Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for December, 2011

Khutbah jum’at ala pns untuk hari ini …

Friday, December 23rd, 2011

Ketika lagi asyik ngedengerin curhat akhir tahun dari para pejabat struktural dan pelaksana anggaran, tiba-tiba ada permintaan nggantiin khatib di masjid sebuah instansi hari ini.  Jadinya khutbahnya seperti ini …

… (prolog khutbah bla bla bla …) …

Hari-hari ini para pejabat struktural nyaris di seluruh instansi pusing menaikkan serapan anggaran dengan melakukan apa saja kegiatan yang masih mungkin dilakukan.  Hari-hari ini para pejabat fungsional nyaris di seluruh instansi pusing mendokumentasikan alat bukti untuk penilaian angka kredit mereka.  Dan hari-hari ini para pelaksana anggaran nyaris di seluruh instansi pusing mengumpulkan bukti pertanggungjawaban.

Mereka semua mengkhawatirkan ketika tahun sudah berganti, dan kegiatan 2011 sudah ditutup, dan pertanggungjawaban apapun sudah tidak diterima lagi …

Tetapi apakah mereka memiliki kekhawatiran yang sama pada hidup mereka?

Apakah mereka semua mengkhawatirkan ketika catatan amal sudah ditutup?

Apakah mereka menyadari bahwa tahun 2011 ini mereka diberi anggaran oleh Sang Maha Pencipta, 365 hari yang indah, dan pasti terserap 100%.  Tetapi dari 100% itu menjadi apa?  Apakah modal dari Allah ini bisa meningkatkan keimanan, memperbanyak amal shaleh, mendorong saling menasehati dengan kebenaran, dan menjaga agar tetap sabar menghadapi segala keadaan?

Nanti laporan 2011 belum beres, kita sudah dihujani dengan KAK/TOR/Penetapan Kinerja untuk 2012, bahkan kita sudah diminta RKAKL 2013 untuk dapat dibahas sedini mungkin di 2012, agar menghasilkan perencanaan yang bagus 2013. Bukankah sudah ada RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), RPJM, Renstra Lembaga, dsb

Apakah hidup kita juga tertata seperti itu?  Punyakah kita Indikator Kinerja untuk hidup kita?  Ada?  Apa?  Menjadi sarjana pada usia 24?  Menjadi PNS di usia 26?  Menikahi wanita cantik idaman sebelum usia 30?  Kaya raya di usia 35? Menjadi pejabat terkenal pada usia 40?  — Ketahuilah saudaraku, seseorang tidak menjadi mulia di sisi Allah karena menjadi sarjana, tidak karena menjadi PNS, tidak karena menikahi wanita cantik, tidak karena kaya di usia muda juga tidak karena menjadi pejabat terkenal!  Tidak.  Itu semua adalah indikator jahiliyah!

Boleh saja semua itu dicapai, tetapi hanya sekedar sebagai bekal tambahan.  Karena hakekatnya seseorang menjadi mulia karena ketaatannya pada hukum syara’, karena memberi manfaat bagi orang banyak, karena berdakwah untuk meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi ummat, karena melindungi yang lemah dan membebaskan yang terjajah!

Saudaraku, kalau untuk membangun sebuah lembaga saja kita punya Renstra, maka mengapa kita ingin membangun kediaman di surga kita tidak punya rencana yang jelas, dengan tahapan yang terukur, dengan aktivitas yang terencana? Padahal jalan ke surga itu jalan yang mendaki lagi sulit, jalan yang hanya sanggup ditempuh oleh sedikit orang …  yakni hanya orang-orang yang mau menukar hartanya dan jiwanya dengan surga, tapi sungguh merekalah orang-orang yang beruntung.  QS At-Taubah:111  Mari kita jadikan momentum pergantian tahun ini untuk mengevaluasi diri, introspeksi, refleksi, sudahkah kita berada para rel menuju surga yang benar, agar jangan sampai, modal yang diberikan Allah ini hanya terserap 100%, tetapi tidak menghasilkan apa-apa …… (epilog bla bla bla …)

Mengukur Kinerja Aparat Birokrasi

Monday, December 19th, 2011

Pertanyaan paling mendasar: bagaimana mengukur kinerja aparat birokrasi?

Banyak kantor yang konon telah melakukan reformasi birokrasi dan memberikan tunjangan / remunerasi sesuai kinerja. Namun ternyata, kinerja yang dimaksud baru diukur melalui satu instrumen, yaitu: mesin absen fingerprint!

Kinerja birokrasi sangat berbeda dengan kinerja lembaga swasta pencari laba. Di sana kinerja lebih mudah diukur, yaitu cost/profit ratio. Makin kecil angka ini, makin bagus kinerja orang tersebut.   Kalau profit tidak dapat diukur, maka cost-nya dibandingkan dengan cost orang lain, jabatan serupa di lembaga sejenis, atau jabatan serupa di masa lalu.  Jabatan satpam misalnya, tentu tidak terkait langsung dengan profit.  Tetapi cost-nya dapat dibandingkan dengan satpam di perusahaan lain, atau satpam di perusahaan yang sama di masa lalu.  Jika untuk memenuhi SOP yang sama, seorang satpam bisa melakukannya dengan upah dan biaya yang lebih rendah, maka kinerja satpam itu lebih baik.  Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan rutinitas lainnya, seperti sekretaris, teknisi, resepsionis dsb.  Mungkin hanya tenaga produksi dan tenaga sales yang paling jelas cara mengukurnya secara langsung dari profit.

Sementara itu Kementerian dan Lembaga Pemerintah bukanlah lembaga pencari laba.  Mereka dibayar dari APBN untuk memberikan manfaat (benefit) maksimal kepada rakyat yang merupakan pemilik hakiki negara ini.  Karena itu ukurannya bukanlah cost/profit-ratio, tetapi cost/benefit-ratio.  Persoalannya, bagaimana mengukur benefit ini?

Untuk kantor-kantor yang langsung melayani masyarakat (seperti KTP, SIM, perijinan, dsb), benefit ini bisa diukur dari kecepatan waktu pelayanan, atau jumlah orang yang terlayani.  Makin cepat, makin banyak orang, makin baik.

Namun tidak semua pelayanan dapat diukur secara kuantitatif seperti ini.  Ada hal-hal yang kualitasnya berbeda. Soal perijinan saja misalnya, ada IMB rumah sederhana, yang dapat diselesaikan secara massal, dan ada pula IMB gedung besar nan jangkung yang penyelesaiannya tentu perlu kajian yang lebih dalam.

Secara umum, pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi birokrasi dapat dibagi dalam lima hal:

1. Human-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang lebih memerlukan kehadiran manusia berkualitas, misalnya guru atau tenaga kesehatan.  Mereka tidak mudah digantikan oleh mesin otomatis, dan jumlah orang yang dilayani tidak menunjukkan kinerja.  Seorang guru yang harus mengajar 3 kelas dengan total 120 siswa tidak berarti lebih baik kinerjanya dibanding guru yang hanya memegang 1 kelas dengan 20 siswa.  Solusinya bukan memberi tunjangan kinerja yang lebih tinggi bagi guru dengan 120 siswa tadi (walaupun ini adil), melainkan dengan menambah jumlah guru di sekolah tersebut sampai tercipta rasio guru:siswa yang ideal.  Tenaga kesehatan juga mirip.  Tidak bisa diukur dari jumlah pasien yang dilayani.  Bagaimana kalau di daerah itu memang tingkat kesadaran hidup sehat sudah tinggi, sehingga jarang ada yang sakit?  Namun walaupun tidak ada yang sakit, tenaga kesehatan tetap harus standby di pos-nya masing-masing, agar sewaktu-waktu ada pasien dapat segera terlayani. Jangan dilupakan, bahwa jumlah terbesar PNS di Indonesia didominasi oleh guru dan tenaga kesehatan.

2. Kapital-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya akan sebanding dengan jumlah uang yang dikeluarkan.  Misalnya pekerjaan pemotretan udara atau pembangunan jalan.  Tentu saja, makin banyak anggaran yang dimasukkan, makin luas area yang dapat dipotret, atau makin panjang jalan yang dapat dibangun.  Sebagian besar anggaran di sini akan dibelanjakan untuk bahan atau barang modal di pasar, bukan untuk menambah kesejahteraan pegawai.  Jadi kinerja mereka yang ditugaskan di jenis pekerjaan ini adalah sejauh mana mereka dengan jumlah anggaran yang sama dapat menghasilkan output yang lebih banyak.  Kalau anggaran ditambah, mereka akan menghasilkan lebih banyak lagi.

3. Teknologi-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dapat lebih mengandalkan kemajuan teknologi.  Di masa lalu, ketika teknologi informasi dan komunikasi belum maju dan murah seperti sekarang, ada ribuan pegawai di kantor telepon yang tugasnya hanya menyambungkan panggilan.  Kini semua panggilan dapat dilakukan otomatis dan akurat. Maka ribuan petugas telepon tadi dapat dirasionalisasi dengan cara dipindahkan ke bagian lain (tentu saja melalui diklat ulang) atau dipensiunkan lebih cepat.  Di dunia birokrasi sekarang, tampak masih banyak sekali pekerjaan yang dapat digantikan dengan teknologi.  Kurir surat (caraka) misalnya.  Sekarang e-mail dan mesin fax sudah dipakai di mana-mana, sehingga pekerjaan antar-mengantar surat sebenarnya dapat dikurangi.  Demikian juga beberapa pekerjaan rutin dapat digantikan dengan mesin otomatis atau sistem komputer dan internet yang sekarang juga lebih murah.  Anehnya, banyak pengadaan teknologi ini tidak juga menghemat biaya organisasi.  Atau ada aturan keuangan atau kepegawaian yang belum dapat mengakomodir berbagai bukti elektronik (misalnya surat undangan via e-mail).  Dan masih ada pandangan yang memandang birokrasi sebagai lapangan kerja, sehingga kehadiran teknologi dianggap musuh.

 4. Knowledge intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya tergantung knowledge pada SDM yang ada.  Biasanya ini adalah pekerjaan di dunia pendidikan tinggi dan riset, tetapi bisa juga pekerjaan kreatif di unit yang melakukan sosialisasi / kehumasan, unit yang membuat perencanaan atau unit yang melakukan pengawasan.  Jumlah produk mereka tidak dapat begitu saja ditingkatkan dengan memberi anggaran yang lebih besar, karena meski anggaran bertambah, kalau pakar yang mengerjakan tidak ada, ya pekerjaan itu tidak dapat dilaksanakan.  Kadang-kadang kinerja mereka ingin diukur dengan jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan, atau publikasi ilmiah yang ditulis atau paten teknologi yang didapat. Tetapi ini tidak selalu linier.  Jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan bukan semata-mata ada dalam kendali mereka, karena itu juga tergantung minat masyarakat yang akan menggeluti bidang ilmu itu serta kualitas calon mahasiswa.  Demikian juga, tidak semua hal yang diteliti layak untuk publikasi ilmiah atau paten. Bagaimana kalau penelitian itu untuk mengefisienkan proses kerja (yang teknologi-intensif atau kapital-intensif) di lembaga itu sendiri?  Misalnya, peneliti kementerian agama ingin meningkatkan proses layanan haji, apakah ini bisa sekedar konsumsi di jurnal ilmiah atau lebih baik dia menjadi kebijakan yang diambil Menteri?  Yang jelas, riset di kementerian agama tidak bisa dipatenkan, karena bukan teknologi.

 5. Wisdom-intensif – ini adalah pekerjaan para pejabat yang outputnya adalah keputusan atau kebijakan publik, yang kualitasnya tergantung dari wisdom yang ada pada mereka.  Sebuah Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah adalah contohnya.  UU hingga Perda itu tentunya disiapkan oleh sebuah tim yang bekerja tidak sebentar.  Kualitasnya tidak ditentukan oleh berapa anggaran yang dikucurkan, tetapi pada kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual mereka.  Karena itu mengukur kinerjanya juga tidak mudah.  Dampak dari kebijakan itu sering baru dapat diukur jangka panjang di masyarakat, bahkan ada yang baru terukur setelah pejabat yang mengambil keputusan itu sudah tidak lagi menjabat.

Dari lima jenis pekerjaan ini, tentunya mengukur kinerjanya tidak bisa sama.

Apa usulan anda?

POSTUR PENGELUARAN KELAS MENENGAH

Thursday, December 15th, 2011
Ini cerita tentang postur pengeluaran sehari-hari sebuah keluarga “kelas menengah” rata-rata yang saya dapatkan dalam suatu sesi training TSQ-Financial (atau dulu disebut FSR – Financial Spiritual Revolution).  Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya bertahun-tahun, dia mendapatkan:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :    7%
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   6%
3. Kebutuhan komunikasi (telpon, speedy, pulsa) :   7%
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :  28%
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 : 18%
6. Uang saku / jajan anak-anak                             : 12%
7. Gaji pembantu                                                    :  8%
8. Keperluan kecil lainnya                                       :   2%
9. Shodaqoh & cadangan                                       : 12%

Setelah saya pelajari, berdasarkan informasi penghasilan ybs sekitar Rp. 5 jt / bulan, maka berarti pengeluaran bulanan dia untuk:

1. Operasional rumah (listrik, air, elpiji, sampah)   :   Rp.   350.000
2. Kebutuhan transportasi (bensin, angkot)          :   Rp.   300.000
3. Kebutuhan komunikasi (internet, pulsa)             :  Rp.   350.000
4. Kebutuhan pangan & keperluan MCK                :   Rp.1.400.000
5. Pendidikan anak (spp, ngaji, kursus)                 :  Rp.    900.000
6. Uang saku / jajan anak-anak                             :  Rp.    600.000
7. Gaji pembantu                                                    :  Rp.   400.000
8. Keperluan kecil lainnya                                       :  Rp.   100.000
9. Shodaqoh & cadangan                                       :  Rp.   600.000

Untuk operasional rumah sepertinya sudah sulit ditawar.  Konsumsi listrik, bayar PAM, beli air gallon, iuran sampah ya sudah segitunya.

Kebutuhan transportasi oleh satu keluarga dengan 2 anak yang sudah sekolah ini cukup mepet.  Dengan 300.000/bulan, berarti jatah transport sehari cuma Rp. 10.000 / keluarga.  Ini sama saja dengan naik angkot+ojeg sehari pp hanya untuk satu orang.  Maka sang kepala keluarga akhirnya membeli motor bekas … lumayan bisa lebih irit.  Tetapi anak-anaknya yang sekolah tetap harus naik angkot + jalan kaki.  Ya insya Allah lebih sehat.

Kebutuhan komunikasi ternyata lumayan juga.  Langganan telepon (apalagi hari gini harus internetan, apalagi kadang untuk kelancaran pekerjaan!) ditambah pulsa untuk 4 nyawa ini ternyata lumayan juga.  Mungkin masih bisa ditekan ya?

Untuk pangan, Rp 1,4 jt untuk 4 nyawa berarti perorang cuma Rp. 350.000/bulan, atau Rp. 11.000 per hari.  Alhamdulillah, karena nyaris tidak pernah makan di luar, cukuplah uang segitu.  Sang suami kalau ke kantor bawa bekal masakan istri tercinta.  Padahal agar hemat juga.

Untuk pendidikan ternyata lumayan besar.  Meski sekolah negeri sekarang gratis, tetapi karena ingin sekolah yang baik, anaknya dimasukkan ke Sekolah Islam.  SPP mereka masing-masing sudah Rp. 300.000,-  Kemudian ditambah les sempoa, komputer, beli buku, kegiatan macam-macam dll, jatuhnya dua anak Rp. 900.000,-  Wow.  Tapi nggak papa, ini kan investasi masa depan.

Anak-anak juga diberi uang saku, karena sekolah mereka sampai jam 3 sore.  Nah, tiap anak dijatah sebulan Rp. 300.000 (sudah sama dengan SPP-nya).  Kadang sih mau makan bekal dari rumah, tetapi sering ikut makan siang di kantin bareng temannya.  Kadang juga uangnya utuh, ditabung kata mereka.  Bener sih, kadang-kadang pas ibunya ulang tahun, mereka memberi “kejutan”.  Baguslah, ini untuk pendidikan finansial anak-anak.

Pembantu yang cuma datang pagi pulang sore untuk bantuin mbersihin rumah, masak dan setrika (kalau nyuci sudah pakai mesin), dikasih Rp. 400.000/bulan — wah ini sudah “saling memuaskan”.  Hari gini tidak mudah cari pembantu mau dibayar Rp. 100.000 / minggu.

Kemudian ada keperluan kecil-kecil, ini ada recehan sejumlah 100 ribu … mungkin kalau ada yang hajatan atau ada pengamen.

Yang menarik adalah pos terakhir: ada shodaqoh dan cadangan Rp. 600.000,-  Yang fix mereka mencadangkan Rp. 100.000 untuk infak ke masjid dan dhuafa yang membutuhkan.  Kadang juga lebih.  Tetapi pos ini juga untuk berjaga-jaga kalau suatu ketika ada kebutuhan yang cukup besar, seperti keperluan mudik (sekali mudik bisa habis Rp. 2-3 juta), beli pakaian baru (karena yang lama sudah usang banget), atau kalau ada perabotan rumah yang harus diperbaiki, atau ada seminar pengembangan diri yang perlu didatangi (seperti TSQ-Financial ini), atau ada yang sakit.  Walaupun ada askes, tetapi tetap saja akan ada biaya tambahan seperti akomodasi untuk yang nungguin.

Jadi ternyata penghasilan 5 juta ini pas-pasan juga.  Tetapi kalau bijaksana masih cukup lah.  Untung mereka tidak perlu lagi ngontrak rumah.  Biarpun sederhana, rumah mereka sudah milik sendiri dan lunas.

Bagaimana kalau yang penghasilannya cuma 2 juta, tetapi sudah berani ngutang lagi, karena ingin punya Blackberry (biarpun seken, yang penting keren), apalagi  masih berani nambah anak terus, atau nambah istri terus 🙂

Ada pengalaman lain?  Bagaimana postur pengeluaran keluarga Anda?
Atau ada saran agar keluarga tadi dapat menghemat lagi pengeluarannya?

Salam

FA.-(Coach TSQ-Financial)