Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Pendidikan’ Category

Belajar Berkontribusi dalam Mengatasi Bencana

Saturday, January 19th, 2013

Ada saat-saat di mana kita bersyukur tidak menjadi seorang pejabat publik.  Coba bayangkan bila kita menjadi gubernur DKI atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam situasi darurat banjir seperti saat ini?  Kita akan berhari-hari kurang tidur, badan meriang, tidak punya waktu untuk pribadi, dan sudah begitu dicaci-maki orang lagi, dan lagi…

Akhir 2010, secara informal saya ditawari untuk menggantikan posisi seorang pejabat Eselon-2 di BNPB yang akan dipromosikan menjadi Eselon-1.  Waktu itu saya menjabat Eselon-3, tetapi karena saya peneliti yang merangkap jabatan di unit riset, saya sudah berpangkat IV/C, sudah terlalu tinggi untuk Eselon-3.  Sedangkan konon Eselon-2 yang kosong ya di BNPB itu.  Apalagi sebelumnya saya dikenal sering terlibat dalam aktivitas mengatasi bencana.

Saya memang akhirnya memutuskan untuk balik jadi fungsional peneliti saja, untuk memberi kesempatan orang lain merasakan memimpin unit riset.  Saya membayangkan, menjadi Eselon-2 di BNPB itu sangat berat.  Memang bencana tidak terjadi setiap hari.  Tetapi konon, telepon genggam pejabat teras BNPB itu harus selalu ON, meski malam hari dan hari libur !  Kalau pas ada bencana lalu ditelepon koq tidak diangkat, besok handphonenya bisa dipastikan akan dibanting boss besar.   Wah saya sepertinya bukan orang yang tepat untuk duduk di sana.  Apalagi hari libur saya sudah terisi oleh banyak agenda saya yang lain, yang saya kira juga bernilai untuk rakyat, tetapi belum dijadikan tugas oleh lembaga manapun di negara ini.

Tetapi saya bisa bicara serba sedikit tentang bagaimana kita memberikan kontribusi untuk mengatasi bencana.

Upaya penanggulangan bencana itu dapat dibagi tiga: pencegahan tanggap daruratpemulihan.  Pada umumnya orang fokus kepada tanggap darurat saja, karena inilah yang paling hangat dan selalu diliput pers.  Kadang kejadiannya terasa heroik, karena soal menyelamatkan jiwa, atau menolong para pengungsi yang terlantar beberapa hari dengan kekurangan makanan, selimut atau popok bayi.  Pemulihan juga kadang masih menarik perhatian, tetapi sering lebih fokus pada upaya pencegahan korupsi selama upaya rekonstruksi dan rehabilitasi itu.  Tetapi pencegahan yang bisa meliputi upaya struktural (pembangunan fisik) dan non struktural (pembangunan budaya siap bencana) nyaris selalu luput dari perhatian sehingga jarang diikuti atau ditanggapi serius dari pihak manapun.

Saya bekerja di lembaga negara yang bertanggungjawab soal pemetaan.  Karena itu, setiap upaya penanggulangan bencana, bagi kantor kami selalu dikaitkan dengan apa yang dapat dilakukan dengan peta.  Pihak lainpun berharap, pekerjaan mereka bisa dioptimalkan dengan peta atau data geospasial. Yang jelas, setiap ada kejadian bencana yang luar biasa, kantor kami selalu termasuk dalam daftar yang diundang untuk rapat darurat di kementerian yang bertanggungjawab soal kebencanaan.  Ini tergantung jenis dan skala bencananya. (more…)

Belajar Meraih Multi-Target secara Efisien

Sunday, January 13th, 2013

Kadang ada pertanyaan yang diluncurkan kepada beberapa aktivis dakwah yang menurut mayoritas orang “sukses” dalam meraih multi-target.  Maksud multi-target itu: dakwahnya sukses, sekolahnya sukses, keluarga sukses, dan karier atau bisnisnya juga sukses.  Karena manusia itu memang mahluk multi-target.  Memang ada nasehat, bahwa agar menjadi manusia yang istimewa, itu harus fokus, karena otak tidak bisa berpikir dua hal pada saat yang bersamaan.  Itu benar.  Tetapi, kita semua diberi waktu 24 jam sehari kan ?  Dan toh tidak harus 24 jam itu hanya memikirkan satu hal saja, selamanya.  Yang namanya ibadah saja, sholat misalnya, hanya diminta paling 5 x @ 10 menit.  Di luar sholat ya mikir yang lain.  Bahkan, di Qur’an Surat Al-Jumu’ah, itu malah diperintahkan agar habis sholat Jum’at, itu supaya “bertebaran mencari rizki Allah” – bukan malah duduk-duduk atau ngobrol di masjid 🙂

Tapi sebelum lebih jauh, kata “sukses” sendiri mesti jelas ukurannya.  Kalau ukuran dasar, bahwa itu sesuai dengan perintah Allah, ooo tentu saja.  Tetapi kita biasa menilai kesuksesan dari output dibanding input.  Dakwah disebut sukses kalau bisa merubah pikiran – dan lalu perilaku – orang yang mendengarkan, sehingga makin islami.  Dan makin banyak orang yang bisa berubah, berarti makin sukses.  Sekolah disebut sukses, kalau berhasil meraih level tertinggi dengan nilai baik, dan setelahnya mampu mengamalkan ilmunya itu, atau dijadikan rujukan dalam bidang keahliannya itu.  Keluarga disebut sukses, kalau berhasil membangun rumah tangga yang harmonis, jauh dari konflik, sinergi dalam aktivitas, juga menghasilkan anak-anak yang shaleh/shalihah, sehat, cerdas dan juga sejak dini terikat dengan berbagai aktivitas positif.  Sedang karier atau bisnis disebut sukses, kalau makin berkembang, makin memberi manfaat banyak orang, makin banyak menghasilkan zakat-infaq-shadaqah, dan bisa menjadi washilah membuka jejaring yang makin mendukung tercapainya visi.

Persoalannya, banyak aktivis dakwah yang ternyata kelabakan di jalan.  Mereka yang merasa aktif dalam dakwah, ternyata ada yang sekolahnya jadi berantakan.  Atau sekolah dan dakwah semula jalan, tetapi begitu masuk dunia kerja, langsung suaranya berangsung-angsur senyap … bahkan lama-lama hilang.  Ada juga yang senyapnya ini setelah berkeluarga.  Sebaliknya ada terus rajin sibuk dalam dakwah dan bisnis, tetapi keluarga kurang mendapatkan haknya, yang bahkan berujung pada sesuatu yang halal tetapi sangat dibenci Allah, sesuatu yang menggetarkan Arasy, yakni perceraian !!!

Karena setiap dari kita mendapatkan “anggaran” yang sama dari Allah, yaitu sehari 24 jam, maka tentu kita perlu belajar “best-practice” dari mereka yang terlebih dulu dapat kita identifikasi sebagai sukses meraih multi-target tersebut.  Mungkin memang kelebihan tiap orang tidak sama, tetapi jelas mereka yang saya jadikan teladan, itu dapat disebut sukses, jauh di atas aktivis dakwah kebanyakan.

Ada yang saya lihat, pada saat itu usia beliau belum 40 tahun – pada saat dakwahnya sangat kencang – beliau sudah menjadi icon dakwah nasional, ternyata juga masih sempat menyelesaikan S2-nya, juga mendirikan sebuah sekolah dan perguruan tinggi Islam, juga menulis banyak sekali buku, juga sukses membangun lembaga konsultan bisnis & manajemen yang sudah bisa jalan sendiri, rumah tangganya juga tampak harmonis, masih sempat mengajak anak-anaknya liburan dsb. (more…)

Belajar Memilih Sekolah & Mengoptimalkan Yang Ada

Friday, January 11th, 2013

Apakah Anda puas dengan sekolah Anda atau sekolah anak-anak Anda?

Apakah sekolah-sekolah itu lebih baik atau tidak sebaik RSBI/SBI yang baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Saya “beruntung” lahir di tahun 1968 dan besar ketika di Indonesia RSBI/SBI belum dikenal.  Rumah masa kecil saya ada di samping sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta.  Karenanya, ketika mau masuk SD saya sempat minta ke ibu saya agar masuk MI itu saja, biar dekat …  Tetapi ibu saya akhirnya memasukkan saya ke sebuah SD Negeri yang lebih jauh, padahal beliau sendiri dulu sekolah di MI yang dinaungi oleh yayasan yang sama dengan MI samping rumah itu.  Kakak-kakak saya juga semuanya sekolah di SD Negeri.  Katanya MI sebelah rumah itu kurang bagus, muridnya nakal-nakal dan yayasannya mengalami kesulitan keuangan untuk membayar guru maupun merawat fisik sekolahnya.

SDN saya itu terletak di kampung. Kalau hujan, jalannya sangat becek dan berlumpur.  Biasanya kalau hujan, kami memilih ke sekolah tidak pakai sepatu, daripada sepatunya cepat rusak.  Waktu itu SD saya itu tidak punya toilet, tidak punya sambungan listrik, dan areanya tidak berpagar.  Kalau anak-anak mau kencing, ya kencing saja di kebun, sedang anak perempuan suka minta ijin kencing di rumah terdekat yang memiliki sumur.  Kalau hari mendung, maka di dalam kelas gelap sekali, karena tidak ada lampu.  Kalau hujan maka bocor di sana sini, dan suara guru jadi tidak kedengaran, kalah sama suara hujan.  Dan kalau sekolah sudah selesai, maka anak-anak kampung banyak yang menjadikan area sekolah jadi arena petak umpet atau perang-perangan.  Ayam juga kadang-kadang ikut belajar di kelas, dan tak lupa berak di sana 🙂

SD saya dulu masih lebih baik dari SD daerah terpencil ini ... :-)

SD saya dulu masih lebih baik dari SD daerah terpencil ini … 🙂

Di sekolah ada lapangan upacara yang disemen, tetapi sudah berlubang di sana-sini.  Lapangan ini nyaris hanya buat upacara tiap Senin, yang amanat dari Inspektur Upacara selalu saja soal kebersihan.  Kalau buat olahraga, kaki jadi sakit.  Akhirnya, kami lebih suka olahraga di lapangan rumput yang agak jauh.  Untuk ke lapangan rumput itu, kami bisa memilih dua jalan: pertama lewat samping kandang sapi, kedua lewat kuburan.  Kalau lewat kandang sapi, kami harus melewati jembatan dari sebatang pohon kelapa yang licin.  Beberapa anak kadang terpeleset, lalu tubuhnya jatuh ke selokan yang penuh kotoran sapi.  Sedang kalau lewat kuburan, kami kadang bertemu dengan kalajengking atau bahkan ular. (more…)