Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for September, 2010

Mengentas Kemiskinan

Tuesday, September 7th, 2010

Prof. Dr. Fahmi Amhar
Lajnah Maslahiyah, DPP Hizbut Tahrir Indonesia

Indonesia, jika menerapkan semua hukum Islam, termasuk dalam keuangannya, niscaya dapat mengatasi kemiskinan.  Namun ketika orang bicara bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, umumnya orang hanya terpikir pada zakat.  Sesungguhnya berapa potensi zakat di Indonesia?

Dari 211 juta penduduk Indonesia pada 2003, menurut Primus Dorimulu dalam tulisannya di majalah Investor Edisi 93 – 27 Jan-8 Feb 2004 (http://www.pajak.go.id/ index.asp?pjk=31&idnews=512&idsec=6) diperkirakan punya kemampuan finansial sebagai berikut:

(1) 6-8 juta (3-4%) penduduk yang masuk kategori kaya, dengan asset likuid minimal Rp. 33,2 miliar.   Dengan asumsi 6 orang mewakili satu keluarga kaya, 33% dari jumlah itu muslim (karena sudah terkenal bahwa sebagian besar orang kaya kita adalah Cina yang mayoritas non muslim) serta harta kena zakat sebesar 20% dari asset liquid, maka akan didapat potensi zakat sebesar: 1 juta x 33% x Rp. 33,2 M x 20% x 2.5% = Rp. 54,78 triliun.

(2) 21 juta (10%) penduduk setengah kaya, dengan asset likuid minimal Rp. 4 miliar.  Dengan asumsi 5 orang mewakili satu keluarga setengah kaya, 50% dari jumlah itu muslim serta asset liquid yang kena zakat ada 20%, maka akan didapat potensi zakat sebesar: 4,2 juta x 50% x Rp. 4 M x 20% x 2.5% = 42,00 triliun.

(3) 32 juta (15%) orang kelas menengah dengan pendapatan minimal Rp. 3,5 juta sebulan. Di sini diasumsikan 4 orang per satu keluarga kelas menengah dan 80% muslim (seperti rasio populasi saat ini), maka potensi zakatnya: 8 juta x 80% x 12 bln x Rp 3.5 juta x 2.5% = 6,72 triliun.

(4) 50 juta (40%) penduduk berpendapatan minimal Rp. 800.000–1000.000 sebulan yaitu mayoritas pekerja.  Penghasilan mereka mungkin tidak mencapai nishab meskipun juga belum termasuk mustahiq.  Bila nishab adalah 20 Dinar emas atau 85 gram emas, dengan harga emas saat ini (1 Dinar emas = Rp. 1.500.000) maka nishab itu kira-kira Rp. 30 juta.

Jadi dari zakat saja bisa terkumpul sekitar Rp. 103,5 triliun.  Bila ini dibagikan ke 100 juta orang sisanya yang tergolong mustahiq, maka tiap orang akan mendapat kurang lebih dari Rp 1 juta.  Jumlah yang cukup lumayan bagi mustahiq.

Namun ini jelas belum benar-benar mengentaskan kemiskinan secara tuntas dan berkelanjutan.  Untuk itu sistem ekonomi secara keseluruhan perlu digerakkan.  Pembangunan harus berjalan, mulai dari infrastruktur, lapangan kerja, arus modal, pendidikan, infrastruktur dan sebagainya.  Pada tahun 2010, Negara Republik Indonesia mengerahkan lebih dari Rp. 1000 Trilyun untuk menggerakkan sistem ekonomi.  Jadi jumlah yang didapat dari zakat – kalau ditarik optimal – paling jauh baru 10%.

Untuk itulah, dapat kita katakan bahwa zakat bukanlah pilar ekonomi umat yang utama, apalagi untuk mengentaskan kemiskinan.  Pilar nomor satu tentu saja adalah Sistem Ekonomi Islam (Sistem Ekonomi Syariah) itu sendiri.  Sistem ini mulai dari sistem mata uang yang bebas inflasi (yakni hanya berbasis emas/perak), sistem perbankan non ribawi, sistem permodalan syariah, sistem pertanahan syariah, sistem pengelolaan sumberdaya alam syariah, APBN syariah, dan sebagainya.  Sebagai ilustrasi singkat, bila sumberdaya alam dikelola secara syariah, maka setiap tahun dari sektor kehutanan saja yang dikelola secara lestari sudah akan didapatkan Rp 999 Trilyun (dan ini berkelanjutan), dari migas dan batubara Rp. 641 Trilyun, dari mineral laiin seperti emas Rp. 50 Trilyun dan dari hasil laut Rp. 73 Trilyun.  Dengan pendapatan negara yang sangat besar ini, niscaya sektor pendidikan dan kesehatan dapat digratiskan sepenuhnya, infrastruktur dapat ditingkatkan, alutsista TNI dapat dilengkapi, dan utang negara dapat dilunasi dalam beberapa tahun saja.

Dan bila sistem Islam diterapkan, maka asumsi prosentase muzakki dari kelompok kaya akan terkoreksi, baik dari penduduk muslim yang makin kaya karena mendapat pendidikan dan kesempatan yang lebih fair, maupun dari non muslim kaya yang kemudian terpanggil masuk Islam karena pengaruh dari dakwah yang lebih profesional dan media massa yang sehat karena dibentengi dengan syariah.

(Jurnal Bogor, 7 September 2010 – di edisi cetak ada beberapa text yang tidak dimuat)

 

Saat Muslim Disiplin Waktu

Wednesday, September 1st, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah anda membuat acara dan mengundang orang banyak, dan acara itu dapat dimulai tepat waktu?   Kalau pernah, maka barangkali itu adalah acara di mana ada bagi-bagi rezeki, misalnya buka bersama, pembagian zakat atau daging Qurban, atau acara yang dihadiri pejabat tinggi atau selebritis.  Bagaimana kalau itu acara rapat RT atau pengajian rutin di masjid kampung?  Berapa menit molornya?

Nah, bicara soal disiplin waktu adalah bicara alat penjaga waktu, yaitu jam.  Tahukah anda bahwa kaum muslim memiliki kontribusi yang luar biasa dalam teknologi time-keeping device ini?

Teknologi jam dimulai oleh para astronom. Ini karena pengamatan objek langit sangat tergantung penunjuk waktu yang akurat.  Berbagai jam telah dibuat, namun secara umum terdiri dari 3 prinsip penunjuk waktu: fenomena astronomi (jam matahari), aliran air (jam air), dan fungsi mekanik (komputer analog).  Pada era modern, ditemukan jam quartz dan jam atom.

 

Jam Astronomi

Penunjuk waktu ini tergantung dari gerak matahari.  Sebuah paku aku melempar bayangannya ke sebuah permukaan lengkung yang berisi garis dan kurva, dan dengan sedikit latihan kita akan dapat membaca tanggal dan jam.  Di beberapa pesantren dan masjid di Indonesia, masih bisa dijumpai jam semacam ini.  Di masa lalu, astronom muslim bahkan membuatkan jam-jam matahari untuk penghias taman istana-istana di Eropa.

Jam astronomi yang lebih portabel (bisa dibawa kemana-mana) adalah astrolab.  Pada abad-10, al-Sufi menuliskan lebih dari 1000 macam penggunaan astrolab, termasuk untuk menghitung waktu sholat dan awal Ramadhan.

 

Jam Air

Jam air ditulis pertama kali oleh Ibn Khalaf al-Muradi dalam “Kitab Rahasia-Rahasia” pada tahun 1000 M.  Kitab ini disimpan pada Museum of Islamic Art di Doha, Qatar.  Namun banyak desain jam air yang spektakuler dilakukan Al-Jazari (1206 M).  Salah satu di antaranya memiliki tinggi sekitar satu meter dan lebar setengah meter. Jam ini menunjukkan gerakan dari model matahari, bulan dan bintang-bintang.  Inovasinya adalah, sebuah jarum yang ketika melewati puncak perjalanannya akan membuat pintu terbuka setiap jam.  Jam asli al-Jazari ini berhasil direkonstruksi dan dipamerkan di Science Museum London pada tahun 1976.  Selain jam ini al-Jazari juga membuat jam air yang berbentuk gajah.


Jam Mekanik

Jam mekanik menggunakan prinsip gerak yang dapat diatur perlahan dan teratur, misalnya pegas atau bandul.  Yang menarik, pada tahun 1559, Taqiuddin as-Subkhi, seorang astronom Utsmani saat itu sudah mendesain berbagai jam mekanik yang dilengkapi dengan suatu alarm, misalnya untuk penggerak teleskop, sehingga akan sangat memandu astronom dalam mengamati objek langit, misalnya yang mendekati meridian.  Dia menulisnya dalam bukunya “Al-Kawākib al-durriyya fī wadh’ al-bankāmat al-dawriyya” (The Brightest Stars for the Construction of Mechanical Clocks).

Ada juga jam mekanik yang sudah digabung dengan kalender lunisolar (gabungan bulan dan matahari).  Ini adalah embriyo dari komputer analog.  Ibn as-Syatir pada awal abad-14 membuat jam yang menggabungkan penunjuk hari universal dan kompas magnetik untuk menentukan jadwal shalat dalam perjalanan.  Semakin hari jam karya insinyur muslim semakin teliti.  Abad-15 M, mereka sudah mampu menghasilkan jam yang dapat mengukur sampai detik.  Presisi dalam penunjuk waktu berarti akurasi dalam navigasi, dan ini adalah modal keunggulan dalam jihad fi sabilillah, terutama di lautan.