Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

“Godfather” Geodesi & Geomatika itu telah pergi selamanya

Tuesday, March 29th, 2011

Sebuah dentuman keras membuat tubuh seorang pemuda terlempar dari atas kapal dan terombang-ambing di laut lepas. Penumpang  lainnya terlihat bertebaran seperti titik-titik hitam yang timbul tenggelam diterjang ombak.

Pada sepotong papan dan semangat hidup yang terus menyala, pemuda yang tidak bisa berenang itu mengantungkan harapan hidupnya.

Selintas, peristiwa itu mirip kisah Jack Dawson yang diperankan apik oleh aktor Leonardo DiCaprio dalam film Titanic.

Tapi siapa yang menyangka bahwa kisah dramatis itu merupakan penggalan dari perjalanan panjang kehidupan Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc., salah satu perintis geomatika di Indonesia.

Perjalanan hidup Jacub Rais memang belum ditakdirkan berakhir dalam peristiwa yang terjadi pada 4 April 1944 itu. Padahal sebelum kapal meledak karena terkena torpedo, ia begitu ketakutan dan bersembunyi di belakang drum bahan bakar. Untung ada seorang Jepang memerintahkannya untuk maju ke ujung depan kapal.

Kehidupan Gurubesar Emeritus ITB kelahiran Sabang, 18 Juni 1928, itu memang diwarnai petualangan dan perjuangan. Dalam sebuah kegiatan semasa aktif di kepanduan Hisbul Wathan (HW), regu berkemahnya disatroni harimau. Ketika Kota Sabang mendapat serangan bom udara dari tentara Jepang pada Februari 1942, ia tidak mengubris perintah gurunya untuk masuk ke lubang perlindungan. Jacub Rais lebih memilih untuk pulang ke rumah, berlari kencang di tengah-tengah hujan bom dan mayat-mayat yang bergelimpangan.

Semasa Perang Dunia II, untuk mempertahankan hidup, ia ikut menjarah toko milik orang keturunan Tionghoa. Melihat hasil jarahannya, ibunya marah-marah karena stoples-stoples yang dibawanya pulang bukan berisi bahan makanan tetapi obat-obatan.

Semasa revolusi kemerdekaan, Jacub Rais ikut berjuang mengangkat senjata dengan menjadi Tentara Pelajar Aceh Detasemen Glee Genteeng. Pada waktu itu ia pernah mendapat tugas penuh resiko yaitu memasang detonator pada bom seberat 250 ton. Tapi, gelora perjuangan tak memadamkan semangatnya untuk belajar. Di sela-sela perang, ia masih menyempatkan diri untuk membuka buku-buku pelajaran goniometri, bahasa Inggris, fisika dan kimia.

Semangat belajar Jacub Rais memang sangat kental. Bahkan ketika hendak melanjutkan pendidikan ke pulau Jawa, karena tak punya cukup uang, ia nekad menjadi penumpang gelap. Perjalanan itu tak mulus karena ia sempat diusir oleh kapten kapal di Teluk Bayur, Padang.

Akhirnya secarik iklan tentang penawaran beasiswa untuk Jurusan Geodesi (Afdeling Geodesie) di “Universiteit van Indoenesia, Fakulteit der Technische Wetenschappen” (sekarang Institut Teknologi Bandung) membuka pintu jalan hidupnya untuk mengakrabi bumi. Selepas lulus ITB, pada Februari 1956, Jacub Rais langsung menduduki jabatan sebagai kepala Kantor Jawatan Pendaftaran Tanah (JPT) Semarang.

Dua tahun kemudian dunia kampus memanggil hatinya untuk kembali. Dorongan yang kuat itu membawanya bukan hanya menjadi dosen tapi terlibat dalam pendirian fakultas dan perguruan tinggi seperti pendirian Akademi Teknik di Universitas Semarang, merintis jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada dan pendirian Universitas Diponegoro.

Melalui dunia pendidikan itulah, diawali dengan kiprahnya di bidang Geodesi, Jacub Rais mengenalkan dan mengembangkan ilmu Geomatika yang relatif baru di Indonesia. Berbagai karya ilmiah dan pemikirannya yang berkaitan dengan Geomatika telah berhasil diaplikasikan di Indonesia.

Rasanya tak salah jika buku otobiografi ini bertajuk ”Jacub Rais 80 tahun, Merintis Geomatika di Indonesia”.

Komentar berbagai kalangan yang dimuat dalam buku ini seperti mengamini jasa dan kontribusi Jacub Rais dalam pengembangan Geomatika, bidang ilmu yang menyatukan  Geologi, Geodesi, Geografi, Geofisika, dan Informatika. Salah satunya adalah Dr. Ir. Tiene Gunawan Msc, Perencana Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Alam, konsultan independen untuk perencanaan spasial dan konservasi.

Menurutnya, ”Pak Rais tidak mengenal lelah dalam mengembangkan ilmu Geomatika karena beliau percaya bahwa ilmu itu dapat menyelesaikan banyak masalah yang berkaitan dengan keruangan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang kita miliki.”

Bahkan Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abidin, Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB mengatakan bahwa, “Dalam dunia Geodesi Geomatika di Indonesia, tidak dapat dipungkiri – Prof. Jacub Rais dapat diposisikan sebagai ‘godfather’”.

disunting dari e-Magazine Technology Indonesia, technologyindonesia.com

Pada 28 Maret 2011, Prof. Dr. Ir. Haji Jacub Rais, MSc. telah pergi selamanya menghadap Yang Maha Mendengar lagi Mengetahui.  Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima amalnya, dan menempatkannya bersama dengan orang-orang yang mulia di surga-Nya.  Amien.

Universitas Kelas Dunia

Sunday, August 1st, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun ajaran baru.  Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke jumlah penduduk baru 6%, menjadi sarjana masih menjadi cita-cita banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

Namun tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu.  Karena itu, informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah dia memiliki bakat yang dibutuhkan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu.  Ini karena perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari manca negara.  Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, misalnya oleh Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THES), ataupun Webometrics.  Aspek penilaian lainnya adalah jumlah paper internasional yang dihasilkan, penyerapan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan akses internet.

Para pemeringkat itu kemudian membuat ranking perguruan tinggi sedunia.  Terang saja, mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia.  Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?

Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya.  Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda, India.  Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi.  Di Amerika Serikat apa lagi.  Benua itu baru ditemukan tahun 1492.

Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah.  Berikutnya adalah Universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, meniru universitas di Baghdad dan Cordoba.  Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088.  Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-bukunya referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.

Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis.  Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di mesjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko.  Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.

Universitas ke dua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika.  Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengkultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.

Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti.  Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun!  Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.

Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Andalusia, Al Azhar mernjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat.  Wakafnya pun tak main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.

Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H / 1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri dari sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah.  Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.

Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat.  Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas.  Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam.  Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM).  Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam.  Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana.  Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.

Namun kita tetap optimis.  Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan.

Manajemen-Riset-para-Mujtahid

Wednesday, January 20th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Apa yang menyebabkan bangsa Indonesia tak punya daya saing ekonomi?  Sebagian orang menjawab, “kandungan teknologi dalam produk kita sangat rendah sehingga harganya murah”, dan “itu karena riset kita tidak kuat”, alasannya “anggaran riset kita hanya 0,2% dari APBN”.

Kalau masalahnya adalah uang, bagaimana kalau dicoba ditambah secara signifikan?  Pada tahun 2009 lalu, Departemen Pendidikan Nasional yang diguyur 20% APBN mengalokasikan dana riset yang sangat besar melalui Dirjen Pendidikan Tinggi.  Sebagian besar dana itu ditujukan kepada para dosen baik negeri maupun swasta, dan Rp. 400 milyar ditujukan pada para peneliti di Litbang Departemen di luar Depdiknas dan Lembaga Pemerintah Non Departemen.  Ternyata, cuma sekitar 250 milyar yang terserap.  Apa masalahnya?

Persoalannya adalah manajemen riset kita yang sangat jelek, yaitu aturan-aturan yang kontra produktif dan kultur birokrasi yang tidak kondusif.

Sebagai contoh, aturan tadi menyebutkan bahwa setiap peneliti maksimum hanya boleh diberi honor tambahan 4 jam perhari, @ Rp. 27.500,-.  Jadi kalau peneliti itu bekerja 5 hari seminggu dan 50 minggu setahun, dia hanya akan dapat tambahan Rp. 27.500.000,-  Dalam penelitiannya itu, tidak boleh ada pembelian alat atau barang modal.  Tidak boleh juga ada perjalanan ke luar negeri, sekalipun untuk mempresentasikan papernya di simposium ilmiah internasional.  Karena jatah setiap peneliti adalah Rp. 50 juta, maka sisa uang tersebut harus dipertanggungjawabkan untuk pengadaan bahan riset, pembelian alat tulis kantor, perjalanan dinas dalam negeri dan mengikuti atau mengadakan seminar di dalam negeri.  Dampak aturan ini: sekitar 3000 peneliti enggan mengajukan proposal.  Terkesan main-main saja.

Sementara itu, banyak hibah riset yang dikompetisikan secara internasional, yang juga tidak termanfaatkan oleh peneliti kita.  Pasalnya, salah satu kriteria seleksinya adalah rekam jejak manajemen riset yang baik.  Kalau muncul proposal dari berbagai institusi Indonesia yang tumpang tindih, maka itu indikasi manajemen riset di Indonesia amburadul.  Akibatnya, ribuan dana hibah riset bergensi di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang, lebih banyak dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti Cina dan India.  Dari negeri-negeri Islam sangat sedikit.  Dan Indonesia di nomor buncit.

Para peneliti kita lebih sering disibukkan oleh banyak hal di luar dunia riset.  Seorang akademisi dengan jenjang S3 (Doktor) kerap dianggap kampiun di segala hal, atau setidaknya punya kecerdasan di atas rata-rata, sehingga lebih sering diminta duduk di birokrasi atau setidakknya dalam berbagai tim dan kepanitiaan, sehingga tak sempat lagi fokus melakukan riset.  Dan mereka yang fokus riset pun hasil-hasilnya lebih sering tidak dipakai oleh para penentu kebijakan.  Kebijakan publik lebih didominasi oleh para pembisik, baik dari kalangan politik, pengusaha maupun paranormal.

Inilah wajah dunia riset kita.  Bagaimanakah dunia riset di masa keemasan Islam, di masa para mujtahid dan ilmuwan bersinergi menciptakan karya-karya peradaban yang sangat kreatif dan monumental hingga sekarang?

Riset di bidang sains dan teknologi tidak banyak berbeda dengan ijtihad seorang mujtahid di bidang hukum syara’.  Keduanya sama-sama mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mendapatkan jawaban suatu persoalan.  Yang satu persoalan teknis, yang lain persoalan hukum.  Mujtahid mencari jawaban itu dari dalil-dalil syara’, sedang ilmuwan mencarinya dari metode experimental (misalnya di bidang ilmu-ilmu alam) atau metode rasional untuk menurunkan pengetahuan baru dari pengetahuan yang sudah ada (misalnya di bidang matematika atau fisika teoretik).

Para cendekiawan muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subjek-subjek teknologis berdampingan dengan telaah-telaah teoretis.  Ini tampak misalnya dalam Mafatih al ‘Ulum karya al-Khwarizmi, Ihsa al-Ulum karya al-Farabi, al-Fihrist  karya ibn an-Nadim, Muqaddimah karya ibn Khaldun hingga Al-I’lam bi-manaqib al-Islam karya al-Amiri.  Dalam menggambarkan mekanika atau rekayasa Al-Amiri (wafat 991 M) menulis:

Mekanika adalah disiplin yang menerapkan matematika dan ilmu alam.  Mekanika memampukan seseorang mengambil air yang tersuruk di bawah tanah, juga mengangkat air dengan kincir atau air mancur, mengangkut barang-barang berat dengan sedikit tenaga, membangun lengkungan jembatan di atas sungai yang dalam dan melakukan banyak hal lain, yang jika disebutkan semua membutuhkan banyak ruang.

Ilmuwan dan rekayasawan (muhandisun) mendapatkan kedudukan yang tinggi.  Para khalifah dan sultan dekat dan hormat pada mereka.  Dan seperti para mujtahid, ilmuwan di masa itu juga berani menyampaikan fakta ilmiah, sekalipun boleh jadi bertentangan dengan opini masyarakat atau penguasa.  Sebagai contoh: al-Haitsam akhirnya menyimpulkan bahwa dengan teknologi saat itu sungai Nil mustahil dibendung, yang artinya proyek Sultan Mesir mesti dibatalkan.  Akibat sikapnya itu, dia harus mengalami tahanan rumah bertahun-tahun dengan tuduhan telah gila.  Ada sejarahwan yang menulis bahwa dia memang pura-pura gila untuk menghindari hukuman akibat wanprestasi.  Kedua hal ini tak pernah diklarifikasi.  Yang jelas, tidak mudah berpura-pura gila bertahun-tahun.  Faktanya selama dalam tahanan, al-Haitsam tak berhenti meneliti, dan hasilnya adalah kitab dasar-dasar optika.

Secara umum, meski penguasa politis silih berganti, namun komitmen pada dunia ilmiah nyaris tidak berubah.  Para ilmuwan disediakan dana yang nyaris tak terbatas, selama hasil penelitian mereka sebelumnya terbukti dapat diterapkan secara praktis.  Bahkan di bidang ilmu dasar seperti astronomi dan matematika pun para peneliti wajib menjadikan masyarakat paham, atau minimal “terhibur” dengan ilmu.  Majelis-majelis sains dan teknologi ramai dikunjungi khalayak.  Karena itulah orang-orang kaya juga terpancing ikut mensponsori penelitian.  Wakaf suatu perpustakaan atau laboratorium menjadi trend.  Sultan dan aghniya’ bersaing agar namanya diabadikan menjadi nama suatu tabel astronomi yang berguna dalam navigasi, nama atlas dunia baru, atau nama ensiklopedia baru.

Setiap kali seorang ilmuwan selesai menulis sebuah buku, buku ini langsung dilelang.  Tak sedikit aghniya yang menawar dengan emas seberat beberapa kali lipat timbangan buku itu.  Setelah dilelang, buku itu akan diserahkan ke perpustakaan dan ratusan waraqien, atau tukang salin, akan menyalinnya dengan tangan untuk disebar ke masyarakat.  Buku itu, beserta ilmu di dalamnya menjadi milik publik.  Dan sang ilmuwan, dengan emas yang didapatnya, dapat meneliti kembali untuk menghasilkan karya selanjutnya.

Hasilnya, pada saat kedatangan pasukan Mongol di Baghdad tahun 1258 M, koleksi buku di perpustakaan khalifah di Baghdad lebih dari dua juta buku!  Jumlah yang fantastik mengingat saat itu belum ada komputer dan mesin cetak.  Semua buku itu adalah manuskrip tulisan tangan.

Manajemen riset di dunia Islam masih berjalan baik hingga pertengahan era khilafah Utsmaniyah.  Namun riset yang dilakukan tinggal didominasi teknologi terapan, seperti di bidang arsitektur atau persenjataan, sedang riset dasar seperti fisika atau matematika nyaris terhenti.  Masyarakatpun sudah tidak antusias dengan dunia ilmiah.  Walhasil, ketika dunia Barat bangkit dengan riset dasar yang kuat, ilmuwan muslim merasa gagap mengejarnya.  Mereka menunggu suasana kondusif masyarakat maupun negara seperti di awal era khilafah muncul kembali.