Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Opini’ Category

Prof. Sofian Siregar harusnya tidak membodohi-bodohi ummat

Monday, August 1st, 2011

Pernyataan Prof. Sofian Siregar bahwa “Sidang isbat malam ini [31 Juli 2011] merupakan pembodohan umat dan cuma seremoni buang-buang anggaran”, karena “Perintah agama untuk melakukan ru’yatul hilal (mengamati bulan baru, red) dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban, bukan pada 30 Sya’ban atau 31/8/2011 malam ini” (detiknews.com, 31/7/2011) menunjukkan keawaman seseorang pada fakta falakiyah (astronomi), sekalipun orang itu adalah guru besar syariah.

Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa sejak dunia Islam tidak memiliki pemimpin umum (khalifah), maka setiap negeri dan bahkan nyaris setiap ormas menyusun sendiri kalender hijriyah dengan metode, kriteria dan parameter yang berbeda-beda. Karena itu kalender Islam yang ada di dunia tidak seragam.

Sebagai contoh, kalender Ummul Qura yang dipakai di Makkah Saudi Arabia, dan sepertinya diikuti di institusi tempat Prof. Sofian Siregar bekerja, menggunakan kriteria ijtima’ qabla ghurub (moon-conjunction sebelum maghrib). Karena ijtima’ sya’ban jatuh pada tgl 1 Juli pukul 15:54 WIB, akibatnya, tgl 1 Sya’ban 1432H jatuh pada 2 Juli 2011.. Sedang Kementerian Agama RI dan juga negara-negara ASEAN menggunakan kriteria imkanur rukyat 2 derajat, sehingga 1 Sya’ban 1432H jatuh pada 3 Juli 2011. Karena startnya sudah berbeda, maka tanggal 29 Sya’bannya juga berbeda. Di Indonesia, 29 Sya’ban jatuh pada Ahad 31 Juli 2011.

Manakah dari kriteria itu yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Karena ini soal fakta, maka semestinya menanyakan kepada para ahli-ahli astronomi yang menekuni falakiyah Islam, terutama masalah rukyatul hilal. Hingga hari ini, para ahli falak yang melakukan rukyat secara teratur tiap bulan dan terdokumentasikan dengan baik (difoto), mendapatkan bahwa hilal baru dapat dirukyat kalau terpenuhi tiga syarat: (1) Astronomi, (2) Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan, dan (3) Cuaca yang mendukung (atau disebut juga syarat ABC). Dari hasil sekian ratus rukyatul hilal yang terdokumentasi dengan baik, didapatkan beberapa kriteria astronomi yang dikenal dengan kriteria Danjon, atau kriteria LAPAN (yang diusulkan Prof. Thomas Djamaluddin), atau kriteria Odeh (Prof. Mohammad Odeh dari Jordanian Astronomical Society). Kriteria itu menyebutkan misalnya tinggi hilal minimal, umurnya, prosentase pencahayaan dan sebagainya, agar tidak ada kekeliruan rukyat.

Namun demikian, meski secara astronomi sudah mungkin terlihat, tidak otomatis bisa diamati, karena kalau syarat B dan syarat C tidak terpenuhi, tetap saja hilal tersembunyi. Untuk itulah pengamatan hilal harus tidak dibatasi tempat tertentu, tetapi dilakukan secara global (rukyat global).

Jadi melalui FB  ini saya mengajak Prof. Sofian Siregar untuk bersama-sama mencerdaskan ummat, mengajak ummat bersatu, dan tidak sepihak menganggap bodoh mereka yang saat ini masih berbeda. Maklumilah, inilah buah tidak adanya Khilafah yang mempersatukan kaum muslimin saat ini.

Salam, dan Selamat Berpuasa

Pembangunan PLTN Butuh Syariah

Tuesday, May 31st, 2011

Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Bakosurtanal

Setelah  pantai  Jepara  di  Jawa Tengah,  kini  wilayah  Pulau Bangka telah disurvei oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai  kandidat  tapak  Pusat Listrik  Tenaga  Nuklir  (PLTN)  mendatang. Alasannya:  (1)  Wilayah  ini  bebas  gempa sehingga membangun PLTN di sana akan relatif aman; (2) Di sini ada potensi bahan Thorium yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar PLTN; (3) Di sini saat ini ada krisis  listrik,  karena  BBM  untuk  PLTD kadang-kadang  terlambat  dikirim  akibat cuaca buruk.

Namun alasan-alasan positif ini belum dapat  meyakinkan  masyarakat  agar menerima PLTN.  Ini karena informasi yang diberikan  dirasakan  kurang  berimbang. Lebih-lebih  bila  yang  menyampaikan disinyalir memiliki kepentingan.  Akibatnya informasi  seperti  prasyarat  yang dibutuhkan  atau  dampak  yang  mungkin terjadi tidak pernah diberikan dengan jelas dan tuntas.  Tulisan ini mencoba mengupas secara  singkat,  namun  jelas  dan  tuntas seputar PLTN.

Wajib Kuasai Teknologi Nuklir

Teknologi  nuklir  bersama  teknologi ruang  angkasa  adalah  teknologi  paling strategis sejak abad-20.  Kalau umat Islam terdahulu  sampai  berjalan  jauh  ke  Cina untuk belajar membuat kembang api – lalu mengembangkannya  menjadi  mesiu hingga  meriam  raksasa  (supergun)  saat penaklukan Konstantinopel pada abad 15 M – maka semestinya, teknologi nuklir ini juga  dikuasai  umat  Islam. Hanya  saja negara-negara  maju  tak  akan  rela
keunggulan  mereka  disaingi  negara  lain, sehingga banyak aspek dari teknologi ini dirahasiakan atau dibatasi penyebarannya. Kalaupun  suatu  negara  ditawari  untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan jadi, dan lalu timbul  ketergantungan,  entah  pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir. Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir. Contohnya adalah Iran atau Korea Utara.

Memang benar, bahwa barangsiapa mampu membangun PLTN sendiri, maka dia  juga  akan  mampu  membuat  senjata nuklir.  Dalam sejarahnya, Amerika Serikat telah lebih dulu berhasil meledakkan bom atomnya  sebelum  dapat  mengendalikan proses  reaksi  berantai  nuklir  itu  dalam sebuah PLTN. Namun secara syar’i, membangun kemampuan senjata nuklir untuk tujuan menggentarkan musuh (tidak untuk pembantaian massal) adalah justru diperintahkan di dalam Alquran surat al-Anfal ayat 60.

Dan  siapkanlah  untuk  menghadapi mereka  kekuatan  apa  saja  yang  kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak  mengetahuinya;  sedang  Allah
mengetahuinya ….
(Qs. 8:60).

Bagaimana mungkin umat Islam bisa tegas  atau  berwibawa  terhadap  para penjajah seperti Amerika atau Israel yang semua  punya  senjata  nuklir,  kalau  kita belum memiliki senjata yang sama, atau lebih dahsyat?

Alternatif Energi Bersih

Energi nuklir adalah salah satu energi bersih masa depan karena tidak menghasilkan emisi (CO2, SOx, NOx) seperti  halnya PLD atau PLTU.  Tentu saja sebuah PLTN juga menghasilkan limbah, baik itu berupa air hangat  (yang  tidak  radioaktif)  maupun sedikit  limbah  radioaktif  yang  harus disimpan dengan aman di ruang anti radiasi untuk ribuan tahun ke depan.

Namun  untuk  Indonesia,  alternatif sumber energi bersih bahkan terbarukan ini masih banyak. Kita memiliki potensi panas bumi, angin, surya dan laut yang berlimpah. Sekali  lagi  ini  soal  teknologi  yang  akan menentukan  apakah  kita  dapat  segera memanfaatkan semua potensi ini sendiri atau harus menunggu uluran tangan (dan jerat utang) dari bangsa lain.

Wajib Disiapkan Serius

Teknologi  PLTN  adalah  teknologi tinggi. Hal  ini  karena  kebocoran atau kecelakaan dapat berakibat fatal. Bahan radioaktif yang keluar akan memancarkan radiasi sinar Gamma selama ribuan tahun. Bila terkena mahluk hidup, radiasi ini akan merusak  sel,  menyebabkan  kanker  atau kemandulan.  Pada kasus kecelakaan PLTN di Chernobyl tahun 1986, sebuah kota harus dievakuasi dan kota itu hingga kini masih menjadi kota mati.

Untuk itu sebuah PLTN modern harus dibangun  dengan  keamanan  berlapis. Sistem kontrol otomatis disiapkan agar bila ada  sesuatu  yang  tak  wajar,  reaktor otomatis  dimatikan. Masalahnya  adalah bila kelalaian dan korupsi membuat sistem kontrol itu tak lagi berfungsi!  Bangsa kita ini terkenal pintar membangun tetapi malas memelihara. Walhasil,  selain  kecelakaan saat pemboran minyak di Lapindo Sidoarjo yang berakibat keluarnya lumpur panas tak tertangani dari 2006 hingga kini, hampir setiap  hari  kita  mendengar  kecelakaan kereta api, kapal hingga pesawat.

Kita juga wajib menyiapkan agar PLTN tersebut  bila  jadi  dibangun  tidak  makin menjerat kita pada ketergantungan kepada asing, baik dalam bentuk utang, maupun dalam  pengadaan  bahan  bakar  nuklir. Memang Indonesia punya Uranium, tetapi kadarnya  rendah,  sedang  alat  untuk memperkaya  Uranium  termasuk  yang dibatasi,  untuk  mencegah  suatu  negara membangun  senjata  nuklir. Sedang Thorium  yang  konon  berlimpahpun, mungkin belum bisa dimanfaatkan karena hingga kini di dunia belum ada satupun PLTN dengan bahan bakar Thorium.

Perlu Syariat Islam

Kalau syariat Islam diterapkan untuk menyiapkan  PLTN,  insya  Allah  kita  akan mendapatkan SDM yang andal, baik dari ketakwaan,  profesionalisme  maupun semangat juang.  Ini untuk mengantisipasi agar mereka tidak lalai dan tidak korupsi dalam menjalankan pekerjaannya, dan agar mereka  senantiasa  bekerja  keras menguasai  teknologi  dengan  motivasi spiritual. Pekerjaan  nuklir  hanya  sedikit menoleransi kecerobohan (zero-tolerance).

Kemudian  syariat  pula  yang  akan menuntun  agar  sejak  dari  tender, pembebasan tanah, perjanjian dengan luar negeri  terkait  dengan  pembiayaan,  alih teknologi  dan  pengadaan  bahan  bakar, hingga pengurusan limbah radioaktif dapat berjalan dengan transparan, adil, aman, dan
berkelanjutan. Program  komputer yang dipakai di PLTN juga harus open-source, agar dapat kita rawat dan update sendiri, juga dapat diaudit dulu agar tidak disusupi baik oleh “spy-ware” maupun “bom-waktu”.

Hanya dengan syari’ah, sebuah proyek PLTN  akan  aman,  menyejahterakan  dan melindungi  kedaulatan.  Tanpa  syari’ah, PLTN adalah arena mafia, lahan korupsi dan sebuah risiko serius.[]

Faktor-Faktor Yang Memperlemah Ulama

Sunday, April 1st, 2007

Oleh: Dr. Fahmi Amhar (Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina)

Dr. Fahmi Amhar

Dr. Fahmi Amhar

Berapa banyak ulama yang kita miliki?  Ini pertanyaan sederhana, namun sulit dijawab; meski kita hanya mencari tahu secara kuantitatif, belum secara kualitatif. Kalau pertanyaannya dimodifikasi menjadi: Berapa alumni pondok pesantren di Indonesia? Jawabannya lebih mudah. Hitung saja pesantren yang terdaftar di Departemen Agama. Tentu kapasitas pesantren tidak merata.  Yang bisa dihitung adalah yang sudah menerapkan administrasi modern.  Padahal banyak pesantren kita yang tradisional, tidak mengenal pendaftaran maupun ujian dengan standar tertentu.  Jika diasumsikan hanya ada 2000 pesantren se-Indonesia (5 buah per Kabupaten), dan rata-rata 100 lulusan pertahun, dapatkah diharapkan lahir 200.000 “ustadz”? Berapa dari mereka yang menjadi ulama?

Sulit dijawab. Berbeda dengan sarjana, doktor atau profesor yang definisinya jelas. Ulama—yang sejatinya adalah “scholar”—jauh lebih sulit. Tidak setiap ustadz atau dai pantas disebut ulama.  Bahkan yang di MUI pun tidak semua merasa nyaman disebut ulama.

Ulama dalam “Jebakan”

Kini ulama adalah mahluk langka.  Jarang anak kecil yang bercita-cita mau menjadi ulama. Orangtua pun kalau mengirim anaknya ke pesantren hanya  agar anaknya menjadi salih, bukan menjadi ulama.

Di sisi lain, kalau kita memperkenalkan tokoh Indonesia ke orang Timur Tengah bahwa dia seorang ulama, orang Timur Tengah akan balik bertanya: Ulama di bidang apa? Apakah dalam ulumul Quran?  Hadis?  Fikih?  Tarikh? Kalau kita tidak menjelaskan, mereka akan ragu, “Ulama apa itu? Ahli al-Quran bukan; ahli hadis bukan; ahli fikih bukan; ahli tarikh bukan. Jadi, ahli apa?”

Walhasil, kita tahu bahwa ulama saat ini sangat langka. Dari yang langka ini, lebih banyak ulama yang lemah daripada yang kuat. Yang lemah ini tidak menjadi inspirasi bagi umat, tidak memimpin umat keluar dari keterpurukannya, bahkan mereka tidak jarang justru menjadi bagian dari sistem yang menindas umat.

Apa sesungguhnya faktor-faktor yang membuat ulama yang langka ini semakin lemah? Secara umum ada tiga ”jebakan” bagi ulama. Pertama: jebakan pemikiran yang terjadi pada dirinya sendiri.  Kedua: jebakan kultural yang “disiapkan” masyarakat. Ketiga: jebakan sistem yang direkayasa oleh para penguasa.

Agar dapat keluar dari jebakan ini, para ulama wajib memiliki kesadaran ideologis, di mana posisinya saat ini, agar dia tidak terjebak di salah satu atau ketiganya.

1. Jebakan Pemikiran.

Jebakan pemikiran adalah jebakan yang paling lembut sehingga yang terjebak tidak merasa dirinya terjebak. Jebakan pemikiran ini ada tiga macam. Pertama: sekularisasi. Sekularisasi adalah pemisahan agama dari kehidupan publik, yakni kehidupan tempat interaksi tak terbatas seluruh warga, baik Muslim maupun bukan, dalam segala aspek kehidupan: politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dll.

Pahit untuk mengakui, bahwa sebagian besar ulama kita sudah tersekularisasi di segala sisi. Mereka canggung berbicara masalah publik dari sisi Islam. Mereka membatasi diri untuk berbicara hanya saat ada persoalan moral seperti pornografi, miras, perjudian, pelacuran. Kalaupun mereka berbicara tentang terorisme, itu karena terorisme dikaitkan dengan ustad dan pesantren. Mereka juga hanya peka terhadap gerakan sesat (Ahmadiyah, shalat dwibahasa, dsb). Sebaliknya, mereka canggung untuk duduk bersama membahas pengaturan sumberdaya alam menurut Islam atau mengatasi krisis pangan menurut Islam; seakan-akan dalam masalah-masalah ini, Islam tidak mempunyai solusi.
Kalau berbicara tentang pendidikan Islam, yang terlintas hanya mata pelajaran agama di sekolah, atau  pendidikan oleh yayasan Islam (termasuk pesantren). Jarang yang berpikir bahwa pendidikan Islam itu menyangkut segala segi, dari muatan kurikulumnya yang harus mengacu pada akidah Islam di segala pelajaran (termasuk bahasa, matematika, IPA, IPS) hingga bagaimana pendidikan itu bisa dibiayai sehingga semua warga bisa mendapatkan akses pendidikan bermutu yang terjangkau.

Kedua: dakwah ishlâhiyah dan khayriyah. Sejak sekularisasi menjadi arus utama,  Islam dipelajari hanya sebatas ajaran perbaikan individu atau keluarga.  Dakwah akhirnya hanya terfokus pada perubahan individual yang bersifat kebajikan (khayriyah). Topik yang dominan adalah fikih praktis (ibadah, tatacara makan/berpakaian, nikah, muamalah sehari-hari dan akhlak).  Dakwah sudah dianggap sukses jika berhasil menjadikan seseorang rajin shalat atau perempuan mau berbusana Muslimah. Terkait dengan aktivitas masyarakat, dakwah ditekankan pada kepedulian sosial seperti sedekah, menyantuni anak yatim hingga mendirikan sekolah dan rumah sakit. Bagaimana memberikan solusi tuntas dan mendasar terhadap segala masalah umat (ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, perundang-undangan, dll), hal itu jarang dijadikan target.

Ketiga: pemikiran “asketis”. Derap kehidupan hedonis, apalagi yang dibawa Kapitalisme, membuat sebagian ulama bereaksi dengan hidup bak pertapa sufi (asketis). Dakwah mereka fokus pada aspek ruhiah (spiritual) dan mengajak masyarakat menjauhi dunia. Walhasil, pada saat mendengar nasihat mereka, orang bisa mengucurkan air mata.  Namun, begitu keluar majelis, aktivitas dunianya tidak mengacu syariah, karena syariah itu sendiri tidak pernah dibahas.  Orang diasumsikan otomatis jadi baik ketika pikirannya mengingat Allah.  Padahal faktanya, amal seseorang bergantung pada pemahaman syar‘i yang dimilikinya. Ada pemilik bank yang tiap hari bergelimang riba, namun dia tidak merasa berdosa, karena sudah rajin tahajud dan puasa sunnah.

2. Jebakan Kultural.

Jebakan kultural atau budaya terjadi di—dan dilakukan oleh—masyarakat.  Masyarakat menggunakan pengalamannya dalam berinteraksi dengan agama lain saat memahami Islam.  Jebakan kultural ini dapat memaksa seorang ulama yang semula kuat karena ikhlas menjadi lemah karena bias.  Ada tiga jebakan kultural:

Pertama: mitos ulama. Pada semua ajaran lain, keyakinan berasal dari mitos atau aksioma yang tidak rasional. Ketika beralih ke Islam, penganut mitos pun memandang akidah Islam sebagai mitos.  Rasul saw. berubah dari sosok manusia teladan menjadi sosok keramat yang supranatural. Bahkan ulama tiba-tiba dianggap “orang suci” yang mustahil salah, seperti penganut Katolik memandang Paus. Belakangan muncul orang-orang yang memanfaatkan hal ini demi keuntungan pribadi. Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang awam dengan ayat al-Quran atau hadis yang diselewengkan. Lalu muncullah bid‘ah di mana-mana.

Di sisi lain, ulama dimitoskan dengan segala idealitas dalam pandangan awam, bukan pandangan syariah. Saat ulama itu melakukan hal yang dibenci awam (misalnya poligami), gelar “orang suci” tiba-tiba lenyap. Mereka tidak bisa menerima kenyataan, bahwa “ulama juga manusia”.

Kedua: mitos bahasa. Sebagai bahasa al-Quran, bahasa Arab adalah bahasa ilmu pengetahuan Islam. Namun, di masyarakat non-Arab, kini bahasa ini sudah menjadi “hak istimewa” selapis kecil ulama.  Sekadar tulisan Arab saja kadang dianggap keramat dan mampu mengusir setan. Orang yang pintar membaca al-Quran langsung dipanggil ustadz. Yang fasih berbahasa Arab (baca kitab kuning) dijuluki ulama, tanpa melihat lagi pemahaman Islamnya.

Ketiga: mitos ijtihad. Pada zaman sekarang, ijtihad dimitoskan sama dengan berpendapat. Setiap orang akhirnya boleh berijtihad, sekalipun tanpa bekal memadai. Tidak aneh, muncullah fatwa-fatwa nyleneh. Namun, ini ditoleransi dengan dalil, bahwa ijtihad itu, kalau benar mendapat dua pahala, dan kalau salah mendapat satu pahala. Padahal yang terjadi kadang-kadang hanyalah adopsi terhadap paham sekular yang  dilabeli Islam, yang jauh sekali dari kategori ijtihad.

3. Jebakan Sistem.

Para penguasa korup pada zaman manapun melihat para ulama sebagai orang-orang yang berpotensi menghalangi mereka. Karena itu, penguasa fâsid ini akan berupaya melemahkan para ulama, baik secara “legal” maupun “ilegal”. Yang legal ada tiga macam:
 

Pertama: depolitisasi. Ulama dimarjinalkan dari kancah politik dengan sekularisme. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena; yang ada dalam sistem, mau tak mau, akan sama sekularnya.  Contoh, pada masa lalu, ada UU yang mewajibkan asas tunggal bagi ormas dan parpol. Akibatnya, para ulama praktis kehilangan ‘rumah’, kecuali yang mau pindah ke ormas atau parpol pendukung penguasa.  Meski berdalih akan “mengislamkan dari dalam”, yang terjadi justru sebaliknya.

Kedua: pragmatisme. Ulama dipojokkan untuk sekadar bertahan hidup dalam sistem. Sistem sekular menjamin pelaksanaan syariah di ranah pribadi.  Pembangunan masjid dibantu. Dakwah khayriyah dipromosikan. Zakat dan haji dilayani pemerintah. Ulama yang terpojok akhirnya mengambil sikap, “Inilah yang masih bisa kita kerjakan.” Mereka akhirnya diam terhadap urusan publik yang masih diatur sistem kufur. Padahal kezaliman pada urusan ini (misalnya mahalnya BBM) melanda semua orang; Muslim atau bukan; apakah mereka tahu masalahnya atau tidak. Dakwah pun kemudian tak lagi untuk meluruskan penguasa yang bengkok, yang oleh Nabi saw. disebut sebagai afdhal al-jihâd (jihad paling utama), namun ”yang penting aman”.

Ketiga: Godaan 3-TA. Yang paling vulgar adalah pelemahan ulama dengan harta, tahta dan wanita. Ulama yang kesulitan finansial dibantu, pondoknya dibangun, santrinya diberi beasiswa, dan dakwahnya makin bernilai bisnis. Ada juga ulama yang dilamar jabatan, dari legislatif lokal hingga calon wapres.  Yang terheboh tentu saja yang ditawari wanita. Namun, semua ada kompensasinya. Yang jelas kepekaan, sikap dan pengaruh politik yang bersangkutan bisa tergadai, atau setidaknya dia akan sibuk dengan 3-TA itu. Akibatnya, kinerja keulamaannya turun, atau bahkan dilupakan. Telah banyak pesantren yang hancur karena ditinggal pemimpinnya yang menjadi “selebritis” atau politisi di Senayan.

Adapun jebakan yang ilegal amat bergantung pada sikap penguasa.  Kalau dia santun, ini tidak dilakukan. Dia mencukupkan diri dengan yang legal.  Namun, penguasa zalim akan menempuh segala cara.

Pertama: pecah-belah. Adu domba ini tidak jarang dengan penyusupan intelijen.  Fitnah dimunculkan: yang satu mencurigai yang lain; menuduh pihak lain sesat, ahli bid‘ah, dll. Akibatnya,  ukhuwah islamiyah terputus.

Kedua: stigma negatif. Penguasa memberikan citra negatif seperti radikal, ekstremis dan teroris kepada ulama sehingga yang bersangkutan dijauhi masyarakat. Stigma ini umumnya ditujukan kepada ulama-ulama yang sederhana. Kadang-kadang jamaahnya dipancing untuk melakukan kekerasan, kemudian dimanfaatkan untuk mempertegas stigma yang diberikan.

Ketiga: siksaan dan penjara. Ini adalah cara terakhir untuk membungkam ulama.  Namun, tren di negeri-negeri Muslim sekarang, ulama yang pernah disiksa atau dipenjara justru makin karismatik. Ini tidak disukai penguasa. Karena itu,  direkayasalah seakan-akan sang ulama melakukan kriminalitas seperti menyimpan narkoba, melakukan kejahatan seksual atau pemalsuan dokumen; sebagaimana yang pernah divoniskan kepada Ustad Abu Bakar Baasyir.

Khatimah

Menyatakan seseorang atau sekelompok ulama telah terkena jebakan-jebakan di atas bisa menyulut emosi orang-orang yang merasa selama ini ikhlas berjuang dan berkonstribusi bagi umat. Mereka merasakan pahit-getirnya perjalanan dakwah. Sebagian bahkan telah menghabiskan usianya di penjara.

Semua itu tidak kita nafikan.  Dengan menunjukkan jebakan-jebakan itu, kita tidak sedang menghakimi para ulama pada masa lalu, namun agar pada masa depan tidak ada dari kita yang kena sindiran Rasulullah saw.: Seorang Miuslim tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []