Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Industri Islam tak hanya Perangkat Ibadat

Saturday, August 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Kira-kira apakah yang akan dipamerkan dalam suatu pameran perdagangan atau industri Islam?  Beberapa waktu yang lalu ada pameran seperti itu di Jakarta, tidak tanggung-tanggung, judulnya “islamic world trade fair”, pekan raya perdagangan dunia islam.

Jawabannya seperti telah diduga: perangkat ibadat seperti busana muslim / muslimah, sajadah, tasbih, minyak wangi non alkohol, halal-food, hiasan Islami seperti kaligrafi dan sejenisnya, serta biro jasa umrah dan haji plus.  Padahal banyak orang berharap acara itu akan menjadi ajang pertemuan para industriawan dari negeri-negeri Islam.  Mungkin dari Indonesia tampil industri agro, garmen, semen hingga industri pesawat; dari negara-negara Timur Tengah industri petrokimia, dari Malaysia industri otomotif dan dari Iran industri pertahanan.  Tapi entahlah, mungkin para industriawan masih merasa acara itu bukan ajang mereka, atau sebaliknya, penyelenggara memang hanya membidik segmen sempit, yakni muslim yang sedang memenuhi hasrat spiritualnya.

Padahal kalau kita buka lembaran-lembaran sejarah, industri di masa khilafah Islam ternyata memiliki spektrum yang sangat luas.  Donald R. Hill dalam bukunya Islamic Technology: an Illustrated History (Unesco & The Press Syndicate of the University of Cambridge, 1986) membuat sebuah daftar yang lumayan panjang dari industri yang pernah ada dalam sejarah Islam, yakni dari industri mesin, bahan bangunan, pesenjataan, perkapalan, kimia, tekstil, kertas, kulit, pangan, hingga pertambangan dan metalurgi.

Alih teknologi dalam Islam berlangsung sejak abad pertama hingga abad ke-10 Hijriah.  Dapat dilihat bahwa basis kemajuan dan perkembangan teknologi dalam peradaban Islam diperoleh dari peradaban Timur dekat pra Islam (Persia) dan Mediteranian Timur (Romawi), dan diketahui pula bahwa alih teknologi di daerah itu serta di bagian dunia lainnya telah berlangsung sejak sebelum kehadiran Islam.   Namun terlihat bahwa selama periode tertentu, sebagian besar alih teknologi berlangsung dari Islam ke Eropa dan bukan sebaliknya.  Dalam banyak hal, penemuan-penemuan Barat hanya dapat dipakai di Eropa Utara saja.  Bajak beroda berat misalnya, hanya cocok untuk jenis tanah liat yang basah di daerah Eropa.  Bandingkan misalnya dengan penemuan yang lebih universal dari al-Muradi pada abad ke-5 H tentang rangkaian roda gigi penggerak yang rumit dengan gir-gir bersegmen dan episiklus pada beberapa mesin.

Industri kertas yang menggabungkan pengetahuan kimia, material dan mesin bermunculan di dunia Islam setelah ada kontak budaya dengan Cina.  Pada tahun 134 H / 751 M, pasukan Islam memperoleh kemenangan yang menentukan atas Cina sehingga Cina menarik diri dari seluruh daerah Turkistan (daerah Xin Jiang sekarang).  Beberapa buruh Cina yang ditawan dalam pertempuran itu dikirim ke Samarkand dan kota-kota Islam lainnya.

Sementara itu penerimaan teknik Islam oleh Eropa tercermin dari banyaknya kata-kata bahasa Arab yang diturunkan menjadi kosakata bahasa-bahasa Eropa.  Dalam bahasa Inggris kata-kata tersebut seringkali, tetapi tidak selalu, masuk melalui bahasa Italia dan Spanyol.  Beberapa contoh: di bidang tekstil – muslin, sarsanet, damask, taffeta, tabby; di bidang kelautan: admiral, arsenal; di bidang kimia: alembic, alcohol, alkali; di bidang kertas: ream; dalam hal makanan: alfalfa, sugar, syrup, sherbet; di bidang penyamakan kulit: saffron, kermes; dsb.  Dapat diduga bahwa khususnya bahasa Spanyol sangat kaya dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan irigasi.  Contoh: tahona untuk penggilingan, acena untuk kincir air dan acequia untuk kanal irigasi.

Suatu ketika, industri permesinan yang paling maju adalah pembuatan alat-alat irigasi, yakni kincir-kincir otomatis bertenaga air.  Namun industri ini juga menarik tumbuhnya industri konstruksi seperti pembuatan semen untuk konstruksi dam dan kanal, serta industri pertanian untuk mengolah hasil panen yang kemudian melimpah.

Industri irigasi menjadi perhatian utama di negeri-negeri Islam, baik untuk air minum, wudhu, kebutuhan rumah tangga maupun pertanian pada umumnya.  Ini berbeda dengan Eropa Utara yang relatif memiliki curah hujan yang tinggi dan banyak sungai.  Alat irigasi yang pertama-tama dikembangkan adalah shaduf, yaitu semacam katrol pemberat dengan ember pada ujungnya untuk menaikkan air dengan mudah.  Katrol ini masih digerakkan dengan tenaga manusia.  Alat yang lain adalah saqiya dan noria (atau na’ura).  Saqiya digerakkan dengan tenaga hewan (seperti keledai), sedang noria dengan tenaga air.  Kedua alat ini sudah menggunakan roda gigi yang cukup rumit.  Meski alat-alat ini sudah dikenal sejak sebelum kelahiran Islam, namun para ilmuwan Islam telah menaikkan tingkat efisiensinya hingga lebih dari 60 persen.  Al-Jazari, insinyur muslim abad-5 H, mengembangkan lima jenis pompa air yang berbeda dari rancangan tradisional.  Saat ini, sisa-sisa saqiya maupun noria masih bisa ditemui di beberapa desa di Syria maupun Mesir, meski pompa listrik telah banyak menggantikannya.

Umat Islam benar-benar tekun mengembangkan industri bertenaga alam yang terbarukan seperti air atau angin.  Mereka bahkan mengukur aliran sungai berdasarkan jumlah penggilingan yang dapat diputarnya.  Sebuah sungai biasanyanya dinyatakan dalam sekian daya giling (mill-power).  Penggilingan pasang surut digunakan di Basrah abad ke-4 H (11 M), sementara catatan pertama penggunaannya di Eropa adalah seratus tahun kemudian.  Penggilingan biasanya didirikan di pinggir sungai dan terkadang pada penyangga jembatan memanfaatkan kecepatan aliran di tempat itu.  Setiap provinsi Khilafah sejak dari Spanyol dan Afrika Utara hingga Turkestan di batas Cina mempunyai sejumlah penggilingan.  Untuk melayani kota-kota besar bahkan diperlukan penggilingan gandum berskala besar.  Di kota Naishabur Khorasan misalnya, didirikan tujuh puluh penggilingan.  Demikian juga di Palermo Sizilia, ketika kota itu di bawah pemerintahan Islam.  Di dekat Baghdad, setiap industri penggilingan ini mampu menghasilkan sepuluh ton per hari.  Padahal sepanjang sungai Efrat dan Tigris sejak dari kota Mosul dan al-Raqqah hingga Bagdad berdiri ratusan penggilingan yang bekerja siang malam.  Penggilingan bertenaga air juga dilaporkan al-Biruni dipakai untuk industri kertas, industri gula tebu dan pengolahan batuan yang mengandung emas.

Sementara itu di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin menyebar menjadi sumber energi untuk industri.  Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal  karya Banu Musa bersaudara pada abad ke-3 H (9 M).  Tidak heran bahwa sejarawan Joseph Needham menulis, “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam”.