Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Diagnosis Kemunduran Umat

Saturday, December 29th, 2012

Prof. Dr. Fahmi Amhar

“Seorang dokter yang salah diagnosa, akan salah pula memberi therapi.

Bila ummat Islam salah memahami proses kemundurannya, maka mereka

akan salah pula dalam mencari cara-cara menuju kebangkitannya”

kemunduranKalau kita mencoba melakukan analisis atas kualitas suatu ummat, tak terkecuali ummat Islam, maka kita harus menetapkan dulu tolok ukurnya, agar tak salah bila kita katakan suatu ummat itu maju atau mundur, dan bila mundur, kita juga tahu bagaimana seharusnya, atau ke mana langkah menuju.

Qualitas ummat terbaik adalah ditemui pada generasi Nabi, generasi  sesudahnya (Tabiin) dan generasi sesudahnya lagi (Tabiit-Tabiin).  (HR Bukhari, dll).

Qualitas itu diukur dengan kriteria yang uniq, yakni pada aktivitasnya  dalam menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut  kepada Allah saja, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa jumlah “muttaqin per kapita” yang terbanyak adalah di zaman Nabi.

Di zaman sesudahnya, jumlah ini makin menurun secara berangsur-angsur, meskipun wilayah Islam dan populasi muslim terus membesar, dan karya-karya peradaban baik dalam ilmu-ilmu agama maupun dalam iptek dan kesenian terasa menuju “masa keemasan”-nya.  Dalam konteks materialisme seperti pada budaya Barat, memang qualitas suatu bangsa biasa diukur dari produk peradaban (iptek, kesenian, arsitektur, etc).   Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar.  Jadi peradaban sesungguhnya hanyalah alat semata.  Motivasi amar ma’ruf nahi munkar-lah yang pernah membawa ummat Islam untuk menciptakan peradaban yang maju, karena berlaku prinsip: “APA YANG DIPERLUKAN UNTUK MEMENUHI YANG FARDH, HUKUMNYA JUGA FARDH”.

Bila kita analisis, maka proses kemunduran ummat Islam itu secara singkat bisa dibagi dalam tiga tahapan:

1.   Kekaburan Fikrah Islamiyah (=ide atau fikiran)

2.   Kekaburan Thariqah Islamiyah (=methode mewujudkan ide)

3.   Kekaburan Relasi antara Fikrah dan Thariqah.

1    Kekaburan Fikrah Islamiyah

1.1    Merebaknya Mitos

Kekaburan fikrah mulai terjadi sejak dini (abad 2 H), saat derap perluasan wilayah Islam kurang terimbangi dengan derap pewarisan fikrah Islam.  Akibatnya, berbagai bangsa yang tadinya hidup dalam mitos dan filsafat serta mistik Yunani/Mesir, Persia atau India, tidak segera membuang mitos/filsafat/mistik itu dari alam fikirnya, melainkan mencoba “mengawinkannya dengan Islam” atau dengan kata lain: “mengislamkan mitos” dan “memitoskan Islam”.

Contoh dari mitos ini banyak sekali.  Kita tahu, dalam semua ajaran lain, keyakinan dasarnya selalu berasal dari mitos, atau suatu aksioma dasar yang tidak bisa dilacak secara rasional.  Bangsa yang tadinya penganut mitos itu, ketika beralih ke Islam, pun memandang aqidah Islam sebagai mitos.  Person Rasul berubah dari sosok manusia yang bisa ditiru setiap muslim (sebagai uswatun hasanah) menjadi sosok keramat yang supranatural.  Bahkan belakangan, seorang ‘alim yang aslinya hanyalah ilmuwan atau pakar, yang dalam ijtihadnya bisa benar maupun salah, tiba-tiba dipandang sebagai “orang suci” yang tidak mungkin salah, sebagaimana orang-orang Kristen memandang Paus, atau orang-orang Hindu memandang Sri Bhagawan.

Ketika seseorang bisa menjadi “kult-figur” karena mitos, maka orang-orang yang ada penyakit di hatinya berlomba untuk juga memiliki posisi di sana.  Mereka melegitimasi diri di depan orang-orang yang tidak tahu dengan ayat-ayat Qur’an yang diselewengkan tafsirnya, atau dengan hadits-hadits yang dhaif atau palsu.  Maka muncullah bid’ah di mana-mana.

1.2    Pengabaian Bahasa Arab

Kekaburan fikrah ini makin dipercepat tatkala bahasa Arab tidak lagi dipelihara.  Hingga berakhirnya masa khilafah Abbasiyah, islamisasi selalu dilakukan bersama-sama dengan “arabisasi”.  Dengan itulah, maka orang-orang yang berpotensi dari seluruh dunia Islam, meskipun berasal dari etnis bukan Arab, bisa memberikan kontribusinya yang besar pada Islam.  Bahasa Arab klasik sebagai bahasa Qur’an, yang memang paling  kaya di antara bahasa-bahasa di dunia, menjadi bahasa internasional, bahasa silaturahmi ummat Islam, dan bahasa ilmu pengetahuan Islam.  Tak ada suatu kata yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab.

Adalah keputusan yang fatal dari suatu masa khilafah Utsmaniyah, ketika mereka memutuskan untuk meninggalkan tradisi tersebut, dengan alasan, agar Islam lebih mudah “diserap” tanpa barier bahasa Arab.  Namun akibatnya, di negeri-negeri yang belum berbahasa Arab, bahasa Arab menjadi “hak istimewa” selapis kecil kaum terpelajar saja, sedangkan bagi ummat, khasanah ilmu yang luar biasa, yang selama itu hanya ada dalam bahasa Arab, menjadi tertutup.

1.3    Surutnya Ijtihad

Akibatnya, ketika faktor bahasa Arab menjadi barier, maka ijtihad tidak lagi dikerjakan dengan cukup.  Padahal ummat Islam hanya bisa terus menerus menghadapi zaman, bila mereka terus menerus berijtihad.  Sedangkan ijtihad hanya bisa dikerjakan dalam bahasa Arab klasik.  Ketika sebagian orang nekad berijtihad tanpa bekal yang memadai, timbullah berbagai “fatwa nyleneh”, sehingga beberapa penguasa pada zaman itu merasa perlu untuk “menutup pintu ijtihad”.  Suatu keputusan berniat baik namun gegabah dan justru memperburuk suasana.

Karena ijtihad tidak lagi dikerjakan, maka persoalan baru tampak menjadi muskil dipecahkan dengan Islam.  Maka ummat Islam pun mulai mengambil solusi dari luar Islam.  Mulai abad 17 (abad 11 H) sejalan dengan invasi Barat ke negeri-negeri muslim, ummat Islam mengambil sistem ekonomi kapitalis dan sistem hukum & politik sekuler, meskipun mereka masih “menguji” agar “tidak bertentangan dengan Islam”.  Namun kekaburan ini sudah terlanjur menjadi, dan ummat Islam tidak lagi kritis, bahwa sistem asing yang diimpornya itu didasarkan pada mitos.  Bahkan lambat laun mereka cukup fanatik pada sistem asing itu, karena  telah ada seseorang yang juga sudah dimitoskan yang melegitimasinya.

2    Kekaburan Thariqah Islamiyah

Islam bukanlah ajaran yang memberikan sekedar ide, melainkan juga menunjukkan metode untuk mewujudkan ide tersebut, yang dikenal dengan term “thariqah”.  Bila kita selidiki, semua perintah-perintah ilahi selalu termasuk fikrah (=ide) atau thariqah (=metode), dan tak ada perintah fikrah tanpa thariqah, atau thariqah tanpa fikrah.

Sebagai contoh, “Berimanlah” adalah perintah fikrah.  Perintah thariqah yang berkaitan dengan ini adalah hal-hal yang menyangkut mengamati alam serta melakukan pemikiran rasional yang menjadi landasan iman, dan perlindungan iman termasuk jihad serta hukuman mati bagi orang-orang yang murtad.

Contoh lain, “Jiwamu, Hartamu dan Kehormatanmu adalah suci” adalah perintah fikrah.  Perintah thariqah yang berkaitan adalah perlindungan atas kesucian itu, seperti fasilitas kesehatan, polisi, pengawas pasar, peradilan keluarga, dan juga termasuk hukuman bagi pelanggaran atas tindak pidana yang terkait.

Kekaburan atas thariqah Islamiyah bisa dibagi dalam tiga tahap:

2.1    Kendurnya Jihad

Pada awalnya ummat Islam sadar bahwa hidup mereka dipersembahkan untuk Islam serta untuk memanggul dakwah Islam, dan ini berarti termasuk jihad al-qital (perang fisabilillah), agar tak ada lagi fitnah di muka bumi sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka (QS 2:193).

Dan karena jihad memerlukan persiapan yang matang, maka otomatis kaum muslimin menyiapkan tubuh yang sehat dan kuat, keluarga yang intakt, negara yang adil, ekonomi yang mapan, IPTEK yang maju dan ibadah yang khusyu’.  Jihad sebagai alat dakwah sekaligus menjaga kaum muslimin agar selalu menjadi ummat terbaik di muka bumi (khairu ummat) agar ummat lain yakin, bahwa ajakan kepada Islam memang akan membawa mereka menjadi maju, adil, makmur dan diridhoi Allah.  Bila mereka perlu contoh, maka silakan melihat sendiri fakta di Daarul Islam. Saat itu, adakah negara yang lebih baik dari Daarul Islam? Inilah dakwah yang sangat meyakinkan.

Namun lambat laun, bersamaan dengan kekaburan fikrah, maka orientasi ummat Islam mulai bergeser.  Di satu sisi, sebagian ummat lebih cenderung untuk “meresapi kehidupan religi” yang disalahtafsirkan sebagai “Jihad Qubra”, sebagaimana tampak dalam ribuan sekte-sekte “sufi” yang menjauhi jihad serta amar ma’ruf nahi munkar.  Di sisi lain, sebagian ummat lebih cenderung “menikmati rejeki Allah” dengan hidup lux, walaupun dari rejeki yang halal.  Yang jelas, jihad mulai redup.  Dan dakwah mulai dikerjakan “sambil lalu”.  Ini yang menjelaskan, mengapa dakwah ke Asia Tenggara praktis tanpa jihad, walau tetap pantas dikagumi, bahwa “dakwah sambil lalu” dari para pedagang itu toh masih memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendesak suatu ajaran lama.  Namun fikrah yang masuk sudah tidak sejernih dakwah pada generasi awal Islam.

2.2    Lenyapnya Daulah Khilafah

Ketika qualitas ummat semakin redup, maka semakin turun pulalah kontrol atas kekuasaan sesuai pepatah Arab (“Pemimpinmu itu sebagaimana kamu”).  Daulah khilafah, meski saat itu masih ada dan diakui ummat Islam di seluruh dunia, namun kekuasannya mulai terbatas sekedar sebagai simbol persatuan spiritual, sedangkan di mana-mana mulai tampil raja-raja monarki, yang meskipun masih memerintah dengan Islam, namun tak lagi sepenuhnya menyemangatkan “Jama’atul Islamiyah” (=negara dunia Islam) melainkan “Jama’atul Qaumiyah” (=negara kebangsaan).  Akibatnya, potensi ummat Islam mulai tidak menyatu menjadi sinergi yang luar biasa.  “Take care” ummat Islam di suatu wilayah atas penderitaan ummat Islam di wilayah lain tinggal sebatas pada doa dan sedekah yang tidak seberapa, karena khilafah tidak lagi kuat untuk menjalankan fungsi baik komando maupun koordinasinya.  Di samping itu, bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu mulai kurang dipahami oleh ummat Islam sendiri, karena kurang dipelihara.

2.3    Lepasnya Bumi Islam

Ketika khilafah mulai lemah, sementara fikrah sudah sangat kabur, maka relatif mudah bagi bangsa Barat untuk invasi dengan menggunakan politik devide et impera.  Antar raja-raja muslim karena semangat qaumiyahnya mulai gampang dihasut dan diadu domba.  Maka Barat menjanjikan bantuan pada salah satu pihak, dengan imbalan wilayah.  Para penguasa muslim tidak lagi sadar, bahwa adalah haram hukumnya meminta perlindungan pada orang-orang kafir, dan perselisihan antar kaum muslimin harus dicarikan penengah yakni dari khalifah.  Namun apa daya ketika khilafah sendiri mulai lemah?

Maka satu demi satu bumi Islam mulai lepas ke tangan penjajah.  Dan mulailah, sedikit demi sedikit penjajah memasukkan sistem kufur dalam kehidupan, dan menggeser sistem Islam.  Proses ini makin  dipercepat ketika kalangan elit muslim juga terpengaruh fikrahnya, apalagi melihat Barat secara material/fisik berada di atas angin.

Ketika di abad-20 bumi Islam diberi kemerdekaan kembali – karena desakan politik (pseudo) anti imperialisme dari Uni Soviet maupun Amerika Serikat,  sehingga kolonialisme gaya lama menjadi tidak “in” lagi, sistem yang berlaku pada mereka, serta fikrah yang lazim pada mereka, sudah sangat terkontaminasi dengan produk-produk mitos Barat.   Sementara khilafah, sebagai simbol persatuan ummat Islam, pun sejak 1924 secara formal sudah tidak ada lagi.

3    Kekaburan Relasi Fikrah-Thariqah

Bila di kesempatan yang lalu kita sama-sama melihat secara terpisah bahwa bidang fikrah maupun thariqah sama-sama terserang “penyakit”, maka lepasnya kaitan antara fikrah dan thariqah lebih mempercepat lagi proses tersebut, atau setidaknya, menyulitkan proses penyembuhannya.  Ibarat seorang pasien penyakit jiwa yang juga mengalami penyakit jasmani,  maka mestinya penanganannya dilakukan secara holistis (“menyeluruh”), dan tidak sepotong-sepotong, karena kestabilan jiwa juga tergantung pada kesehatan jasmani, dan demikian pula sebaliknya.

3.1    Disintegrasi Studi Islam

Pada awalnya, kaum muslimin mempelajari Islam secara menyeluruh.  Prioritas mempelajari ilmu tidak tergantung dari subyeknya, namun semata dari hukm syar’i amal/prakteknya (fardh-mustahab-mubah).  Suatu amalan yang fardh, maka semua ilmu yang terkait pun fardh.  Maka ketika jihad fardh, iptek pendukung jihad pun fardh.  Demikianlah, ketika studi Islam dikerjakan dengan benar, tak ada dikotomi antara so called “ilmu agama” dengan “ilmu dunia”, tidak ada pemisahan antara hukum waris dengan aljabar, atau ilmu sholat dengan astronomi, dll.

Namun lambat laun, sejalan dengan merebaknya mitos dan melemahnya ijtihad, kaum muslimin lebih berkonsentrasi pada ilmu-ilmu “ide” namun mengabaikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan metode pelaksanaan ide-ide tersebut.  Maka mereka memusatkan diri pada peraturan ibadat ritual (sholat/puasa) atau tentang nikah dan cerai; namun mengabaikan misalnya peraturan tentang jihad, khilafat, lembaga peradilan dan sistem ekonomi Islam.  Belakangan, sistem peradilan bahkan dipisah menjadi peradilan sistem (al-qadhi an-Nizhami) yang menjalankan hukum positif (non Islam) yang berkaitan dengan pidana, ekonomi, tata negara dsb; dan peradilan agama (al-qadhi as-Syar’i) yang cuma mengurusi keluarga (nikah, cerai, waris).  Hukum Islam tidak lagi dijadikan pegangan untuk semua jenis peradilan.

Mereka mempelajari Islam berlawanan dengan metode yang diperlukannya.  Sebelumnya, fiqh selalu dipelajari secara praktis, yang sesuai masalahnya akan dijalankan oleh individu, keluarga atau negara sebagai organ exekutif.  Pada awalnya, fiqh berkembang di tangan para mujtahid yang diikuti oleh qadhi (=hakim), sehingga masalah yang dibahasnya selalu relevan dengan realita.  Maka ketika syari’ah tidak lagi dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum positif, mulailah ia jauh dari realita.  Fiqh Islam didegradasi menjadi aspek teoretis-moral saja.  Ia tidak lagi menjadi alat untuk memberikan solusi bagi permasalahan sehari-hari ummat, dan para ahlinya diturunkan jabatannya menjadi sekedar penceramah atau missionaris yang membosankan masyarakat dengan khutbahnya yang selalu diulang-ulang, tanpa bisa melahirkan suatu energi yang produktif.   Ujung-ujungnya, studi Islam dianggap “melangit” dan tidak “membumi”.

Akibatnya, pemuda-pemuda yang cerdas dari ummat Islam pada umumnya akan lebih condong pada studi yang lebih praktis seperti teknologi, kedokteran, ataupun “ilmu-ilmu sistem” yang dipakai, seperti ekonomi atau hukum positif, meskipun tidak berasal dari Islam.  Dan sebaliknya, studi Islam tinggal ditekuni oleh mereka yang secara umum “second class”, walaupun tetap ada satu dua orang yang gemilang, sebagai perkecualian.  Sementara itu, secara keseluruhan, ummat menganggap studi Islam sebagai fardhu kifayah, dan gugurlah kewajiban mereka bila telah ada orang yang mengerjakannya.  Padahal mestinya, setiap muslim yang dewasa dan berakal sehat, fardhu ain untuk mengetahui segenap peraturan Islam yang diperlukan dalam hidupnya sehari-hari, karena ia diwajibkan untuk senantiasa beriorientasi pada perintah dan larangan Allah.  Hanya ijtihad untuk menurunkan hukm syar’i dari Qur’an dan Sunnah yang fardhu kifayah.

Akibatnya, sprial kemunduran studi Islam makin menjadi-jadi.  Mereka yang akhirnya secara formal dianggap “pakar” dalam studi Islam, sering tidak lagi kompeten untuk mengajukan Islam sebagai solusi permasalahan aktual.  Bahkan tidak jarang, orang yang hanya mengenal Islam sepotong-sepotong, dengan mudah dijadikan masyarakat sebagai “tokoh Islam”, yang didengar ucapannya, dan diikuti pendapatnya.

3.2    Evolusi Islam

Akibat “the wrong man on the wrong place” ini, yang sering ada bukannya “Islam meluruskan masyarakat” namun “Islam disesuaikan dengan masyarakat”.  Karena ummat tidak mengetahui lagi metode menjalankan ide-ide asli Islam, maka Islam dicoba ditafsirkan kembali agar konform dengan “semangat zaman”.  Yang dimasuki tidak cuma aspek-aspek hukum parsial, namun bahkan ushul fiqh yang fundamental.  Maka timbullah prinsip-prinsip nyeleneh seperti “Fiqh itu mengikuti tempat dan waktu”, atau “Tradisi itu boleh menjadi sumber hukum”, atau “Hukum boleh dihapus demi kemaslahatan”, dsb. Bahkan tidak jarang, mimpi ataupun contoh kehidupan / pengalaman pribadi seorang tokoh muslim kontemporer dijadikan hujjah.

Mereka mulai menghalalkan bunga dengan alasan itu perlu untuk uang yang mengalami inflasi atau untuk mengisi kas anak yatim (=ada maslahat).  Pelacuran, judi atau konsumsi khamr mulai tidak dijauhi habis-habisan namun justru ditolerir secara terbatas dengan istilah “lokalisasi”.  Kerjasama dengan negara perampok (Israel) dikatakan halal dengan alasan tidak ada mimpi yang melarangnya.  Dan muslimah difatwakan tidak usah berjilbab karena istri sang tokoh juga tidak berjilbab.

Dan karena “semangat zaman”, maka semua hukum Islam yang lain pun disesuaikan agar cocok dengan ideologi modern, entah itu kapitalisme, marxisme, sekulerisme/demokrasi, dsb.  Bahkan mereka menganggap “ada demokrasi dalam Islam” atau “ada kapitalisme dalam Islam”.  Mereka tidak lagi mampu melihat mitos-mitos yang ada di balik isme-isme modern itu, sehingga menganggap asas musyawarah sebagai demokrasi, pasar bebas sebagai kapitalisme, dan toleransi mazhab sebagai sekularisme.

Bahkan mereka anggap, syi’ar Islam bisa “ditinggikan” atau “disempurnakan” dengan slogan-slogan nasionalisme, demokrasi, hak asasi manusia, dsb. Mereka berpikir, dengan itu, Islam bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih “ramah”.  Namun pada hakekatnya, Islam justru semakin jauh dari kehidupan.  Andaipun nama Islam tampil, ia tak lebih sekedar sebagai “agama yang diakui negara”, “agama negara” atau sekedar kenyataan bahwa “kekuasaan ada di tangan mereka yang mengaku muslim”.   Dan ummat umumnya tanpa sadar sudah puas, bahwa kini mereka tidak lagi diperhamba oleh penjajah kafir, namun oleh “penjajah muslim”.  Maka mereka menghentikan usaha untuk hanya diperhamba oleh Allah atau oleh hukum-hukum Allah saja.

3.3    Terpojok di Sudut Defensif

Ketika fikrah Islam sudah sangat redup, mitos sudah merajalela, orang menjadi mukmin tidak karena berpikir tetapi karena ikut-ikutan lingkungan, khilafah sebagai methode menerapkan Islam di masyarakat  tidak exist lagi, bahkan masyarakat semakin asing dari ajaran Islam yang murni karena studi Islam ditangani oleh orang-orang yang bukan ahlinya, yang tidak meluruskan masyarakat namun justru merubah Islam, di saat yang sama datang serangan yang telak dari orang-orang kafir: MENYUDUTKAN ISLAM.

Musuh-musuh Islam sadar, bahwa tidak mungkin menghancurkan Islam dan ummat Islam dengan kekuatan senjata.  Karena itu, mereka berupaya  terus menerus tanpa henti, untuk minimal membuat Islam dan ummat Islam tidak lagi berbahaya bagi kepentingan mereka.  Andaikata ummat Islam masih tegar seperti pohon yang sehat dan berakar dalam, maka niscaya badai topan sebesar apapun akan dengan tatag dihadapinya.  Namun kini, ketika akar sang pohon sudah lapuk, maka terpaan angin sepoi-sepoi saja bisa membuatnya rubuh.

Maka ummat Islam dewasa ini umumnya kelimpungan, ketika dikonfrontasikan dengan berbagai ajaran Islam yang ada dalam Qur’an atau Sunnah sendiri.   Mereka tidak bisa menerangkan, mengapa Islam memerintahkan memotong tangan pencuri, atau membagi warisan bagi lelaki 2x wanita, atau bahwa seorang lelaki boleh menikahi sampai 4 istri, atau bahwa dalam Islam ada perintah jihad, dsb.  Ketika orang-orang kafir mengkritik hal itu sebagai barbarik, bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau Islam itu fanatik dan agresif, ummat Islam umumnya hanya bisa dengan terbata-bata membela diri.  Mereka mencoba menafsirkan kembali Islam, sekedar musuh-musuhnya puas, dan kritikan mereda.

Mereka katakan, perintah memotong tangan pencuri itu hanya metaforis.  Mereka katakan juga, bahwa sekarang ini warisan harus dibagi sama, karena wanita muslim sekarang sudah sama derajatnya.  Tentang polygami,  mereka katakan, sebenarnya di Qur’an diharamkan, karena manusia tidak  mungkin berlaku adil.  Dan tentang jihad, mereka katakan jihad itu hanya dilakukan bila ummat Islam diserang (defensif).

Amboi, betapa jauhnya tafsiran-tafsiran “modern” ini dengan ajaran Islam yang murni.  Karena dalam Sunnah-nya, Rasulullah telah menunjukkan sendiri bahwa ia memotong tangan pencuri, bahwa ia menikahi banyak istri, dan bahwa jihad yang dilakukan ummat Islam melawan Persia atau Romawi, sama sekali bukan jihad ketika ummat Islam diserang.  Dan ajaran Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi, sehingga tetap berlaku hingga hari kiamat.  Maka betapa anehnya tafsiran-tafsiran baru, yang mungkin dilakukan dengan “niat baik”, namun hasilnya malah justru memporak-porandakan ajaran Islam yang murni.  Kesalahan tafsir yang fatal ini terjadi, karena ummat Islam memisahkan antara fikrah dan thariqah, karena semua hukum yang dihujjat tadi, memang tak bisa jalan sendiri-sendiri, melainkan hanya berfungsi dalam rangkaian metode yang tepat, dalam suatu negara yang islami, dalam suatu daulah khilafah.

Spiral kemunduran berputar semakin cepat.  Orang-orang yang ditokohkan berlomba mencari pembenaran atas perilakunya, sehingga banyak rakyat jelata yang karena kebingungan akhirnya memutuskan untuk beramai-ramai melepaskan kepercayaannya pada para ulama – termasuk ulama yang shaleh.  Bahkan mereka yang semula gembira dengan type ulama ini, karena merasa bisa “ngerti bahasanya”, lambat laun akan dihadapkan dengan sejumlah besar kontradiksi.  Dan akhirnya sama saja: makin jauh dengan ulama.

Ummat yang masih tersisa ghirahnya pada Islam mencoba langsung mempelajari Islam dari sumbernya: Qur’an dan Sunnah.  Namun mereka lupa, bahwa untuk itu diperlukan seperangkat bekal, baik ilmu bahasa Quran (bahasa Arab klasik) maupun ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.  Karena mereka maju tanpa bekal ini, mereka akan terbentur ke sana ke mari.  Akhirnya kalau tidak terjerumus ke extremitas yang satu (menganggap yang hukum Islam itu cuma fardh semua dan yang lain haram semua), akan terpuruk ke extremitas lainnya (menolak memakai hadits, karena terlalu was-was dengan hadits yang “tidak jelas”, dan ujung-ujungnya meragukan Qur’an, karena tanpa penjelasan dari hadits, Qur’an mustahil dipahami dengan benar).

Maka tak heran, ummat Islam sekarang hanya sensitif bila sisa-sisa rasa agamanya diganggu.  Mereka menjadi bersikap menunggu (re-aktif) dan tidak berani memulai (pro-aktif).  Mereka justru menghindari untuk dikenal sebagai muslim, karena ini berarti harus menghadapi berbagai pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya.  Dan di masyarakat di mana muslim mayoritas, mereka hanya sensitif bila ada kristenisasi, namun “cuek” bila hukum-hukum kafir diberlakukan di atasnya.  Bahkan mereka marah, bila ada orang yang berbeda madzhab sholat agak lain dengan mereka (misalnya tidak baca qunut), namun tenang-tenang saja, ketika harus bermuamalah dengan riba, atau harus mendidik anak dengan pola pendidikan dan kurikulum sekuler.

Ummat Islam jadi tersudut di pojok defensif.  Jarang dari mereka yang berani mengambil inisiatif untuk menelanjangi berbagai ideologi kafir yang didasarkan pada mitos, entah mitos demokrasi (dalam politik), mitos pertumbuhan (dalam ekonomi), maupun mitos HAM (dalam sosial).  Tidak ada lagi dakwah offensif  sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya terdahulu.

Hasilnya memang tepat seperti yang diinginkan musuh-musuh Islam.

Islam kini tinggal ahlaq – tanpa jihad,

Islam kini tinggal ibadah (ritual) – tanpa syari’ah,

Islam kini boleh menyinari rumah, tapi bukan pasar, pabrik atau bank,

Islam kini boleh menguasai masjid, tapi tidak menguasai kantor,

Islam kini boleh bicara tentang akherat, tapi tidak tentang negara,

Islam yang boleh disanjung adalah Islamnya para pertapa shufi, dan bukan Islamnya umara’ yang zuhud, ulama faqih yang zuhud, aghniya’ yang zuhud atau mujahidin yang zuhud.

Islam yang tidak mampu menolong ummatnya sendiri, baik di Bosnia, Palestina, Chechnya atau Sudan, apalagi menolong dunia dari disorientasi kehidupan, dari AIDS, dari kerusakan lingkungan, dari kesewenang-wenangan para kapitalis di era globalisasi.

dan Qur’an boleh didendangkan di MTQ, dan bukan di Pengadilan,

dan Qur’an boleh dibacakan pada orang mati, bukan pada orang hidup,

dan Qur’an boleh diajarkan di pesantren, dan bukan di universitas,

dan Qur’an boleh untuk menghitung pembagian zakat, namun bukan untuk membagi kekayaan alam dengan adil,

dsb.

Inilah, Islam semakin jauh dari kehidupan, dan Ummat Islam semakin mundur, meskipun kadang mereka merasa “ada kebangkitan”, ketika melihat masjid penuh, MTQ semarak, dan para pejabat berlomba naik haji.  Namun mereka bingung, ketika ketidakadilan tetap saja langgeng, dan korupsi, kolusi serta manipulasi malah justru makin menjadi.

Ibarat orang yang sudah sakit parah, Ummat Islam tidak disembuhkan, tidak dioperasi atau dikasih antibiotik, namun hanya dikasih valium.  “Valium Islam”.

Dan inilah realita yang sangat pahit.  Adakah obatnya?  Pasti, untuk setiap penyakit, Allah telah menyiapkan obatnya.  Masalahnya hanya apakah kita cukup tekun berikhtiar serta belajar dari ayat-ayat baik kauni maupun qur’ani, sehingga penyelidikan kita akhirnya sampai ke sana.

Angin Puting Beliung

Saturday, May 26th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Akhir-akhir ini angin kencang ikut meramaikan negeri ini.  Di Yogyakarta, angin puting beliung meniup terbang atap di lebih dari seribu rumah.  Di Jakarta, angin kencang menumbangkan pepohonan dan menyebabkan jaringan listrik terganggu.  Di Juanda Surabaya, angin ini disinyalir memicu pesawat Adamair mengalami hard-landing. Dan di hampir semua pelabuhan dari Pantura Jawa hingga Ambon, diberlakukan larangan berlayar bagi kapal-kapal dengan tinggi dek kurang dari empat meter, sehubungan gelombang laut yang mencapai tiga meter.  Akibatnya, pasokan kebutuhan pokok di sejumlah pulau terganggu.

Angin adalah gerakan horizontal udara yang disebabkan perbedaan pemanasan permukaan bumi.  Tekanan udara daerah panas akan naik, sehingga udara bergerak ke daerah dingin.  Dua pengaruh utama dalam sirkulasi atmosfir adalah perbedaan pemanasan daerah katulistiwa dan kutub, dan rotasi bumi (efek Coriolis).  Di utara katulistiwa, angin ini berpusar bertentangan arah jarum jam, sedang di selatan katulistiwa searah jarum jam.  Dengan sirkulasi angin, bumi berusaha menyeimbangkan panas yang diterimanya dari matahari.  Tanpa angin, daerah siang akan kepanasan dan daerah malam akan membeku.  Keduanya tidak memungkinkan kehidupan.

Angin puting beliung adalah efek turunan dari suatu siklon tropis.  </SPAN>Secara ilmiah siklon tropis dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan intensitasnya: depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis – yang namanya tergantung lokasi: hurricane, typhoon, dan tornado.  Badai yang terjadi di Pasifik baratdaya dengan kekuatan setara hurricane akan disebut typhoon, sedang di Pasifik Timur Laut atau di Atlantik di sebut hurricane. 

Depresi tropis memiliki kecepatan kurang dari 62 km/h dan belum berbentuk spiral. Badai tropis lebih kuat, kecepatannya 62-117 km/h.  Pada titik ini bentuk siklon mulai terbentuk, meskipun belum memiliki mata.  Sedang siklon tropis berkecepatan minimal 118 km/h dan sudah memiliki mata dan bentuk spiral.  Kecepatan maksimum siklon tropis yang pernah diraih adalah 305 km/h.  Kecepatan yang lebih tinggi pernah tercatat namun diduga kuat alat pengukur kecepatan anginnya sudah rusak terkena badai ini.

Siklon raksasa seperti super typhoon Tip dapat mencapai diameter hingga 2170 km.  Hurricane juga bisa bertahan berhari-hari.  Yang terpanjang yang pernah terjadi adalah hurricane John tahun 1994 yang berlangsung 31 hari.  Siklon semacam ini menimbulkan jejak amat panjang.  Typhoon Ophelia tahun 1960 pernah membuat jejak hingga 12500 km.

 Peringatan Dini

Pertumbuhan suatu siklon tropis (Tropical cyclogenesis) sebenarnya belum benar-benar dipahami dan masih jadi riset yang menarik.  Yang dipahami selama ini, siklon bermula di suatu lokasi pada musim panas.  Angin yang meninggalkan daerah bertekanan tinggi melewati lautan hangat dan menghisap uap air.  Di suatu tempat lain yang tinggi, uap ini berkondensasi dan melepas panasnya dengan cepat.  Maka tekanan di ketinggian akan naik, terjadilah gerakan angin vertikal ke bawah.

Gerakan ini bersinergi dengan gerakan pertama menjadi badai.  Makin besar perbedaan panas, makin banyak uap air terbawa dan berkondensasi, semakin besar badai itu.  Dan rotasi bumi menyebabkan badai ini berpusar.  Gejala ini akan semakin dahsyat ketika kekuatan angin tidak terhalang oleh pegunungan, seperti misalnya di lautan atau dataran yang luas. 

Ilmuwan pada Pusat Riset Atmosfir Nasional AS memperkirakan bahwa siklon tropis melepas energi pada kisaran 50 – 200 Trilyun Joule per hari.  Ini setara dengan ledakan 10 mega-ton bom nuklir setiap 20 menit, atau 200 kali dari listrik yang dibangkitkan di seluruh dunia setiap hari.  Begitu besar potensi bahaya yang bisa ditimbulkan siklon, maka muncul beberapa organisasi guna mengantisipasinya.   Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) membentuk sampai enam Regional Specialised Meteorological Centres (RSMCs).  Selain itu untuk tempat yang lebih kecil dibuat Tropical Cyclone Warning Centres (TCWCs).  Mereka bertugas memantau pertumbuhan dan gerakan siklon, dan memberikan peringatan dini.

Pemantauan siklon mau tidak mau harus menggunakan teknologi tinggi.  Pemantauan cuaca konvensional jelas tak dapat dilakukan di lautan.  Saat ini, pemantauan dilakukan dengan satelit, antene radar dan balon sonde.  Yang paling mutakhir adalah dengan hurricane hunter, yaitu pesawat dan tim khusus yang terbang menuju pusat hurricane dan menyebarkan GPS-dropsonde, berupa benda-benda kecil dengan chip sistem pemantau global (GPS) di dalamnya yang akan terbang berhamburan sesuai aliran angin di dalam hurricane.

Analisis data pemantauan siklon dengan super komputer sudah memungkinkan prediksi yang cukup akurat atas perjalanan suatu siklon hingga beberapa minggu ke depan.  Untuk memudahkan arus informasi terutama bagi pelayaran, dibuatlah konvensi penamaan siklon tropis berdasarkan lokasi.  Nama-nama siklon ini adalah nama-nama lelaki atau wanita, seperti Katrina, Paul, Andrew, dan sebagainya.  Nama siklon yang pernah bersejarah sangat hitam seperti Katrina biasanya akan diusulkan untuk diganti, agar masyarakat tidak trauma.  Potensi bahaya siklon mana saja sebenarnya sama, tak tergantung pada namanya.

Sejatinya Indonesia bukan daerah yang lazim dilalui siklon.  Namun siklon yang terjadi di Australia, Samudra Hindia atau di Samudra Pasifik mau tak mau akan ikut mengusik ketenangan angin di Indonesia, sekalipun tak sampai sekelas tornado atau hurricane.   

 Kerusakan

Kerusakan yang ditimbulkan siklon dapat dilukiskan pada contoh-contoh berikut: siklon Bhola yang tahun 1970 melanda daerah padat penduduk di delta sungai Gangga di Bangladesh mungkin merupakan siklon yang paling mematikan. Lebih dari 300 ribu orang tewas akibat curah hujan tinggi dan banjir yang dibawa siklon tersebut.

Namun demikian dari segi kerusakan yang ditimbulkan, hurricane Katrina tahun 2005 yang melanda negara bagian New Orleans AS menimbulkan kerugian termahal, yaitu ditaksir 100 Milyar US-Dollar dan ‘hanya’ 1836 jiwa.  Sedikitnya korban jiwa pada saat Katrina adalah karena sistem informasi dini yang telah dimiliki AS saat ini.

Meskipun siklon menyebabkan kerugian jiwa dan harta benda yang luar biasa, namun siklon secara tak langsung juga faktor penting curah hujan di berbagai area.  Hurricane di Pasifik timurlaut misalnya, sering mensupply kelembaban di baratdaya AS dan Meksiko.  Meski di kawasan pantai hurricane menyebabkan kerusakan bangunan, namun bagi dunia ikan hurricane juga sering menyediakan habitat yang lebih baik.

Banyak ilmuwan yang memprediksikan bahwa dengan pemanasan global yang sekarang terjadi, maka suhu rata-rata air laut akan meningkat dan peluang terjadinya siklon tropis akan semakin besar.

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab angin itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (Qs. 7:57)

 

Perbandingan ukuran Typhoon Tip dan besar AS.

 Pantauan siklon dari satelit

Menuju Kereta Idaman

Saturday, May 26th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 

Suara Islam no 18, minggu I-II April 2007

 

Beberapa waktu yang lalu, ribuan warga menyandera Kereta Api Jakarta – Rangkas Bitung. Aksi ini berakibat mandegnya sejumlah KA jurusan itu. Ribuan penumpang terlantar.  Kenapa ada aksi penyanderaan?  Ternyata karena KA yang beroperasi sering telat. Dan sejak banjir tempo hari, ada jembatan yang rapuh, sehingga PT KAI mengurangi gerbong maupun frekuensi perjalanannya.  Ini di luar fakta bahwa kondisi KA dan pelayanannya amat memprihatinkan.  Berjejalnya penumpang di dalam gerbong mendorong sebagian penumpang duduk di atas gerbong, yang tentu amat berbahaya.  Pada tulisan ini kita akan membandingkan sistem perkeretaan kita dengan yang ada di dunia saat ini.

Dalam istilah teknis, kereta api adalah bagian dari sistem transportasi rel, yang terdiri dari kendaraan (kereta) dan jalan permanen yang dapat berupa rel konvensional, monorel maupun maglev (rel magnetis yang mengangkat kereta sehingga melayang beberapa milimeter).  Sistem penggeraknya ada pada lokomotif yang digerakkan mesin diesel atau listrik yang disuplai oleh sistem sepanjang rel.

Sistem kereta terdiri dari kereta jarak jauh dan komuter.  Kereta jarak jauh sering memiliki wagon restoran dan untuk yang berjalan di malam hari ada wagon tidur.  Ada juga kereta kecepatan tinggi, yang umumnya berjalan di siang hari dan dapat bersaing dengan pesawat terbang.  Di Jepang, Tokyo-Osaka (sekitar 500 Km) dihubungkan dengan Shinkansen.  Di tikungan, kereta ini akan miring sedemikian rupa sehingga penumpang tidak mengalami gaya sentrifugal.

Pada jarak dekat, area kota dan sekitarnya dihubungkan dengan kereta komuter.  Di sini, beberapa wagon didesain untuk memiliki lebih banyak tempat berdiri dibanding kursi.  Ada juga tempat untuk menaruh kereta bayi, sepeda ataupun kursi roda.  Di beberapa negara bahkan ada kereta susun (double-decked trains).

Kota-kota besar sering juga memiliki sistem metro, atau disebut juga subway, tube atau underground.  Mereka digerakkan listrik melalui rel ketiga dan jaringannya terpisah: di terowongan atau di struktur layang.

Sementara itu satu atau dua kereta yang berjalan di atas jalan raya, secara konvensi tidak disebut kereta tetapi tramway, light-rail atau streetcar.

Di Tokyo, beberapa kereta komuter memiliki wagon khusus yang kursinya dapat dilipat untuk memberi tempat berdiri lebih longgar saat jam sibuk. Kereta ini bahkan memiliki pintu yang lebih banyak.  Ditaksir 3,5 juta penumpang terangkut oleh satu jalur saja dari Yamanote-Line di Tokyo (yang mungkin memiliki jaringan kereta komuter terbaik di dunia).

Kalau di Jabotabek, banyak penumpang tidak membayar, itu salah satunya karena sistem ticketing yang masih jauh dari optimal.  Di Jepang, tiket dijual oleh mesin.  Penumpang lalu memasukkan tiket magnetis itu pada pintu otomatis menuju peron yang hanya cukup untuk satu orang dan hanya terbuka kalau penumpang memiliki tiket yang sah.  Setelah itu tiket keluar lagi untuk nanti dilakukan prosedur yang sama di stasiun tujuan.  Kalau tiket kurang, pintu keluar tidak mau terbuka.  Penumpang harus membayar dulu kekurangannya, juga pada mesin otomatis.  Untuk orang ingin hemat waktu, dia dapat membeli tiket multipakai, ada yang berlaku sehari, seminggu bahkan setahun dan di semua jalur.  Dengan sistem ini, Jepang dapat mengatasi jutaan penumpang setiap harinya, bahkan dengan tenaga pengawas stasiun minimal.  Petugas stasiun ini sering merangkap sebagai pemberi informasi kepada orang asing.  Mereka umumnya lancar berbahasa Inggris.

Sementara itu di Eropa, ada sistem tiket kereta api yang cocok untuk wisatawan.  Interrail atau Eurail namanya.  Dengan tiket itu orang dapat dapat naik kereta apapun di seluruh Eropa selama sebulan tanpa perlu bayar lagi.  Ada juga pilihan lainnya, seperti 15 hari perjalanan dalam kurun sebulan dan sebagainya.  Sangat praktis.  Turis yang baru tahu akan suatu objek dapat tanpa pikir panjang menuju tempat itu, tanpa takut pengeluarannya membengkak.  Yang harus dipegang cukup buku jadwal kereta – yang umumnya dipatuhi.

Sebagian besar barang di dunia ternyata sudah diangkut dengan kereta.  Di AS, sistem rel bahkan mayoritas digunakan untuk cargo.  Bila barang yang diangkut banyak dan jaraknya jauh, sistem ini diyakini lebih ekonomis dan efisien dibanding transportasi jalan.

Memang angkutan rel tidak terlalu fleksibel, sehingga popularitasnya sempat turun.  Banyak pemerintah negara industri yang lalu kampanye memindahkan cargo dari jalan ke rel.  Sistem pemindahan praktis atas kontainer dari kereta ke truk pun dibangun.  Untuk jarak jauh, mobil penumpangpun lebih ekonomis digendong kereta.  Di Austria, istilah Autobahn (jalan tol) diberi makna baru dengan ditulis Auto-Bahn (artinya mobil naik kereta).  Tujuannya mengurangi kepadatan jalan raya dan polusi, menghemat energi dan menurunkan angka kecelakaan. Sistem ini bahkan wajib untuk kereta Inggris-Perancis yang lewat terowongan Selat Kanal.

Secara umum memang transportasi rel lebih hemat lahan dan ekologis.  Hanya saja, dia perlu organisasi yang jauh lebih rapi.  Jika Indonesia sistem kereta api masih susah maju, mungkin itu karena masyarakat kita masih sulit diatur dalam suatu organisasi yang rapi.  Orang masih semaunya sendiri, terlebih di jalan raya.

Kalau di Indonesia banyak pemukiman baru yang belum terlayani angkutan umum atau pemerintah kebingungan untuk membebaskan tanah guna pembangunan jalan, maka di Jepang, mal atau apartemen baru justru baru diijinkan dibangun bila jaringan kereta telah tersedia di sana.  Walhasil, banyak stasiun kereta yang berada di dalam superblock yang juga terdiri dari mal dan apartemen.  Tak heran ada pepatah, kalau mau melihat kehidupan orang Jepang, pergilah ke stasiun kereta.

Di Indonesia bila akan naik pesawat sediakan waktu aman 2-3 jam (karena akses ke bandara sulit diprediksi dan sering lebih lama dari naik pesawatnya sendiri), maka di Jepang akurasi waktu tempuh naik kereta menjadi jaminan, bahkan bila orang mau ke bandara. 

Itu semua seperti belum cukup.  Beberapa jalur kereta masih menyediakan wagon khusus perempuan.  Maklum pada jam sibuk, rupanya perempuan Jepangpun risih kalau harus berdesakan dengan laki-laki asing.  Mestinya di negeri kita hal ini lebih diperhatikan lagi.  Sebenarnya kalau mau hal itu tidak susah.  Masyarakat dengan karakter yang mirip kita seperti Malaysia juga faktanya bisa.  Kereta jalur PUTRA di Malaysia bahkan digerakkan secara otomatis, tanpa masinis.

Di Indonesia, mungkin karena malas berpikir: PT KAI malah akan diprivatisasi, dan anehnya swasta maunya jalur gemuk seperti Jakarta-Bandung, dan menolak ikut mengurusi jalur-jalur ekonomi.  Mungkin solusinya hanya satu: terapkan sistem perkeretaan syariah!