Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Fisika Untuk Petualangan

Monday, October 8th, 2012

Anda kenal film “UP”, tentang Mr. Frederiksen (seorang tua pensiunan pedagang balon) yang berpetualang dengan Russel (anak pramuka) ke Amerika Selatan – mencari “air terjun surga” dengan mengendarai rumahnya yang terangkat dengan balon? (http://en.wikipedia.org/wiki/Up_(2009_film)).

Film yang sangat mengasyikkan dan sarat nilai itu mensisakan satu pertanyaan, “Berapa balon yang dibutuhkan untuk mengangkat seorang manusia atau bahkan sebuah rumah”.  Hitungan fisika berikut ini mungkin dapat Anda coba untuk menguji kemampuan Anda menggunakan hukum Archimedes.

Diameter balon mainan ~ 30 cm –> r = 15 cm (kita anggap bulat sempurna)

Volume balon = 4/3 x pi x r^3 = 14137 cm3 = 0,014137 m3

Balon ini akan diisi helium

Massa jenis helium = 0,1785 kg/m3

Massa jenis udara = 1,204 kg/m3  (pada suhu 20 derajat Celcius)

Selisih massa jenis = 1,0255 kg/m3  (massa kulit balon sementara kita abaikan)

 

Daya angkat per balon = 0,014137 x 1,0255 = 0,014498 kg

Jadi untuk mengangkat 1 kg barang perlu = 1 / 0,014498 = 69 balon !

Karena itu, untuk mengangkat Russel yang gemuk dan beratnya minimal 50 kg diperlukan 3449 balon!

Dan untuk mengangkat sebuah rumah kecil dengan berat minimal 10000 kg diperlukan 689.766 balon !

Jadi kalau di film itu Russel hanya dengan sekitar 30 biji balon terbang mengejar Charles Muntz yang menculik Kevin, jelas perlu kekuatan supranatural 🙂

Dapatkah Anda memperkirakan, berapa jumlah balon yang ada di film UP?

Gambar di bawah ini mungkin bisa membantu.

Kalau hitungan saya tidak keliru, gumpalan balon itu dari bawah ke atas, itu sekitar 7x tinggi rumah, artinya kalau tinggi rumah sekitar 6 meter, maka diameter gumpalan balon Mr. Frederiksen itu sekitar 7 x 6 = 42 meter, atau Volumenya = 4/3 x pi x 21^3 = 38.792 m3.

Andaikata ini bentuk bola sempurna (bukan seperti tetes air terbalik), maka daya angkatnya sekitar 39 ton.  Cukup untuk sebuah rumah beserta isinya.

Tetapi itu setara dengan balon kecil (diameter 30 cm) sebanyak = 2,7 juta balon !!!

Kalau untuk mengisi helium pada balon perlu waktu 6 detik, atau 1 menit dapat 10 balon, maka Mr. Frederiksen perlu waktu 274.400 menit atau 4573 jam atau 190.5 hari tanpa istirahat …  Tetapi di film itu dia hanya butuh waktu beberpa menit saja atau maksimal 1 hari …

Tetapi di luar soal fisika, film ini memang enak dinikmat

Belajar “Mensyukuri Langit” Setiap Hari

Monday, October 8th, 2012
Tata Surya

Fisika dan Astronomi

Bagi kami yang mencintai dunia fisika dan astronomi – sehingga relatif akrab dengan keduanya –  tiap hari adalah bersyukur.  Seperti hari ini.

Observatorium Remanzacco merelease berita melintasnya Asteroid-2012-TV pada Minggu 7 Oktober 2012 pukul 22:04 WIB  (http://www.sott.net/article/252047-Close-Approach-of-Asteroid-2012-TV).  Asteroid yang berdiameter 40 meter itu melintas hanya sejauh 255.000 km dari Bumi, alias lebih dekat ketimbang jarak Bulan ke Bumi (yang besarnya 384.000 km).  Titik terdekat permukaan Bumi dengan asteroid pada saat itu adalah Selandia Baru. Saat melintas dekat tersebut, Asteroid 2012 TV melesat dengan kecepatan 15 km/detik alias 54.000 km/jam.

Dari beberapa batu meteor yang pernah ditemukan, diduga keras bahwa asteroid terdiri dari elemen besi.  Sebuah bola berdiameter 40 m berbahan besi (massa jenis 7,8 kg/liter) akan memiliki massa sekitar 263 juta ton.  Bila sebagian besar menguap karena gesekan dengan atmosfir atas, dan hanya sepersejuta yang jatuh menghantam bumi, maka materi yang tersisa itu masih pula 263 ton.  Namun dengan kecepatannya yang dahsyat, bola besi “sekecil” itu masih pula memiliki energi kinetik lebih dari 29 ribu Giga Joule. Dibandingkan dengan energi dalam bom atom Hiroshima yang “hanya” 15 kiloton TNT (15 x 4,18 Giga Joule), maka energi asteroid itu masih senilai 472 bom atom Hiroshima.

Allah Maha Pengasih dengan menjadikan asteroid itu hanya “lewat”, tidak “singgah” di bumi.  Hingga kini, kemungkinan asteroid menghantam bumi sangat kecil, mungkin sekali setiap sejuta tahun.  Kejadian terakhir adalah di Tunguska Rusia 30 Juni 1908.  Batu besi yang menghantam bumi itu kira-kira berdiameter 45-70 meter.  Energinya setara dengan 10 megatons TNT atau 666 bom atom Hiroshima.  Allah Maha Pengasih dengan menjatuhkan “batu neraka” itu di daerah tanpa penduduk.  Apa jadinya jika batu itu dijatuhkannya di tempat-tempat yang kita cintai?  Allah yang Maha Memiliki lebih pantas kita cintai.  Bahwa batu itu tidak mencelakakan Anda hari ini, adalah sebuah peringatan, bahwa Allah masih menginginkan Anda menjalani rencana-Nya yang lain!  Rencana itu adalah jalan sesuai syariah-Nya.  Mari kita jalani rencana-Nya itu dengan sepenuh hati, bahwa apa yang Dia kehendaki, adalah yang terbaik dalam hidup kita.

Fisikawan Islam Mendahului Zaman

Monday, February 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Kaum muslim meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah, dan Qur’an adalah kalamullah.  Maka sebagai sumber pengetahuan, Qur’an pastilah benar.  Apakah juga termasuk pengetahuan tentang zat, energi, ruang-waktu dan interaksi benda-benda di alam ini, yang sering disebut dengan “fisika”?

Sebagian muslim dengan mantap mengatakan ya.  Maka muncullah istilah “fisika Islam”.  Ini adalah sejumlah teori atau lebih tepatnya “hipotesa” dari suatu hukum fisika yang diklaim mereka “temukan” di dalam Qur’an.  Sekedar untuk ilustrasi, ada tiga contoh di sini: (1). Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris), bahkan alam semesta, karena di Qur’an tidak pernah ada ayat yang menyatakan bumi beredar, tetapi matahari, bulan dan bintanglah yang beredar (QS 13:2, 14:33).  Teori ini bahkan didukung seorang Syeikh terkemuka dari Saudi Arabia, yang memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan pada kemusyrikan.  (2) Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai pembangkit energi yang tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat, yang ia tafsirkan sebagai energi.  (3) Teori tujuh lapis atmosfir, karena dikatakan hujan turun dari langit (35:27) sedang Allah menciptakan tujuh langit (41:12), sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.

Melihat teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa yang pernah dilakukan kaum mutakalimin (pecinta filsafat) di masa lalu, yang mencari-cari suatu kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun asumsi itu berasal dari suatu ayat Qur’an yang ditafsirkan secara subjektif.  Tentu saja, cara berpikir mutakalimin seperti ini tidak pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki, apalagi dapat dipakai untuk keperluan praktis.

Para fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang dididik dari awal dengan aqidah Islam.  Rata-rata mereka hafal Qur’an sebelum berusia baligh.  Dan mereka sangat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang objektif, yang dapat terungkap sendiri pada mereka yang sabar melakukan pengamatan dan penelitian dengan cermat.

Ibn al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan bukunya pada tahun 1021.  Dia menemukan bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman Aristoteles.  Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan berbagai cara untuk membuat teropong dan juga kamera sederhana (camera obscura).

Menarik untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya ini pada saat ia mengalami tahanan rumah, setelah ia gagal memenuhi tugas Amir Mesir untuk mewujudkan proyek bendungan sungai Nil.  Dia baru dilepas setelah penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi yang telah dikeluarkan sang Amir.

Ibn al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah hipotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance.  Metode ilmiah ibn al-Haytsam dimulai dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen, interpretasi data dan formulasi kesimpulan, dan diakhiri dengan publikasi.  Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review yang memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi apa yang dikerjakan seorang peneliti.  Proses peer review telah menjadi tradisi dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).

Ibnu Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti terbatas.  Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya jauh lebih cepat dari suara.  Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin al-Fārisī (1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena pelangi.

Di dunia mekanika, Ja’far Muhammad ibn Mūsā ibn Syākir (800-873) dari Banū Mūsā berhipotesis bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.

Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan jembatan, bendungan ataupun kapal.

Pada tahun 1121, al-Khazini dalam “Kitab tentang Keseimbangan Kebijaksanaan” mengusulkan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi.  Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat.  Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.

Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada setiap aksi.  Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.

Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi).  Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.

Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik dari sebuah benda yang lembam.  Apa yang ditulis Ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.

Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam – kalaupun ada – adalah fisika yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis.  Fisika sebagai ilmu pengetahuan empiris dapat diraih oleh peneliti manapun yang sabar, tanpa memandang apa keyakinan aqidahnya.  Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda.  Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik terhadap si fakta fisika itu, maupun terhadap isi Qur’an sendiri.  Dan ini semua tidak pernah dialami oleh para fisikawan di masa keemasan Islam.