Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for March, 2011

Tiada PLTN tanpa Syariah

Thursday, March 3rd, 2011
Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
DPP Hizbut Tahrir Indonesia

Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan bahan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir.  Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir

SETELAH pantai Jepara di Jawa Tengah, kini wilayah Pulau Bangka telah disurvei oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai kandidat tapak Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mendatang.  Alasannya wilayah ini bebas gempa, sehingga membangun PLTN di sana akan relatif aman, ada potensi bahan thorium yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar PLTN dan krisis listrik, karena BBM untuk PLTD kadang-kadang terlambat dikirim akibat cuaca buruk.

Namun alasan-alasan positif ini belum dapat meyakinkan masyarakat agar menerima PLTN.  Ini karena informasi yang diberikan dirasakan kurang berimbang.  Lebih-lebih bila yang menyampaikan disinyalir memiliki kepentingan.  Akibatnya informasi seperti prasyarat yang dibutuhkan, atau dampak yang mungkin terjadi tidak pernah diberikan dengan jelas dan tuntas.

 Teknologi Strategis

Teknologi nuklir dan teknologi ruang angkasa adalah teknologi paling strategis sejak abad-20.  Kalau umat Islam terdahulu sampai berjalan jauh ke Cina untuk belajar membuat kembang api uamh kemudian dikembangkannya menjadi mesiu hingga meriam raksasa (supergun) saat penaklukan Konstantinopel pada abad 15 masehi maka semestinya, teknologi nuklir ini juga dikuasai umat Islam.  Hanya saja negara-negara maju tak akan rela keunggulan mereka disaingi negara lain, sehingga banyak aspek dari teknologi ini dirahasiakan atau dibatasi penyebarannya.

Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan bahan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir.  Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir.  Contohnya adalah Iran atau Korea Utara.

Memang benar, bahwa barangsiapa mampu membangun PLTN sendiri, maka dia juga akan mampu membuat senjata nuklir.  Dalam sejarahnya, Amerika Serikat telah lebih dulu berhasil meledakkan bom atomnya, sebelum dapat mengendalikan proses reaksi berantai nuklir itu dalam sebuah PLTN.
Alternatif Energi Bersih

Energi nuklir adalah salah satu energi bersih masa depan, karena tidak menghasilkan emisi (CO2, SOx, NOx) seperti  halnya PLTD atau PLTU.  Tentu saja sebuah PLTN juga menghasilkan limbah, baik itu berupa air hangat (yang tidak radioaktif) maupun sedikit limbah radioaktif yang harus disimpan dengan aman di ruang anti radiasi untuk ribuan tahun ke depan.

Namun untuk Indonesia, alternatif sumber energi bersih bahkan terbarukan ini masih banyak. Kita memiliki potensi panas bumi, angin, surya dan laut yang berlimpah.  Sekali lagi ini soal teknologi yang akan menentukan apakah kita dapat segera memanfaatkan semua potensi ini sendiri, atau harus menunggu uluran tangan (dan jerat hutang) dari bangsa lain.

PLTN Wajib Disiapkan Serius

Teknologi PLTN adalah teknologi tinggi.  Hal ini karena kebocoran atau kecelakaan dapat berakibat fatal.  Bahan radioaktif yang keluar akan memancarkan radiasi sinar Gamma selama ribuan tahun.  Bila terkena mahluk hidup, radiasi ini akan merusak sel, menyebabkan kanker atau kemandulan.  Pada kasus kecelakaan PLTN di Chernobyl tahun 1986, sebuah kota harus dievakuasi, dan kota itu hingga kini masih menjadi kota mati.  Untuk itu sebuah PLTN modern harus dibangun dengan keamanan berlapis.  Sistem kontrol otomatis disiapkan agar bila ada sesuatu yang tak wajar, reaktor otomatis dimatikan.  Masalahnya adalah bila kelalaian dan korupsi membuat sistem kontrol itu tak lagi berfungsi. Bangsa kita ini terkenal pintar membangun, tetapi malas memelihara.  Walhasil, selain kecelakaan saat pemboran minyak di Lapindo Sidoarjo yang berakibat keluarnya lumpur panas tak tertangani dari 2006 hingga kini, hampir setiap hari kita mendengar kecelakaan kereta api, kapal hingga pesawat.

Kita juga wajib menyiapkan agar PLTN tersebut bila jadi dibangun tidak makin menjerat kita pada ketergantungan kepada asing, baik dalam bentuk utang, maupun dalam pengadaan bahan bakar nuklir.  Memang Indonesia punya uranium, tetapi kadarnya rendah, sedang alat untuk memperkaya uranium termasuk yang dibatasi, untuk mencegah suatu negara membangun senjata nuklir.  Sedang thorium yang konon berlimpahpun, mungkin belum bisa dimanfaatkan, karena hingga kini di dunia belum ada satupun PLTN dengan bahan bakar thorium.

Program komputer yang dipakai di PLTN juga harus open-source, agar dapat dirawat dan update sendiri, juga dapat diaudit dulu, agar tidak disusupi baik oleh spy-ware maupun bom-waktu.
Menyiapkan PLTN

Kalau syariat Islam diterapkan untuk menyiapkan PLTN, insya Allah kita akan mendapatkan SDM yang andal, baik dari ketakwaan, profesionalisme maupun semangat juang.  Ini untuk mengantisipasi agar mereka tidak lalai dan tidak korupsi dalam menjalankan pekerjaannya, dan agar mereka senantiasa bekerja keras menguasai teknologi dengan motivasi spiritual. Pekerjaan nuklir hanya sedikit mentolerir kecerobohan (zero-tolerance).

Kemudian syariat pula yang akan menuntun agar sejak dari tender, pembebasan tanah, perjanjian dengan luar negeri terkait dengan pembiayaan, alih teknologi dan pengadaan bahan bakar, hingga pengurusan limbah radioaktif dapat berjalan dengan transparan, adil, aman, dan berkelanjutan. Hanya dengan syariah, sebuah proyek PLTN akan aman, mensejahterakan dan melindungi kedaulatan. Tanpa syariah, PLTN adalah arena mafia, lahan korupsi dan sebuah risiko serius. (*)

Mencari Muslim di Negeri Samurai

Thursday, March 3rd, 2011

Tahukah Anda bahwa Kekaisaran Jepang adalah sahabat Khilafah di Turki?  Sebetulnya hanya ada sedikit catatan tentang kontak antara Islam dan Jepang sebelum pembukaan negeri itu dari isolasi tahun 1853, meski mungkin ada Muslim yang telah datang ke sana berabad sebelumnya.  Kontak Muslim modern pertama adalah dengan orang-orang Melayu yang melayani kapal-kapal Inggris dan Belanda di akhir abad-19.

Pada 1870, sejarah kehidupan Nabi Muhammad telah diterjemahkan ke bahasa Jepang.  Pada tahun 1890 kontak penting terjadi ketika Turki Utsmani mengirim kapal perang ke Jepang untuk membalas kunjungan persahabatan Pangeran Komatsu Akihito ke Istanbul tujuh tahun sebelumnya.

Orang Jepang pertama yang pergi haji adalah Kotaro Yamaoka.  Dia masuk Islam setelah kontak dengan penulis Turki Abdürreşid İbrahim.  Yamaoka berhasil mendapatkan izin untuk membangun masjid jami’ di Tokyo (selesai 1938) dari Sultan Abdülhamid II sebagai khalifah dan pemimpin seluruh Muslim.  Pada tahun 1998 masjid ini direnovasi total.

Baru pasca Revolusi Rusia, beberapa ratus Turko-Tatar-Muslim dari Rusia datang ke Jepang mencari perlindungan. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di Jepang.

Turki tetap komunitas Muslim terbesar Islam sampai sekarang.  Jepang sejak sebelum perang dikenal simpatinya pada Muslim di Asia Tengah, karena mereka dilihat sebagai sekutu melawan Rusia maupun Soviet.  Pada saat itu, intelijen Jepang banyak bekerja sama dengan Muslim, bahkan sebagian terus masuk Islam, dan menyebarkan Islam setelah perang selesai.

Hal menarik terjadi pada serdadu ini saat mereka dikirim ke Asia Tenggara. Pilot-pilot ini diperintahkan untuk mengucapkan kalimat “La ilaha illa Allah” jika mereka tertangkap di daerah ini. Saat ini benar-benar terjadi, begitu mereka mengucapkan kalimat ini, penangkapnya berubah pikiran dan memperlakukan mereka dengan baik.

Pada masa pendudukan sekutu pasca Perang Dunia II, terdapat tokoh Shūmei Ōkawa dan muridnya, Toshihiko Izutsu, yang meski ditahan sebagai penjahat perang kelas-A, tetapi di penjara tetap mempraktekkan Islam dan berusaha menyelesaikan penerjemahan Quran.

Pada 1953 berdiri organisasi Muslim Jepang pertama, Japan Muslim Association, di bawah pimpinan Sadiq Imaizumi. Jumlahnya mencapai 120 pada saat dia wafat enam tahun kemudian.  Presiden kedua adalah Umar Mita. Dia masuk Islam ketika kontak dengan Muslim Cina, saat Jepang menduduki Cina.  Dia lalu naik haji dan menerjemahkan Quran ke bahasa Jepang.  Dia juga membuat dokumenter: “Road to Hajj – Japan”, yang disiarkan oleh Al-Jazeera.  Saat ini yang menjadi presiden Japan Muslim Association adalah Prof Hasan Ko Nakata, dari Fakultas Theologi Universitas Dosisha Kyoto.  Dia pernah menjadi pembicara pada Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta tahun 2007.

Pada tahun 1970-an, terjadi “Islamic booming” akibat krisis minyak. Begitu menyadari pentingnya Timur Tengah dan besarnya cadangan minyaknya untuk ekonomi Jepang, media massa Jepang gencar memublikasikan tentang dunia Islam.

Tetapi sulit mendapatkan data seberapa besar jumlah Muslim bertambah.  Keiko Sakurai pada tahun 2000 menaksir jumlah Muslim etnis Jepang sekitar 63.000, dan yang orang asing sekitar 100.000.  Sedang Michael Penn menaksir 90 persen Muslim di Jepang adalah orang asing, dan hanya 10 persen yang etnis.  Semuanya spekulatif, karena pemerintah Jepang yang sangat sekuler sama sekali tidak memasukkan agama sebagai salah satu variabel statistik.  Meski demikian, semua orang tahu bahwa mayoritas rakyat Jepang adalah penganut kepercayaan Shinto yang kadang-kadang dicampur dengan agama Budha atau Kristen.  Ada lebih dari 100.000 kuil Shinto di Jepang.

Menurut situs japanfocus.org, baru ada 30 – 40 bangunan masjid di Jepang, dan sekitar 100 apartemen yang digunakan sebagai mushala.  Jumlah ini tentu saja sangat kecil mengingat populasi Jepang yang 120 juta jiwa.

Semua ini memperlihatkan bahwa pekerjaan dakwah di Jepang masih sangat besar, di tengah suasana yang lebih ramah dan lebih bebas prasangka daripada di Barat misalnya.  Maklum, sekali lagi dulu Kaisar Jepang pernah menjadi teman Khalifah.[]