Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for July, 2011

Minyak dari para ulama

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Menaikkan harga BBM (mengurangi subsidinya), pasti tidak populer.  Membatasi distribusi premium hanya ke kendaraan umum, teknisnya susah.  Jangan-jangan nanti banyak angkot alih jasa, tidak lagi membawa penumpang tapi berganti jadi makelar premium buat mobil pribadi.  Maka pemerintah dapat ide baru, menghapus premium sama sekali, dan subsidinya tidak dialihkan ke pertamax.  Di dunia, memang tinggal sangat sedikit negara yang masih memakai BBM ber-oktan 88 seperti premium, dengan alasan kurang ramah lingkungan  Di negara maju, premium hanya dijual terbatas pada mobil antik, yang mungkin menjadi barang koleksi.

Tetapi bicara premium berarti bicara minyak, dan kalau kita menengok ke belakang, itu berarti bicara prestasi umat Islam dalam teknik kimia dan teknik perminyakan.

Banyak bukti menunjukkan bahwa para kimiawan muslim adalah yang pertama-tama memproduksi bahan bakar dari minyak bumi mentah.  Sebelumnya, manusia hanya mengenal minyak organik, baik dari tumbuhan (seperti minyak kelapa) atau hewan (lemak unta).

 

Sebotol minyak mentah, umumnya sulit terbakar.

Tentu saja, pada awalnya hasil olahan minyak mentah itu masih sangat sederhana, seperti nafta (lilin) dan ter (aspal).  Tapi pada akhir abad-8 M, jalanan di Baghdad sudah diaspal dengan hasil olahan minyak melalui suatu proses yang disebut “destilasi destruktif”.  Al-Qazwini, dalam kitabnya Aja’ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua jenis campuran aspal dan pasir yang digunakan melapisi jalan, yang dikenal kuat dan lekat.

Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan infrastruktur transportasi jalan di zaman kekhalifahan Islam, terutama di Baghdad. Pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai sejak Khalifah Al-Mansur pada 762 M. Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of Arab juga melukiskan jalan-jalan di Baghdad dan Cordoba telah berlapis aspal, dan di malam hari telah diterangi lampu minyak. Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan beraspal adalah pada 1824 M, yaitu di Champs-Elysees Paris, Perancis.

Pada abad-9 M, Muhammad ibn Zakarīya ar-Rāzi menemukan cara menghasilkan kerosene (minyak tanah) dari minyak mentah.

Masih pada abad-9 M, sebuah ladang minyak di dunia pertama kali dimanfaatkan di sekitar Baku (Azerbaijan) untuk menghasilkan nafta.  Deskripsi al-Mas’udi (abad-10) dan Marcopolo (abad-13) menggambarkan adanya hasil dari sumur minyak mencapai jumlah ratusan kapal perhari.

Sebuah Sumur minyak tua.

Berbeda dengan rekan-rekan ilmuwan sebelumnya, pada abad-11 Abū Alī ibn Sīnā menemukan “minyak essensial”.  Minyak esensial adalah cairan “hidrofobik terkonsentrasi” yang mengandung senyawa aroma-atsiri dari tanaman. Minyak atsiri juga dikenal sebagai minyak ethereal atau aetherolea, atau hanya sebagai minyak extrak tanaman dari, seperti minyak cengkeh, tetapi bukan sekedar “minyak tanaman” seperti minyak kelapa.

Minyak essensial adalah “penting” dalam arti bahwa ia membawa aroma khas esensi tanaman. Minyak atsiri membentuk suatu kategori khusus untuk tujuan medis, farmakologi, atau kuliner.  Pada umumnya minyak atsiri diekstraksi dengan penyulingan.  Proses lainnya termasuk ekspresi, atau ekstraksi pelarut.  Mereka digunakan dalam parfum, kosmetik, sabun dan produk lainnya untuk aroma makanan dan minuman, dan untuk menambah “aroma dupa” dan “produk pembersih” rumah tangga.

Teknologi perminyakan sangat berkembang di tubuh umat Islam ketika mereka masih memiliki visi menjadi umat yang terbaik di dunia.

Karena itu, tidak sedikit para ilmuwan – yang dibesarkan dalam pendidikan Islam seperti hafal al-Qur’an di usia 10 tahun –  berlomba terjun dalam riset teknologi.  Mereka mendapat dorongan penelitian dari Qur’an dan Sunnah, dan memanfaatkan hasil penelitiannya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim.  Namun demikian, berbeda dengan riset yang didorong oleh ideologi kapitalisme, “riset Islam” tidak pernah menjajah dan memboroskan sumber daya alam dan lingkungan.

Sementara itu negara Daulah Khilafah masih efektif melakukan dakwah ke seluruh dunia dengan memberi contoh nyata, yakni menerapkan Islam dan menunjukkan bahwa penerapan Islam itu menjadika

Agar Mata untuk Melihat

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Masih sehatkah mata anda?  Kalau anda masih bisa membaca tulisan ini, insya Allah mata anda sehat.  Tetapi apakah mata anda telah dipakai untuk melihat?  Maksud kami melihat hal-hal yang Allah halalkan dan Allah perintahkan untuk melihat?

Tahukah anda, siapa dalam sejarah ilmuwan paling berpengaruh dalam soal penglihatan?

Abu Ali Hasan Ibn al-Haitsam adalah fisikawan yang paling terkenal kontribusinya dalam optika dan metode ilmiah.  Beliau lahir 965 M di Basrah dan bersekolah di Basrah dan Baghdad.  Kemudian dia pergi ke Mesir untuk mengerjakan proyek mengontrol sungai Nil, yang ternyata gagal, sehingga untuk menghindari hukuman dia harus berpura-pura gila sampai wafatnya Khalifah al-Hakim.  Selama dalam tahanan rumah dia telah banyak meneliti fenomena optika.  Kemudian dia ke Spanyol, dan di sanalah dia menulis karya-karyanya dalam optika, matematika, fisika, kedokteran dan metode ilmiah.

Dalam bukunya, Kitab-al-Manadhir  dia mendeskripsikan hasil penelitiannya tentang asal muasal warna matahari senja, mengapa ukuran matahari dan bulan membesar ketika mendekati ufuk, fenomena pelangi, bayangan, gerhana, bahkan berspekulasi tentang sifat fisis cahaya. Dia orang pertama yang secara akurat menggambarkan anatomi mata dan memberi penjelasan ilmiah tentang proses melihat, serta membuktikan pendapat Ptolomeus, Euklides dan Aristoteles, bahwa “melihat adalah karena mata memancarkan sorot yang menyentuh objek” adalah keliru!

Terjemahan Latin dari karya utamanya, Kitab-al-Manadhir, sangat mempengaruhi dunia keilmuan di Barat, seperti dalam karya Roger Badon dan Johannes Kepler.  Ibn al-Haytsam menunjukkan jalan yang terang tentang metode ilmiah eksperimental.

Dalam buku itu dia menunjukkan pusat dari cermin sferis dan parabola.  Dia menemukan perbandingan penting dari sudut jatuh dan pantulan (refraksi) sinar yang tidak selalu sama, dan menyelidiki kekuatan pembesaran dari lensa.  Dia juga menjelaskan efek dua buah lensa (binokular vision) dan menemukan kamera obskura. Persoalan-persoalan yang dilontarkan Ibn al-Haytsam di Barat dikenal sebagai “Alhazen problem” dan mengantarkan ke persamaan matematika tingkat tinggi (hingga derajat empat).  Untuk itu ibn al-Hazen menggali geometri karya Appolonius “Conics of Apollonius” yang selama lebih dari 1000 tahun tidak jelas kegunaannya.

 

 

Diagram mata dari Ibn al-Haitsam.

Prinsip penglihatan dari syaraf bola mata ke otak.

Sedang dalam bukunya yang lain Mizan al-Hikmah Ibn al-Haytsam mendiskusikan tentang kerapatan atmosfir dan menemukan hubungannya dengan ketinggian dan refraksi.  Dia menemukan bahwa gelap senja hanya dimulai ketika matahari telah 19° di bawah ufuk.  Dia juga mendiskusikan tentang kekuatan akselerasi yang disebabkan oleh gaya gravitasi, 600 tahun sebelum Isaac Newton.  Di bidang matematika, Ibn al-Haytsam mengembangkan geometri analitis, yakni kombinasi antara aljabar dan geometri.  Ini sangat penting untuk kajiannya tentang gerakan benda yang akan lurus kecuali ada gaya lain yang mengubahnya.  Lagi-lagi ini 600 tahun lebih awal dari Isaac Newton.

Jumlah judul karya ilmiahnya lebih dari 200, tetapi sangat sedikit yang selamat hingga masa kini.  Bahkan karya terpentingnya dalam bidang optika hanya kita ketahui dari terjemahan bahasa Latinnya.

 

 

Sketsa anatomi mata dalam kitab al-Manadhir.

 

Di gambar terlihat Ibn al-Haytsam bersama Galileo pada sampul buku “Selenographia”karya  Johannes Hevelius, 1647M. Mereka dianggap dua ilmuwan alam yang memulai metode ilmiah.

Peta Misterius Benua Selatan

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Apa yang mutlak harus dimiliki oleh seorang penguasa, sebelum dia bisa memerintah dengan efektif?  Jawabanya adalah: peta!  Dengan peta para penguasa dapat mengetahui wilayah kedaulatan yang harus dijaganya, dan wilayah asing yang harus dia waspadai.  Dengan peta juga para penguasa mengetahui sebaran sumberdayanya, baik alam, infrastruktur, fasilitas produksi, hingga sebaran penduduk.

Inilah yang membuat para penguasa zaman dahulu selalu dekat dengan para geografer atau para ahli pembuat peta.  Karena itu tidak heran, bahwa salah satu peninggalan zaman keemasan khilafah Utsmaniyah adalah peta, dan yang paling terkenal dari itu adalah peta Piri Rais.

Sebuah fragmen dari peta Piri Rais

 

Peta Piri Rais adalah sebuah peta dunia yang dibuat abad-16 oleh seorang laksamana, geografer dan kartografer Turki Utsmani, Piri Rais, ditanggali pada bulan Muharram 919 H (1513 M) dan dipresentasikan untuk Sultan Salim pada 1517 M.  Peta ini menunjukkan pantai barat Eropa dan Afrika utara dengan tingkat ketelitian yang masuk akal, hingga pantai Brazil yang saat itu sudah dikenal.  Beberapa pulau di Atlantik seperti Azores dan Kepulauan Canary, bahkan pulau mistis Antillia juga dimuat.  Yang unik, peta ini menunjukkan sebuah daratan di selatan yang merupakan bukti atau dugaan paling awal atas eksistensi benua Antartika.

Peta ini dibuat di atas kulit kijang dengan beberapa ukuran yang berkisar 90 cm x 65 cm.  Pada saat ini yang masih dapat diselamatkan memuat pantai barat Afrika dan pantai timur Amerika Selatan.  Dalam legendanya, Piri menuliskan bahwa peta ini dikompilasi dari sekitar dua puluh peta, mulai dari delapan peta Romawi kuno buatan Ptolomeus zaman Alexander Agung, beberapa peta Arab atas India (mungkin karya Ibnu Batutah), peta Portugis atas beberapa penjelajahan Samudra, dan sebuah peta karya Qulūnbū (Columbus) atas benua baru.

Ada sejumlah debat ilmiah atas peta sumber ini.  Ada yang mengatakan sumbernya lebih dari 20, bahkan sampai 34.  Sebagian bahkan menduga peta-peta itu ditemukan dari Perpustakaan kuno Alexandria.

Peta Piri Rais ditemukan kembali ketika tahun 1929 istana Topkapi di Istanbul akan diubah menjadi museum.  Peta Piri Rais ini menjadi menarik karena merupakan peta pertama tentang Amerika dan peta satu-satunya dari abad 16 yang menunjukkan benua Amerika Selatan dalam posisi lintang dan bujur yang proporsional terhadap Afrika.  Lama para geografer mencari “peta yang hilang” dari Columbus.  Setelah membaca penemuan tersebut di surat kabar The Illustrated London News, Menlu AS Henry L. Stimson mengontak Dubes AS di Turki Charles H. Sherril dan meminta investigasi untuk menemukan sumber peta Columbus, yang mungkin masih ada di Turki.  Sayangnya pemerintah Turki tidak menemukan peta tersebut.

Saat ini peta Piri Rais disimpan di Perpustakaan Istana Topkapi namun tidak dipamerkan kepada umum.

 

Sebagian Peta Piri Rais yang menunjukkan Eropa

 

Beberapa pakar seperti Charles Hapgood, Gregory McIntosh dan Gavin Menzies menemukan beberapa ketakakuratan geometri peta Piri Rais yang kemungkinan timbul karena perbedaan sistem proyeksi dari peta-peta sumbernya dan keterbatasan alat gambar pada zaman itu.

Yang menarik adalah bahwa sebagian analis tersebut mengatakan bahwa peta Piri Rais berhipotesis tentang eksistensi benua selatan (Antartika).  Sepertinya Piri Rais percaya bahwa benua selatan ini harus ada untuk mengimbangi benua-benua yang secara massif hadir di belahan bumi utara.  Hanya saja apakah benua itu merupakan kelanjutan dari benua Amerika sebelah selatan, atau terpisah, tentu saja saat itu belum bisa dipastikan.  Antartika baru dilihat manusia pertama kali tahun 1820, dan keseluruhan garis pantainya baru dikenal setelah ditemukan pesawat udara abad-20.

 

Perbandingan Pantai Amerika Selatan dengan peta Piri Rais