Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Tipu-tipu Blue Energy

Tuesday, June 3rd, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Tanggal 24 Mei 2008 dini hari harga BBM jadi dinaikkan.  Pemerintah berargumentasi ini untuk menyelamatkan APBN (karena asumsi harga minyak mentah sudah bergeser dari 95 menjadi 110 US$/barrel), mengurangi kemiskinan (karena subsidi dialihkan dari subsidi barang ke subsidi orang), dan ini alternatif terakhir setelah harga minyak di tingkat global makin menggila.  Banyak pakar mengkritik argumentasi ini.  Dalam asumsi APBN-P kedua 2008 disebutkan bahwa meski harga BBM telah dinaikkan, subsidi BBM masih naik dari 125,8 menjadi 132,1 Trilyun Rupiah, defisit APBN hanya turun dari 94,5 menjadi 82,3 Trilyun rupiah, dan inflasi naik dari 6,5% menjadi 11,2%.  Inflasi inilah yang akan melibas seluruh rakyat.  APBN selamat namun rakyat sekarat, karena APBN sebenarnya hanya memainkan kurang dari 20% ekonomi Indonesia.

Dan tentang alternatif: sebenarnya banyak alternatif yang telah dimunculkan, mulai dari Indonesia membeli minyak dengan harga khusus ke Iran (yang sama-sama anggota OKI) atau Venezuela (yang sama-sama anggota OPEC), pajak progresif untuk sumberdaya alam, negosiasi ulang komitmen ekspor batubara dan LNG untuk diprioritaskan memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri, pengembangan energi terbarui pada skala besar, hingga penghapusan dan penjadwalan kembali pembayaran bunga dan cicilan utang yang mencapai Rp. 151 Trilyun per tahun.  Namun semua opsi ini seperti tidak ditanggapi serius pemerintah.  Pemerintah sepertinya hanya fokus pada konversi minyak tanah ke elpiji (dibuktikan dengan membagi-bagi kompor elpiji ukuran 3 kg) dan – ini yang mengherankan – pada bahan bakar ajaib: “blue energy”.

Adalah Joko Suprapto, orang Nganjuk yang konon menemukan bahan bakar dari bahan baku hidrogen dan karbon, yang sama sekali tidak bersumber dari fossil tetapi dari air (www.presidensby.info diakses 3 Dec 2007).  Tanpa diminta presentasi ilmiah dulu di depan panel pakar kimia dan mesin, bahan bakar buatan Joko ini langsung diuji. Pada 25 Nov 2007, rombongan kendaraan berbahan bakar – oleh SBY dinamai “Minyak Indonesia Bersatu” atau “Blue Energy” – langsung diberangkatkan dari kediaman SBY di Cikeas menuju Bali untuk ikut pameran dalam rangka konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC).  Rombongan itu sampai di Bali.  Ketua Tim Blue Energy yang juga staf ahli presiden Heru Lelono, menunjukkan bahwa bahan bakar itu sama dengan premium, bahkan emisinya lebih bersih?  Waktu itu dijanjikan bahwa blue energy akan siap dipasarkan pada bulan April dengan harga hanya Rp. 3000 per liter.

Banyak ilmuwan skeptis.  Bahkan skeptisme itu termasuk sifat dasar yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan.  Penulis sendiri termasuk yang dari awal yakin bahwa itu hanya sejenis “hoax” (tipu-tipu).  Namun baiklah, kita beri kesempatan sampai April. Konon di Cikeas juga sudah ada aktivitas untuk membuat pabriknya, walaupun murni swasta.  Pemodalnya Heru Lelono cs.  Namun ini juga janggal, karena konon bahan bakunya mau ambil dari air laut saja.  Padahal Cikeas jauh dari laut.  Yang jelas, sejak dipamerkan di Bali, meski ada sampelnya yang diberi kode K-99 sebagai pengganti premium, dan ada juga yang sejenis untuk pengganti avtur, solar, atau minyak tanah, tetap saja misterius.  Pasalnya, tidak ada penjelasan ilmiah bagaimana semua itu dibuat, kecuali bahwa itu dengan “teknologi matahati” yang konon bersumber dari ayat al-Qur’an.

Orang Islam banyak yang langsung antusias kalau disebutkan teknologi bersumber dari al-Qur’an.  Padahal suatu hukum fisika tidak memerlukan dalil apapun dari suatu kitab suci.  Hukum fisika bersifat empiris.  Kalau suatu proses itu memang bisa dilakukan secara teknis, maka tak ada dalil yang dapat memustahilkannya.  Dan kalau suatu proses itu mustahil secara teknis, maka juga tak ada dalil yang dapat mengesahkannya.  Dalil syariah hanya diperlukan untuk soal apakah suatu penelitian itu halal atau haram dilakukan, dan kalau halal diteliti, lalu hasilnya apakah halal atau haram untuk dimanfaatkan.

Bagaimana jika K-99 itu sebenarnya memang hanya pertamax atau sejenisnya, lalu diklaim dibuat dari non fossil tetapi berhasil dibuat sangat mirip? Tidak ada cara membuktikannya kecuali menunjukkan prosesnya!

Lagi pula, kalau memang ini benar, sudah diam-diam saja, langsung produksi massal, pasarkan.  Pasti untung besar.  Tetapi mungkin mereka mencari pemodal besar dulu untuk bikin pabrik (yang dapat ditipu dulu) …

Kini kita semua menyaksikan, sudah bulan Juni, blue Energy tidak pernah muncul.  Yang ada adalah Joko Suprapto sempat diberitakan raib (diculik?), meskipun lalu muncul lagi.  Memang pernah ada film Hollywood yang menceritakan seorang professor penemu bahan bakar pengganti minyak, yang diculik komplotan yang tidak ingin dominasi perusahaan minyak dunia goyah.  Tapi itu kan fiksi.  Rupanya penemuan Joko ini fiksi juga.  Kini lebih banyak lagi yang terungkap.  Rupanya Joko Suprapto ini pernah datang ke UGM untuk minta pengakuan atas “penemuannya” berupa lemari misterius penghasil listrik.  Namun karena tidak mau membuka bagaimana proses listrik itu terjadi, oleh rektor UGM kala itu disindir sebagai “Pembangkit Listrik Tenaga Jin” (www.detik.com).

Banyak orang mulai khawatir: di lingkar pertama SBY ada orang-orang yang gampang ditipu!  Bagaimana kalau kebijakan penaikan harga BBM sendiri penuh dengan tipu-tipu?  Apalagi analisis ekonomi energi dan APBN jauh lebih rumit daripada soal kimia-fisika blue energy.

Hukum Termodinamika-2

Di fisika dikenal hukum kekekalan massa-energi.  Sifat kekal ini bukan seperti kekekalan Allah swt.  Ini hanya sifat kekal yang diamati dalam reaksi di suatu sistem (lab).  Sebenarnya ada lagi hukum yang sangat penting yang disebut hukum termodinamika 2.  Isinya adalah bahwa energi yang dapat dimanfaatkan itu selalu berkurang karena terserap oleh apa yang disebut “entropi” alam.  Entropi adalah tingkat ketidakteraturan alam.

Hukum termodinamika-2 sudah teruji.  Sebenarnya cukup satu experimen saja – bila valid – untuk menggugurkan hukum ini.  Yaitu menghasilkan mesin dengan efisiensi lebih dari 100%!  Semua mesin adalah mengkonversi energi.  Mesin mobil mengkonversi energi kimia dalam BBM ke energi mekanis.  Generator PLN mengkonversi energi kimia (pada PLTU) atau mekanis (pada PLTA) ke energi listrik.  Efisiensi mesin-mesin ini hanya berkisar dari 30% – 70%.  Banyak energi terbuang oleh gesekan menjadi energi panas yang tidak bisa dimanfaatkan.  Energi buangan ini menambah entropi mesin, yakni mesin akan aus dan lambat laun rusak.

Jika ada mesin dengan efisiensi lebih dari 100%, artinya kita mendapatkan energi yang lebih banyak daripada yang dimasukkan.  Jika ada mesin dengan efisiensi 200% saja, maka seluruh persoalan energi di dunia selesai.  Mesin itu akan berfungsi tanpa henti (perpetuum mobile).  Tapi yang seperti ini tidak pernah ada.

Semua riset yang ada saat ini hanyalah meningkatkan efisiensi konversi energi.  Popularitas mobil terjadi karena ada bahan bakar minyak yang praktis, mudah dibawa dan kandungan energinya cukup tinggi (pada minyak mentah: 42100 KJoule/kg).  Sebagai perbandingan, pada accu mobil canggih yang hanya seberat 10 kg, daya simpan energi (12V/60Ah), hanya setara dengan 260 KJoule/kg.

Andaikata sumber energi primer sudah terselesaikan dengan energi nuklir atau energi terbarukan (panas bumi, surya, angin, atau ombak), maka masalah utama sistem transportasi jalan raya adalah menyimpan energi itu agar dapat mudah dibawa, syukur-syukur tanpa memodifikasi apapun pada mesin.

Substansi air tak akan pernah menjadi sumber energi.  Tetapi dari air mungkin dibuat penyimpan energi sangat padat (minimal 120067 KJoule/kg = 3 x minyak).  Air dapat dipisahkan kembali (elektrolisis) ke unsur-unsur asalnya yaitu hidrogen dan oksigen.  Proses pemisahan ini tentu memasukkan energi (endoterm).  Hidrogen dan oksigen ini kemudian dipisahkan dalam suatu tabung tekanan tinggi yang aman.  Ketika hidrogen dipertemukan kembali dengan oksigen, tentu akan muncul reaksi yang mengeluarkan energi (eksoterm) dan hasil reaksi itu kembali air.  Proses ini biasa dipakai dalam peluncuran roket ke luar angkasa. Namun dalam proses ini, energi endotermis pasti lebih besar dari eksotermisnya.  Dengan kata lain tidak mungkin membuat bahan bakar dari air!