Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for November, 2007

Mencoba memproporsionalkan perkara Alam Ghaib, Ilmu Sihir, dan Parapsikologi

Monday, November 5th, 2007

Tulisan ini pernah saya tulis untuk sebuah koran guna “menyambut” keluarnya novel serial “Harry Potter” jilid 7.  Sayang koran yang bersangkutan tidak menanggapinyaNovel Rowling ini mengajari kita bahwa tidak ada yang “instan” di dunia ini, sekalipun di dunia sihir ….

Dr. Fahmi Amhar
(pecinta spiritualitas, sains dan sastra).

Alam Ghaib

Bicara alam ghaib selalu menarik, karena ini menyangkut “pengalaman istimewa” seseorang.  Beragam acara televisi dalam topik ini selalu ramai seperti “Dunia Lain”, “Misteri”, “Uji Nyali” sampai ke cerita anak-anak seperti sinetron “Bidadari”.  Demikian juga seminar-seminar.  Pengalaman menunjukkan bahwa seminar ilmiah, agama atau politik, tidak akan pernah seramai seminar tentang jin.

Konyolnya, orang mencoba menyelami dunia ghaib ini karena terdorong motivasi “instanisme”.  Rakyat kita yang lemah, bodoh dan miskin, sudah lama ingin terlepas dari kesulitannya itu secara cepat.  Dan mereka percaya, pertolongan ghaib adalah cara yang paling masuk akal untuk itu.  Mereka percaya, bahwa dengan suatu ritual tertentu (yang tidak terlalu berat), suatu kekuatan yang tak kelihatan akan membantu mereka manakala kesulitan menghadang.  Dan semua yang tak kelihatan, dan kemudian tak bisa dijelaskan itu mereka sebut alam ghaib.

Ilmu Sihir

Persoalan alam ghaib akan sangat dekat dengan ilmu sihir.  Ilmu sihir sering didefinisikan dengan kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak masuk akal.  Ragam pekerjaan ini sangat luas, mulai dari melihat menembus ruang atau waktu, memindahkan benda-benda secara ghaib – termasuk mengirim benda-benda tertentu (misalnya paku) ke dalam atau keluar tubuh, menimbulkan perasaan tertentu pada seseorang (sedih, marah, benci, sayang, tergila-gila), sampai dengan membaca atau mengendalikan pikiran orang lain.  Maka acara-acara sulap (David Copperfield, Valentino) maupun sihir cukup laris menjadi tontonan, baik life di circus maupun di TV (Dedy Cobuzier, Romi Rafael, …).

Sejarah

Di abad pertengahan, orang menganggap semua fenomena yang belum bisa dipahami adalah bernuansa ghaib atau karena pengaruh sihir.  Maka yang dituduh sebagai penyihir tidak cuma praktisi sihir yang sesungguhnya, namun juga sebagian ahli kimia, fisika atau kedokteran.

Ahli kimia, dengan kemampuannya mengubah berbagai jenis zat yang memiliki sifat-sifat yang sama sekali berbeda, didaulat untuk mencari “batu bertuah” – yang akan menjadi semacam katalis untuk merubah besi menjadi emas.  Dan sungguh ada masa ketika ribuan orang berburu batu bertuah ini – dan mereka semua gagal.

Demikian juga dengan ahli fisika.  Penemuan-penemuan di bidang optika, magnet, dan listrik menimbulkan ketakjuban yang luar biasa pada sebagian orang, atau juga ketakutan dan kebencian pada sebagian yang lain.  Pihak-pihak yang takut ini pernah menuduh Galileo Galilei mengerjakan sihir, karena menunjukkan lewat teleskopnya bulan-bulan planet Jupiter.

Para dokter juga pernah menghadapi kasus di mana orang sakit dikira karena pengaruh mahluk ghaib, sehingga bila dokter itu menyembuhkan (mungkin setelah memberi anti-biotik untuk membunuh jasad renik / bakteri), maka mereka dipandang sebagai penyihir (yang baik).

Hal yang sama terjadi pada para Nabi.  Seorang Nabi yang membawa mukjizat yang jelas, hampir selalu dituduh melakukan sihir (yang buruk).

Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Rabb mereka”. Orang-orang kafir itu berkata: “Sesungguhnya orang ini (Muhammad s.a.w.) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata”. (Qs. 10:2)

Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata: “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang-orang yang kena sihir”. (Qs. 15:14-15)

Kini ketika ilmu pengetahuan semakin maju, semakin sedikit orang percaya pada alam ghaib atau sihir.  Secara alamiah, kedua hal ini hanya tinggal dipercaya para penganut “instanisme” – atau oleh orang-orang yang memang sedang mencari hiburan – artinya cerita alam ghaib atau sihir hanya dicari untuk menghibur, bukan untuk menyelesaikan suatu masalah.

Pengertian ghaib yang syar’i

Dalam al-Qur’an, istilah ghaib selalu ditujukan kepada sesuatu yang tidak cuma tak kelihatan, namun juga tak mungkin didekati dengan cara apapun – kecuali sekedar informasi Ilahiyah.

Kalau sekedar tak kelihatan, maka gelombang radio atau virus juga tidak kelihatan.  Apakah ini ghaib?  Namun peristiwa penciptaan Adam, hari kiamat, surga – neraka atau malaikat, jelas merupakan hal-hal ghaib yang wajib diimani.  Dengan cara apapun, mustahil manusia bisa menyelidiki mereka secara empiris.

Lalu bagaimana dengan jin?  Sangat menarik bahwa Qur’an justru menyebut bahwa jin sendiri – yang tak kelihatan dan sering kita sebut mahluk ghaib – ternyata tak mengetahui yang ghaib.

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan. (Qs. 34:14)

Dengan demikian, rupanya penyebutan kita kepada jin dengan “mahluk ghaib” harusnya direvisi. 

Mungkin demikian juga dengan ilmu sihir.  Tentang sebagian dunia ilmu kimia atau fisika yang pernah dianggap bagian dari sihir baiklah kita abaikan.  Maka ternyata akan ditemukan beberapa hal yang menarik dari apa yang selama ini dianggap orang ilmu sihir.

Sebagian sihir itu sekedar fatamorgana.

Ahli-ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamulah yang akan melempar lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan”. (Qs. 7:115)

Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!”. Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Qs. 7:116)

Sihir tipuan mata ini, meski tidak membuat atau merubah sesuatu yang sifatnya fisis, tapi bila disalahgunakan sudah bisa sangat berbahaya, karena seorang lelaki bisa mengelabuhi mata seorang wanita asing, seakan-akan dia suaminya, sehingga bisa tidur bersama wanita itu; atau menipu mata para karyawan suatu kantor, seakan-akan dia adalah atasan mereka, sehingga bisa leluasa berbuat sesuatu di kantor itu.

 

Sebagian sihir adalah pekerjaan jin

Fakta, sebagian praktisi sihir melakukan aktivitasnya dengan melakukan ritual (seperti membakar dupa, bersesaji atau meniup-niup guna memantrai sesuatu) untuk memanggil mahluk halus. 

Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Shubuh … dari kejahatan-kejahatan tukang-tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, (Qs. 113:1, 4)

Setelah dimantrai, mahluk halus itulah yang kemudian diminta menjalankan suatu tugas, seperti memindah barang, masuk ke dalam suatu pusaka, atau bahkan masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga orang itu –misalnya– menjadi kebal terhadap senjata.

Allah mengingatkan praktek semacam ini akan sangat dekat kepada kemusyrikan, dalam ayatnya:

Dan bahwasannya ada beberapa laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Qs. 72:6)

Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara Jin. Dan sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka), (Qs. 37:158)

Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (Qs. 34:41)

Ayat terakhir ini juga sekaligus menunjukkan bahwa jin –meski tak tampak– bukanlah hal ghaib sesungguhnya yang wajib diimani.  Namun kita meyakini keberadaan mereka karena kita mengimani Qur’an yang telah mengabarkan eksistensi jin itu.

 

Sihir yang sebenarnya mungkin bukan sihir

Dedy Cobuzier pernah mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga jenis magician (“penyihir”). 

Pertama adalah black-magician, yaitu penyihir yang memakai jasa mahluk halus.  Inilah yang dilakukan tukang tenung atau praktisi Vodoo.

Kedua adalah ilusionist, yang mengandalkan suatu trick yang cukup cepat dan canggih sehingga menipu mata.  Inilah yang dilakukan pesulap dunia David Copperfield.  Tak heran setiap show di manapun, David selalu membawa perlengkapan hingga 30 ton.  Namun pesulap lain seperti Valentino dalam suatu serial TV telah menunjukkan sebagian rahasia trick Copperfiled, entah itu membuat seekor gajah “hilang” atau tidak cedera sedikitpun meski tubuh “dipotong-potong”.

Ketiga adalah mentalist, yaitu kemahiran penggunaan kekuatan mental.  Dengan suatu latihan konsentrasi, kekuatan mental manusia mampu melakukan berbagai hal yang luar biasa, seperti membaca pikiran orang, mempengaruhi pikiran orang (hipnotis), berkomunikasi dengan gelombang pikiran (telepati), bahkan sampai menggerakkan atau memindahkan benda tanpa menyentuhnya (telekinesis).  Inilah antara lain yang dilakukan Dedy Cobuzier atau para ahli hipnotis.  Juga barangkali para penyihir yang dikalahkan Nabi Musa.

Di sini kita tahu bahwa “sihir” type black-magic sudah pasti keharamannya karena mengandung kemusyrikan.  “Sihir” ilusi hanya permainan untuk tujuan menghibur, yang barangkali hukumnya mubah.  Sedang “sihir” mental tergantung kepada untuk apa itu digunakan.  Hipnotis sebagai ganti obat bius dalam operasi medis, barangkali halal digunakan.  Sedang telepati atau telekinesis kalau dipakai jihad barangkali juga mubah.

Ilmu Hikmah zaman Nabi Sulaiman

Kisah nabi Sulaiman barangkali adalah kisah paling menakjubkan yang didambakan oleh setiap pecinta instanisme.  Bagaimana tidak, Sulaiman adalah Nabi yang diberi Allah kerajaan yang kaya raya, serta berbagai “kemampuan gaib” seperti bicara dengan binatang atau mengendarai angin.

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata”. (Qs. 27:16)

Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan pula dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. … (Qs. 34:12)

Apakah kemampuan Nabi Sulaiman ini mukjizat – yang artinya hanya bukti kenabian beliau, ataukah itu sesuatu yang bisa dipelajari manusia lain?  Bagaimana dengan kalimat “Allah telah alirkan carian tembaga baginya” – yang maknanya Nabi Sulaimanlah orang pertama yang menguasai teknik pengolahan tembaga.  Sama seperti Daud dengan teknik baju besi.

Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untukmu, guna memeliharamu dalam peperangan; Maka hendaklah kamu bersyukur. (Qs. 21:80)

Dugaan bahwa ilmu bicara dengan binatang atau mengendarai angin (entah bagaimana caranya) ini adalah “sains yang telah hilang” – bukan mukjizat dan bukan sihir, dikuatkan ayat lain tentang kemampuan seorang manusia biasa di masa itu.

Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antaramu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri”. (Qs. 27:38)

Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya”. (Qs. 27:39)

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau ingkar (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (Qs. 27:40)

Ayat ini menunjukan dua hal: teknik pemindahan seketika menembus ruang (teleportasi) ini dikerjakan manusia biasa – berarti bukan mukjizat, dan juga tidak atas pertolongan jin.  Jadi ilmu ajaib ini memang ada!  Apakah dia pantas disebut sihir?

Allah membantah spekulasi itu:

Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).  Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (Qs. 2:102)

Dari ayat ini tampak bahwa asal muasalnya, ilmu-ilmu ajaib ini bersifat netral.  Untuk melakukannya, baik manusia maupun jin harus mempelajarinya dengan susah payah.  Diduga bahwa pada dasarnya, keduanya adalah olah mental untuk melatih konsentrasi.  Dan jin, meski tak memiliki raga, jelas memiliki mental (ruh), dan dengan latihan itu akan mampu melakukan berbagai hal.  Manusiapun juga, bahkan bisa lebih baik dari jin.  Itulah mengapa seorang manusia di zaman Sulaiman mampu mengalahkan jin ifrit yang paling cerdik dan kuat.  Dan itulah juga, mengapa seorang manusia yang terlatih mampu mengusir jin – lepas dari soal apakah dia menggunakan Qur’an atau tidak.

Hanya, manusia yang malas, akan mengambil jalan pintas.  Daripada susah-susah latihan konsentrasi, dia minta tolong saja sama jin yang sudah ahli, tentunya dengan syarat-syarat yang diminta jin.  Dan inilah salah satu pangkal kekufuran.

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (Qs. 6:112)

 

Jin itu sendiri

Jin diciptakan sebelum manusia.  Karakteristik fisik dan dimensi alam mereka berbeda dengan manusia.  Karena itu, syari’at mereka juga berbeda.  Maka tak heran meski ajaran tauhid juga tertuju kepada jin, namun Nabi tidak pernah mengajak jin untuk membantu jihadnya.

Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (Qs. 15:27)

Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya: sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, (Qs. 72:1)

Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (Qs. 55:33)

Karena itu sulit juga diterima mu’amalah dengan jin, apakah itu transaksi yang melibatkan jin (jual beli jin) ataukah pernikahan dengan jin.  Sebagian ulama secara teoretis hanya menganggap mubah pernikahan lelaki manusia dengan wanita jin, dan anaknya pasti manusia.  Namun mereka menganggap haram bila sebaliknya, atau menganggap bila lelakinya jin, maka anaknya pasti jin – dan tidak tampak.  Hal ini karena, kalau anaknya bisa manusia, maka akan muncul pengakuan seorang wanita yang punya anak, meski diketahui tidak bersuami, bahwa dia bersuamikan jin.  Dan ini harus dicegah secara syar’i.  Adapun kalau lelakinya manusia, maka anak jin yang manusia itu toh harus lahir dari ibu manusia.  Artinya, laki-laki yang seperti ini harus sudah punya istri yang manusia.  Dan istri jinnya, ketika akan bersetubuh dengan suami manusianya itu, harus merasuk dulu ke tubuh istrinya yang manusia.  Rumit ya …  Apakah teori ini ditemui dalam kenyataannya, wallahu a’lam.

Namun fenomena jin merasuk ke tubuh manusia bisa ditemui di banyak tempat.   Orang yang kerasukan akan berbicara dengan suara atau bahkan bahasa yang sangat asing, yang mustahil dia pernah menyadarinya.  Atau bisa juga dia menjadi sangat kuat, kebal, mampu melompat sangat jauh atau sejenisnya.  Namun tanpa badan kasar begini, jin hanya mampu mengerahkan kekuatan mentalnya – inipun kalau terlatih.

Penelitian Parapsikologi

Di dunia ilmiah, yang mengandalkan observasi atas suatu fenomena yang bisa diukur dan karena itu harus bisa diulangi, memasukkan masalah alam gaib dan ilmu sihir ini ke dalam bahasan Parapsikologi.  Para artinya “di atas”, artinya di atas batas capaian ilmu itu.  Karena fenomena ini lebih banyak berkaitan dengan mental atau jiwa manusia, maka jadilah dia masuk para-psikologi.

Di Austria dan negara maju lainnya, riset parapsikologi tak cuma dilakukan psikolog.  Organisasi parapsikologi juga bukan kumpulan para dukun.  Justru anggotanya yang terbanyak datang dari para saintis dan fisikawan.

Mereka mengumpulkan fenomena-fenomena ajaib dari berbagai penjuru, dan mencoba mengulangi fenomena itu di laboratorium yang diawasi ketat.  Faktanya fenomena seperti telepati (komunikasi pikiran), telekinesis (memindahkan benda tanpa menyentuh), clairvoyance (melihat menembus ruang), hipnotis (mengendalikan pikiran), levitasi (terbang melayang), teleportasi (memindahkan benda menembus ruang), transfigurasi (merubah bentuk) dll, itu memang ada. 

Tentu saja, sains tidak puas dengan bukti adanya fenomena.  Sains juga ingin mencoba membentuk teori untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi berdasarkan apa yang telah diketahui sebelumnya dengan pasti.  Saat ini teori yang berkembang selalu berkaitan dengan dua asumsi: adanya gelombang mental (dengan partikel hipotetis “psychotron”) serta adanya ruang dimensi ke-empat, tempat segala masalah lompatan ruang dan waktu bisa dijelaskan.  Tentang gelombang mental: sebagian bisa diukur dengan alat Electro-Ensephalograph (EEG).  Sedang keberadaan dimensi di atas dimensi-3, dalam fisika quantum yang membahas partikel nuklir sudah bisa diukur keberadaannya, namun untuk ukuran makro belum bisa dideteksi.  Jadi riset parapsikologi belum mendapatkan seluruh penjelasan yang memuaskan, selain bahwa ada orang-orang yang memang berbakat dalam parapsikologi.  Artinya, meski nantinya teori itu terbangun, belum tentu semua orang akan mampu menerapkannya, kecuali dia berbakat.  Jadinya, tampaknya ilmu ini lebih bersifat seni …

 

Memproporsionalkan Dunia Fiksi Gaib.

Dunia fiksi masa lalu melukiskan sihir sebagai ilmu serba bisa.  Kisah 1001 malam penuh “Sim Sala Bim” atau “Abrakadabra”, dan seketika kesulitan berubah menjadi kesenangan.  Mungkin inilah yang membuat orang menjadi penganut instanisme.

Namun di zaman modern ini, penulis-penulis fiksi mulai lebih proporsional.  Novel bestseller “Harry Potter” menggambarkan dunia penyihir sebagai komunitas tersendiri yang menutupi eksistensinya dari pandangan “muggle” (non penyihir).  Di “Kementrian Sihir” sampai perlu ada departemen “pembalikkan sihir tak sengaja pada muggle”.  Dan tentu saja, untuk bisa menyihir, tak cukup sekedar membaca mantra dan mengayunkan tongkat sihir, namun harus belajar bertahun-tahun yang penuh lika-liku, dan inilah daya tarik novel ini.

Demikian juga di salah satu komik Doraemon, ketika Nobita yang pemalas ingin bisa menyelesaikan PR-nya dengan sihir, lalu menelepon Kotak Andaikan, sehingga seluruh dunia berubah jadi dunia sihir.  Tetapi Nobita tetap saja murid terbodoh – karena dia belum belajar sihir sejak kelas 1 SD!  Dan lucunya lagi, di dunia sihir juga banyak masalah, misalnya dengan gempa bumi yang makin sering – karena mendekatnya planet setan.

Kesimpulannya, baik alam gaib, ilmu sihir ataupun parapsikologi memang harus didudukkan dan dihadapi secara proporsional.  Dan yang jelas, jangan berharap semua masalah bisa diselesaikan dengan instan!

Mencoba menghitung luas “tanah mati”

Monday, November 5th, 2007

Tanah mati dengan definisi “tanah yang ditelantarkan / tidak dikelola selama 3 thn” – yang oleh karena itu bisa disita oleh negara – di Indonesia saat ini masih sangat sulit diidentifikasi kecuali ada sinergi yang baik dari aspek hukum & teknis.

Yang ada adalah:

(1) lahan kritis, yaitu yang kurang subur, meski dikelola tiap hari dan bayar PBB.  Ini ada datanya di Deptan.  Luasnya 22 juta ha dari 107 juta ha lahan pertanian di Indonesia.

(2) lahan nunggak pajak, yaitu lahan yang tidak dibayar pajaknya, baik karena alasan ekonomis (kurang menghasilkan), politis (enggan bayar pajak) ataupun karena ditelantarkan (si empunya mungkin sudah lupa).

 

Persoalannya sebagai berikut:

(1) secara teknis lahan kritis gampang dideteksi secara visual ataupun dengan penginderaan jauh.  Namun apakah lahan itu ditelantarkan, maka perlu ada cross data dengan survei sosial-pertanian untuk menemukan fakta bahwa benar-benar tidak ada orang yang diserahi tugas untuk menggarapnya.

(2) secara hukum lahan nunggak pajak juga gampang dideteksi, karena Direktorat PBB sudah punya peta dasar perpajakan di seluruh Indonesia.  Tetapi apakah nunggak pajak itu karena ditelantarkan (ini asumsi yang lazim dari masa lalu), maka masih perlu survei.  Faktanya di sisi lain, lahan yang rajin bayar pajak juga tidak otomatis tidak ditelantarkan.  Banyak lahan yang hanya menjadi objek investasi / spekulasi — nunggu harga naik.  Bukankah tanah adalah sumber daya yang terbatas, sedang kebutuhannya terus naik, sehingga harganya pasti naik?  Buat para spekulan ini, lahan yang diterlantarkanpun tetap ekonomis, karena harganya toh naik terus.

Solusi:

Perlu ada model pengawasan tanah yang sudah diserahkan menjadi hak milik pribadi.  Pengawasan tidak boleh hanya semata-mata dengan instrumen PBB, tetapi juga dari instrumen survei pemetaan (untuk melihat sejauh mana lahan itu dapat diharapkan produktivitasnya) dan survei sosial (untuk melihat aktivitas pengelolaan lahan tsb).

 

Khilafah: sistem manusiawi

Sunday, November 4th, 2007

Dr. Fahmi Amhar [Al Wa’ie November 2007]

Khilafah: Solusi Dunia

Perkembangan dunia Abad 21 ini menunjukkan peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di manapun dapat diikuti oleh siapapun di pelosok dunia manapun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh Negara-bangsa menjadi kurang berarti. Pertanyaannya: siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan global itu lebih baik?

Dalam hal ini, gaya hidup yang diciptakan dunia Barat yang materialistis-kapitalistis dan liberal-sekular pada awalnya memang berhasil mewarnai seluruh pelosok dunia lebih cepat. Namun, ujung-ujungnya gaya hidup ini juga lebih cepat menuai kecaman dari seluruh bangsa di dunia. Di segala pelosok dunia orang mengeluhkan pemborosan sumberdaya alam yang makin cepat, perusakan lingkungan yang makin dahsyat, tercerabutnya kearifan lokal, terdesaknya masyarakat adat dan makin jelasnya penjajahan ekonomi di mana-mana. Globalisasi yang semula dimaksudkan untuk mengokohkan peradaban Kapitalisme—sehingga Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “The End of History”—justru menjadi bumerang. Di mana-mana orang mencari alternatif. Bahkan di negeri-negeri asal Kapitalisme, arus orang yang mencari jalan alternatif semakin meningkat. Orang mencari makanan alternatif. Tren pertanian tanpa pupuk kimia atau pestisida (pertanian organik) meningkat pesat. Orang mencari wisata alternatif (eco-wisata). Bahkan orang mencari agama alternatif (dari mainstream di sana, yaitu agama Nasrani). Jumlah pemeluk Islam, Budhisme dan sekte-sekte tumbuh pesat.

Di sinilah, sistem Khilafah dengan syariah Islam sebagai solusi total permasalahan manusia akan menjadi alternatif yang makin menarik guna memberikan pemecahan praktis persoalan dunia. Dunia yang kehilangan arah makna kehidupan akan diberi paradigma baru yang tepat. Sistem Khilafah yang bersifat global, tetapi memberikan ruang bagi pluralitas, akan memberikan jalan yang berbeda daripada perangkap-perangkap negara-bangsa yang sudah tidak kompatibel lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta isu-isu lingkungan hidup.


Khalifah Juga Manusia

Sistem khilafah masih perlu didetilkan. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di Harian Media Indonesia (24/8/2007) lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma; di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan Khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia mempertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru—suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Adapun Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem Khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tetapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan diharapkan terus membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.

Sepanjang sejarahnya, HT terbukti konsisten untuk concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini (atas desakan AS dan Uni Eropa), yang mencekal dan mendeportasi para pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak hadir apalagi berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan dua penulis di atas sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajhizah Dawlat al-Khilâfah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan HT (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem Khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Memang, istilah khalifah dipakai secara umum dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30, dan secara agak khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul saw. telah dengan jelas membatasi istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi saw. bersabda:

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiapkali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi saw. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi saw.:

Umatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran.

HT menyimpulkan bahwa Ijmak Sahabat adalah sebuah sumber hukum. Karena itu, bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar, atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi, keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem Khilafah tidak memiliki model suksesi.

Adapun apa yang terjadi di masa Bani Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem baiat, namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus perdana menteri (PM) pada sistem demokrasi parlementer dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat pada Pemilu berikutnya.

Dalam sistem Khilafah, orang yang dicalonkan ini baru akan sah menjadi Khalifah dengan baiat. Baiat adalah akad antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariah Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah. Karena itu, jika khalifah tidak lagi menerapkan syariah maka akadnya otomatis batal. Mahkamah Madzalim secara konstitusional dapat memecat khalifah. Pemecatan ini tentu saja baru akan efektif jika kekuatan politik dan militer mendukungnya—sebagaimana juga mereka adalah kunci ketika seorang khalifah naik tahta. Kondisi real politis ini ada pada sistem apapun.

Sebaiknya dalam melihat suatu sistem pemerintahan, kita tak hanya terpaku pada sistem suksesi atau peralihan kekuasaannya. Konstitusi manapun tidak hanya mengatur suksesi. Dalam UUD ‘45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Jadi, saat kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya melihat suksesinya. Kalau mau jujur, Indonesia ini, meski telah melakukan suksesi secara sangat demokratis, kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Sebaliknya, meskipun terjadi penyimpangan sebagian kecil khalifah pada masa lalu, mereka masih melindungi seluruh rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban yang mulia. Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaannya membentang dari Spanyol hingga Irak. Khalifah al-Rasyid dan al-Makmun dari Bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa. Al-Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang aparatnya melakukan pelecehan seksual atas Muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik yang sangat demokratis ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al-Qanuni dari Bani Utsmaniyah berhasil menahan—untuk beberapa abad kemudian—laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Rusia, dll). Andaikata Khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.


Khilafah: Negara Hukum, Bukan Totaliter

Sering menjadi pertanyaan pula adalah masalah check and balance. Sistem demokrasi sering dipuja-puja karena adanya trias politika atau pembagian/pemisahan kekuasaan: legislatif–eksekutif–yudikatif. Sebaliknya, kekuasaan khalifah seperti dalam kitab-kitab fikih dituduh terlalu besar, tidak cuma sebagai eksekutif, tetapi juga bisa merangkap legislatif dan yudikatif. Sebagai legislatif: meski ada Majelis Syura, hanya dalam soal masyura keputusan syura mengikat; sedangkan dalam hukum syariah keputusan syura tidak mengikat. Sebagai yudikatif: selama tidak menyangkut dirinya, khalifah boleh mengadili secara langsung suatu pertikaian.

Orang lupa bahwa dalam sistem demokrasi dengan trias politika, kepala negara tetap paling berkuasa. Undang-undang apapun, kalau presiden tidak menerapkan, ya tidak jalan. Presiden juga bisa membuat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden agar suatu UU menjadi operasional. Adapun dalam soal yudikatif, faktanya presiden mempunyai kekuasaan memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi—sesuatu yang justru dalam sistem Khilafah tidak ada ketika perkaranya menyangkut hudûd atau jinâyah.

Orang juga sering lupa bahwa di negara manapun, dengan sistem apapun, kualitas kekuasaan akan bergantung pada kualitas masyarakatnya! Pada negara demokratis dengan trias politika, bisa saja seluruh kekuasaan itu praktis pada satu partai atau bahkan satu tangan. Jika suatu partai yang populer menang mutlak dalam Pemilu, dia akan mendominasi legislatif dan eksekutif. Anggota yudikatif yang konon independen pun toh dipilih dari para ahli hukum oleh DPR. Di Indonesia kita melihat sendiri seperti apa kualitas lembaga legislatif dan yudikatif yang konon melakukan check and balance itu.

Di sisi lain, jika legislatif dan eksekutif didominasi partai yang berbeda memang check and balance akan lebih kuat, namun dalam banyak hal juga akan membuat pengambilan keputusan sangat lamban yang bahkan bisa membuat pemerintahan lumpuh.

Seberapa efektif kekuasaan itu juga sangat bergantung pada kekuatan politik dan militer yang mengawalnya. Di negara yang sangat diktator pun, pemimpin tertinggi (raja, presiden atau sekjen partai komunis) akan berpikir seribu kali agar keputusannya juga didukung para aristokrat, tokoh partai dan pemimpin militer. Pada awal tahun 90-an, politik di sejumlah negara (Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Afrika Selatan) berubah total meski tanpa Pemilu. Kuncinya adalah perubahan cara pandang para tokoh politik dan militer sehingga sejalan dengan aspirasi masyarakat. Jadi, kuncinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat. Dari rahim merekalah lahir para pemimpin. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan para pemimpin politik dan militer yang cerdas.

Dari sini kita akan dapat mengerti bahwa tidak mungkin seluruh khalifah pada masa Umayyah-Abbasiyah-Utsmaniyah itu memerintah secara totaliter. Kalau ini terjadi, pasti umur sistem itu tak akan lama. Faktanya, mereka meninggalkan peradaban yang besar dan masyarakat yang kuat.

Namun, menganggap sistem Khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi juga menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses prosedur Pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang liberal pun paham akan hal ini sehingga mereka menentang kalau orang Islam hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.

Sejatinya, dalam demokrasi itu ada asas sekularisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas penopangnya.

Sebaliknya, ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak mempersoalkan pemilihan langsung oleh rakyat, sebab kekuasaan memang ditangan rakyat, namun menentang demokrasi dengan tiga asas penopangnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya?


Kesimpulan

Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan manusiawi yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (kedaulatan dari Allah), namun kekuasaan adalah dari umat. Karena kekuasaan dari umat, maka ia akan mengikuti dinamika politik manusia yang ada di dunia. Ini adalah realitas yang harus dimengerti, baik oleh para pejuang Khilafah maupun mereka yang skeptis terhadapnya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Dr. Fahmi Amhar]

 

Daftar Pustaka:

Ali Muhammad Ash-Shalabi: Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003.

Ibnu Khaldun: Muqaddimah. Edisi Indonesia oleh Pustaka Firdaus, 2000.

Robert Greene: The 48 Laws of Power. Edisi Indonesia oleh Karisma Publishing Groups, 2007.