Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Teknologi Ramadhan-Remote-Sensing (Non Ressources Remote Sensing)

Saturday, August 4th, 2012

Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Sewaktu persiapan acara Dialog Ramadhan Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) – DIORAMA  2 Agustus 2012 lalu – saya iseng-iseng brainstorming, apa inspirasi selama Ramadhan ini terhadap kemajuan dunia Remote Sensing (RS).  Semuanya adalah aplikasi RS Non Sumber Daya Alam.  Selama RS cenderung didominasi untuk pengelolaan SDA, padahal masih banyak yang menarik dan menantan.

Ternyata muncul sedikitnya 10 ide:

1. RS untuk supporting rukyatul hilal – area yang dirukyat dilihat dengan kamera, lalu dimasukkan ke pemroses citra.  Citra bulan (hilal) memiliki spektrum frekuensi cahaya yang berbeda dengan langit latar, sehingga mestinya bisa dipisahkan agar dapat dikenali lebih mudah, selama syarat Astronomis, Baiknya posisi topografi dan Cuaca (ABC) memang terpenuhi.

2. RS untuk supporting shalat khusyu’ – di bulan Ramadhan masjid penuh sesak, tetapi sebenarnya distribusinya tidak merata.  Mungkin bisa kita buat kamera CCTV yang kemudian diproses dalam sebuah image integrator untuk membantu agar distribusi jama’ah dapat lebih merata, juga deteksi kerapian shaf, deteksi anak-anak yang ramai, deteksi jama’ah yang shalat sambil ngantuk dsb.  Sistem ini dapat dimonitor langsung oleh imam, sehingga imam dapat mengatur jama’ah lebih mudah.  Posisi jama’ah juga dapat digunakan untuk optimasi kipas angin atau AC.

Masih satu bagian dengan ini adalah RS untuk supporting wudhu – mendeteksi kehadiran orang di tempat wudhu, menyalakan air otomatis ketika dibutuhkan, atau bahkan mendeteksi najis yang masih melekat di tubuh seseorang.

3. RS untuk supporting puasa – apakah wajah orang puasa dapat dikenali oleh suatu sistem remote sensing?  mungkin dari suhu tubuh (karena pembakaran menurun) atau dari wajah lesu …  Kalau ada, barangkali juga bisa untuk mengenali orang yang sudah kekenyangan sesudah iftar, atau juga orang yang belum iftar meski sudah magrib.

4. RS untuk supproting iftar – sebuah alat dengan teknologi hyperspektral-sensing untuk mengenali makanan halal dan thayyib serta afdhol untuk iftar.

5. RS untuk supporting taddarus – sebuah alat untuk mengenali bacaan dan membandingkan dengan pola yang telah direkam atau dengan kunci berdasarkan huruf arabnya.  Mungkin tidak sepenuhnya image-based, karena ini voice.  Tapi prinsipnya hampir sama, Digital Correlation.  Selanjutnya alat akan memberikan alert kalau ada bacaan yang salah.

6. RS untuk supporting zakat – alat untuk mendeteksi beras zakat fitrah yang masih baik dengan teknik hyperspektral. Alat ini bisa juga untuk menilai kualitas raskin.  Sistem RS yang lain barangkali bahkan bisa untuk mendeteksi kawasan miskin dari foto udara, dan “wajah miskin” (poor-person-face-detection) dari calon mustahiq.

7. RS untuk supporting mudik – yaitu traffic congestion recognition, mendeteksi kemacetan jalanan, baik dengan camera CCTV ataupun dari High Atmospheric Platform.

8. RS untuk supporting anti-crime –  Di seputar lebaran, angka kriminalitas meningkat.  Mungkin bisa dibuat suatu sistem untuk mengenali face orang-orang yang berpotensi kriminal.  Sebagian mungkin bisa dibandingkan dengan database pelaku kriminal yang sudah pernah disimpan oleh polisi.  Sebagian lagi dari pengenalan pola dinamis, misalnya arah mata yang liar dsb.  Sumber data: kamera CCTV.  Alat ini bisa dipasang di terminal, di angkutan umum, maupun juga di rumah-rumah yang ditinggal mudik.

9. RS untuk supporting forensik – tingginya angka kecelakaan selama mudik memerlukan alat praktis untuk dokumentasi penyebabnya.  Sebuah perkakas handheld yang terdiri dari kamera, statif yang bisa diulur tinggi, gps dan distomat akan membantu untuk memberikan analisis yang akurat kejadian di TKP berdasarkan jejak rem atau oli.

10. RS untuk ghost-detection – banyak penafsiran yang keliru bahwa di bulan puasa setan dibelenggu.  Benarkah karena itu maka fenomena hantu menjadi berkurang?  Sebuah kamera inframerah bisa dipasang di tempat-tempat yang disinyalir angker/wingit, dan setiap ada kehadiran inframerah dinamis yang berbeda dengan visual optis akan dicatat.

Nah ada yang tertarik untuk mewujudkan riset-riset seperti ini?

Ramadhan kapan ya?

Thursday, July 19th, 2012

Assalaamu’alaikum wr.wb.

Mohon maaf, tidak usah repot-repot telepon, ym, sms, inbox, email atau sejenis ke saya untuk menanyakan kapan Ramadhan dimulai.  Insya Allah saat-saat seperti ini mailbox saya overload, jadi mohon maklum tidak sempat balas !!! 😀

Kalau Anda mengikuti metode rukyat, maka tunggu saja tanggal mainnya, yang kebetulan jatuh Kamis sore 19 Juli 2012 ini.  Anda boleh mencoba rukyat sendiri.  Kalau tidak ada kesempatan, silakan buka website ini http://bosscha.itb.ac.id/hilal/  dan ikuti rukyat secara online dari 5 kota Indonesia.

Kalau Anda mengikuti metode rukyat global, maka ikuti website ini http://www.icoproject.org/default.aspx?&l=en atau moonsighting.com  dan ikuti laporan dari seluruh dunia, sampai ke Amerika, yang barangkali di Indonesia sudah keburu pagi, dan Anda tidak keburu untuk niat puasa.  Bagaimana mau niat puasa kalau belum ada informasi hilal?

Tapi perlu Anda tahu, kalau Anda nanya ke saya sebelumnya, ya berarti Anda tidak sepenuhnya mengerti rukyat murni, karena rukyatul hilal murni berarti inpredictable, tidak bisa dihitung sebelumnya, karena ada faktor yang tidak bisa dihitung, yaitu cuaca!  Astronomi bisa dihitung.  Baiknya pengamatan bisa dipersiapkan.  Tetapi Cuaca tergantung Iradah Allah.  ABC harus klop.  Karena itu, kalender Islam selama memakai rukyatul hilal murni, akan sangat sulit digunakan untuk urusan sipil, seperti jadwal penerbangan.  Bagaimana kalau Anda sudah beli tiket pergi hari Jum’at atau 1 Ramadhan, bila tiba-tiba 1 Ramadhannya tiba-tiba digeser menjadi Sabtu, karena Sya’ban istikmal?

Kalau syarat A, maka dapat dipastikan bahwa Kamis sore ini, hilal mestinya tidak kelihatan kecuali di Amerika Latin.  Jadi di Timur Tengahpun tidak.  Lihat gambar di http://www.icoproject.org/icop/ram33.html.

Bahwa bisa saja ada orang di wilayah yang mustahil melihat hilal, tetapi mengaku dan bersumpah telah melihat hilal, ya bisa saja.  Namanya juga klaim.  Kalau dia membawa bukti seperti foto dan sejenisnya, maka ini akan mengoreksi teori visibilitas hilal.  Tapi biasanya tidak ada bukti seperti itu.  Bahkan sebagian dari mereka malah menolak menggunakan alat, baik teleskop atau kamera, karena dinilai bid’ah, sedangkan rukyatul hilal adalah ibadah yang “tauqifi” (harus persis tatacaranya seperti di zaman nabi).  Secara syar’i, fiqih yang selama ini diadopsi oleh beberapa negeri Islam juga tidak mensyaratkan yang neko-neko, cukup seorang muslim aqil baligh, baca syahadat, lalu bersaksi, khalas, selesai.  Mahkamah Tinggi Saudi biasanya langsung meloloskan berita rukyat itu.  Andaikata Imam Bukhari menerapkan hal sejenis pada kesaksian hadits, maka akan banyak hadits dhaif yang lolos.  Oleh karena itu Imam Bukhari “menambah” beberapa syarat periwayatan.  Mungkin boleh juga, atau bahkan semestinya, penerima berita rukyat juga menambah beberapa syarat, misalnya test mata, test bentuk hilal dsb.  Selama ini sangat banyak pelaku rukyatul hilal, yang ternyata melihat ke arah yang keliru, atau menganggap hilal itu bentuk yang sama sekali lain.  Jadi, kalau mereka melaporkan sesuatu yang bukan hilal sebagai hilal, mereka tidak bohong, cuma keliru saja, saking rindunya pada bulan Ramadhan … 🙂

Apakah rukyatul hilal mestinya dikerjakan tiap bulan?  Rasulullah tidak memerintahkan seperti itu.  Fakta bahwa Rasul mensyariatkan rukyat untuk awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, berarti bahwa bulan yang lain tidak perlu dirukyat.  Justru karena rukyat itu, maka dalam 9 kali Rasul shaum Ramadhan, bulan Sya’bannya terpaksa diistikmalkan.  Sya’ban yang sebelumnya biasa 29 hari, jadi lebih sering 30 hari.  Akibatnya Syawalnya yang 29 hari.  7 dari 9 kali shaum Rasul itu cuma 29 hari.

Bagaimana kalau Anda menjadi penganut hisab?

Hisab semestinya dihasilkan juga dari rukyat jangka panjang.  Akan tetapi, karena rukyat sebelumnya mungkin kurang akurat, makin hari makin tipis syarat minimum “hilal mestinya bisa dirukyat”.  Jaman Al-Biruni 1000 tahun yang lalu, syarat hilal bisa dirukyat adalah 9 derajat!  Tetapi makin ke sini makin kecil, karena ada kesaksian hilal, saat menurut hisab masih 2 derajat.  Depag, NU dan beberapa ormas Islam memakai 2 derajat.  Mereka menggunakan 2 derajat untuk hisab kalender.  Dengan kalender hasil hisab itu, tanggal 29 sya’ban ditentukan.  Kalau kriterianya beda, kadang-kadang bisa beda 1 hari, meski di satu tempat.  Tetapi kalender hisab juga tergantung parameter tempat yang dihitung.  Jadi bisa saja, kalender di dua lokasi yang berjauhan, tgl 29 sya’bannya beda, meski kriterianya sama.  Ada yang jatuh hari Kamis, ada yang hari Jum’at.

Di Indonesia, yang pakai hisab mutlak tidak cuma Muhammadiyah.  Persis, Hidayatullah dan Al-Washliyah pakai hisab juga, tetapi hisab imkanur rukyat 2 derajat.  Sebenarnya secara astronomis, belum ada bukti ilmiah yang mendukung 2 derajat ini.  Tapi ya itulah faktanya.

Tapi itu masih mending daripada Muhammadiyah, yang pakai Wujudul Hilal (0 derajat), atau kalender Ummul Qura Mekkah tempo dulu, yang pakai ijtima’.  Supaya kelihatan legitimate secara syar’i, di Mekkah dan sekitarnya sering ada klaim rukyatul hilal — yang ini sering dibantah oleh astronom Saudi sendiri.  Tapi ya secara syar’i, sah diikuti, walaupun tidak wajib.  Di dunia ini saat ini kaum muslimin tidak punya Ulil Amri yang wajib diikuti, cuma boleh diikuti.  Soalnya, para Ulil Amri itu tidak ada yang punya komitmen untuk menegakkan syariat Islam secara total, semua baru parsial, bahkan sebagian malah memusuhi syariat Islam.

Jadinya ya kembali ke masing-masing.  Tiap diri bertanggungjawab kepada Allah atas keputusannya, mau ikut yang mana.  Yang penting kita berjuang bersama, agar khilafah yang menerapkan kembali syariat Islam segera tegak kembali, dan ada khalifah yang memutus perbedaan pendapat dalam persoalan publik di antara kaum muslimin ini.  Agar hanya ada 1 kriteria hisab, ada 1 kriteria laporan rukyat yang boleh diterima, 1 jalur informasi dan bahasa komunikasi yang akurat, dan ada 1 makna “rukyat global” yang operasional untuk seluruh dunia, yang faktanya setiap saat selalu ada 2 hari yang berbeda.

Mohon Maaf atas Semuanya, dan Selamat meningkatkan ibadah & amal sholeh di bulan Ramadhan!Salam!

 

rukyat di Tj. Kait …

Simulasi Rukyat Global – apakah mungkin Sholat Ied di hari yang sama?

Tuesday, August 2nd, 2011

Menjawab keraguan sebagian kalangan, karena di dunia ini 24 (atau bahkan maximum 26 daerah waktu) sehingga di dunia setiap saat selalu ada 2 hari. oke kita simulasikan begini: ada 6 kota: Samoa (di extrim Barat, GMT-11), New York (GMT-5), London (GMT+0), Makkah (GMT+3), Jakarta (GMT+7), dan Tonga (extrim timur, GMT+13 — bukan GMT+12).

Asumsikan “Ahad sore” (tanggalnya terserah, yang jelas 29 Ramadhan) mereka rukyat. Pasti yang rukyat duluan adalah Tonga. Baru 24 jam kemudian – kalau dibilang “Ahad sore” – adalah Samoa.

Kalau katakan di Tonga Ahad pukul 18 rukyat, dan hilal kelihatan.

Peristiwa ini diikuti secara on-line.

Tonga mengatakan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri.

Maka:

– di Jakarta masih Ahad pukul 12 siang; “besok” adalah Senin.

– di Makkah masih Ahad pukul 8 pagi; “besok” adalah Senin.

– di London masih Ahad pukul 5 pagi; “besok” adalah Senin.

– di NewYork masih Sabtu pukul 24 atau Ahad pukul 0 pagi; meski masih malam, tapi karena ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.

– di Samoa masih Sabtu pukul 18 sore, sama maghribnya dengan Tonga, tetapi ini malam 29 Ramadhan, maka disempurnakan dulu, jadi “besok” juga Senin.

 

Jadi rukyat global di Tonga akan menjadikan Sholat Ied di seluruh dunia sama-sama Senin.

Sekarang katakanlah di 5 kota dari Tonga hinga New York hilal tertutup awan, sehingga Ahad sore hilal tidak dapat terlihat, meski secara astronomi sudah di atas ufuk, dan itsbat memutuskan Ramadhan istikmal. Tetapi di Samoa hilal terlihat pada Ahad pukul 18 sore (29 Ramadhan), dan diumumkan “besok” (yaitu Senin) lebaran Iedul Fitri. Maka:

– di Tonga sudah Senin pukul 18 sore; sudah sama-sama Maghrib tapi hari Senin sudah selesai, sehingga “besok” adalah Selasa; bisa saja yang tadi sudah dilalui dan sudah dianggap tgl 30 Ramadhan dicancel dan dianggap 1 Syawal, agar kelanjutan hari kembali konsisten (Selasa 2 Syawal). Tetapi yang jelas, perayaan Iedul Fitri tidak bisa pada hari Senin yang sama.

– di Jakarta sudah Senin pukul 12 siang; bisa saja istikmal dicancel, tetapi sudah tidak mungkin sholat Ied lagi, jadi Senin ini sudah 1 Syawal, tetapi sholat Ied-nya baru besok.

– di Makkah sudah Senin pukul 8 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin pagi ini juga lebaran.

– di London sudah Senin pukul 5 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel, jadi Senin ini juga Lebaran.

– di New York masih Ahad pukul 24 atau Senin pukul 0 pagi; istikmal 30 Ramadhan bisa dicancel; jadi “besok” Senin Lebaran.

Jadi rukyat global di Samoa ternyata TIDAK BISA membuat hari sholat Ied di seluruh dunia sama; tetapi akan 2 hari yaitu Senin dan Selasa, lepas soal cancelling istikmal 30 Ramadhan.

Bagaimana kalau kita ambil kota di tengah yang rukyat? katakanlah dari Tonga sampai Mekkah gagal merukyat karena cuaca, tetapi London berhasil pada Ahad sore pukul 18 waktu London, maka:

– di Tonga sudah Senin pukul 7 pagi; istikmal dicancel, jadinya Senin ini juga lebaran.

– di Jakarta sudah Senin pukul 1 pagi; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.

– di Makkah masih Ahad pukul 21; istikmal dicancel, jadinya besok Senin lebaran.

– di New York masih Ahad pukul 13; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

– di Samoa masih Ahad pukul 7 pagi; sempurnakan hari, besok Senin lebaran.

Jadi rukyat global di London masih bisa menjaga kesamaan hari lebaran.

KESIMPULAN

Yang paling crucial memang bila rukyat yang berhasil adalah yang di “pojok barat” daerah penanggalan kita, yaitu Samoa.

PERSOALAN YANG ADA SELAMA INI BELUM SEJAUH ITU.

YANG SERING TERJADI ADALAH KLAIM RUKYAT YANG SECARA SAINTIFIK TIDAK VALID, MISALNYA TERKADANG ADA KLAIM RUKYAT PADAHAL BELUM IJTIMA’ ATAU TINGGI BULAN MASIH NEGATIF. MESKI TIDAK ADA FOTONYA, DAN ADA BESAR POTENSI KEKELIRUAN, NAMUN SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MASIH KEBERATAN UNTUK MENOLAK RUKYAT SEMACAM INI. SEBAGIAN PAKAR SYARIAH MENGANGGAP “MENOLAK RUKYAT DENGAN ALASAN ASTRONOMIS” ADALAH TIDAK SYAR’I. ALASANNYA, KARENA ASTRONOMI DIANGGAP BUKAN SESUATU YANG PASTI SEHINGGA BISA MEMBATALKAN KESAKSIAN. MEREKA BERPANDANGAN PENDAPAT PARA AHLI ASTRONOMI SUKA BERBEDA-BEDA, INI -MENURUT MEREKA- MEMBUKTIKAN ASTRONOMI TIDAK PASTI.

PADAHAL, DALAM MASALAH MENGHITUNG KAPAN IJTIMA’ ATAU TINGGI HILAL, PARA PAKAR ASTRONOMI TELAH SEPAKAT. YANG BERBEDA-BEDA ADALAH PERISTIWA ASTRONOMIS YANG MANA YANG DAPAT DIANGGAP SEBAGAI PERALIHAN TANGGAL HIJRIYAH, APAKAH IJTIMA’? APAKAH WUJUDUL HILAL? APAKAH IMKAN 2 DERAJAT? APAKAH IMKAN 5 DERAJAT?  DSB.

JADI BUKAN PADA MENGHITUNGNYA ITU SENDIRI.

SAYA SENDIRI BERPENDAPAT, UNTUK PEMBUATAN KALENDER, TIDAK USAH PAKAI HISAB ASTRONOMI.  PASTI HASILNYA AKAN BEDA-BEDA KARENA TERGANTUNG KOORDINAT LOKASI YANG DIHITUNG.  KITA KEMBALI SAJA KE KALENDER URFIAH YANG SUDAH DIPAKAI DI ZAMAN NABI.  TERUS RUKYAT HANYA KITA KERJAKAN PADA 29 SYA’BAN. 1 SYA’BANNYA SENDIRI TIDAK USAH DIRUKYAT, KARENA TIDAK ADA PERINTAHNYA.

WALLLAHU A’LAM