Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Ketika Agama bukan sekedar Dogma dan Busana

Saturday, August 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Benarkah sekarang isu atau pengelompokan agama tidak laku lagi?  Isu seputar agama istri seorang cawapres sempat mengemuka, dan meski tidak dijawab dengan lugas tetapi toh tidak menurunkan elektabilitas pasangan capres-cawapres secara signifikan.  Sebaliknya capres-cawapres yang istri-istrinya anggun berjilbab, bahkan didukung ormas-ormas Islam terbesar, ternyata justru mendapat nomor buncit dalam perolehan suara.

Agama memang tinggal dipahami orang sebatas apa yang tampak sebagai ritual ibadah, busana islami, majelis zikir ditambah status dalam dokumen resmi seperti KTP atau surat nikah. Dan fakta membuktikan, itu semua sudah dianggap kurang penting dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara. Di negeri ini, agama tinggal menjadi isu sensitif pada sudut-sudut sempit kehidupan, misalnya soal kehalalan makanan, soal calon suami/istri atau pejabat, atau ketika akan dibangun rumah ibadah agama lain.  Setiap ada yang mempersoalkan agama lain, distigma kurang toleran, tidak paham pluralisme, anti demokrasi.  Kata mereka, mana agama yang benar biar menjadi persoalan masing-masing dengan Tuhan, toh masing-masing mendogmakan agamanya yang terbenar.

Memang sebagian masyarakat masih merasa gembira bila ada tokoh, apalagi selebriti dunia yang menjadi muallaf – contohnya Mike Tyson atau Michael Jackson, namun juga kecewa bila saat meninggalnya, upacara pemakamannnya tidak islami.  Banyak juga orang mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Islam, berharap anak-anak itu tumbuh jadi anak yang shaleh, sekalipun kehidupan orang tuanya masih jauh dari Islam.  Tak heran kini sekolah-sekolah Islam tumbuh seperti jamur di musim hujan, sekalipun biayanya kadang selangit, dan mencari guru agama Islam yang benar juga sebenarnya sulit.  Di Indonesia ini gelar paling mudah adalah Ustadz.  Asal lancar baca Qur’an dan sedikit tahu agama sudah bisa dipanggil Ustadz.  Tambah bisa baca kitab bertulisan Arab gundul langsung dipanggil Kyai, sekalipun tidak di pesantren.  Dan mohon maaf, menjadi Ustadz belum jadi pilihan pertama dari para pelajar yang paling cerdas.

Padahal bagaimana kedudukan agama di masa yang sangat panjang, ketika negara Islam masih menjadi negara yang mempesona di dunia?

Pada saat itu Islam bukan sekedar “dogma atau busana”.  Islam disebarkan dengan rasionalitas dan teladan.  Meski dakwah dilakukan ke seluruh penjuru dunia dengan jihad militer yang ofensif, namun jihad itu hanya bertujuan menghilangkan kekuatan militer yang menghalang-halangi dakwah.  Selebihnya, apakah penduduk daerah yang mengalami futuhat itu akan memeluk Islam, dibebaskan kepada akal sehat mereka.  Kepada mereka diberikan teladan dan bukti nyata, bagaimana Islam mengurus seluruh masyarakat dengan sebaik-baiknya.

Kalau mereka masuk Islam, maka hak-hak dan kewajiban mereka sama dengan warga muslim yang lain.  Mereka berhak mendapatkan pembagian zakat, berhak menikahi wanita muslimah, berhak dipilih dalam jabatan politik (seperti kepala negara atau kepala daerah), juga berhak diperlakukan sebagai muslim ketika wafat, tetapi juga wajib berbusana sebagai muslim, makan-minum sebagai muslim, juga beribadah sebagai muslim, termasuk berzakat atau berjihad.

Sebaliknya bila mereka bertahan dalam kekufurannya, mereka tetap mendapat santunan di kala membutuhkan, sekalipun itu bukan zakat; mereka tetap boleh menikahi wanita-wanita yang halal menurut agama mereka, selama bukan muslimah; boleh menjadi pejabat administrasi pemerintahan, selama bukan pejabat politik; juga berhak diurus jenazahnya sesuai tatacara agama mereka, berhak berbusana sebagaimana agama mereka mengaturnya, berhak makan-minum yang dianggap halal oleh agama mereka – termasuk babi atau minuman keras, selama diproduksi sendiri di rumah-rumah mereka; dan tentu saja mereka tidak wajib ikut ibadah seperti warga muslim, tidak wajib ikut puasa, tidak wajib berzakat – melainkan mereka hanya membayar jizyah; dan tentu juga mereka tidak wajib berjihad.  Hanya pada saat negara dalam bahaya, mereka wajib ikut membela negara sebagaimana kesepakatan mereka sebagai ahlul dzimmah.

Bagi dunia saat itu, perlakuan pada umat lain semacam ini adalah luar biasa dan pertama kalinya.  Hukum Islam merupakan satu satunya hukum yang membolehkan hukum lain berlaku dan dijalankan dalam banyak persoalan perdata (ibadah, makanan, pakaian, keluarga).

Sedang ulama adalah “kelas” yang benar-benar “terbuka” bagi siapa saja yang mempelajari dan menguasai hukum, baik melalui sistem pendidikan atau dengan belajar sendiri tanpa guru.  Negara menjamin kehidupan para ulama yang mengajar secara informal di masjid-masjid.  Siapapun boleh datang pada halaqoh-halaqoh ini.  Sistem ini masih berjalan di banyak masjid di dunia Islam.  Setidaknya jamaah haji masih bisa menyaksikannya di masjid Nabawi di Madinah, di mana setiap saat ada beberapa halaqoh sekaligus, barangkali satu membahas tafsir, lainnya fiqh, hadits, tarikh, tasawuf dan sebagainya.  Kadang bahkan dalam bahasa yang berbeda-beda.

Tak heran dengan sistem dan tradisi seperti itu, seorang anak kecil bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafii mendapat akses ilmu sekalipun dia seorang anak yatim yang sangat miskin di Makkah.  Ketika dia datang ke Imam Malik di Madinah, dia sudah hafal Qur’an dan kitab al-Muwatha’ Imam Malik.  Dan oleh profesornya ini, Syafii muda kemudian dijadikan asisten mengajarnya meski belum baligh, sehingga ada riwayat, ketika dia mengajar fiqh di siang hari Ramadhan, dengan tenang dia minum.  Ketika ada protes dari audiensnya, dia bilang, “Hei, jangan marah, saya belum baligh, belum wajib puasa”.

Saat itu orang-orang yang paling cerdas berbondong-bondong belajar ilmu-ilmu Islam.  Ilmu fiqih termasuk yang paling laris, karena alumninya dicari oleh peradilan di mana-mana, baik untuk menjadi qadhi (hakim), jadi mufti (pemberi fatwa), jadi konsultan, jadi advokat ataupun jadi ilmuwan mujtahid yang terdepan melakukan penelitian hukum di segala bidang kehidupan.

Hasilnya, Islam tampak realisasinya di segala bidang kehidupan, tidak hanya di sudut-sudutnya saja.  Para pemeluk agama lain juga menikmatinya.  Walhasil, ketika beberapa kali terjadi serangan asing, warga non muslim dzimmy itu justru membela negerinya.  Pada perang Salib, pasukan Salib justru menghadapi perlawanan dari warga Nasrani Palestina.  Kalau serangan itu sudah tak tertahankan, seperti ketika Andalusia jatuh ke tangan Kerajaan Katholik Spanyol, mereka akan mengungsi ke wilayah muslim yang lain, sebagaimana Yahudi Andalusia yang mengungsi ke Maroko atau Bosnia,.  Demikian juga dengan sejumlah penganut Orthodox di Rusia yang mengungsi ke wilayah Utsmani pasca Revolusi Bolschewik.