Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

BELAJAR BERMIMPI NAIK HAJI DI USIA MUDA

Monday, November 7th, 2011

Bagi orang tua saya yang pas-pasan, pergi haji adalah sebuah mimpi.  Sepertinya saat itu hanya sebuah keajaiban yang mampu melontarkan kami ke tanah suci.  Tetapi ayah saya tidak pernah ragu, bahwa bila Allah telah memanggil (dan Dia telah memanggil seluruh manusia melalui Nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu!), tentu Dia juga yang akan memberikan jalan, kepada mereka yang memang bersungguh-sungguh berproses untuk merespon panggilan itu.

Tetapi, kalau saya di SD ditanya cita-cita oleh ibu guru, lalu saya jawab, cita-cita saya adalah “naik haji sebelum berusia 30 tahun”, tentu teman-teman saya bisa tertawa sampai terguling-guling.  Umumnya teman-teman kami bercita-cita menjadi dokter, insinyur, polisi atau guru.  Lha belum apa-apa koq sudah ingin naik haji.  Beberapa orang terkaya di kampung kami juga belum naik haji tuh.

Oleh kakak saya, sejak saya pergi ke Taman Kanak-kanak, saya sering dipakei peci.  Apalagi kalau ke masjid pakai sarung dan peci, lucu sekali.  Dan dari kecil, saya yang bungsu ini sering dipanggil “pak haji” – mungkin karena saya rajin adzan. Bisa memukul bedhug pertama kali lalu adzan di masjid, itu obsesi saya setiap hari waktu itu.

Tahun 1978, ketika saya duduk di kelas 3 SD, kakak ipar saya mencoba usaha pembibitan cengkeh.  Pada waktu harga cengkeh masih sangat tinggi.  Bibit cengkeh dibeli Rp. 30 / batang, nanti setelah umurnya sekitar 1 tahun dan tingginya sudah semeter lebih, bisa laku Rp. 1000.  Bisnis yang menggiurkan, meski kemudian dari 1000 batang bibit cengkeh lebih dari 200 yang diserang rayap.  Beberapa batang kami tanam sendiri, dan ibu saya sangat berharap pohon cengkeh ini kelak mampu membawa kami berhaji.  Namun apa dikata, beberapa tahun kemudian, ketika pohon-pohon cengkeh telah besar, Soeharto membuat BPPC yang diketuai Mas Tommy, yang membuat harga cengkeh hancur …

Tahun 1986 saya lulus SMA.  Adalah sebuah musibah bahwa nama saya tidak disebut dalam daftar siswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).  Padahal saya memilih jurusan fisika FMIPA yang kapasitas PMDK-nya besar.  Beberapa teman yang rankingnya di sekolah di bawah saya malah diterima di jurusan-jurusan favorit.  Aneh juga, tapi itulah matematika PMDK yang tidak selalu dapat dilacak.

Sehabis test Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru), ada peluang test Overseas Fellowship Program (OFP) dari Kementrian Ristek untuk lulusan SMA yang ingin dapat beasiswa sekolah di Luar Negeri.  Mungkin karena saya masih fresh sipenmaru, saya bisa lulus test akademik OFP.  Sayang jadwal psikotestnya bersamaan dengan registrasi ulang di ITB.  Okey, saya lupakan OFP.  Ibu saya kecewa, karena tadinya, beliau berharap saya dapat beasiswa itu.  Selain bisa sekolah tanpa pusing mikirin biaya, barangkali itu juga jalan untuk bisa … naik haji … kembali kepada mimpi.

Tiba-tiba, hampir satu semester di ITB, ada panggilan dari OFP untuk psikotest susulan.  Okeylah, tanpa beban, psikotest ini saya ikuti.  Dan singkat cerita akhirnya saya lulus seluruh rangkaian test OFP.  Kesimpulan: ITB ditinggal.  ITB sih menganjurkan, saya tetap registrasi ulang tiap semester dengan SKS 0.  Iya benar juga.  Di depan saya saat itu masih ada kursus bahasa 6 bulan.  Lalu test bahasa.  Lalu berangkat ke negara tujuan.  Di sana test masuk Universitas.  Semua belum tentu lulus.  Nanti kalau sudah kuliah juga belum tentu selesai …  Tapi akhirnya, saya tidak pernah registrasi ulang di ITB lagi.  Ini ibarat strategi membakar kapal Thariq bin Ziyad.  Hanya ada satu jalan: maju terus.

Oktober 1987 saya mulai kuliah di Austria.  Alhamdulillah, test bahasa dan test masuk Universitas sudah lewat. Saya mencoba hidup hemat.  Kenapa?  Biar bisa nabung … biar bisa naik haji dan memberangkatkan ibu saya naik haji. Ayah saya sudah wafat ketika saya SMP, dan beliau belum sempat naik haji.

Kalau tidak hemat, beasiswa yang 7000 Schilling (sekitar US$500) per bulan bisa tekor.  Untuk bayar kamar di asrama sudah 2500 Schilling.  Ongkos tiket bulanan naik bus 500 Schilling.  Asuransi kesehatan wajib 120 Schilling.  Anggaran beli buku, alat tulis, pakaian dsb rata-rata sebulan 300 Schilling.  Sedang makan di kantin kampus sekitar 50 Schilling sekali makan.  Jadi harus hemat.  Untuk itu harus belajar masak.  Tiap pagi masak.  Sebagian buat sarapan, sebagian buat bekal makan siang di kampus, sebagian disimpan untuk makan malam.  Ternyata seperti ini kemudian berjalan bertahun-tahun.  Ketika masak sendiri, ternyata cukup anggaran 1000 Schilling sebulan.  Jadi bisalah nabung hingga 2000-3000 Schilling / bulan.

Waktu itu ongkos naik haji sekitar US$ 3200.  Ketika kemudian mata uang Dollar terhadap Schilling melemah, dan kursnya menjadi 10 Schilling per US$, maka ONH menjadi sekitar 32.000 Schilling.  Jadi kalau nabung 2000 Schilling / bulan, perlu sekitar 2 tahun. Tetapi kalau ONH dari Austria jauh lebih kecil.  Cuma 20.000 Schilling cukup lah.  Jadi tabungan setahun insya Allah akan memadai.

Tahun 1988, ada paman saya yang bekerja di Depag, mengajak kalau bisa pas liburan datang ke Jeddah, untuk bantu-bantu tim haji Indonesia.  Bisa dalam administrasi (entri data di komputer) atau di transportasi (nyopir).  Maka saya belajar dengan sungguh-sungguh keahlian menggunakan komputer dan belajar nyetir.  Untung lab-lab komputer di kampus bebas dipakai asal tidak sedang dipakai praktikum.  Ikut saja suatu mata kuliah yang pakai komputer — jadi mahasiswa gelap … lalu cari buku dan belajar mandiri.  Sayang kalau belajar nyetir tidak bisa seperti itu.  Di Austria, semua orang yang mau mendapatkan SIM harus kursus dan praktek minimal 15 jam.  Padahal 1 jam belajar nyetir ongkosnya hampir 300 Schilling.  Dan saya pernah ketiduran, sehingga 300 Schilling menguap percuma!  Singkat cerita, saya akhirnya dapat juga SIM Austria, sekalipun telah habis hampir 14.000 Schilling, gara-gara tidak lulus ujian praktek 2 kali padahal setiap mengulangi ujian, bayar lagi 3000 Schilling !  Hikmahnya: saya jadi pengemudi yang hati-hati.

Pada pertengahan 1988 itu saya ke KBRI di Wina, minta pengantar untuk mencari visa haji.  Ternyata ditolak mentah-mentah!  Alasannya: saya belum 2 tahun belajar di Austria, jadi belum boleh pulang.  Lho padahal ini kan tidak pulang, tetapi naik haji.  Tetap saja dianggap sama.  Anehnya, kalau saya jalan-jalan keliling Eropa, boleh.  Ya udah, akhirnya, dana naik haji ini dikirim saja ke Indonesia, buat ibu saya.  Bersama dana dari kakak saya, jadilah ibu saya mendaftar buat naik haji, dan akan berangkat tahun 1990.

Saya mulai nabung untuk haji dari nol lagi.  Tahun 1989, di campus ada iklan pekerjaan untuk mahasiswa.  Pekerjaan programming!  Tadinya saya ragu, bisa gak ya?  Akhirnya nekad.  Eh sampai di kantor biro engineering itu, pertama-tama saya ditanya, mau dibayar berapa?  Bagaimana kalau 150 Schilling?  Kupikir sehari, ternyata ini per jam.  Soalnya, ada teman saya kerja nyuci piring di restoran hanya dapat 4000 Schilling sebulan, artinya sehari tak sampai 150 Schilling.

Mungkin karena saya sudah belajar komputer (khususnya programming) untuk persiapan bekerja di Jeddah tahun 1988 itu, saya bisa dapat pekerjaan itu.  Singkat cerita, dari bekerja 2 bulan itu saya mendapat hampir 40.000 Schilling!  Wah bisa berangkat haji lagi deh …

Tahun 1990 saya mengurus segala sesuatu untuk haji.  Ini kesempatan yang luar biasa, karena ibu saya juga berangkat tahun itu.  Dan sejak tahun 1987, artinya sejak saya berangkat ke Luar Negeri, saya belum berjumpa dengan beliau.  Alangkah rindunya.  Akhirnya saya sudah di ruang tunggu pesawat Austrian Airlines yang akan membawa kami ke Jeddah.  Penumpang satu persatu mulai masuk.  Ketika giliran saya, tiba-tiba pramugari setelah memeriksa visa saya berkata, “Maaf, Anda tidak boleh ikut, karena untuk haji kemarin sudah Closing Date”.  Saya bingung.  Ternyata, 1 Zulhijjah di Mekkah maju sehari (konon karena hilal dapat dirukyat).  Sehingga hari closing date ikut maju.  Saya yang berangkat di hari terakhir – karena menyesuaikan dengan jadwal ujian – terpaksa ditolak berangkat.  Kalau airlines maksa, mereka akan didenda oleh pemerintah Saudi US$ 25.000. Wah, loyo lah … jadi yang sempat terangkut ke Jeddah cuma bagasi saya, yang esoknya sudah diantar pulang. Ongkos tiket sih dikembalikan, tetapi semangat seperti terbang.

Tahun 1990 itulah terjadi tragedi terowongan al-Muashim, di mana 400 jama’ah Indonesia tewas.  Mungkin itu hikmahnya.  Barangkali Allah ingin mencegah saya ada dalam rombongan yang tewas itu.  Saya masih punya tugas lain.

Tahun-tahun berikutnya, musim haji terjadi di tengah-tengah musim ujian kuliah.  Jadi saya tidak bisa mencobanya lagi. Tahun 1993 saya lulus meraih gelar “Diplom-Ingenieur”, jadi tuntaslah sudah beban beasiswa saya.  Alhamdulillah, karena saya termasuk “the speedy” (lulusan no-2 tercepat), saya ditawari beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk langsung menempuh jenjang Doktor.  Jadi masih ada kesempatan mencoba berhaji lagi …

Tahun 1993 setelah lulus saya pulang dulu, nikah dulu, kemudian balik lagi ke Austria sudah membawa istri.  Dengan istri saya sudah berkomitmen, bahwa goal yang pertama bukan punya anak, bukan punya rumah, tetapi pergi haji.  Banyak saudara yang menasehati kami, agar menabung dulu, karena nanti harga rumah makin mahal.  Sekolah anak juga mahal.  Padahal gaji saya sebagai pegawai negeri sangat keciiiiil.  Bikin nggak pede saja …

Tahun 1994 rencana haji itu kami godhog lebih matang.  Pengalaman dua kali kegagalan pergi haji membuat saya belajar. Ternyata banyak pernik-pernik yang kami baru tahu.  Maka buku-buku haji dikumpulkan.  Pengalaman teman-teman yang pergi haji dari Eropa juga.

Dan alhamdulillah, tahun 1994 itu saya berhasil pergi haji, bahkan langsung bersama istri tercinta.

Allah memang memberikan sesuatu sangat indah, pada saatnya.

Tahun 1994, kami berhasil pergi haji pada usia 26 tahun.
Tahun 1997, saya pulang setelah meraih gelar Doktor pada usia 29 tahun.

Dan tahun itu pula, alhamdulillah saya juga bisa beli rumah, cash, gak pakai kredit (apalagi kredit pakai riba janganlah ya) 🙂 … karena tiba-tiba ada krisis moneter, sehingga tabungan saya dalam mata uang asing jadi terasa lebih banyak ketika ditukar dalam Rupiah …

sampai di Mina …

MEMABRURKAN HAJI DAN “MENGHAJIKAN” SEMUA ORANG

Friday, November 4th, 2011

Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37.

Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci. Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun. Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual – apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara. Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar). Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.

Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji. Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.

Pelajaran Lima Inti Ritual Haji

Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah. Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?

Ihram adalah simbol penyucian diri. Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya. Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil. Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru. Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun. Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama. Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan. Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”. Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.

Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya. Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”. Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi. Bumi berthawaf mengelilingi matahari. Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh. Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku. Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.

Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran. Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas. Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah. Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya. Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i. Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini. Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.

Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia. Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya. Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat. Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.  Dan apa artinya tiga juta jama’ah haji berkumpul di Arafah dan satu setengah milyar muslim hadir di dunia, menyembah Tuhan yang satu, mengacu kitab yang satu, berkiblat ke Ka’bah yang satu dan merayakan hari raya yang satu, bila mereka tidak bersatu menjadi Ummatan Waahidan, bersatu memberi rahmat ke seluruh alam dengan menerapkan syariat Islam yang penuh berkah di bawah satu kepemimpinan, Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwwah?

Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam. Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita. Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah. Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.

Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini. Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci. Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.

Mencari Haji Mabrur yang Transformatif

Monday, November 27th, 2006

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37.
Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci.  Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun.  Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.  Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual – apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara.  Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar).  Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.

Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji.  Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.

Pelajaran Lima Inti Ritual Haji

Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah.  Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?

Ihram adalah simbol penyucian diri.  Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya.  Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil.  Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru.  Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun.  Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama.  Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan.  Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”.  Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.

Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya.  Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”.  Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi.  Bumi berthawaf mengelilingi matahari.  Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh.  Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku.  Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.

Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran.  Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas.  Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah.  Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya.  Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i.  Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini.  Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.

Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia.  Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya.  Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat.  Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam.  Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita.  Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah.  Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.

Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini.  Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci.  Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.