Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for December, 2010

Menunjukkan Jalan Yang Benar

Thursday, December 2nd, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Pernahkah anda mendengar kisah tentang jama’ah haji Indonesia yang tersesat di Makkah, lalu bertanya kepada orang Arab di pinggir jalan.  Sambil menunjukkan kartu identitas dengan alamat pondokannya, dia mengucapkan satu ayat al-Fatihah “Ihdinas shiraathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus / benar).  Semula orang Arabnya tertegun, tetapi lalu tersenyum setelah menangkap apa yang dimaksud, dan lalu mengantar si orang tadi ke pondokannya yang ternyata tidak jauh.

Istilah “jalan yang benar” memang bisa memiliki makna mendalam seperti jalan hidup, tetapi dapat juga makna langsung seperti mengetahui arah.  Dan bicara tentang arah, kita sekarang mengandalkan kompas.

Di Barat, yang dianggap penemu kompas adalah Flavio Gioja dari Amalfi, Italia.  Namun sejarahwan Sigrid Hunke menyebut bahwa Flavio mengenal kompas dari orang Arab, bahkan dia bukan orang Barat pertama yang belajar kompas!

Bahwa jarum magnetik menunjuk ke utara, sudah diketahui orang Cina berabad sebelum Rasulullah.  Anehnya, orang Cina justru baru mengamati penggunaan kompas dalam perjalanan di lautan pada orang asing di abad-11 M.  Dan siapa lagi orang-orang asing pada saat itu, yang berdagang dengan kapal-kapalnya di samudra Hindia hingga ke Cina, kalau bukan orang Arab!

Sementara itu sumber-sumber Arab pada kurun waktu yang sama memang menyebutkan penggunaan kompas.

Orang Barat pertama yang mengenal kompas adalah Petrus dari Maricourt, Perancis, yang sepulang dari perang Salib menjadi guru Roger Bacon.  Roger Bacon adalah tokoh filosof pra zaman Rennaisance.  Petrus mengajar tentang magnetisme dan kompas dan pada tahun 1269 menulis makalah “Epistola de magnete”.  Baru 33 tahun setelah itu, Flavio Gioja dari Amalfi sibuk dengan kompas.

Amalfi adalah tempat yang terletak di dekat Venezia, sebuah kota pelabuhan, di mana banyak perwakilan dagang Arab di sana.  Maka sangat masuk akal kalau kemudian Flavio mendapatkan pengetahuan kompas ini dan meneruskannya di Barat.

Keberadaan kompas untuk mengetahui arah adalah kemajuan yang signifikan dalam navigasi.  Semula, arah diketahui dengan melihat matahari atau konstelasi bintang.  Namun metode ini selain membutuhkan waktu yang lama juga tak dapat dilakukan saat langit berawan.

Meski demikian, dalam bernavigasi di lautan, keberadaan kompas tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasi dengan keberadaan jam dan peta yang baik.  Dengan mengetahui lama perjalanan, kecepatan rata-rata, dan arah, maka navigator kapal dapat memperkirakan lokasi kapal yang aktual di atas peta.  Tentu saja akurasi metode ini sangat tergantung pada asumsi kecepatan kapal, yang boleh jadi tergantung arus laut dan angin.  Biasanya mereka tetap mengkalibrasi lokasinya dengan astronomi (mengukur sudut posisi matahari atau bintang) pada saat langit cerah.  Dengan metode semacam itu kaum muslimin pada masa itu menjadi pelaut yang paling handal di samudra, yang berani berlayar sampai ke Cina, dan di laut Tengah hampir tidak lagi memiliki lawan.

 

Tidak banyak catatan yang menceritakan, siapa ilmuwan muslim yang berada di balik pengembangan kompas.  Namun dengan melihat prestasi beberapa ilmuwan besar, kita dapat menduga bahwa ketiga anak Musa bin Syakir yang hidup di zaman khalifah al-Ma’mun sudah berkutat dengan benda ini, mengingat banyaknya penemuan yang mereka lakukan terkait dengan mekanika dan astronomi.  Muhammad bin Musa – si anak tertua – bahkan pernah membuatkan jam untuk Kaisar Karl der Grosse dari Aachen Jerman.

Pada abad-21 ini, peran kompas untuk navigasi masih besar, walaupun pelan-pelan digeser oleh keberadaan piranti GPS, yang sekarang sudah banyak menjadi bonus pada peralatan komunikasi.  Namun demikian, diyakini bahwa kompas masih akan bertahan berabad-abad lagi, mengingat dia tidak tergantung pada sistem satelit GPS yang dikuasai negara-negara adidaya.  Apalagi sistem satelit ini ternyata juga rentan pada gangguan angin partikel dari matahari, yang konon bakal meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Dan tahukah anda, bahwa ada seorang anak kecil di akhir abad-19 yang semula malas belajar, lalu tiba-tiba dia terpesona oleh hadiah dari ayahnya.  Anak kecil itu kemudian berkembang menjadi fisikawan besar.  Dialah Albert Einstein.  Dan hadiah dari sang ayah itu adalah: sebuah kompas !

Globe yang tak sekedar mainan

Thursday, December 2nd, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Anda di rumah memiliki globe (bola dunia)?  Untuk apa?  Saat ini banyak pengasong menjual globe murah buatan Cina di beberapa perempatan Jakarta.  Sebagian memang didesain untuk dapat dipajang di meja kelas.  Sebagian lain untuk dipakai main lempar bola di kolam renang.

Tahukah anda bahwa sekitar 1000 tahun yang lalu, globe adalah sebuah masterpiece.  Hingga saat itu belum semua ilmuwan sepakat bahwa bumi itu bulat.  Tetapi Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Idris asy Syarif atau dikenal sebagai Al-Idrisi (1100 M – 1165 M) percaya, dan dialah pencipta pertama peta dunia dalam bentuk globe seperti yang kita kenal sekarang!

Sebenarnyalah, al-Idrisi mampu melakukan itu karena sejumlah politisi dan ilmuwan telah membukakan jalan.  Berabad sebelumnya, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun mendorong para ilmuwan Muslim untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah kuno dari Yunani ke dalam bahasa Arab.  Beberapa naskah penting Yunani yang diterjemahkan adalah: Almagest dan Geographia.

Khalifah Al- Ma’mun (813 M – 833 M) memerintahkan para geografer Muslim untuk mengembangkan geodesi, yaitu teknik mengukur jarak di atas bumi. Umat Islam pun akhirnya bahkan mampu menghitung volume dan keliling bumi. Lalu Al-Ma’mun memerintahkan untuk menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 geografer lainnya akhirnya mampu menyelesaikan tugas ini pada tahun 830 M.  Kemudian Khawarizmi juga menulis kitab geografi yang berjudul “Surah Al-Ard” (tentang geomorfologi), sebuah koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab itu menjadi landasan ilmiah bagi geografer Muslim klasik. Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah kitab berjudul “Keterangan tentang Bumi yang Berpenghuni”.

Ilmu geografi pun makin berkembang. Di awal abad-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan akademi survei dan pemetaan di Baghdad.  Di abad-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri menulis kitab “Mu’jam Al-Ista’jam” (Eksiklopedi Geografi) dan “Al-Masalik wa Al-Mamalik” (Jalan dan Kerajaan).

Al-Idrisi lahir pada tahun 1100 di Ceuta Spanyol.  Pada usia muda dia sudah gemar bepergian ke tempat-tempat yang jauh, ke Eropa, Asia dan Afrika, untuk mengumpulkan sendiri data dan fakta geografi.  Walhasil, pada usia di bawah 30 tahun, dia sudah menulis kitab geografi berjudul “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh di Barat sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, “Geographia Nubiensis”.

Kemasyhuran dan kompetensi al-Idrisi didengar oleh Raja Roger II dari Sicilia (1129 M – 1140 M).  Ia mengundang dan memfasilitasi al-Idrisi untuk membuat peta dunia paling baru saat itu.  Al-Idrisi menyanggupi namun mengajukan syarat bahwa dalam peta itu ia ingin memasukkan data wilayah Sicilia yang pernah 200 tahun berada di bawah kekuasaan kaum muslim sebelum Raja Roger berkuasa.  Raja Roger setuju.

Peta pesanan Raja itupun diwujudkan oleh al-Idrisi dalam bentuk globe dari perak seberat 40 kg yang secara cermat memuat pegunungan, sungai-sungai, kota-kota besar, dataran subur dan dataran gersang, lengkap dengan informasi tinggi di beberapa titik.  Karya ini dilengkapi sebuah buku berjudul “Kitab Al-Rujari” (Roger’s Book) sebagai bentuk penghormatan ke Raja Roger.

Kitab ini diakui dunia sebagai bentuk deskripsi paling teliti dan cerrmat tentang peta dunia pada abad pertengahan.  Bahkan buku tersebut menjelaskan keberadaan sebuah pulau yang terletak sangat jauh dan terpencil, seperti sebuah pulau es (mungkin Islandia), di mana perjalanan mencapai pulau itu sangat sulit karena dipenuhi kabut dan lautan yang sering dilewati bongkahan-bongkahan es berbahaya yang hanyut.

Ia juga menggambarkan tentang “Laut Gelap” yang kemudian dinamai Atlantik.  Al-Idrisi menyebut penduduk asli yang mendiami pulau di laut tersebut sebagai penduduk Inggris.

Peta dan globe buatan al-Idrisi, sekalipun di beberapa area masih kosong (karena saat itu belum ada informasi tentang keberadaan benua Amerika atau Australia), namun secara umum sudah memberikan gambaran yang akurat kepada masyarakat, terutama bangsa Eropa.  Mereka menggunakan peta itu untuk melakukan penjelajahan dunia – bahkan berakhir dengan penjajahan!

Selain membuat peta dunia dan globe, al-Idrisi juga menciptakan beberapa metode baru untuk mengukur garis lintang dan bujur, menulis kitab “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” yang berguna untuk orang-orang yang ingin mengadakan perjalanan menembus berbagai iklim.  Ini adalah sebuah ensiklopedia yang berisi peta yang digambar rinci dan informasi lengkap dari negara-negara yang pernah dikunjunginya.  Buku ini diterjemahkan dan diedarkan oleh orang Barat dalam bahasa Latin berkali-kali, dan pada tahun 1619 (hampir 4 abad kemudian!), diterbitkan di Roma dengan judul “Geographia Nubiensis” dalam versi cetak, karena saat itu mesin cetak sudah ditemukan.

Namun al-Idrisi masih menulis beberapa buku lagi.  Pertama sebuah ensiklopedia yang lebih komprehensif “Rawd-un-Naas wa-Nuzhat al-Nafs” (Kenikmatan Manusia dan kesenangan Jiwa), “Shifatul Arab” (Karakter bangsa Arab), dan “Kharithanul ‘Alamil ma’mur minal Ardh” (Sumber daya alam dunia).  Karya-karya ini juga diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain Spanyol (1793), Jerman (1828), Perancis (1840) dan Italia (1885).