Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for April, 2010

Mencoba Meramu APBN Syariah

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Bagaimana wajah APBN Indonesia kalau dibuat dengan paradigma syariah?  Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN?  Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?

Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan:

Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini.  Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:

(1)   Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat.  Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi.  Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.

(2)   Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad.  Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.

(3)   Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya.  Ini juga bersifat pasti.

(4)   Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh.  Ini juga bersifat pasti.

(5)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur.  Ini juga bersifat pasti.

(6)   Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.

Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:

Jumlah penduduk 230.000.000
Luas wilayah darat (Km2)    1.900.000
Luas wilayah laut (Km2)    5.800.000
Panjang garis batas (Km)         15.000
Jumlah satuan administrasi level Provinsi               33
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten             480
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan          6.000
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan         70.000

 

Sedang untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:

Pos Santunan Fakir Miskin

asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin) 50%
asumsi kebutuhan nutrisi per orang per hari (gram) 600
asumi harga pangan per-kg Rp 10.000

 

Pos Pendidikan

Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th) 60.000.000
rasio guru:siswa = 1: 20
rasio sekolah:siswa= 1: 300
asumsi rata-rata gaji guru per bulan Rp. 5.000.000
asumsi biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll) Rp 25.000.000
rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1: 10
rasio dosen:mahasiswa = 1: 10
rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1: 1.000
asumsi biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll) Rp 250.000.000

 

Pos Kesehatan

Rasio dokter:penduduk = 1: 1.000
Rasio rumah sakit:penduduk = 1: 10.000
Rasio rumah sakit: desa = 1: 3,0
Asumsi gaji dokter per bulan Rp 7.500.000
Asumsi operasional tiap rumah sakit per bulan Rp 225.000.000

 

Pos Pertahanan & Keamanan

Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km = 25
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1: 1.000
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal =  [km] 25
Rasio pesawat militer untuk menjaga area
1 pesawat = [km2]
40.000
Asumsi gaji tentara/polisi / bulan Rp 7.500.000
Asumsi operasional markas tentara / bulan
(hanya ada satu di tiap provinsi)
Rp 1.500.000.000
Asumsi operasional markas polisi / bulan
(ada di tiap kecamatan)
Rp 105.000.000

 

Pos Pemerintahan & Keadilan

Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1: 1.000
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1: 1.000
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan Rp 7.500.000
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan / bulan Rp 33.000.000

 

Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital

Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap 10 tahun
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya 20 tahun
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT 20 tahun
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik 20 tahun
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen 20 tahun
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista 20 tahun

 

Pos Cadangan Bencana terhadap APBN                 5%

Pos Cadangan Maslahat non Vital                         2%

Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.

Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah.  Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah  Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:

(1)   Bagian Fai dan Kharaj.  Penerimaan ini meliputi:

  1. Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus, yakni pampasan perang.
  2. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.  Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut.
  3. Sewa tanah-tanah milik negara.
  4. Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada.
  5. Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb.
  6. Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada.

Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada.  Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan.  Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa.  Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.  Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak.  Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti

(2)   Bagian Kepemilikan Umum yaitu pengelolaan sumber daya alam yang hakekatnya milik umum:

  1. Seksi minyak dan gas
  2. Seksi listrik
  3. Seksi pertambangan
  4. Seksi laut, sungai, perairan dan mata air
  5. Seksi hutan dan padang rumput
  6. Seksi asset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.

Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung maupun berupa pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya baik di dalam negeri maupun ekspor.

(3)   Bagian Shadaqah, yang terdiri dari shadaqah wajib yaitu:

  1. Zakat harta dan perdagangan yang berupa uang (atau emas/perak)
  2. Zakat pertanian dan buah-buahan
  3. Zakat ternak

Bagian Shadaqah adalah bagian yang unik.  pertama karena volumenya penerimaannya menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat, sehingga kalau ekonomi lesu maka shadaqah juga berkurang; dan kedua, pengeluarannya hanya ke delapan ashnaf.

Untuk Indonesia, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.

Data yang ada saat ini:

Produksi minyak di Indonesia adalah sekitar 950.000 barrel per hari (bpd).  Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barrel dan nilai tukar rupiah Rp. 9000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun.  Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profitnya masih di atas Rp 182 Triliun.  Namun keuntungan ini hanya tercapai bila seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasar (tanpa subsidi, yakni US$ 72/barrel) dan baru hasilnya yang dikembalikan ke umum melalui Baitul Maal.  Indonesia bahkan harus menjadi net-importer minyak, karena kebutuhan minyak per hari 1,2 juta barrel, akibat politik energi selama ini yang terlalu tertumpu pada minyak, termasuk lambatnya pembangunan jaringan kereta api berikut elektrifikasinya.

Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp 297 Triliun atau nett profitnya sekitar Rp 268 Triliun.

Produksi batubara adalah setara 2 juta barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50% harga minyak, jadi nilainya sekitar Rp. 212 Triliun, atau nett profitnya sekitar Rp 191 Triliun.

Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir.  Energi listrik seperti ini biasanya impas dikonsumsi sendiri.  Di Indonesia, karena tidak ada integrasi antara Pertamina, PGN, PT Batubara BukitAsam dan PLN, maka PLN rugi puluhan Triliun.

Produksi pertambangan terutama emas seperti Freeport atau Newmont hanya dapat ditaksir dari setoran pajak yang jumlahnya memang aduhai.  Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 Triliun setahun, dan ini baru 20% dari nettprofit, itu artinya nettprofitnya adalah Rp. 30 Triliun per tahun.  Ini masuk akal karena dari sumber lain didapat informasi bahwa produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 Kg emas murni per hari. Secara kasar, bersama perusahan tambang mineral logam lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 Triliun per tahun.

Dengan demikian dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam didapat penerimaan sekitar Rp. 691 Triliun.  Pada saat ini, dengan pola konsesi dan transfer pricing (terutama untuk gas, batubara dan emas) maka penerimaan yang dilaporkan BUMN maupun swasta ke negara jauh lebih rendah dari ini.  Yang harus diingat adalah bahwa sektor pertambangan adalah tidak dapat diperbarui, meski teknologi dapat memperpanjang usianya, tapi suatu hari pasti akan habis juga.

Untuk produksi laut karena sifatnya terutama dilakukan secara bebas oleh nelayan swasta baik kecil maupun besar, tentu agak sulit untuk memasukkannya sebagai penerimaan negara.  Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Milyar atau Rp. 738 Triliun.  Bila ada BUMN kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10%, maka ini sudah sekitar Rp. 73 Triliun.

Yang paling menarik adalah produksi hutan.  Luas hutan kita adalah 100 juta hektar, dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5% tanamannya yang diambil.  Bila dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun hanya 20 pohon per hektar yang ditebang.  Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan kita adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2000 Triliun.  Fantastis.  Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separo hutan kita telah rusak oleh illegal logging.  Harga kayu yang legalpun juga telah dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak.  Tapi Rp. 1000 Triliun juga masih sangat besar.  Dan kalau kita kelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.

 

Ketiga, standar dari Dinar – namun juga natura.

Pada saat simulasi perhitungan APBN ini, angka yang dipakai adalah Rupiah.  Ini sekedar untuk memudahkan mendapatkan gambaran berapa nilai tersebut, juga untuk membandingkan dengan APBN Republik Indonesia saat ini.  Namun ke depan, kita harus mulai menggunakan standar emas yaitu Dinar, karena dengan itu APBN ini akan tak lekang oleh zaman, sementara APBN dalam Rupiah akan senantiasa terkoreksi oleh inflasi.  Pada bulan April 2010, kurs Dinar yang merupakan emas 22 karat seberat 4,25 gram adalah sekitar Rp. 1.500.000 per Dinar.

Selain itu, sebenarnya di APBN Syariah ada pendapatan dan harta milik negara yang diakuntasikan dengan natura, karena memang tak semua penerimaan atau pengeluaran harus berupa uang.  Misalnya, zakat juga tidak harus berupa uang, tetapi dapat juga tanaman atau ternak.  Demikian juga jizyah, bahkan dapat pula dibayarkan dengan pakaian.  Oleh sebab itu, angka-angka yang digambarkan di sini hanya untuk standardisasi nilai saja, yang memang sangat tepat bila menggunakan Dinar.

APBN Syariah juga tidak harus selalu dihabiskan pada tahun anggaran berjalan.  Karena itu kolom penerimaan tidak harus balance dengan kolom pengeluaran.  Boleh saja di suatu masa surplus dan di mana yang lain minus karena ada bencana, paceklik atau perang, sehingga negara perlu menunda sebagian pengeluaran atau meminjam atau menarik pajak.

Yang jelas, dengan anggaran 666 juta Dinar atau sekitar Rp. 999 Triliun (pada pos pengeluaran) sebenarnya sudah dapat tercukupi dengan hasil hutan yang lestari itu saja.  Bagian-bagian seperti fai & kharaj (termasuk di dalamnya kemungkinan pajak), juga shadaqah (yang terkait zakat) bahkan belum perlu diperhitungkan.

Distribusi dalam pengeluaran juga cukup bagus.  Pos yang terbesar adalah sektor pendidikan (termasuk dakwah), pengentasan kemiskinan dan infrastruktur.  Di dalam sektor infrastruktur ini sudah tertanam anggaran riset sains dan teknologi yang cukup besar yakni hampir 3.5% APBN.  Ini semua akan sangat cukup untuk menggerakkan ekonomi, sehingga bahkan setelah beberapa tahun, angka kemiskinan sudah sangat rendah sehingga pos pengentasan kemiskinan bisa tidak berarti.  Asumsi yang digunakan dengan angka ini adalah setiap orang miskin mendapat asupan 600 gram nutrisi perhari senilai Rp. 10.000/kg.  Ini artinya setiap orang miskin mendapat Rp. 180.000,- perbulan!  Bandingkan dengan BLT selama ini yang hanya Rp. 100.000 per KK per bulan.

APBN

Pos Penerimaan (dalam juta Dinar)

  Bagian Fai & Kharaj (tidak diperhitungkan)

0

  Bagian Kepemilikan Umum
–       Minyak

121,5

–       Gas

178,9

–       Batubara

127,5

–       Emas & Mineral Logam lainnya

33,5

–       BUMN Kelautan

48,9

–       Hasil hutan

666,0

  Bagian Shadaqah (tidak diperhitungkan)

0

JUMLAH PENERIMAAN

1176,3

 

Pos Pengeluaran (juta Dinar)

  Pengentasan Kemiskinan 50% penduduk

167,9

  Kompensasi
–       Layanan Hankam & Jihad

41,7

–       Layanan Pemerintahan dan Peradilan

30,8

–       Layanan Pendidikan dan Dakwah

180,0

–       Layanan Kesehatan

55,8

  Maslahat Vital (Infrastruktur & Fasum)

143,1

  Cadangan Kebencanaan & Perang

33,3

  Maslahat Lain-lain

13,2

JUMLAH PENGELUARAN

666

 

Analisis

Desain APBN ini memang sangat berbeda dengan APBN Indonesia saat ini.  APBN Indonesia saat ini memakai pendekatan sektoral dan institusional.  Dokumen rinci APBN hingga level satuan kerja adalah sebuah monster yang sangat tebal meliputi ratusan ribu halaman.  Walhasil, rasio-rasio anggaran terhadap target-target (output, outcome) pelayanan masyarakat kurang dapat diketahui dengan cepat, sementara peluang markup atau penganggaran ganda sangat besar.  Di sisi lain, prinsip Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan adalah, mereka yang tidak dapat menyerap anggarannya, akan dihukum dengan menurunkan anggaran tahun berikutnya.  Tidak dilakukan pembedaan antara yang anggarannya kurang terserap karena efisiensi, atau salah perencanaan, atau faktor external (gangguan alam, masalah sosial, kondisi ekonomi global, kendala aturan yang berlaku, dsb).

Pada hitungan APBN syariah ini, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh hutang Indonesia secepatnya, untuk kemudian kita melesat menuju kesejahteraan dengan syariah.

Tentu saja, bila khilafah berdiri di negeri muslim yang berbeda kondisinya dengan Indonesia, maka APBN-nya bisa tampak sangat berbeda.  Kalau khilafah berdiri di Irak yang memiliki cadangan migas sangat besar dan merupakan tanah kharajiyah, maka bagian tersebut mesti diisi, sementara hasil hutan atau laut nyaris nol.  Sebaliknya bila khilafah berdiri di Bangladesh yang nyaris tidak punya sumberdaya alam baik migas ataupun hutan, maka bagian fai dan kharaj (terlebih pajak) dan bagian shadaqah mesti dielaborasi dengan intensif.

Wallahu a’lam bis shawab.

Keramik dan Porselin bukan dari Cina

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apakah yang anda bayangkan tentang porselin?  Boneka yang cantik, atau guci yang indah?  Sama saja?  Kalau begitu, dari mana porselin yang anda nilai mahal?  Atau dari zaman apa?  Pada umumnya kolektor benda antik amat menghargai porselin dari zaman dinasti Ming yang memerintah Cina dari 1368-1644 atau bahkan yang lebih tua dari dinasti Tang ((618-907 M).

Anda tidak sama sekali salah.  Cina memang mata air ilmu pembuatan porselin di dunia.  Ke sana pula Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk berburu ilmu.  Tetapi tahukah anda, bahwa di abad pertengahan banyak porselin lain yang sama indahnya beredar di pasaran, namun bukan made in Cina?  Di banyak museum di dunia masih disimpan porselin-porselin dari era keemasan Islam.

Sejarah keramik kaum muslim tidak terbatas hanya pada kaligrafi di atas keramik.  Sisi teknologi di bidang ini memang termasuk yang jarang diketahui kecuali oleh para sejarahwan.  Padahal umat Islam melakukan banyak inovasi keramik dan porselin untuk berbagai kebutuhan.  Ada yang menjadi lantai dan dinding masjid, toilet dan bak mandi, tungku pemasak, hiasan di istana sultan, hingga alat-alat makan.  Proses pembuatannya pun beraneka ragam.  Teknologi ini terkait erat dengan pembuatan tembikar atau keramik dari tanah liat dan pembuatan gelas dari pasir kuarsa.

Para sejarahwan membagi keramik zaman Islam ke dalam tiga periode: periode awal (mulai abad-1 H sampai dengan abad-4 H, era pemerintahan bani Umayyah dan awal Abbasiyah), periode pertengahan (abad-5 H sampai abad-10 H) dan periode setelah abad-10 H (era bani Utsmaniyah).

Barang pecah belah dari awal dinasti Abbasiyah yang ditemukan di Samarra dapat digolongkan menjagi 6 tipe: (1) Tembikar tanpa glazur; (2) Tembikar berlapis monokrom alkalin; (3) Tembikar berlapis timah berhiasan relief; (4) Tembikar berlapis timah berhiasan bintik-bintik atau gambar abstrak warna-warni; (5) Tembikar berlapis aluminium; dan (6) Tembikar berlukis di bawah lapisan gelas.

Salah satu prestasi besar orang-orang Islam di periode ini adalah penemuan pelapisan dengan alumnimum.  Jika glazur aluminium oksida ditambahkan pada glazur timah, akan didapatkan porselin krem ala dinasti Tang.  Keunggulan aluminium oksida selain memungkinkan pengecatan permukaan bergelombang yang belum dibakar, juga karena cat tersebut tidak memudar ketika tembikar dibakar seperti halnya yang terjadi pada pemakaian glazur timah secara langsung.

Sepanjang periode Islam pertengahan, prestasi penting yang lain adalah penciptaan tembikar warna putih.  Ini diperoleh dari bahan-bahan baru dari pasir kuarsa, lempung putih dan potasium.  Produk ini tercipta dari keinginan pengrajin muslim untuk menyaingi porselin Cina.  Jika dibakar, bahan-bahan baru ini menghasilkan tembikar semi-transparan yang sangat keras, yang di Eropa setelah abad 18 M dikenal sebagai “porselin pasta lunak”.

Pusat yang paling masyhur dalam pembuatan porselin adalah Kasyan di Iran.  Pada tahun 700 H / 1301 M, Muhammad Abu Al-Qassim al Kasyani menulis sebuah buku penting yang memberikan rincian teknik keramik Islam.

Beberapa jenis inovasi keramik dan porselin yang terkenal adalah:

(1)   Abarello: ini adalah semacam poci yang didesain untuk menyimpan obat-obatan dari abad 15.

(2)   Fritware: ini adalah alat dapur untuk memanggang atau menggoreng dari abad 11.  Sebuah resep cara membuatnya ditulis Abu al-Qassim pada tahun 1300 yang memuat perbandingan bahan-bahannya yaitu kuarsa : gelas frit : lempung putih = 10 : 1 : 1.

(3)   Hispano-Moresqueware: ini adalah keramik yang dibuat di Spanyol Islam setelah bangsa Moor (Maroko) mengenalkan teknik pembuatan keramik ke Eropa dengan pelapisan timah dan gambar warna.  Teknik ini sangat berbeda dengan keramik yang dikenal di kalangan Kristen dari karaketer Islam dalam dekorasinya yang bermotif kaligrafi.

(4)   Iznik: ini adalah keramik dari era Turki Utsmani pada awal abad-15 M.  Keunggulannya adalah ramuan bahan-bahannya yang membuat koefisien muainya turun sehingga tahan panas.

(5)   Lusterware: lapisan gilap untuk keramik jenis ini semula dipakai di Mesopotamia (Irak) sejak abad-9 M lalu sangat terkenal di Persia dan Syria, dan berikutnya diproduksi massal di Mesir selama era Fatimiyah (abad-10 hingga abad-12 M).  Teknik inilah yang pada abad-16 M menyeberang ke Itali di masa rennaisance lalu menyebar ke Belanda, Perancis dan negeri Eropa lainnya.

 

Sebuah porselin yang berlapis timah dari Spanyol-Mor di era Islam (disebut Hispano-Moresque), tahun 1475.

 

Di abad-20, teknologi keramik sempat terdesak oleh teknologi plastik yang membuat alat-alat yang sama dari bahan baku hidrokarbon (minyak) karena alasan lebih murah, lebih ringan dan tahan pecah.  Namun belakangan disadari bahwa limbah plastik tidak bisa hancur secara alami dan menjadi masalah lingkungan yang serius.  Proses pembuatan plastik juga tidak ramah lingkungan karena melepaskan dioxyn yang menyebabkan kanker.  Maka kini orang kembali menengok ke keramik.  Perkembangan di fisika nano membuat kini mampu dibuat keramik yang juga murah, ringan, tahan pecah dan juga bahkan anti kotor!  Ini suatu perkembangan yang menarik.  Mungkinkan para ilmuwan muslim kembali berperan dalam mengembangakan keramik seperti seribu tahun yang silam?

Dengan Aljabar Kau Kulamar

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Setelah kemampuan membaca dan menulis, tingkat kecerdasan sebuah bangsa adalah pada matematika.  Kalau kemampuan matematika bangsa ini dihitung dalam skala 0-100, berapa nilai yang pantas kita berikan?

Ada guyonan, bahwa mereka yang terpandai dalam matematika di sekolah akan menjadi dokter, insinyur atau pilot, yang ketika menghitung dosis obat, kekuatan bangunan atau tinggi terbang memang perlu kemampuan berhitung yang cepat nan akurat.  Yang pas-pasan dalam matematika akan menjadi pedagang yang tidak perlu menghitung yang rumit-rumit, tetapi harus bisa memastikan bahwa bisnis masih untung.  Sedang yang matematika di sekolahnya paling jeblok akan menjadi politisi, orang partai, anggota DPR atau kepala daerah.  Mereka ditengarai sama sekali tidak bisa berhitung.  Dalam proses politik saja mereka sering sudah salah hitung tentang potensi perolehan suara.  Sedang bila sudah berkuasa, mereka terbukti tidak mampu berhitung bahwa berbagai peraturan dan kebijakan yang dibuatnya – seperti konsesi, privatisasi, dan utang luar negeri – telah membuat negeri dan rakyatnya ini semakin bangkrut.  Dari matematika, yang mereka kuasai cuma menambah (beban pajak), mengurangi (subsidi) dan mengalikan (gaji diri sendiri).  Yang tersulit adalah membagi (kekayaan umum kepada rakyat).  Tapi sekali lagi ini cuma guyonan.

Namun para pemimpin yang hebat dalam sejarah dunia sejatinya adalah para pecinta dan pengguna matematika yang baik.  Tentu saja yang kita ceritakan bukanlah Eropa abad pertengahan, namun adalah negeri Daulah Khilafah.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi khalifah al-Mansur yang berkuasa di Bagdad antara 754-775 M.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang teknik berhitung (aritmetika), yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.  Belakangan karya ini diedit ulang oleh Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika pada tahun 706 M Khalifah al-Walid I menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti dengan bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan kemudian al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor.  Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.

Al-Khawarizmi adalah tokoh matematikawan besar yang ditarik oleh khalifah al-Makmun ke istana.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan luas lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.  Dewasa ini, dengan superkomputer, nilai pi sudah dicoba didekati hingga semilyar angka di belakang komma, dan tetap saja tidak berhenti atau ditemukan keteraturan.

Kalau sebuah bidang datar memotong sebuah kerucut secara miring dan membentuk ellips, lalu pertanyaannya berapa luas dan panjang keliling ellips tersebut, maka geometri Yunani tak lagi memberi jawaban.  Pada saat yang sama, seni berhitung (arimetika) ala India juga tidak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini.  Di sinilah al-Khawarizmi mencoba “mengawinkan” geometri dan aritmetika.  Perpotongan kerucut dengan bidang datar secara miring menghasilkan beberapa unknown (variabel yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, rumus kerucut dan kemiringan perpotongan dijadikan satu lalu diselesaikan.  Inilah aljabar.  Dan model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai oleh Galileo, Kepler, dan Newton dalam meramalkan gerakan planet.

Namun karya terbesar al-Khawarizmi yang sebenarnya justru bukanlah makalah ilmiah yang berat, tetapi dua buah buku kecil yang sengaja ditulis untuk kalangan awam tentang penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Buku perrtama memang menyandang judul yang sangat teoretis, “Aljabar wa al-Muqobalah” – kitab tentang persamaan-persamaan dan penyelesaiannya.  Namun isi sebenarnya ringan.  Ketika orang Barat menerjemahkan buku ini ke bahasa Latin, judul Arabnya tetap bertahan – hingga hari ini: Algebra.

Buku kedua yang ditulis al-Khawarizmi justru membuat namanya abadi.  Buku ini tentang teknik berhitung dengan menggunakan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung objek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, kemudian ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana diketahui, huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

Pada masa rennaisance di Eropa, menguasai aljabar menjadi sesuatu yang sangat prestisius.  Maka tentu tak sulit membayangkan, bahwa kalau di dunia Islam orang dapat melamar seorang gadis dengan mahar mengajarkan al-Qur’an, maka di Eropa, orang dapat melamar seorang gadis dengan mengajarkan aljabar!

[ GAMBAR ]

 

Adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang berhitung dengan abakus Yunani) dengan kaum Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.