Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for July, 2007

Realitas Pendidikan di Barat

Friday, July 13th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Pendidikan di negara-negara Barat (Eropa, Amerika) sering dicirikan sebagai pendidikan yang maju, karena memang berada di dalam siklus sebuah negara industri maju.  Namun untuk memahmi realitas pendidikan di sana, beberapa sisi harus disorot.  Aspek pertama adalah persoalan akses vs mutu, yang secara langsung berkaitan dengan peran negara di dalamnya.  Di banyak negara, upaya pemerataan akses atas pendidikan sering dalam kontradiksi dengan mutu yang didapatkan.  Aspek kedua adalah tentang muatan pendidikan, baik dalam sisi ketrampilan hidup – termasuk di dalamnya sains dan teknologi, maupun pandangan hidup.  Yang jelas, realitas pendidikan di Barat sebenarnya tidak seragam, dan tidak mudah untuk digeneralisir.

 Realitas

Dari 200 perguruan tinggi top di dunia yang disurvei oleh majalah Times dan dipublikasikan pada November 2004, 62 universitas ada di AS.  Inggris mendapat ranking ke 2, disusul Jerman, Australia, Perancis dan seterusnya.  AS juga menduduki ranking pertama dilihat dari score maximum yang didapat oleh kampusnya. 

Sedang dihitung dari angka score rata-rata, Swiss menduduki peringkat tertinggi dengan angka 422.  Terlihat ada suatu simpangan yang cukup besar dari nilai rata-rata ke minimum dan maksimum di AS atau Inggris.  Sebaliknya di Jerman, Swiss atau Austria nilai simpangan ini sangat kecil, yang berarti mutu pendidikan di negara-negara itu relatif merata.

Scoring yang diberikan majalah Times ini meliputi penilaian dari peer (panel pakar), jumlah fakultas yang “go intenasional” dan jumlah mahasiswa dari luar negeri (yang diasumsikan menggambarkan reputasi perguruan tinggi tersebut sehingga diminati mahasiswa asing), rasio ideal dari jumlah mahasiswa per fakultas, dan jumlah karya tulis mereka yang dikutip di dunia ilmiah. 

Secara metodologis, nilai score tidak bisa dibandingkan secara linear begitu saja, karena hanya sebagai alat pembeda (differensiasi), bukan kuantifikasi.  Artinya, kampus dengan score 1000 bukan berarti 10 kali lebih baik dari yang scorenya 100.  Survei ini juga tidak merinci ke score per bidang studi yang tentunya akan bisa bervariasi.  Selain itu, indikator yang dipakai tadi tak pelak lebih menguntungkan negara-negara yang berbahasa Inggris, seperti AS, Inggris dan Australia. 

Namun walau bagaimana, daftar itu bisa menjadi cermin bahwa pada abad ke-21 ini, pendidikan yang bermutu lebih banyak dijumpai di Barat.  Dari dunia Islam, satu-satunya negara yang masuk dalam daftar itu hanya Malaysia, yang diwakili Malaya University dan Sains Malaya University.

 

Daftar negara dengan Perguruan Tinggi yang masuk Top200 versi majalah Times

Data compiled for The Times Higher by QS (www.qsnetwork.com), published 5 November 2004

 

Negara n avg min max
Amerika Serikat 62     254    103   1.000
Inggris 30     213    106      732
Jerman 17     141    104      228
Australia 14     223    123      418
Perancis 8     191    125      316
Belanda 8     153    107      188
Canada 7     194    114      364
Jepang 6     238    120      482
Cina 5     183    105      392
Swedia 5     135    117      150
Hongkong 4     191    104      250
New Zealand 3     160    146      184
Austria 3     152    121      175
Denmark 3     152    129      189
Korea 3     129    121      144
Swiss 2     422    289      554
Singapura 2     302    217      386
Belgia 2     209    205      213
Malaysia 2     158    150      166
Israel 2     143    124      161
Norwegia 2     134    110      159
Finlandia 2     127    115      139
Italia 2     116    110      122
India 1     242    242      242
Irlandia 1     167    167      167
Rusia 1     162    162      162
Taiwan 1     158    158      158
Spanyol 1     124    124      124
Mexico 1     105    105      105

Keterangan:

n = jumlah perguruan tinggi yang masuk Top200

avg = score rata-rata dari yang masuk Top200

min = score minimum dari yang masuk Top200

max = score maximum

 

Secara umum memang di Indonesia sendiri, alumni perguruan tinggi dari Luar Negeri memiliki “daya jual” yang lebih baik dari lulusan dalam negeri.  Stereotype yang sering muncul adalah: lulusan LN memiliki wawasan lebih luas, memilki attitude (seperti kedisiplinan dan etos kerja) yang lebih baik, dan lebih cakap berkomunikasi dalam salah satu bahasa Internasional.  Walhasil banyak anak-anak dari keluarga kaya yang cenderung pergi sekolah ke Luar Negeri, atau ke sekolah asing di Indonesia.

Antara akses dan mutu

Sebenarnya bila melihat data di atas, tampak bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari besarnya dana (anggaran).  Masalahnya, dana tersebut ada yang disediakan pemerintah, ada yang swadaya. 

Pada negara-negara dengan simpangan score yang besar (AS atau Inggris), pendidikan tinggi praktis dikelola secara swadaya.  Walhasil ada PT yang sangat bonafid (dengan score 1000) seperti Harvard University, yang SPP-nya juga sekitar US$ 100.000 per semester, namun ada juga yang relatif rendah (score 103 – walaupun masih masuk Top200) yaitu Virginia Polytechnic Institute yang disubsidi oleh pemerintah negara bagian.  Sedang di negara-negara dengan simpangan score yang kecil (seperti Jerman atau Austria), pendidikan tinggi hampir seluruhnya didanai oleh negara.

Tampak di sini bahwa sistem pembiayaan pendidikan di Barat memang tidak seragam sehingga sulit digeneralisir.  Sistem ini bergantung kepada filosofi yang dominan di dalamnya. 

Pada negara-negara di mana faham sosialis cukup kuat, yang diterapkan adalah sistem ekonomi pasar (kapitalis), namun pada beberapa aspek seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, negara tetap berperan besar.  Sistem ini sering disebut “Social-capitalism” atau “social-free-market”.  Di sisi lain memang ada negara-negara yang benar-benar menerapkan ekonomi pasar termasuk di sektor ini, walaupun levelnya berbeda-beda.

Secara umum, sistem pembiayaan pendidikan di Barat dapat dibagi dalam empat jenis.

Jenis pertama adalah subsidi penuh, sehingga pendidikan benar-benar gratis.  Sebagai contoh, di Jerman dan Austria, pendidikan adalah gratis sejak masuk Sekolah Dasar hingga lulus Doktor (S3).  Walhasil tidak ada yang tersisih karena persoalan biaya.  Sekolah akan mendapatkan bibit yang terbaik dan siswa yang memang tidak berbakat atau kecerdasannya kurang memadai akan terseleksi secara alami.

Jenis kedua adalah mirip jenis pertama, hanya saja untuk pendidikan tinggi, masa gratis dibatasi misalnya hanya hingga usia tertentu atau lama studi tertentu.  Setelah itu mahasiswa dipungut biaya yang akan makin besar bila lulusnya tertunda.  Negeri yang menerapkan ini misalnya Belanda.  Tentu saja di sana selain pujian juga ada kritik atas sistem ini, karena dianggap mengabaikan kenyataan bahwa meski sekolah gratis namun biaya hidup cukup tinggi, dan ada orang-orang yang tidak memiliki biaya hidup yang cukup sehingga harus sekolah sambil bekerja, sehingga sekolahnya molor.  Fakta memang, meski gratis, yang lebih mampu memanfaatkan hanya kelas menengah ke atas; masih jarang yang anak petani atau buruh.  Bukan sekedar masalah akses, namun juga biaya tambahan (untuk hidup).

Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hanya sampai lulus SMA, sedang di perguruan tinggi dipungut biaya SPP – walaupun juga masih bersubsidi.

Jenis keempat adalah pendidikan membiayai sendiri.  Caranya macam-macam, ada yang dengan melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan) dan atau menjadikan pendidikan sebagai benda komersil.  Contoh ini banyak di Amerika, sekalipun di Amerika banyak juga model pembiayaan jenis ketiga.

Pendidikan jenis terakhir inilah yang cenderung „dijual“ secara internasional.  Kita sering melihat iklan dari perguruan tinggi Australia, Singapura atau bahkan Amerika Serikat.  Namun kita akan jarang melihat iklan sejenis dari Jerman atau Austria.  Andaikata ada, maka ia dipakai untuk: (1) merekrut calon ilmuwan unggul dari negara dunia ke-3; (2) merekrut calon agen yang akan mempromosikan dan menyalurkan produk mereka di negara dunia ke-3; (3) mendapatkan tenaga yang lebih murah minimal selama pendidikan (karena membayar kandidat PhD jelas lebih murah daripada membayar pekerja resmi – meski kualifikasi dan yang dikerjakannya sama; (4) mendapatkan anggaran tambahan dari pemerintahnya.

 

Uang SPP di beberapa negara EU

Negara SPP per tahun setara (US$)
Belgia sekitar 18000 BFR per tahun, termasuk registrasi, kuliah, ujian dan asuransi. 560-670
Inggris undergraduates 607 GBP; postgraduates 1890 GBP plus uang ujian dan biaya lain 1300-4320
Italia universitas negeri 300000-400000 Lira per tahun; tergantung pendapatan keluarga 300-400
Belanda 1500-1750 NGL 1000-1270
Perancis 450 FF SPP, plus asuransi + iuran mahasiswa 1100 – 1500 FF; kecuali Grandes ecoles de commerce et de gestion (sekolah swasta di bawah KADIN): 12000-22000 FF 220-300 / 2400-4400

Sumber: UNIVERSITÄTEN 1995, p. 16, angka di sini dipengaruhi oleh perubahan (kurs, kenaikan harga, …)

 

 Baru menggarap IQ dan EQ

Dalam masalah muatan pendidikan, aspek IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi) sama-sama digarap.  Untuk menilainya tentu saja kita harus sadari bahwa di Indonesia, baru IQ yang diolah.  Maka segera akan terlihat bahwa muatan pendidikan di Indonesia memang kurang bermutu. 

Di Barat pada umumnya siswa atau mahasiswa tidak dibebani dengan jumlah materi ajar yang terlalu besar sebagaimana di Indonesia, namun mereka dibekali dengan pisau asah sehingga mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu.  Sedari kecil anak dibimbing untuk mampu berpikir logis, kritis dan kreatif.

Kecerdasan emosi juga dikembangkan sehingga anak-anak yang tumbuh di sana relatif lebih percaya diri, lancar berkomunikasi baik lisan maupun tertulis, dan peka terhadap lingkungan.  Kalau masyarakat di Barat relatif lebih mampu menjaga kebersihan, rajin bekerja, dan displin saat berlalu-lintas, itu adalah buah dari pendidikan EQ yang cukup berhasil.

Dari aspek ruhiyah (kecerdasan spiritual, SQ), perlakuan institusi pendidikan tidak sama.  Di negara dengan tingkat sekulerisme yang sangat tinggi seperti Perancis, tidak ada pendidikan agama pada sekolah umum.  Pendidikan agama hanya dimungkinkan pada sekolah swasta berlatarbelakang agama.  Sedang di negara dengan kultur agama yang masih kuat (seperti Katholik di Austria), pendidikan agama diberikan secara umum di sekolah-sekolah sampai SMU.  Untuk siswa yang beragama lain diberikan juga pendidikan agama dengan guru seagama, yang semuanya dibayar oleh pemerintah (termasuk guru agama Islam – yang dikoordinir oleh Austrian Islamic Society).

Namun pendidikan agama ini hampir tidak ada pengaruhnya.  Pada .penelitian James H. Leuba (psikolog terpandang Amerika) Th.1914: 58% dari 1000 ilmuwan Amerika yang dipilih acak tidak percaya adanya Tuhan.  Tahun 1934 jumlahnya naik menjadi 67%.  Edward J. Larson (Prof. Hukum & Sejarah-University of Georgia, Amerika & pemenang Pulitzer 1998) meneliti lebih lanjut pada ilmuwan top anggota National Academy of Science.  Pada pertanyaan “Apakah percaya adanya Tuhan” ada jawaban sebagai berikut:

 

  1914 1933 1998
Percaya 27,5% 15,0% 7,0%
Tidak percaya 52,7% 68,0% 72,2%
Ragu-ragu 20,9% 17,0% 20,8%

 

Dan tentang kehidupan setelah mati

 

  1914 1933 1998
Percaya 35,2% 18,0% 7,9%
Tidak percaya 25,4% 53,0% 76,7%
Ragu-ragu 43,7% 29,0% 23,3%

 

Sumber:
E.J. Larson & L. Witham. Nature 394, 313 (1998)

 Marketer Sekulerisme

Tampak di sini bahwa budaya sekuler-liberal tetap lebih berkesan dibanding pendidikan agama di sekolah yang cuma beberapa jam seminggu.  Persoalan seperti pergaulan bebas, narkoba dan kriminalitas di sekolah ada di mana-mana.  Di sisi lain, pandangan terhadap Islam, umat dan sejarahnya yang bias hampir ditemui di semua semua pelajaran (penelitian Susanne Heine: Islam Zwischen Selbstbild und Klische, Wien, 1995).

Cara pandang dan perilaku sekuler – yang tidak harus melalui indoktrinasi atau pelajaran sekolah – adalah sarana mempertahankan sistem yang ada di Barat (yakni untuk siswa mereka sendiri), dan juga mengekspornya ke seluruh dunia melalui orang-orang asing yang bersekolah di Barat.  Mahasiswa asing ini nantinya diharapkan menjadi “marketer” tentang keramahan bangsa Barat, kehandalan produk Barat, dan kemajuan cara pandang Barat.

Pada kasus beasiswa untuk ilmu-ilmu humaniora, pandangan sekuler ini akan tertanam dalam prinsip-prinsip ilmiah yang dikaji.  Penerima beasiswa dari negara-negara berkembang selama bertahun-tahun, bahkan setelah lulus, diharapkan menghasilkan paper-paper tentang berbagai hal yang dilihat dari sudut pandang kapitalis.

Sedang pada beasiswa untuk ilmu-ilmu sains dan teknologi, secara khusus memang tidak ada pengkondisian sekulerisme di kampus.  Namun realitas kehidupan Barat itu sendiri adalah cara “dakwah” terbaik tentang sekulerisme – sehingga tak sedikit mahasiswa muslim yang berkesimpulan bahwa sistem di Barat serba lebih “islami” daripada di negeri Islam sendiri.

Dengan orang-orang ini, maka imperialisme dapat dilanjutkan.  Keunggulan sains dan teknologi akan dijadikan alat imperialisme, misalnya melalui hutang LN atau ketergantungan produk LN – dan ini sering melalui anak-anak kandung umat Islam sendiri.

 Kesimpulan:

Pendidikan di Barat secara umum memang saat ini lebih maju dibanding di negeri-negeri Islam – yang memang belum menerapkan sistem Islam.  Dalam pembiayaannya, ditemukan bahwa ketika negara mendanai penuh pendidikan, terjadi pemerataan akses – dan juga mutu.  Namun kurangnya sentuhan ruhiyah – terlebih Islam – membuat lulusannya cenderung atheis dan terdehumanisasi.  Mereka akan menjadi alat sekulerisme dan imperialisme. 

tulisan ini dimuat di jurnal al-Waie edisi no 59, Juli 2005

Mengkaji Politik Perindustrian dalam Islam

Wednesday, July 11th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan

Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan.  Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:

Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.  Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.

Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi.  Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.

Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi.  Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.

 

Fakta teori pertumbuhan ekonomi

Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan.  Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.  Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:

Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini.  Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri.  Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.

Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia).  Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing.  Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional.  Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan.  Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.

Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan.  Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.

 

Fakta pandangan kebangkitan teknologi

Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka. 

Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya.  Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia.  Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat. 

Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini.  Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia.  Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional.  Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.

Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar.  IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia.  Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni).  Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.

Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada.  Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara.  Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi.  Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut.  Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas. 

Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri.  Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.

Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis.  Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi.  Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.

 

Fakta industri dan kemandirian

Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.

Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka.

Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara.  Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama.  Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil.  Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.

Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya.  

Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu.  Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya.  Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi. 

Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan.  Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.

Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri. 

Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.  Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi.  Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.

 

Strategi Perindustrian dalam Islam

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan.  Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.

Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam.  Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.

Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara.  Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.

Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya.  Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim.  Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.

Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.

Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian.  Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.

… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)

 

Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan.  Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya.  Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)

 

Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju.  Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara.  Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer.  Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.

 

Revolusi Industri

Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri.  Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri.  Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.

Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri.  Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati.  India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20. 

Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana.  Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat.  Selain itu hanya kipas angin.  Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India!  Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa.  Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India! 

Demikian juga Cina.  Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.

Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya.  Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

 

Investasi dan Kepemilikan Industri

Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar.  Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek.  Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung.  Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama.  Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.

Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.

Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu.  Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat.  Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.  Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya.  Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.

Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum.  Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya.  Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan.  Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.

Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.

Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN.  Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?

Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain.  Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.

Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat.  Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam.  Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah.  Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.

Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis.  Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu.

Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah.  Wallahu a’lam.

 

Bacaan Lanjut:

Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla).  Bangil: Al-Izzah. 2001.

Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology).  Mizan, 1993.