dipublikasikan atau penemuan yang dipatenkan.

Dengan demikian timbul pertanyaan: lantas di mana risetnya? Lebih jauh lagi: mana inovasinya?

Posisi riset atau litbang adalah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokoknya, atau secara singkat bagaimana mengoptimalkan seluruh aktivitas survei dan pemetaan di Indonesia. Kajian berikut ini boleh jadi menggambarkan juga beberapa situasi pada lembaga lain, yang meski ada riset, namun tugas utamanya justru bukan riset, namun juga bukan sekedar birokrasi.

Di Bakosurtanal ada sekitar 40 pejabat fungsional peneliti dari total 600 pegawai yang ada. Sebagian dari mereka saat ini tidak aktif karena memangku jabatan struktural. Selain itu, terdapat pula sejumlah pakar yang meski melakukan penelitian secara mandiri, namun belum / tidak terdaftar sebagai pejabat fungsional peneliti. Sebagian besar peneliti ini tidak ditaruh di Balai Penelitian Geomatika (Balitka) – sebagai satu-satunya unit kerja di Bakosurtanal dengan tugas pokok penelitian. Di luar Balitka, para peneliti tersebar di hampir setiap unit kerja teknis.

Lantas apakah riset yang hampir “sambilan” ini dapat menghasilkan inovasi? Sebagian besar mungkin tidak. Riset seharusnya memang merupakan suatu kerja “cerdas” – yang nantinya akan menghasilkan suatu temuan atau cara kerja yang akan melipatgandakan kemampuan kerja manusia. Namun faktanya, bagi sebagian orang, meski bekerja dengan alat-alat canggih, mereka hanya mengikuti rutinitas dalam prosedur operasional baku (SOP), dan lagi pula alat-alat canggih itu memang sudah standar kerja saat ini. Mereka yang seperti ini untuk meningkatkan hasil kerjanya harus lebih lama bekerja atau mengeluarkan energi lebih banyak. Ini baru bekerja “keras”. Bekerja “cerdas” adalah ibarat menggeser titik tumpu pengungkit, sehingga dengan waktu dan tenaga yang sama, dapat dihasilkan produk yang jauh lebih banyak dari semula. Dan kerja cerdas inilah inovasi. Maka fokus pada tulisan ini adalah: sejauh mana inovasi dalam lembaga semi seperti Bakosurtanal ini bisa berjalan.

2. Inovasi sebagai Fokus Litbang

Sebagian peneliti menjadikan aktivitas litbang mereka aktivitas rutin yang tidak inovatif. Pada tulisan ini hanya akan dibahas litbang yang berfokus inovasi, yakni untuk peningkatan kualitas, kuantitas dan aplikabilitas.

2.1  Inovasi peningkatan kualitas

Survei dan pemetaan sudah dikerjakan orang ribuan tahun. Sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, kualitas aktivitas inipun terus meningkat. Peningkatan kualitas survei akan tampak dari akurasi data yang dikumpulkan. Sedang kualitas peta terlihat dalam kartografi yang makin komunikatif.

Untuk mencapai hal di atas, diperlukan spesifikasi yang makin baik sesuai ketersediaan teknologi. Bakosurtanal telah membuat spesifikasi pemetaan yang modular dan komprehensif, meliputi sembilan langkah pemetaan, sejak dari pengumpulan data baku hingga revisi peta, serta terbuka atas segala variasi teknologi yang mungkin ada. Spesifikasi ini dihasilkan dari riset atas spek-spek yang telah ada sebelumnya, namun selama ini hanya terkait proyek tertentu atau tergantung pada teknologi tertentu [1] .

Dari sisi produknya sendiri, mau tidak mau peta-peta yang ada harus diperingkatkan sesuai kualitas sumber datanya. Dengan itu maka bisa dinilai apakah suatu proyek pemetaan cocok dengan kebutuhan serta sumberdaya (dana, waktu, manusia) yang tersedia. Untuk itulah dilakukan inovasi untuk menghasilkan metode pemeringkatan data spasial [2] .

Kemudian untuk teknologi yang diperlukan, terutama software, dilakukan beberapa pengembangan yang langsung terpakai, semisal pembuatan software supervisi data, sehingga supervisor bisa memeriksa data jauh lebih cepat daripada cara-cara sebelumnya, terlebih bila data yang harus diperiksa dalam jumlah yang sangat besar (seperti dalam pengalaman proyek pemetaan digital Jawa-Bali-Nusa Tenggara [3] .

Riset atas software juga dilakukan dalam rangka mencari software-software mapping, GIS dan Remote Sensing yang bermutu namun murah. Untuk ke depan, trend akan semakin condong kepada software open source, yang selain bebas lisensi juga memungkinkan pengembangan lebih lanjut karena tersedianya sourcecode yang lengkap [4] .

Di atas semua, ada sejumlah pekerjaan yang sama sekali baru, seperti pembuatan peta-peta rupabumi dari foto-foto udara yang sudah berusia 10 tahun lebih dan belum dilengkapi dengan titik kontrol tanah (GCP) di pedalaman Kalimantan. Pekerjaan yang melibatkan belasan ribu foto udara, ratusan GCP yang diukur dengan GPS, kemudian Triangulasi Udara (AT) dengan puluhan ribu titik untuk menghasilkan 100 lebih peta rupabumi 1:50.000 ini memerlukan banyak sekali inovasi baru sehingga akhirnya bisa diselesaikan [5] .

2.2. Inovasi peningkatan kuantitas

Yang dimaksud dengan peningkatan kuantitas adalah bagaimana dengan jumlah dana dan waktu yang terbatas bisa diolah atau dihasilkan lebih banyak peta atau data spasial. Dalam hal ini, cara yang paling mudah ditempuh adalah dengan reka-ulang algoritma pengerjaannya, kemudian membuatnya berjalan otomatis.

Sebagai contoh yang paling sederhana adalah membuat otomatis konversi nomor lembar peta sistem Direktorat Topografi TNI-Angkatan Darat ke sistem Bakosurtanal dan sebaliknya [6] .

Kemudian juga perhitungan deklinasi magnetik yang diperlukan di hampir setiap lembar peta [7] .

Otomatisasi dapat dilakukan di setiap tahapan pemetaan sesuai dengan spesifikasi yang telah dibuat, meski tingkat otomaticabilitasnya bisa berbeda-beda [8] .

Yang masih sedang diperjuangkan adalah juga inovasi alat-alat (hardware dan sistem) yang akan sangat mempercepat pekerjaan survei dan pemetaan. Banyak topik penelitian yang sangat ditunggu praktisi, tidak cuma di Bakosurtanal, yang saat ini belum ditawarkan baik oleh industri (termasuk yang dari Luar Negeri) maupun terpikirkan oleh perguruan tinggi. Karena itu diperlukan kerjasama yang erat dengan riset industri maupun perguruan tinggi, termasuk dari bagian yang tak terkait langsung survei pemetaan, misalnya dari departemen mesin, elektro atau informatik [9] .

2.3  inovasi peningkatkan aplikabilitas

Data spasial yang sangat banyak dan beragam di Bakosurtanal baru berguna bila sudah dapat diakses dan diaplikasikan oleh penggunanya.

Untuk itu diperlukan riset untuk menemukan cara-cara sosialisasi atau marketing yang tepat. Riset ini diperlukan guna memantau produk yang benar-benar diperlukan pasar, strategi diferentiatingnya, beserta skema harga dan cost-revenuenya. Dalam jangka panjang, riset ini akan memberikan “peta perjalanan” bagi Bakosurtanal untuk meraih positioningnya [10] .

Dalam segi diferensiasi produk, ada banyak produk unggulan yang dapat dikembangkan dari data-data dasar yang telah dimiliki, misalnya pembuatan peta jalan rawan kecelakaan, peta daerah rawan kemiskinan, simulasi banjir, posisi optimal PLTA Mikrohidro dan digital 3D-city model. Sebagian dari hal-hal di atas telah diimplementasi secara praktis [11] , sebagian yang lain telah diidentifikasi algoritmanya untuk segera dapat diwujudkan [12] .

Di sisi lain ada pula aplikasi yang jauh lebih sederhana, hanya selama ini belum pernah disentuh, semisal peta dalam format A4 untuk buku agenda kerja pemerintah daerah serta peta sebaran bahasa dan dialek untuk studi sosial dan lingkungan [13] .

3. Masalah dalam Inovasi

Ada beberapa masalah yang ditemukan dalam menghidupkan inovasi. Masalah ini dapat dikelompokkan menjadi masalah individual peneliti, masalah kultural LPND dan masalah sistem birokrasi.

3.1. Masalah Individual

Masalah individual lebih terletak pada visi dan orientasi dari peneliti. Masih ada sebagian peneliti yang hanya berorientasi Angka Kredit (kum) dan bukan inovasi yang langsung dapat bermanfaat dalam proses kerja industrial.

Namun ini tak sepenuhnya kesalahan individu. Bagaimanapun sistem penilaian angka kredit yang ada selama ini belum sepenuhnya mengakomodir aktivitas inovasi. Meski dalam juknis penilaian angka kredit ada PEMACUAN TEKNOLOGI, namun tetap saja baik individu peneliti maupun tim penilainya belum memiliki persepsi yang sama tentang apa yang dimaksud dan bagaimana menilainya.

3.2. Masalah Kultural

Dalam sistem Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang ada saat ini, sebenarnya terbuka peluang untuk menghargai inovasi secara lebih fair dan transparan.

Ketika satu unit hasil kerja dinilai sebesar X Rupiah, maka seharusnya sama saja, apakah itu dikerjakan selama 30 hari kerja atau satu hari kerja – karena menggunakan inovasi.

Namun kultur atau budaya yang ada terkadang justru membatasi sehingga inovasi tak tumbuh, lantaran honorarium dihitung dari jam kerja efektif, yang tercermin dari logbook peneliti.

Hal itu membuat kadang-kadang ada peneliti yang sengaja menyembunyikan inovasi yang ditemukannya, agar tidak ditiru orang lain – yang akan berpengaruh pada keunggulan kompetitifnya.

Di sisi lain, masih ada budaya “inlander” yang lebih mengagungkan “best-practice” ataupun teknologi dari luar negeri – atau setidaknya konsultan asing. Padahal bisa jadi yang dari luar negeri itu tidak cocok untuk diterapkan dengan kondisi real yang kita hadapi saat ini, atau yang ditemukan para peneliti kita sebenarnya justru lebih baik, dan bahkan bisa diekspor. Pengalaman, pernah suatu rekomendasi inovasi hasil peneliti kita, baru diterapkan setelah disampaikan melalui konsultan asing.

3.3. Masalah Struktural (Sistem)

Pada umumnya kita juga belum memiliki suatu Sistem Informasi Penelitian dan Karya Ilmiah – apalagi Sistem Informasi Inovasi. Inovasi yang ditemukan di perguruan tinggi (S1/S2/S3/riset) maupun industri sering tidak diketahui.

Idealnya, meski tidak sampai ke taraf paten, sinopsis inovasi ini bisa diakses oleh semua pihak sehingga baik di Bakosurtanal maupun di dunia industri bisa melakukan survei dan pemetaan secara lebih optimal. Dalam hal ini sudah pernah terjadi suatu kontraktor Bakosurtanal melakukan inovasi, yakni suatu software untuk mempercepat koreksi data. Keberadaan software ini dilaporkan ke Bakosurtanal, dan Bakosurtanal kemudian mempopulerkan software ini ke kontraktor yang lain. Kontraktor inovator software tersebut kemudian dapat menjual software itu ke kontraktor lain. Hasilnya, keseluruhan proyek berjalan lebih cepat.

Namun secara legal formal, inovasi dari perorangan atau perguruan tinggi di luar Bakosurtanal meski sangat menarik (seperti pesawat Trike untuk pemotretan udara, atau software Softcopy Photogrammetry dari Dr. Agus Suparman / ITB), masih agak sulit diimplementasikan. Penyebabnya sering aturan keproyekan yang membuat mereka tidak dapat bersaing dalam tender – misalnya tentang legalitas perusahaan, besaran modal, pengalaman dsb.

Di sisi lain kemampuan inovasi sebagian peneliti Bakosurtanal terkadang juga sulit untuk secara legal formal didisseminasikan keluar (spin off) ke industri survei pemetaan nasional. Apalagi bila peneliti itu terlibat sebagai supervisor bagi proyek yang sedang dikerjakan industri yang mendapatkan kontrak kerja dari Bakosurtanal. Kalau dia membagi ilmunya, kesannya jadi ada kolusi supervisor-kontraktor. Kalau dia bukan supervisor, setidaknya nanti dia akan berhadapan dengan supervisor yang sama-sama berasal dari Bakosurtanal. Dan ini secara etis jadi menimbulkan image yang kurang enak. Solusinya kemudian memakai medium pihak ketiga, yang tetap saja secara hukum bisa bermasalah. Di sinilah diperlukan kearifan dari para petinggi institusi serta dari inspektorat dan auditor external.

Untuk jangka panjang memang solusi paten bisa jadi lebih baik, namun untuk hal ini diperlukan kajian cost-benefit dari paten tersebut, mengingat karena pasar survei pemetaan di Indonesia masih sangat kecil, sedang mempersiapkan dan mendaftarkan paten juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.

4. Kesimpulan

Berbagai inovasi sudah berhasil dilakukan di Bakosurtanal dalam rangka meningkatkan kualitas, kuantitas dan aplikabilitas data spasial. Namun masih dihadapi sejumlah masalah, baik yang bersifat invidual, kultural maupun struktural, baik dalam memasukkan inovasi lokal ke dalam, maupun dalam men-spin-off hasil inovasi di dalam ke industri nasional.

Referensi (Endnotes)

[1]  Fahmi Amhar: Modular All Step Mapping Specification (MASMapS). ISPRS TC-IV Poster, Istanbul, 2004.

[2]  Fahmi Amhar & Agus Prijanto : Menggagas Metode & Lembaga Pemeringkatan Data Spasial. Accepted Paper for Presentation PIT MAPIN Surabaya, 14 September 2005

[3]  Fahmi Amhar: Transfer Teknologi, Supervisi dan Aplikasi Pemetaan Digital. Kapita Selekta Pemetaan Digital – Prosiding Forum Geoinformasi dan Pemetaan – 2001. Bakosurtanal: 11-26.

[4]  Fahmi Amhar: Gambaran Beberapa Software Murah dan Open Source untuk Remote Sensing & GIS. Workshop “Optimalisasi Pemanfaatan Open Source di Bidang Penginderaan Jauh”. 11 Agustus 2005

[5]  Fahmi Amhar: Tantangan Inovasi untuk Pemetaan Kalimantan, Prosiding Forkom Geospasial Nasional 2003 (isbn 979-3369-08-6): 185-199

[6]  Fahmi Amhar: Pedoman Konversi Nomor Lembar Peta Dittop-AD dan Bakosurtanal. PDRTR, 2002 (buku dan software)

[7]  Fahmi Amhar: Mendapatkan Angka Deklinasi Magnetik untuk Peta Rupabumi. Prosiding Rakortek SIG, Jakarta 13 Mei 2004 + software.

[8]  Fahmi Amhar: Otomatisasi dalam Pengelolaan Data Spasial — antara Cita-cita dan Realita. CD Prosiding, Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia, Bandung 10-11 Desember 2003

[9]  Fahmi Amhar: Daftar Inventaris Masalah Pemetaan – Topik Penelitian yang dibutuhkan Praktisi. Accepted Paper for Presentation FIT ISI, Malang 29-30 September 2005.

[10]  Fahmi Amhar: Strategi Marketing Informasi Spasial. Accepted Paper for Presentation Forum Atlas, Jakarta 27 September 2005

[11]  Agus Hikmat, Fahmi Amhar: Algoritma Rekonstruksi Dinding dan Atap Bangunan untuk Pembuatan Model Bangunan Digital 3D, Jurnal Surveying & Geodesi ITB Vol. X no 2, Mei 2000: 11-18.

[12]  Fahmi Amhar: Quasi GIS Analysis using Digital Map Data. Presented Paper. Proceeding of 5th Annual GIS Asia Pacific Conference. Singapore. September 1999.

[13]  Fahmi Amhar: GIS untuk Pemetaan Bahasa. Workshop “GIS untuk Pemetaan Bahasa”, Pusat Bahasa Depdiknas, 24 Maret 2006