Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Prancis Setelah Jihad Tertahan di Tours

Thursday, December 23rd, 2010
Masjid di Trappes, Yvelines

Masjid di Trappes, Yvelines

Apa yang Anda bayangkan mendengar kata “Prancis”.  Parfum?  Mode?  Menara Eiffel?  Liberté (Kebebasan)?  Ya, Prancis memang sering diidentikkan dengan itu.  Namun siapa yang menduga bahwa di Prancis ada 8 juta Muslim, dan Islam adalah agama kedua terbesar? Angka ini sebenarnya taksiran belaka, boleh jadi lebih besar, karena Undang-undang Prancis melarang sensus yang mendata penduduk berdasarkan ras atau agama.  Pada tahun 2000, Kementerian Dalam Negeri Prancis menaksir jumlah mualaf Prancis sekitar 40.000 orang. Pada tahun 2008, telah ada 2.125 masjid di Prancis.
Islam sebenarnya sudah datang ke Prancis sejak para mujahidin di bawah pimpinan Thariq bin Ziad abad 8 M menaklukkan Spanyol hingga setengah Prancis.  Pada perang di Tours (dekat Paris) pada 732, gerak jihad ini tertahan oleh tentara kerajaan Franka dan Burgund.  Pada musim dingin 1543-1544, setelah kemenangan tentara Utsmani pada pertempuran di Nice (dekat Monaco sekarang), kota Toulon dijadikan basis armada laut Utsmani di bawah pimpinan Laksamana Barbarosa.  Untuk memfasilitasi kru Turki, penduduk Kristen di situ telah dievakuasi, dan Katedral Toulon sempat diubah menjadi masjid.  Namun hal ini ternyata tidak bertahan lama.  Setelah armada Turki terusir, Prancis kemudian sama sekali terpisah dari Islam hingga abad-20.

Pasca Perang Dunia ke-2, Prancis mendatang-kan banyak pekerja migran dari negeri-negeri Afrika Barat seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia, yang pernah dijajahnya.  Mereka mendapat keuntungan sudah terbiasa dengan bahasa dan budaya Prancis (Francophonie).  Mereka memilih menetap di Prancis dan berkewarganegaraan Prancis ketika diberikan kesempatan untuk membawa serta keluarganya.  Generasi kedua mereka otomatis menjadi warga negara Prancis sebab negara ini menganut asas Ius Soli (kewarganegaraan ditentukan oleh tempat kelahiran).  Kedatangan pekerja migran yang notabene Muslim ini membawa pertumbuhan ekonomi yang cukup besar bagi Prancis, terutama di sektor konstruksi dan manufaktur.

Meski negara Prancis ingin menjaga kemurnian sekulerisme dengan tidak melakukan apapun terhadap agama apapun, pada tahun-tahun terakhir ini, pemerintah telah berusaha mengorganisasikan perwakilan dari Muslim Prancis.  Pada tahun 2002, Nicolas Sarkozy yang saat itu masih menjadi Menteri Dalam Negeri mendirikan “French Council of the Muslim Faith” (Conseil Français du Culte Musulman – CFCM), meski dikritik karena ini dianggap hanya akan menciptakan communitarianisme (fanatisme kelompok).  Meski CFCM ini secara informal diakui oleh pemerintah, ia tetap semacam LSM tanpa status hukum.  Pada tahun 2004, CFCM dipimpin oleh Dalil Boubakeur, imam masjid Paris  yang banyak mengecam Union of Islamic Organisations of France (UOIF) karena dianggap melibatkan diri pada persoalan politik saat kerusuhan 2005.  Nicolas Sarkozy sendiri juga dikecam oleh sayap kiri maupun kanan dari parlemen, bahwa sikapnya menciptakan CFCM justru mendorong kelompok Muslim yang lebih ekstrim lagi, terutama UOIF yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin.

Karena negara menerapkan sekulerisme murni, maka orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan Islam harus mengirim anaknya ke sekolah swasta yang berbayar. Sebagian besar warga Muslim di Prancis mempercayakan pendidikan Islam pada anak-anaknya ini secara informal di masjid-masjid, sementara sekolahnya tetap di sekolah negeri yang sekuler. Jadilah masjid-masjid itu jalur utama pewarisan Islam di Prancis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di antara negeri-negeri di Eropa, Prancis adalah tempat di mana umat Muslim paling baik terintegrasi dan merasa negeri itu adalah negerinya. Mereka juga memiliki sikap yang terbaik terhadap pemeluk agama lain.  Banyak Muslim menjadi selebritas olahraga, seni ataupun sains di Prancis. Contohnya adalah tokoh pesepakbola Zinedine Zidan.

Meski demikian, pada tahun 2010 sebuah penelitian bertajuk “Are French Muslims Discrimina-ted Against in Their Own Country?”, menunjukkan bahwa dalam mencari pekerjaan seorang Muslim memiliki harapan 2,5 kali lebih rendah daripada seorang Kristen.  Menurut “European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia” perusakan masjid dan makam Islam (vandalism) juga kadang-kadang masih terjadi.  Dan terakhir adalah pelarangan cadar di kantor-kantor pemerintahan.[]