Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for April, 2011

Ketika Libya di bawah Islam

Thursday, April 7th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Muammar Khadafi, pemimpin Libya berusia 69 tahun itu menunjukkan wajah aslinya.  Tokoh yang ke negeri-negeri muslim lainnya gemar membangun citra pembela Islam dengan membangun masjid, membagi mushaf dan mengolok-olok Amerika itu kini menjawab demonstrasi rakyatnya dengan pesawat tempur!  Karena shock dengan perintah itu, beberapa pesawat tempurnya lantas membelot ke Luar Negeri.  Sebagian duta besarnya juga lalu mengundurkan diri.

Padahal Libya di zaman kekhilafahan Islam dulu pernah menjadi lumbung pangan!

Di bawah komando Amr bin Ash, tentara Islam membuka Libya mulai dari Cyrenaica, yang diganti namanya menjadi Pentapolis, Barqa.  Pada 647 M, 40.000 pasukan yang dipimpin oleh ‘Abdu’llah bin Sa’ad, menembus jauh ke Barat Libya dan mengambil Tripoli dari Bizantium.  Selama berabad-abad berikutnya Libya berada di bawah pemerintahan Islam, dengan berbagai tingkat otonomi yang bervariasi, mulai dari Ummayah, Abbasiyah dan Fatimiyah.  Kekuasaan Islam dengan mudah diberlakukan di daerah pertanian pesisir dan kota-kota, yang menjadi makmur di bawah perlindungan Islam.

Di Cyrenaica, penganut Monofisit dari Gereja Koptik telah menyambut kaum Muslim sebagai pembebas dari penindasan Bizantium.  Suku-suku Berber dari pedalaman menerima Islam, namun mereka memiliki sedikit resistensi terhadap budaya Arab.

Ketika Khalifah Harun Al-Rasyid menunjuk Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai gubernur Afrika pada 800 M, Libya menikmati otonomi lokal yang cukup besar.  Penguasa dinasti Aghlab berada di antara para penguasa Islam yang paling perhatian untuk Libya.  Mereka menghadirkan sebuah standar pemerintahan dan pelayanan publik yang baik, mengembangkan lanjut sistem irigasi Romawi yang membawa kemakmuran ke daerah tersebut hingga meraih surplus pertanian, dan Libya menjadi lumbung pangan untuk di wilayah Mediterania.

Pada akhir abad ke-9 Masehi, Dinasti Fatimiyah mengendalikan Barat Libya dari ibu kota mereka di Mahdia, sebelum ibukota baru mereka Kairo pada 972 M dan menunjuk Buluggin bin Ziri sebagai gubernur Libya.  Selama pemerintahan Fatimiyah, Tripoli berkembang pesat pada perdagangan, terutama untuk barang-barang yang dibawa dari Sudan seperti wol, kulit, dan garam yang diekspor hingga ke Italia dalam pertukaran dengan barang dari kayu dan besi.

Kemudian muncul Ibnu Ziri’s, dinasti Berber Zirid yang memisahkan diri dari Syiah Fatimiyah, dan mengakui Abbasiyah Sunni di Baghdad sebagai khalifah yang sah.  Sebagai pembalasan, Fatimiyah memigrasikan 200.000 keluarga dari dua suku Badui, Banu Sulaym dan Bani Hilal ke Afrika Utara.  Tindakan ini benar-benar mengubah corak kota-kota Libya karena memantapkan arabisasi budaya. Sayangnya, menurut catatan Ibn Khaldun, para pendatang ini kurang bisa mengurus pertanian, sehingga tanah-tanah yang diduduki Bani Hilal lambat laun berubah menjadi padang pasir yang gersang.

Kondisi dalam negeri di Libya yang kurang kondusif ini menjadikannya sempat dikuasai oleh pasukan Salib yang dipimpin Raja Roger II dari Sizilia pada 1146 M.  Namun pada 1174 pemerintah Ayubiyah (keturunan Salahuddin al Ayubi) berhasil merebutnya kembali dengan tentara Turki dan Badui.

Setelah itu berkuasalah sultan Muhamad bin Abu Hafsid, dan para penggantinya – dikenal dengan “Dinasti Hafsid”  selama hampir 300 tahun.  Mereka mendirikan perdagangan yang signifikan dengan negara-negara kota di Eropa.  Penguasa Hafsid juga mendorong kesenian, sastra, arsitektur dan memberi beasiswa untuk para ilmuwan.   Ahmad Zarruq (1442–1493) adalah salah satu ulama Islam yang paling terkenal yang menetap di Libya saat itu.  Hasil karyanya antara lain Qawa’id al-Tasawwuf (Prinsip-prinsip Tasawuf), Syarah Fiqh Maliki dan Syarah kitab al-Hikam dari ibn ‘Ata illah.

Selama Era Hafsid, pengaruh peradaban Islam yang lebih tinggi dari Andalusia menyebar sampai Tripolitania, dimana perlindungan Hafsid telah mendorong kreativitas penduduk Libya untuk beberapa dekade berikutnya.

Pada abad ke-16, Hafsids terperangkap dalam konflik antara Spanyol dan Khilafah Utsmaniyah.  Setelah sempat diinvasi oleh Spanyol pada 1510, Khilafah Utsmani akhirnya merebut kembali Libya pada 1551 M.  Kota Tripoli kemudian dibangun terus sampai menjadi salah satu kota yang paling mengesankan sepanjang pantai Afrika Utara.  Pada 1565., kewenangan administratif penguasa di Tripoli ditunjuk langsung oleh Khalifah di Istanbul.

Selanjutnya politik di Libya memang mengalami pasang surut, yang intinya adalah memperebutkan tingkat otonomi yang bervariasi.  Namun hal ini tak menyurutkan kondisi bahwa Tripoli dan Libya umumnya adalah salah satu kota dunia di tepi Laut Tengah.

Ekonomi Libya mulai runtuh setelah negara-negara Barat masuk ke Afrika, dimulai dari Napoleon pada 1819.  Mereka menggunakan strategi perpecahan dan perang saudara.  Akhirnya, ketika Daulah Utsmaniyah sendiri mengalami kemerosotan, wilayah Libya menjadi provinsi yang terpencil di sebuah negara yang membusuk.

Pada tahun 1969, Muammar Khadafi yang baru berusia 27 tahun melakukan kudeta tak berdarah, dengan memaksa raja Idris agar menyerahkan kekuasaan ke Putra Mahkota, tetapi lalu sang Putra Mahkota tidak pernah dilantik.  Muammar Khadafi kemudian mengembangkan Islam menurut versinya, yaitu sosialisme.  Dia menulis “Buku Hijau”, membagikan ke rakyatnya dan mewajibkan mereka untuk mempelajarinya seperti layaknya Qur’an.

Hasilnya, Libya semakin terpuruk, dan hari-hari ini, mereka meminta sang pemimpin yang sudah tidak muda lagi itu untuk mundur.  Libya memang hanya akan bangkit dan maju kalau diperintahkan kembali dengan syariat Islam di dalam Daulah Khilafah.

Mesir Negeri Para Ilmuwan

Thursday, April 7th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Setelah Tunisia, Mesir pun mengalami revolusi.  Husni Mubarak yang kini bagi rakyat Mesir diplesetkan menjadi “Laa Husni wa Laa Mubarak” (yang tidak bagus dan tidak barokah) akhirnya mundur, setelah didemo besar-besaran selama 18 hari, disindir terus majikannya, yakni Obama, Presiden AS dan akhirnya ditinggalkan tentaranya.

Tetapi belum pasti, apakah pergantian rezim ini berarti juga pergantian dari sistem sekuler menjadi sistem Islam.  Sistem sekuler terbukti hanya menjadikan Mesir terpuruk dan terhina.  Dari sisi sains dan teknologi, SDM bergelar “Master of Science” per sejuta penduduk di Mesir hanya ada 370 orang, sementara di Israel ada 13.000 orang!  Meski ini data dari UNDP tahun 2003, tapi sepertinya secara perbandingan belum ada perubahan signifikan.

Padahal dulu berabad-abad Mesir adalah negeri para ilmuwan, baik ilmuwan di bidang fiqih maupun di bidang sains dan teknologi.  Kehebatan Mesir hanya tertandingi oleh Cordoba dan Baghdad.  Rahasianya ada pada Islam.

Memang, berabad-abad sebelum Islam hadir di Mesir, negeri ini pernah memiliki banyak matematikawan, astronom dan insinyur yang hebat.  Para insinyur itu digunakan Fir’aun untuk membangun piramid raksasa dengan presisi yang tinggi.  Sebelum datangnya Romawi, Alexandria pernah memiliki perpustakaan terlengkap di dunia.  Namun Romawi lalu memusnahkan perpustakaan itu.  Selama enam setengah abad sesudahnya, Mesir tenggelam dalam kegelapan peradaban.  Sampai akhirnya cahaya Islam datang.

Ketika pasukan Amr bin Ash membebaskan Mesir dari tangan Romawi, pampasan perang yang diminta bukanlah emas, perak atau harta benda sejenisnya.  Tetapi semua buku kuno yang telah ditelantarkan berabad-abad.  Buku-buku itu lalu diterjemahkan, dipelajari dan dikembangkan.  Tanpa upaya ini, mungkin kita hanya mengenal Ptolomeus sebagai seorang jenderal yang menjabat gubernur, bukan sebagai astronom yang menulis buku astronomi Almagest, yang dipelajari di seantero dunia Islam sebagai tafsir ayat “Dan langit bagaimana ditinggikan” (QS al-Ghasiyah:18).

Di Mesirlah sejak tahun 969 M berdiri universitas kelas dunia, Universitas al-Azhar.  Dalam sejarahnya yang sangat panjang, dari universitas ini muncul tidak cuma orang-orang yang mumpuni dalam ilmu, tetapi juga rajin mengingatkan para penguasa yang lalai ataupun berdiri di garis depan dalam jihad fi sabilillah melawan tentara salib ataupun penjajah Barat lainnya.  Reputasi pabrik ilmuwan kelas dunia seperti itulah yang memanggil para aghniya untuk wakaf dengan asset-asset produktif – seperti kebun, pabrik atau pasar – agar Al-Azhar dapat terus memberi beasiswa calon-calon ulama pejuang dari seluruh dunia.

Dalam sejarahnya yang panjang itu Mesir bertabur bintang-bintang sains.  Inilah beberapa di antaranya:

 

Di bidang ilmu Kimia:

pada 650-704 M, Khalid ibn Yazid adalah ahli kimia muslim pertama yang menerjemahkan ilmu kimia kuno (alkimia) Mesir kuno ke dalam bahasa Arab.  Sejak itulah ilmu kimia berkembang di seantero dunia Islam.

Pada 1250 M, para insinyur di Mesir berhasil membuat senapan tangan (midfa), yang merupakan prototype pistol atau senjata api yang portabel   Senjata ini digunakan oleh pasukan Mesir untuk mengalahkan tentara Mongol dalam pertempuran di Ain Jalut.  Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol ini memiliki bubuk mesiu yang terdiri dari 74% amonia, 11% belerang dan 15% karbon) – sebuah komposisi yang ideal seperti di zaman modern.  Pasukan Mesir juga dikabarkan sudah menggunakan pakaian yang tahan api agar tidak terluka oleh cartridge mesiu yang mereka bawa.

 

Di bidang matematika dan fisika:

Pada 850-890 M hiduplah Abu Kamil Syuja ibn Aslam ibn Muhammad ibn Syuja, yang merupakan simpul penting dalam pengembangan matematika, penghubung antara al-Khwarizmi (penemu aljabar) dengan al-Karaji (penemu geometri analitis).  Abu Kamil lah orang pertama yang menuliskan notasi dengan tanda pangkat seperti

Sekitar tahun 1000-1009 M, Ibnu Yunus mempublikasikan hasil risetnya di bidang fisika dan astronomi Al-Zij al Hakimi al Kabir.  Ini adalah deskripsi paling awal tentang gerak bandul (pendulum).  Dia juga membangun tugu astrolab yang pertama.

Dalam dunia fisika, penemuan optika oleh Ibn al-Haitsam (1021 M) juga dapat dikatakan terjadi di Mesir, ketika al-Haitsam ini mengalami tahanan rumah, setelah insinyur yang berasal dari Iraq itu gagal menyelesaikan proyek bendungan sungai Nil, lalu pura-pura gila.

Pada 1312-1361 M, Tajuddin Ali ibn ad-Duraihim ibn Muhammad at-Tha’alibi al-Mausili menulis banyak hal tentang ilmu persandian (kriptologi).  Karya beliau diungkap dalam salah satu bab dari ensiklopedi 14 jilid karya Syihabuddin Abu’l Abbas Ahmad ibn Ali bin Ahmad Abdullah al-Qalqasyandi (1356-1418 M).  Di situ dijelaskan teknik substitusi dan transposisi, dari yang sederhana hingga yang rumit, sehingga mampu membuat suatu plain-text menjadi text yang tidak dapat dibaca kecuali dengan analisis kripto tingkat tinggi.

 

Di bidang teknologi rekayasa:

Pada 860 M, astronom al-Farghani membangun Nilometer, sebagai alat peringatan dini tinggi air sungai Nil, baik untuk mengantisipasi banjir ataupun kekeringan.

Pada 953 M Ma’ad al Mu’izz, seseorang qadi di Mesir, menemukan fulpen yang tidak akan mengotori tangan atau bajunya, yang tintanya tersimpan dalam suatu reservoir dan turun oleh gaya gravitasi dan kapiler.  Ini adalah penemuan fulpen yang tercatat pertama kali, seperti direkam oleh an-Nu’man al-Tamimi (wafat 974 M) dalam bukunya Kitab al-Majalis wa’l Musayardh.

Pada tahun 1000-an M, banyak penemuan teknik di Mesir seperti ventilator untuk pertambangan, penggilingan gandum bertenaga air sungai yang berbentuk jembatan (bridge mill) dan industri logam bertenaga air.

Pada 1551 M, insinyur Taqiyuddin yang disponsori pemerintah Utsmaniyah di Mesir menciptakan mesin uap, jauh lebih dulu dari James Watt (1736-1819) di Inggris.

 

Di bidang kedokteran:

Pada 800 M didirikan rumah sakit jiwa pertama di dunia oleh seorang dokter di Cairo.

Pada 1118-1174 M, penguasa Mesir Nur ad-Dien Zanqi memerintahkan membangun rumah sakit pendidikan pertama di dunia.  Dokternya, Abu al-Majid al-Bahili menyumbangkan perpustakaannya.

Pada 1285 M di Cairo berdiri rumah sakit terbesar di dunia, atas perintah Sultan Qalaun al-Mansur.  Menurut Willy Durant, rumah sakit ini dilengkapi dengan halaman-halaman terpisah untuk setiap kelompok pasien dengan penyakit yang berbeda, disejukkan dengan kolam-kolam air mancur, laboratorium, apothek, kantin, pemandian, perpustakaan, sarana ibadah, ruang kuliah, dan untuk pasien gangguan jiwa ada akomodasi yang menghibur (musik yang lembut atau pendongeng profesional).  Hebatnya lagi, pelayanannya diberikan gratis untuk seluruh pasien, tanpa memandang jenis kelamin, etnis atau penghasilan.  Bahkan saat mereka boleh pulang diberikan tunjangan agar tidak harus segera bekerja.

 

Semoga revolusi Mesir saat ini, mendorong rakyat Mesir untuk mendesak agar pemerintah yang baru menerapkan syariat Islam, agar Mesir meraih kembali kemuliaannya dalam sejarah peradaban selama berabad-abad.

Mencari Masjid di Lingkar Kutub

Saturday, April 2nd, 2011
Masjid Montreal

Masjid Montreal

Pasti Anda pernah mendengar pertanyaan, “Bagaimana shalat di daerah kutub yang panjang siangnya atau malamnya berbulan-bulan?”  Mungkin ustadz yang ditanya akan menjawab, “Ah di sana tidak ada manusia, atau minimal tidak ada Muslimnya”.

Salah fatal.  Saat ini di kutub utara ada Muslim, dan ada masjid!  Masjid yang diresmikan 21 September 2010 ini berada di kota Inuvik, Kanada, yang posisinya 68°20′ Lintang Utara, 133°25 Bujur Barat.  Seperti kita ketahui, kutub utara dimulai dari lintang 66° 33′ 44″.

Masjid paling utara di bumi akan menjadi rumah ibadah bagi sekitar 100 lebih kaum Muslim di antara 3.200 penduduk.  The Zubaidah Tallab Foundation, sebuah lembaga amal Islam di Manitoba, mengumpulkan dana hampir $ 300 ribu untuk membangunnya di Winipeg dan mengapalkan masjid itu ke Inuvic sejauh hampir 4000 Km.

Kanada sendiri adalah sebuah negeri yang amat luas (luas daratannya lima kali Indonesia, tetapi sebagian besar adalah padang tundra di wilayah kutub!), dan hanya berpenduduk 32,8 juta, sedang Muslimnya hanya sekitar 784.000 jiwa atau sekitar 2,5 persen.  Tentu saja tidak semua mempraktikkan Islam, sebagian adalah “Muslim kultural”.

Komunitas Muslim di Kanada adalah setua bangsa Kanada itu sendiri.  Empat tahun setelah berdirinya tahun 1867, sensus menemukan 13 Muslim di Kanada.  Masjid pertama berdiri di Edmonton 1938, di mana ada 700 Muslim.  Sekarang masjid ini bagian dari museum Fort Edmonton Park.  Setelah 1960-an, jumlah Muslim meningkat pesat, setelah ada imigrasi besar-besaran dari Timur Tengah.

Dibandingkan Muslim di Eropa, Muslim di Kanada tidak mendapatkan masalah seberat Muslim di Eropa – yang pernah mengalami trauma Perang Salib, meski akhir-akhir ini menguat pula masalah integrasi sebagian Muslim yang memakai cadar dengan mainstream.  Secara umum Muslim Kanada hanyalah salah satu kelompok etnis, ras atau agama yang bersama-sama membentuk Kanada.

Kota dengan populasi Muslim terbesar adalah Montreal.  Ada 12 masjid di Montreal, dan secara berkala mereka melakukan “Montreal Open Door Mosques”.  Selain itu terdapat juga “masjid kagetan” di kampus, seperti di McGill University.  Di universitas ini terdapat pusat studi Islam yang banyak dijadikan tempat S2 dan S3 dosen-dosen UIN dari Indonesia.  Perpustakaan di sini memiliki koleksi buku yang sangat lengkap.  Tidak cuma buku-buku Islam berbahasa Arab dan Inggris, tetapi yang berbahasa Urdu, Persi, Turki atau Indonesia juga banyak.  Hanya sayang, mainstream pemikiran yang berkembang di McGill adalah Islam liberal.[]