Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Krisis Energi bagi sebuah Negara Merdeka

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Hari-hari ini sebagian kota-kota di Indonesia mengalami pemadaman listrik bergilir.  Sebagian orang langsung menuduh bahwa PLN memang tidak becus mengurus listrik.  Dan itu menjadi dalih bahwa sudah saatnya urusan listrik diserahkan kepada swasta, agar timbul iklim kompetisi, sehingga efisien dan optimal.  PLN menjawab bahwa persoalannya terletak pada energi primer yaitu gas yang tidak diberikan ke PLN.  Mayoritas pembangkit PLN dapat menggunakan dua jenis energi primer: BBM dan gas.  Gas jauh lebih murah.  Namun produsen gas di Indonesia tidak mau menjual gas ke PLN.  Gas mereka sudah dikontrak ekspor ke Cina, sehingga industri di Cina lebih berdaya saing.  Demikian juga dengan sejumlah daerah di Kalimantan yang beberapa tahun terakhir ini pemadaman listrik menjadi agenda mingguan.  Meski mereka penghasil batubara, namun hanya sedikit yang boleh digunakan di sana.  Selebihnya adalah untuk membuat kota-kota di Korea Selatan terang benderang.

Ketersediaan energi bagi sebuah negara memang suatu hal yang vital.  Energi digunakan untuk industri, menggerakkan roda transportasi, menyalakan penerangan, memanaskan rumah dan alat dapur, menghidupkan peralatan elektronik, hingga intensifikasi pertanian, karena pada hakekatnya pemberian pupuk adalah subsidi energi ke produk tanaman.

Tidak heran bahwa setiap kali pasokan energi berkurang, terjadilah krisis.  Namun dalam sejarah manusia, krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

 

Lampu tambang karya Banu Musa dengan pelindung yang dirancang agar diputar oleh angin ke arah yang melindungi lampu dari tiupan angin.

 

Mesin keruk dalam manuskrip Banu Musa,
dari koleksi Staatsbibliothek Berlin.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

 

Alat ventilasi pertambangan karya Banu Musa, terdiri dari buluh peniup dan pipa-pipa yang memompa udara segar ke dalam untuk mengusir gas-gas beracun.

 

Ilustrasi pompa dan rantai untuk mengangkat air di lokasi pertambangan, karya Taqiyuddin (abad 10M).

 

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batu bara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinyapun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, exploitasi batu bara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat.

BBM, 3M & KPK

Tuesday, June 3rd, 2008

Anis Hariri <anishariri@gmail.com> wrote:
>  Kalau mengenai kebijakan kenaikan BBM, saya tidak
>  yakin karena SBY tertipu juga.
>  Berani membuat kebijakan tidak populer tentu saja
>  tidak main-main apalagi setahun lagi sudah pemilu.
>  Kalau mau, sebenarnya BBM tidak perlu dinaikkan,
>  tinggal membuat utang baru, beres.
>  Populer, nanti Presiden penggantinya yang ngelunasin
>  atau naikin BBM, atau kalau kepilih lagi baru dinaikin.

Di dalam buku “Future Schock” Alvin Toffler diceritakan bahwa motivasi orang melakukan sesuatu di dunia ini selalu dapat dikembalikan kepada 3M – MIND (Keyakinan – lepas dari soal salah atau benar), MONEY (imbalan – lepas dari soal halal atau haram), dan MUSCLE (paksaan – lepas dari soal memang takut atau ditakut-takuti).

Kalau orang tersebut adalah pejabat / penguasa, kemudian perbuatannya dinilai dari sisi rasional ada yang tidak logis, ternyata kembalinya juga 3M tadi.

Misalnya, ada pejabat yang menjual gedung asset negara dengan harga 10 Milyar, padahal menurut taksiran independen, asset itu minimal berharga 100 Milyar, maka ada 3 kemungkinan:

– MIND (keyakinan – yang jelas tidak rasional, misalnya, kalau itu dari sisi ekonomi dia yakin begini, “Ya kalau dihargai mahal ya tidak laku …”,
atau dari sisi mistik, “Gedung ini fengshui-nya jelek, jual saja”).

– MONEY (imbalan – yang ini juga tidak rasional dari sisi makro, tetapi bisa saja mikro, misalnya ada imbalan politik “yang beli itu perusahaan yang komisarisnya adalah keluarga partai yang diperlukan dalam pilkada mendatang”, atau imbalan ekonomi “nanti bila gedung itu dijual lagi, dia dapat bagian minimal 30%”).

– MUSCLE (ancaman – dia diancam oleh kekuatan yang lebih dia takuti, apakah itu preman lokal “Awas kalau tidak dikasih anakmu bisa pulang-pulang tidak utuh!”, atau preman global “Kami bisa membuat negaramu lebih merana drpd Irak!”).

Formula 3M ini sangat efektif untuk menebak suatu perkara yang tidak rasional, yang umumnya koruptif.  KPK sangat tertarik kalau ada hal-hal seperti ini.  Dan formula 3M ini kalau dibahasakan lokal bisa disingkat “KPK” juga, yaitu KEYAKINAN (mind), POLITIK koruptif (money), dan KETAKUTAN (muscle).

Jadi, kembali ke soal kenaikan harga BBM, kenapa SBY-JK memilih langkah yang secara rasional-politik mestinya tidak dilakukannya, bisa jadi “KPK” juga.  Dia yakin dengan aliran neoliberalis yang mendominasi tim ekonominya.  Dia bisa juga memakai pertimbangan POLITIS (sayangnya bukan dari sisi kerakyatan namun dari sisi korporasi – yang ini pasti menguntungkan dalam jangka panjang), atau ada KETAKUTAN terhadap tekanan-tekanan global.

Energi Terbarukan

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Bahwa BBM kini mahal, tidak ada orang yang membantah.   Tahun 1997, seorang PNS gol III-A berpenghasilan 350.000 Rupiah.  Kecil memang, tapi ini cukup untuk membeli 500 liter premium yang seliter hanya Rp. 700.  Kini, ketika premium yang sama seliter Rp 4500,-, meski gaji PNS III-A sekitar Rp. 1 juta, yang didapat hanya 222 liter premium.

Mahalnya BBM terjadi karena energi ini memang terbatas, sedangkan konsumsi dunia terus naik.  Ini juga fakta yang tidak bisa dibantah.  Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu ketika minyak mereka akan habis.  Untuk itulah mereka merasa perlu mengembangkan nuklir.

Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global.  Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata.  Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986.  Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.

Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas.  Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor.  Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.

Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan.  Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui.  Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.

Energi surya adalah energi yang terluas aplikasinya, baik langsung maupun tak langsung.  Yang langsung adalah berupa panas (misalnya untuk menjemur pakaian atau hasil pertanian) atau dikonversi ke listrik melalui sel-surya (solar-cell) dan kebun-surya (solar-fram).  Sel-surya menggunakan silikon yang langsung mengubah cahaya menjadi listrik.  Bahan ini relatif mahal karena memproduksinya perlu teknologi tinggi yang dipatenkan.  Efisiensinya juga masih rendah.  Adapun ladang-surya biasanya menggunakan satu lapangan cermin untuk memantulkan sinar matahari ke suatu fokus, yang di situ air dipanaskan sampai menguap, dan uap ini dipakai memutar turbin generator listrik.

Cara lain pemanfaatan surya adalah melalui turunannya berupa energi air, angin, gelombang laut, perbedaan panas laut dan bahan nabati.

Energi air diambil langsung misalnya untuk menghanyutkan kayu atau dengan kincir air penumbuk padi, atau untuk pembangkit listrik dengan PLTA, atau dalam ukuran kecil disebut PLTM – Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.  Ibu Tri Mumpuni berhasil menerangi 60 desa dengan PLTM yang dibuat bersama masyarakat (Kompas 15/7/2007).

Energi angin (atau disebut juga energi bayu) diambil secara langsung misalnya dengan kapal layar atau kincir angin, baik yang langsung untuk menggiling gandum seperti di Belanda, atau untuk menghasilkan listrik.  Beberapa negara maju punya ”kebun-angin” (wind-farm), yakni lahan luas tempat ratusan kincir angin penghasil listrik (PTLB).  Lahan ini biasanya ditaruh di tepi pantai, tempat angin bertiup kencang secara konstan.  Indonesia yang bergaris pantai terpanjang di dunia jelas memiliki potensi yang luar biasa.

Demikian juga dengan gelombang laut yang terjadi antara lain oleh angin.  Dengan alat yang tepat, gelombang laut dapat dikonversi menjadi energi.  Hanya saja lokasinya tergantung topografi pantai.  Pertimbangan serupa juga untuk pasang surut, yang muncul dari interaksi bumi-bulan.

Perbedaan panas laut di permukaan dan kedalaman juga dapat untuk membangkitkan listrik dengan apa yang disebut Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), yakni dengan zat yang dapat diuapkan dengan beda suhu seperti itu. 

Yang termenarik saat ini adalah energi nabati (bioenergy).  Hal ini karena energi nabati adalah energi kimia, yang dapat disimpan dan praktis untuk keperluan transportasi.  Energi lain, termasuk nuklir, tidak memiliki sifat seperti ini. 

Energi nabati dihasilkan dari fotosintesis yang kemudian melalui rantai makanan dibawa ke energi akhir.  Secara filosofis, energi hewan atau manusia adalah nabati.  Bahan bakar fossil (minyak dan batubara) pun adalah energi nabati yang terpendam jutaan tahun.  Namun kalau orang bicara bioenergy, umumnya yang dimaksud adalah kayu bakar, bahan nabati yang dibuat bahan bakar cair (biofuel) atau gas methan hasil pembusukan limbah organik (biogas).  Biofuel yang didesain untuk mesin diesel disebut biodiesel.  Dan biodiesel yang dicampur solar olahan minyak bumi disebut biosolar.

Saat ini pemerintah menggalakkan tanaman jarak pagar (Jatropa) untuk biofuel.  Kandungan minyak dalam jatropa adalah sekitar 1400 liter/hektar/tahun.  Kandungan ini cuma seperempat kelapa sawit (6000 liter/hektar).  Pantas ada dugaan bahwa langkanya minyak goreng akhir-akhir ini karena sebagian dijual sebagai bahan biodiesel. 

Jika energi nabati diharapkan memenuhi kebutuhan sehari-hari menggantikan minyak bumi (sekitar 1,2 juta barrel/hari atau 69 Milyar liter/tahun), maka diperlukan lahan 49 juta hektar.  Sayangnya dari 107 juta ha lahan pertanian Indonesia, lahan kritisnya cuma 21,9 juta ha (BPS 2003)!

Tak heran, sebagian orang keberatan untuk menanam jarak pagar dan memilih menanam palawija atau hortikultura.  Kalaupun lahan kritis dianggap berpeluang, maka ada masalah teknis di lapangan ketika seorang petani ingin mengolah lahan yang luas dan sulit diakses.  Di samping itu terkadang masih ada persoalan hukum tentang kepemilikan tanah tersebut, sekalipun terkategori lahan kritis.  Kalaupun akhirnya jadi menanam, proses pasca panen dan penjualan minyak jarak juga masih tanda tanya.

Sebenarnya ada bahan nabati yang lebih efisien yaitu mikroalga.   Tanaman mikroorganik ini sangat efisien hidup di kawasan tropis, baik pada air tawar maupun air laut.  Dari satu hektar tanaman mikroalga dengan teknik raceway ponds atau photobioreactor dapat dihasilkan sekitar 58.000 liter minyak dengan asumsi hanya 30% dari biomassanya yang mengandung minyak! (Chisti, 2007).  Selain itu masa panennya juga jauh lebih singkat.

Karena itu mikroalga sebagai alternatif menjadi sangat menarik untuk dikembangkan.  Sayangnya saat ini baru Puslit Bioteknologi LIPI di Cibinong yang mengembangkan. 

Semestinya, demi kemandirian energi kita di masa depan, umat Islam bekerja keras menghemat energi sekaligus mengembangkan sumber energi terbarukan.  Masalah umat Islam tidak hanya sekedar kemaksiatan atau pemurtadan.  Persoalan produksi dan distribusi energi hakekatnya adalah masalah umat Islam juga.