Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

48 HUKUM KEKUASAAN (dari Robert Greene)

Sunday, September 18th, 2011

Lepas dari soal setuju atau tidak, faktanya, di dunia politik kekuasaan (bukan politik pelayanan!) ada semacam “hukum” yang dipegang teguh oleh para pemainnya.  Mereka menggunakan “hukum kekuasaan” itu untuk meraih kekuasaan – dengan cara-cara yang legal, baik dipandang etis ataupun kurang etis.  Tetapi itulah realitanya.  Sekalipun kita tidak ingin mengikuti hukum tersebut, tetapi kalau kita tidak ingin diperalat atau menjadi korban kekuasaan, kita mesti tahu 48 hukum kekuasaan ini.  Robert Greene memilih 48 hukum kekuasaan ini dari sejarah panjang perilaku kekuasaan, sejak zaman Yunani dan China kuno, sampai zaman modern.

HUKUM 1 : JANGAN PERNAH TERLIHAT LEBIH BAIK DARI ATASAN ANDA. Senantiasalah buat atasan anda merasa superior. Walaupun anda ingin menyenangkan hati mereka atau membuat mereka terkesan, jangan terlalu berlebihan dalam menunjukkan bakat-bakat anda, jika tidak anda hanya akan berhasil memancing reaksi sebaliknya—memancing perasaan takut dan tidak aman mereka. Buatlah atasan anda tampak lebih brilian daripada sesungguhnya, maka anda akan memperoleh kekuasaan terbesar.

HUKUM 2 : JANGAN PERNAH TERLALU MEMPERCAYAI TEMAN, TETAPI PELAJARILAH CARA MEMANFAATKAN MUSUH. waspadalah terhadap teman-teman anda—mereka bisa lebih cepat menghianati anda, karena mereka mudah merasa iri. Mereka juga sering menjadi manja dan lalim. Tetapi pekerjakanlah mantan musuh anda, maka ia akan lebih setia daripada teman anda. Karena ia memiliki lebih banyak alasan untuk membuktikan dirinya. Sesungguhnya ada lebih banyak hal yang harus anda takuti dari teman anda daripada musuh anda. Jika anda tidak punya musuh, carilah cara untuk menciptakan musuh.

HUKUM 3 : SEMBUNYIKAN NIAT ANDA. Jagalah agar orang lain tetap kaget dan tidak tahu apa-apa dengan tidak pernah mengutarakan tujuan dibalik tindakan anda. Jika mereka tidak tahu apa yang sedang anda rencanakan, mereka tidak bisa mempersiapkan pembelaan diri. Bimbinglah mereka cukup jauh di jalan yang salah, lingkupilah mereka dengan kebimbangan yang cukup pekat, maka pada saat mereka menyadari niat anda, segalanya pasti sudah terlambat.

HUKUM 4 : SENANTIASALAH BERBICARA LEBIH SEDIKIT DARI YANG DIPERLUKAN. Ketika anda mencoba membuat orang lain terkesan dengan kata-kata anda, semakin banyak kata-kata yang anda ucapkan, maka anda akan tampak semakin biasa-biasa saja dan semakin kurang terkendali. Bahkan jika anda  mengucapkan sesuatu yang dangkal, ucapan itu pasti tampak orisinil jika anda mengucapkannya dengan samar-samar, tanpa akhir yang jelas, dan njelimet. Orang-orang yang berkuasa membuat orang lain terkesan dan mengintimidasi mereka dengan lebih jarang berbicara. Semakin banyak kata-kata yang anda ucapkan, semakin besar kemungkinan bagi anda untuk mengucapkan sesuatu yang konyol.

HUKUM 5 : BEGITU BANYAK HAL TERGANTUNG DARI REPUTASI – JAGALAH REPUTASI ANDA DENGAN NYAWA ANDA. Reputasi adalah landasan kekuasaan. Melalui reputasi belaka anda bisa mengintimidasi dan menang; namun demikian, sekali reputasi itu hilang, anda menjadi rapuh dan pasti diserang dari segala sisi. Ciptakanlah reputasi yang tidak bisa diserang. Senantiasalah bersikap waspada terhadap potensi serangan dan gagalkanlah mereka sebelum mereka muncul. Sementara itu, belajarlah untuk menghancurkan musuh anda dengan menguak lubang-lubang reputasi mereka sendiri. Setelah itu menyingkirlah dan biarkan banyak orang menilai mereka.

HUKUM 6: CARILAH PERHATIAN BERAPAPUN HARGA YANG HARUS DIBAYAR. Segalanya dinilai berdasarkan penampilannya; apa yang tak terlihat tak berarti sama sekali. Jangan pernah biarkan diri anda tersesat di tengah gerombolan massa atau terlupakan. Jadilah manusia yang menonjol. Jadilah seseorang yang menarik perhatian berapapun harga yang harus anda bayar. Jadikan diri anda magnet dengan tampak lebih besar, lebih berwarna-warni, dan lebih misterius daripada gerombolan massa yang membosankan dan pemalu.

HUKUM 7: MINTALAH ORANG LAIN BEKERJA KERAS BAGI ANDA, TETAPI SENANTIASA TERIMALAH PUJIAN ATAS KERJA KERAS MEREKA. Pergunakan kebijaksanaan, pengetahuan, dan riset orang lain untuk memajukan tujuan anda sendiri. Bantuan semacam itu bukan hanya menghemat waktu dan energi anda yang berharga, tetapi akan memberi anda aura efisiensi dan kegesitan yang luar biasa. Pada akhirnya pada penolong anda akan terlupakan dan anda akan diingat. Jangan pernah lakukan sendiri apa yang bisa dilakukan orang lain untuk anda.

HUKUM 8: USAHAKAN AGAR ORANG LAIN MENDATANGI ANDA—PERGUNAKAN UMPAN BILA PERLU. Ketika anda memaksa orang lain bertindak, andalah yang memegang  kendali, selalu lebih baik jika anda menyuruh lawan anda menghadang anda sehingga dalam proses tersebut ia menelantarkan rencananya sendiri. Bujuk dia dengan keuntungan yang menakjubkan—kemudian serang dia. Andalah yang memegang kartunya.

HUKUM 9: RAIHLAH KEMENANGAN LEWAT TINDAKAN ANDA, JANGAN PERNAH MENANG LEWAT PERDEBATAN. Kemenangan sesaat apapun yang telah anda peroleh lewat jalan perdebatan sesungguhnya merupakan kemenangan yang terlalu banyak makan korban: kebencian dan niat buruk yang anda bangkitkan lebih kuat dan lebih bertahan lama daripada perubahan pendapat sesaat apapun. Jauh lebih baik bagi anda untuk mempengaruhi orang lain untuk sepakat dengan anda lewat tindakan anda tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Demostrasikan tindakan dan jangan pengaruhi orang lain dengan memaparkan pendapat anda.

HUKUM 10: INFEKSI; HINDARILAH ORANG-ORANG YANG TIDAK BAHAGIA DAN SIAL. Anda bisa mati akibat kesengsaraan orang lain—kondisi emosional bersifat menular, sama seperti penyakit. Anda mungkin merasa menolong orang yang sedang tenggelam, tetapi anda hanya mempercepat bencana anda sendiri. Orang yang sial kadang menarik kesialan bagi diri mereka sendiri; mereka juga akan menarik kesialan kepada anda. Bergaullah dengan orang-orang yang bahagia dan beruntung.

HUKUM 11: USAHAKAN AGAR ORANG LAIN TETAP TERGANTUNG KEPADA ANDA. Untuk mempertahankan kebebasan anda, anda harus selalu dibutuhkan dan diinginkan. Semakin sering anda dijadikan sandaran, semakin besar kebebasan yang anda miliki. Usahakan agar orang lain tergantung kepada anda untuk merasa bahagia dan mencapai kemakmuran, maka anda tidak perlu takut apa-apa. Jangan  pernah ajari mereka cukup banyak pengetahuan supaya mereka bisa hidup tanpa anda.

HUKUM 12: PERGUNAKAN KEJUJURAN DAN KEMURAHAN HATI SELEKTIF UNTUK MEMPERDAYA KORBAN ANDA. Satu tindakan yang tulus dan jujur akan menutupi lusinan tindakan tidak jujur. Bertindak jujur dan murah hati dengan hati terbuka pasti bisa meruntuhkan bahkan benteng orang-orang yang paling mudah curiga sekalipun. Setelah kejujuran selektif anda membuka lubang pada baju zirah mereka, anda bisa menipu dan memanipulasi mereka sesuka anda. sebuah hadiah yang diberikan tepat waktu—seekor kuda Troya—akan bermanfaat juga bagi anda.

(bersambung)

Khilafah: sistem manusiawi

Sunday, November 4th, 2007

Dr. Fahmi Amhar [Al Wa’ie November 2007]

Khilafah: Solusi Dunia

Perkembangan dunia Abad 21 ini menunjukkan peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di manapun dapat diikuti oleh siapapun di pelosok dunia manapun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh Negara-bangsa menjadi kurang berarti. Pertanyaannya: siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan global itu lebih baik?

Dalam hal ini, gaya hidup yang diciptakan dunia Barat yang materialistis-kapitalistis dan liberal-sekular pada awalnya memang berhasil mewarnai seluruh pelosok dunia lebih cepat. Namun, ujung-ujungnya gaya hidup ini juga lebih cepat menuai kecaman dari seluruh bangsa di dunia. Di segala pelosok dunia orang mengeluhkan pemborosan sumberdaya alam yang makin cepat, perusakan lingkungan yang makin dahsyat, tercerabutnya kearifan lokal, terdesaknya masyarakat adat dan makin jelasnya penjajahan ekonomi di mana-mana. Globalisasi yang semula dimaksudkan untuk mengokohkan peradaban Kapitalisme—sehingga Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “The End of History”—justru menjadi bumerang. Di mana-mana orang mencari alternatif. Bahkan di negeri-negeri asal Kapitalisme, arus orang yang mencari jalan alternatif semakin meningkat. Orang mencari makanan alternatif. Tren pertanian tanpa pupuk kimia atau pestisida (pertanian organik) meningkat pesat. Orang mencari wisata alternatif (eco-wisata). Bahkan orang mencari agama alternatif (dari mainstream di sana, yaitu agama Nasrani). Jumlah pemeluk Islam, Budhisme dan sekte-sekte tumbuh pesat.

Di sinilah, sistem Khilafah dengan syariah Islam sebagai solusi total permasalahan manusia akan menjadi alternatif yang makin menarik guna memberikan pemecahan praktis persoalan dunia. Dunia yang kehilangan arah makna kehidupan akan diberi paradigma baru yang tepat. Sistem Khilafah yang bersifat global, tetapi memberikan ruang bagi pluralitas, akan memberikan jalan yang berbeda daripada perangkap-perangkap negara-bangsa yang sudah tidak kompatibel lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta isu-isu lingkungan hidup.


Khalifah Juga Manusia

Sistem khilafah masih perlu didetilkan. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di Harian Media Indonesia (24/8/2007) lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma; di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan Khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia mempertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru—suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Adapun Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem Khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tetapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan diharapkan terus membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.

Sepanjang sejarahnya, HT terbukti konsisten untuk concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini (atas desakan AS dan Uni Eropa), yang mencekal dan mendeportasi para pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak hadir apalagi berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan dua penulis di atas sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajhizah Dawlat al-Khilâfah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan HT (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem Khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Memang, istilah khalifah dipakai secara umum dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30, dan secara agak khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul saw. telah dengan jelas membatasi istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi saw. bersabda:

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiapkali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi saw. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi saw.:

Umatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran.

HT menyimpulkan bahwa Ijmak Sahabat adalah sebuah sumber hukum. Karena itu, bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar, atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi, keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem Khilafah tidak memiliki model suksesi.

Adapun apa yang terjadi di masa Bani Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem baiat, namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus perdana menteri (PM) pada sistem demokrasi parlementer dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat pada Pemilu berikutnya.

Dalam sistem Khilafah, orang yang dicalonkan ini baru akan sah menjadi Khalifah dengan baiat. Baiat adalah akad antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariah Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah. Karena itu, jika khalifah tidak lagi menerapkan syariah maka akadnya otomatis batal. Mahkamah Madzalim secara konstitusional dapat memecat khalifah. Pemecatan ini tentu saja baru akan efektif jika kekuatan politik dan militer mendukungnya—sebagaimana juga mereka adalah kunci ketika seorang khalifah naik tahta. Kondisi real politis ini ada pada sistem apapun.

Sebaiknya dalam melihat suatu sistem pemerintahan, kita tak hanya terpaku pada sistem suksesi atau peralihan kekuasaannya. Konstitusi manapun tidak hanya mengatur suksesi. Dalam UUD ‘45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Jadi, saat kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya melihat suksesinya. Kalau mau jujur, Indonesia ini, meski telah melakukan suksesi secara sangat demokratis, kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Sebaliknya, meskipun terjadi penyimpangan sebagian kecil khalifah pada masa lalu, mereka masih melindungi seluruh rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban yang mulia. Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaannya membentang dari Spanyol hingga Irak. Khalifah al-Rasyid dan al-Makmun dari Bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa. Al-Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang aparatnya melakukan pelecehan seksual atas Muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik yang sangat demokratis ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al-Qanuni dari Bani Utsmaniyah berhasil menahan—untuk beberapa abad kemudian—laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Rusia, dll). Andaikata Khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.


Khilafah: Negara Hukum, Bukan Totaliter

Sering menjadi pertanyaan pula adalah masalah check and balance. Sistem demokrasi sering dipuja-puja karena adanya trias politika atau pembagian/pemisahan kekuasaan: legislatif–eksekutif–yudikatif. Sebaliknya, kekuasaan khalifah seperti dalam kitab-kitab fikih dituduh terlalu besar, tidak cuma sebagai eksekutif, tetapi juga bisa merangkap legislatif dan yudikatif. Sebagai legislatif: meski ada Majelis Syura, hanya dalam soal masyura keputusan syura mengikat; sedangkan dalam hukum syariah keputusan syura tidak mengikat. Sebagai yudikatif: selama tidak menyangkut dirinya, khalifah boleh mengadili secara langsung suatu pertikaian.

Orang lupa bahwa dalam sistem demokrasi dengan trias politika, kepala negara tetap paling berkuasa. Undang-undang apapun, kalau presiden tidak menerapkan, ya tidak jalan. Presiden juga bisa membuat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden agar suatu UU menjadi operasional. Adapun dalam soal yudikatif, faktanya presiden mempunyai kekuasaan memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi—sesuatu yang justru dalam sistem Khilafah tidak ada ketika perkaranya menyangkut hudûd atau jinâyah.

Orang juga sering lupa bahwa di negara manapun, dengan sistem apapun, kualitas kekuasaan akan bergantung pada kualitas masyarakatnya! Pada negara demokratis dengan trias politika, bisa saja seluruh kekuasaan itu praktis pada satu partai atau bahkan satu tangan. Jika suatu partai yang populer menang mutlak dalam Pemilu, dia akan mendominasi legislatif dan eksekutif. Anggota yudikatif yang konon independen pun toh dipilih dari para ahli hukum oleh DPR. Di Indonesia kita melihat sendiri seperti apa kualitas lembaga legislatif dan yudikatif yang konon melakukan check and balance itu.

Di sisi lain, jika legislatif dan eksekutif didominasi partai yang berbeda memang check and balance akan lebih kuat, namun dalam banyak hal juga akan membuat pengambilan keputusan sangat lamban yang bahkan bisa membuat pemerintahan lumpuh.

Seberapa efektif kekuasaan itu juga sangat bergantung pada kekuatan politik dan militer yang mengawalnya. Di negara yang sangat diktator pun, pemimpin tertinggi (raja, presiden atau sekjen partai komunis) akan berpikir seribu kali agar keputusannya juga didukung para aristokrat, tokoh partai dan pemimpin militer. Pada awal tahun 90-an, politik di sejumlah negara (Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Afrika Selatan) berubah total meski tanpa Pemilu. Kuncinya adalah perubahan cara pandang para tokoh politik dan militer sehingga sejalan dengan aspirasi masyarakat. Jadi, kuncinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat. Dari rahim merekalah lahir para pemimpin. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan para pemimpin politik dan militer yang cerdas.

Dari sini kita akan dapat mengerti bahwa tidak mungkin seluruh khalifah pada masa Umayyah-Abbasiyah-Utsmaniyah itu memerintah secara totaliter. Kalau ini terjadi, pasti umur sistem itu tak akan lama. Faktanya, mereka meninggalkan peradaban yang besar dan masyarakat yang kuat.

Namun, menganggap sistem Khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi juga menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses prosedur Pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang liberal pun paham akan hal ini sehingga mereka menentang kalau orang Islam hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.

Sejatinya, dalam demokrasi itu ada asas sekularisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas penopangnya.

Sebaliknya, ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak mempersoalkan pemilihan langsung oleh rakyat, sebab kekuasaan memang ditangan rakyat, namun menentang demokrasi dengan tiga asas penopangnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya?


Kesimpulan

Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan manusiawi yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (kedaulatan dari Allah), namun kekuasaan adalah dari umat. Karena kekuasaan dari umat, maka ia akan mengikuti dinamika politik manusia yang ada di dunia. Ini adalah realitas yang harus dimengerti, baik oleh para pejuang Khilafah maupun mereka yang skeptis terhadapnya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Dr. Fahmi Amhar]

 

Daftar Pustaka:

Ali Muhammad Ash-Shalabi: Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003.

Ibnu Khaldun: Muqaddimah. Edisi Indonesia oleh Pustaka Firdaus, 2000.

Robert Greene: The 48 Laws of Power. Edisi Indonesia oleh Karisma Publishing Groups, 2007.