Tulisan ini dipublikasikan di Republika, 1 April 2003
Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina
Perang modern tidak lagi dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka. Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station, dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada pembantaian di Iraq ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi informasi (IT) yang luar biasa.
Jauh sebelumnya, intelijen AS akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Kalau satelit sipil seperti Ikonos atau Quickbird hanya mampu membuat citra dengan kehalusan pixel satu atau setengah meter, maka kita harus yakin bahwa satelit mata-mata akan mampu membaca tulisan koran.
Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.
Dengan citra dan topografi ini, AS bisa membuat peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu ijin atau sepengetahuan pemerintah manapun. Memang, dari peta ini beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui. Untuk itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek terutama yang dianggap vital dan tak “terbaca” dari angkasa. Juga tempat-tempat yang diduga berranjau. Mereka akan “berwisata” sambil merekam objek-objek “menarik” dengan piranti sistem posisi global (GPS). Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di Iraq juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri tak diketahui ada di mana.
AS memiliki peta yang lebih rinci dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan data spasial tiga dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi terbang yang sangat realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model elevasi digital (DEM) yang ada pada sistem ini juga yang menuntun rudal jelajah Tomahawk atau pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien, tanpa takut menabrak gunung atau apapun.
Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk itu intelijen AS menyadap informasi yang lalu lalang via jaringan telekomunikasi (dengan satelit AS), juga data perbankan dan data kartu kredit. Dengan analisis database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa diikuti. Ostrovsky (1990) dalam By Way of Deception melukiskan, bahwa dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau Mossad bisa mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai seseorang, berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang sering diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke mana. Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punya background & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.
CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Misalnya, bahwa di suatu desa ada sekian penduduk, sekian yang bisa perang, sekian janda (mungkin disiapkan untuk “hiburan” tentara AS), sekian ton pangan, dan sebagainya. Informasi itu penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan Laporan Geografi Militer dari seluruh dunia.
Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang “keuntungan” perang dalam jangka panjang.
Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil, sistem semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam seperti banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang tepat untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan reboisasi Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 Trilyun?; dengan pompanisasi?; dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?; atau apa? Sayang sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian kaum muslimin.
Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu pengambilan keputusan. Bisa jadi keputusan kapan perang dimulai, atau suatu rudal diluncurkan, tidak di kepala George Walker Bush, apalagi PBB, melainkan pada sistem pendukung keputusan (decission support system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.
Ketika perang, pasukan di garis depan akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan memandu ke sasaran. Komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui.
Sementara itu alat inframerah berguna untuk melihat di kegelapan. Alat ini bisa mendeteksi manusia, yang tubuhnya memancarkan panas pada spektrum tertentu, meski bersembunyi di balik semak-semak atau dinding dengan ketebalan tertentu.
Mereka juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit.
Sementara itu senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Robot ini bisa mengambil keputusan mandiri dan terus mengupdate diri dengan “pengalamannya”. Ia dilengkapi kamera dan sejumlah sensor suara, panas atau bau. Dengan software pengenal pola, maka robot ini bisa mengenali musuh dan secara mandiri menyerangnya.
Sementara itu ada jenis robot lain yang dilengkapi bom dan piranti GPS. Bom itu diprogram untuk hanya meledak di lokasi yang koordinatnya ada pada daftar. Bom ini bisa juga dicurahkan dari “mother bomb” sebagai “bom satelit” atau diluncurkan sebagai ”position guided missile” (PGM).
Jenis senjata lain adalah senjata radio yang bisa merebut kontrol atas piranti elektronik. Pesawat-pun bisa dibajak secara elektronik (electronic hijacked) – hal mana diduga kuat terjadi pada pesawat yang menabrak WTC 11 September 2001. Masih dengan radio adalah gangguan frekuensi (jamming) sehingga seluruh piranti telekomunikasi musuh terganggu.
Namun teknik jamming ini bisa pula digunakan musuh untuk melawan. Kalau ada ahli elektronik muslim yang mampu membuat pemancar yang kuat, bisa jadi pasukan AS yang dipandu GPS akan kehilangan arah, karena sistem GPS-nya ngaco. Karena itu pasukan AS juga dilengkapi sistem navigasi inersia (INS), yang tidak tergantung pada gelombang radio.
Apakah Iraq mampu mengatasi keunggulan IT AS itu? Boro-boro. Jangankan membungkam sistem GPS AS, pasokan listrik saja mungkin sudah byar pet. Dalam perang modern, instalasi listrik dan telekomunikasi adalah objek yang sering dihantam dulu. Iraq bahkan sebelumnya sudah melatih rakyatnya untuk biasa “bekerja seperti di zaman Khalifah Harun Al Rasyid”, tanpa listrik, tanpa komputer, tanpa radio.
Maka di atas kertas, Iraq atau negara manapun yang mencoba “berani” melawan AS sudah akan keok. Meski demikian, dalam perang manapun, yang terpenting bukanlah senjata, tapi “man behind gun” atau bahkan “God behind gun”. Di Vietnam dan Somalia pun AS tak begitu sukses. Jadi kalau Allah menghendaki bisa saja, seluruh sistem IT AS itu ternyata ditanami virus oleh programmernya, yang kesal dengan arogansi Bush. Atau Chief Information Officer (CIO) Pentagon sendiri – sebagai orang yang de facto paling berkuasa atas sistem IT ini – terketuk nuraninya, lalu menembak ke “gawang” sendiri. Atau di lapangan, serdadu AS yang stress pada mabuk, lalu ribut sendiri. Yang jelas, makin canggih teknologi, ia makin rentan, dan “kecerdasan bertahan hidup” (survival quotient) dari pasukan akan turun. Sementara rakyat Iraq yang bertahan dengan ruh jihad siap menghabisi pasukan AS di perang kota. Banyak yang bisa terjadi. Allah juga pernah mengirim burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah.
Kenyataan ini seharusnya membuka mata kita, bahwa untuk melawan negara sekuat Amerika, kaum muslimin tidak bisa mengandalkan Iraq, apalagi yang dipimpin seorang tiran, dan setelah diembargo dan dilucuti. Kaum muslimin memerlukan sebuah negara yang lebih kuat dari Amerika, negara yang mempersatukan seluruh potensi kaum muslimin di dunia. Negara seperti itu adalah Daulah Khilafah, yang pernah meruntuhkan adidaya Persia dan Romawi, namun sayang telah tiada sejak pasca Perang Dunia I. Untuk itulah, respon kita terhadap serangan AS atas Iraq tidak cukup hanya jangka pendek seperti aksi protes, boikot, bantuan kemanusian atau pun qunut nazilah.
Kita harus punya agenda jangka panjang, membangun kembali persatuan ummat Islam sedunia, dalam wadah Daulah Khilafah, karena hanya negara ini yang pernah menjadi adidaya. Dan negara ini pula yang nanti akan mengembangkan teknologi yang lebih kuat berdasarkan syariat, sehingga tak hanya menandingi arogansi AS, tapi bahkan menundukkannya, dan lalu menjadikan teknologi itu sarana mewujudkan keadilan, kemakmuran dan rahmat di seluruh alam.
Islam adalah lawan dari kekufuran. Yang dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung implementasi, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich, namun memerangi kemiskinan, dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi, yaitu para tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan (fasiq) dan orang-orang yang berlaku tidak adil (dhalim).
Perlawanan Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam akan terus terjadi. Rasulullah SAW mendapat informasi dari Allah swt serta beberapa perintah sebagai berikut:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. 2:190)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Qs. 2:193)
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau”. (Qs. 4:75)
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa terjadi karena (1) kaum muslimin diserang; (2) untuk melenyapkan fitnah (kekufuran) dan permusuhan; (3) demi membela yang tertindas – tanpa melihat agama mereka.
Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat menggentarkan musuh, baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi, malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi muslim sebagai khalifatul fil ardh.
Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meski terdapat ayat:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka… (Qs. 2:120)
namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin sebagai legitimasi memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka. Justru sebaliknya, kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati perlindungan yang tidak mereka temukan di negara lain. Namun perang salib, yang lama maupun yang baru, justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh kita, sampai kiamat tiba.
Tidak terlalu mudah mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa Perang salib yang sesungguhnya. Beberapa penulis sejarah menggambarkannya berbeda-beda, dan sebagian tampak berlebih-lebihan[i]
Kesulitan lainnya adalah mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah lama yang tidak dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di zaman modern ini, apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda, misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.
Pada tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam, agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front masing-masing.
Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:
Pada sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.
Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: ummat Islam. Sasaran jangka pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam. Pasukan salib tidak berencana membunuh khalifah. Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan menghancurkan ummat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang khalifah jika lembaga khilafah tak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan khalifah jika ummat yang dipimpinnya tewas semua? [3:169]
1096 – serangan salib pertama diberangkatkan untuk merebut Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.
Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan di kalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis dan tirani, di mana seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.
Pada serangan salib kedua (1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa serangan salib sebenarnya tidak spesifik ditujukan hanya kepada ummat Islam, karena memang kekufuran sebenarnya musuh seluruh manusia – hanya saja ummat Islam adalah penghalang terbesar bagi kekufuran itu.
Serangan salib ketiga (1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
Serangan salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara! Reputasi pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.
Serangan salib kelima (1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inquisisi dan berbagai aturan anti yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi.
Serangan salib keenam (1228-1229) dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di Mesir.
Di bawah Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.
Sementara itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad – pusat Khilafah – dihancurkan oleh Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah ummat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa, hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi [6:39].
Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Oleh karena itu, bila George W. Bush “kelepasan” menyebut-nyebut perang salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal itu tak perlu mengherankan lagi.
Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang bertahun-tahun adalah [3:165]:
1. Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Ummat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap ummat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika ummat Islam lemah dan kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.
2. Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.
3. Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.
4. Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.
5. Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.
Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:
1. Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah belah.
2. Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan ummat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di Cordoba dan Fathimiyah di Kairo.
3. Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, dan ini memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.
4. Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.
Dampak perang salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Ummat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat[ii], yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan assset ummat baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena ummat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan ummat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.
Dengan melihat fakta-fakta serta analisis di atas, tampak bahwa dari sisi kaum muslimin perang salib – apapun motif sesungguhnya – selalu hanya berdampak negatif. Namun demikian, jangankan bila diserang, ummat Islam memang harus memikul amanah Qur’an untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan kapitalisme pimpinan Amerika Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan kezaliman itu. Sedang Israel di Palestina adalah front terdepan perang tersebut.
Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai “penyatu opini” bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario serangan teror 911 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum muslimin, dan secara militer ummat Islam memang masih memiliki kekuatan yang mampu menggoyang kedigdayaan Barat.
Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi, teknologi, militer, ummat Islam sekarang ini berbeda dengan ummat Islam abad 11-13, yang masih memiliki khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan teknologi yang lebih maju dari Barat.
Faktanya, sekarang dunia Islam terpecah dalam puluhan negara, yang kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang membebek pada Barat. Mereka tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang rakyatnya hidup dengan berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi produk industri Barat.
Kalau demikian apa yang dicemaskan Barat?
Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada masyarakat Barat sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah.
Dan tidak ada lagi di dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kekufuran kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam.
Karena itu, yang dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan para kapitalis Barat, tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam.
Rupanya, meski puluhan tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem kapitalisme diterapkan di dunia Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada, dan selama akses kepada sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih akan bermunculan orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit melawan kekufuran, karena kekufuran adalah musuh abadi Islam sejak para nabi.
Sejarah menunjukkan, perang salib-pun akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin, setelah tentara salib berkuasa hampir dua abad. Bagdad-pun demikian, setelah dihancurkan Tartar, akhirnya bangkit kembali. Ini karena ummat Islam masih ada dan dakwah masih berjalan. Berbeda dengan Andalusia, yang ketika inquisisi seluruh muslim dihabisi, sehingga sampai sekarang praktis wilayah itu tidak pernah menjadi muslim kembali.
Karena itu, seandainya perang salib terjadi lagi, maka model yang paling masuk akal adalah model inquisisi. Ummat Islam akan dihabisi, sebab tidak cukup menjadikan mereka sekuler, yang masih berpotensi untuk bangkit kembali.
Untuk itu ditempuh strategi penghancuran dakwah dan penghancuran ummat. Dakwah digilas dengan isu terorisme. Harakah-harakah dakwah yang paling ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada akhirnya, yang paling moderatpun akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di Bosnia. Sedang penghancuran ummat dilakukan dengan penguasaan total sumber-sumber ekonomi. Maka penguasa manapun yang sulit diajak “kerjasama” akan dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen mereka. Beserta tentara dan rakyat yang mendukungnya.
Di sisi lain, kekuatan kapitalisme dioptimalkan untuk membiayai penyesatan opini via media massa, mengorbitkan intelektual yang mendukung mereka (seperti JIL), membiayai partai politik yang sejalan dengannya, melobby penguasa atau tokoh masyarakat agar lunak terhadap mereka, membayar demonstrasi yang mengusung agenda-agenda mereka – sadar ataupun tidak, dan bila perlu membiayai aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya – baik sadar ataupun tidak bahwa mereka dimanfaatkan.
Menjawab konspirasi ini, tak ada jalan lain bagi harakah-harakah Islam selain lebih merapatkan barisan agar mendapatkan energi yang cukup untuk secepatnya menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, karena hanya institusi ini yang akan sanggup menahan “perang salib” tersebut bahkan membalikkannya menjadi jihad fii sabilillah, untuk membuka Roma, sebagaimana nubuwaah Rasul.
Referensi:
[1] Imam AS-SUYUTHI (1498): Tarikh Khulafa’. (penerjemah: Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
[2] IBNU KHALDUN (1332–1406): Muqaddimah. (penerjemah: Ahmadie Thoha). Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.
[3] Muhammad Sayyid AL-WAKIL (1989): Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern. (penerjemah: Fadhli Bahri). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
[4] Cyril GLASSE: Enskilopedi Islam Ringkas. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.
[5] Gerhard KONZELMANN (1988): Die Islamische Herausforderung. 5. Aufl. dtv, 1991.
[6] Franklin H. LITTELL (1976): Atlas zur Geschichte des Christentums (The Macmillan Atlas History of Christianity). New York: Macmillan Publishing Co.; Deutsche Ausgabe – Brockhaus Verlag, 1989.
[7] Werner STEIN (1979): Der grosse Kulturfahr-plan. Berlin: Herbig, 1979.
[i] Ibnu Katsir (dalam [3]: 167) berkata bahwa pasukan Armanus Raja Romawi terdiri dari 35.000 Batrix, dan tiap Batrix mengepalai 200.000 personil kavaleri. Artinya, tujuh milyar personil!. Tampak angka ini terlalu dilebih-lebihkan oleh sumber Ibnu Katsir.
[ii]Pada tentara salib bahkan terdapat suatu “corps pelacur” dari Perancis khusus untuk menghibur pasukan salib yang berbulan-bulan jauh dari keluarga.