Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Mencintai Bangsa dan Tanah Air

Sunday, October 28th, 2012

Bulan Maret 1987.

Kami, sekitar 250 calon penerima beasiswa LN OFP-Ristek, sedang ditatar P4 oleh BP7 Pusat.  Itu karena kami akan dikirim sekolah ke Luar Negeri dalam jangka waktu setidaknya 3 tahun. Maka, penataran P4 dimodifikasi sedemikian rupa, agar nasionalisme menancap di diri kami.  Beberapa pertanyaan seperti ini terlontar di forum:

– Ada nggak motivasi kenegaraan di dada Anda untuk belajar di LN ?

– Ada nggak rasa ingin menjadi pembaharu di Indonesia ?

– Apa yang Anda bilang bila di LN ada yang tanya tentang Pancasila ?

– Apa yang dapat Anda banggakan dari Indonesia ?

– Apa menurut Anda sumbangan Indonesia untuk dunia ?

– Bagaimana bila di sana ada musim protest, dan Anda jadi ketua Senat Mahasiswa ?

Tapi sebagaimana lazimnya penataran P4 di era Orde Baru saat itu, sebagian besar peserta menanggapinya dengan kurang serius.  Apalagi P4 ini hanya sekedar syarat.  Kalau tidak kebangetan, tidak akan ada yang tidak lulus.

Ketika kaki sudah menginjakkan bumi Eropa, kejutan demi kejutan mulai berdatangan silih berganti.

Yang pertama adalah sebuah kenyataan, bahwa alam Eropa itu ternyata sangat indah, bersih dan asri.  Di Indonesia kita mungkin memang dikaruniai alam yang lebih majemuk dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa.  Tetapi kita harus menerima dengan rendah hati kenyataan bahwa manusia kita belum bisa merawat anugrah Tuhan itu dengan baik, sehingga yang mestinya lebih indah itu menjadi jorok, kotor dan terbengkelai.

Yang kedua adalah juga kenyataan, bahwa orang Eropa itu ternyata sangat ramah, tulus dan siap membantu.  Di Indonesia kita dicekoki oleh mitos bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah.  Tetapi coba lihat saja tingkah bangsa kita di jalan raya, atau tingkah para birokrat di tempat-tempat pelayanan rakyat.  Mungkin mitos ramah dari bangsa kita itu karena murah senyum, tetapi faktanya, senyum itu sering karena ada maunya, atau karena ada kendala komunikasi.  Namun yang jelas, ketika kita mengenal orang Eropa, ternyata mereka tidak kurang ramahnya, tidak kurang senyumnya, dan yang membuat aman, mereka lugas, tidak menyembunyikan maksud-maksud tertentu.

Yang ketiga adalah fakta, bahwa nyaris dalam segala aspek kehidupan, masyarakat Eropa memang lebih unggul dari bangsa kita.  Dalam politik, mereka lebih bisa bertatakrama.  Demokrasi bisa berjalan di masyarakat mereka, tanpa ekses-ekses negatif seperti money politik atau biaya tinggi, yang di Indonesia berujung pada korupsi.  Para pemimpin mereka lebih bisa berbaur dengan masyarakat.  Kritik bahkan demonstrasi biasa, tanpa anarki.  Seorang Menteri bahkan biasa berangkat ke kantor naik angkutan umum.  Di sisi lain kapitalisme pasar bebas bisa berfungsi mengoptimalkan ekonomi tanpa melebarkan jurang kesenjangan sosial, bahkan seraya tetap menjaga kelestarian lingkungan.  Mungkin di Eropa memang ada semacam penyeimbang yang berangkat dari mazhab sosialisme (eco-social-free-market).  Semua orang yang bekerja mendapatkan imbalan yang fair.  Dan negara peduli pada kelompok sosial yang sedang tidak beruntung, sehingga untuk mereka diberikan santunan dan berbagai kemudahan lain.  Kemudian, meski pemeluk Islam sangat minoritas, dan hari raya Islam belum menjadi hari libur, tetapi pada umumnya praktek ibadah tidak dihalangi.  Muslimah memakai jilbab tidak didiskriminasi, bahkan di pasfoto dokumen resmi.  Hal yang justru saat itu masih sulit dilakukan di Indonesia.  Bahkan di dinas ketentaraan-pun, prajurit yang muslim bisa diberikan ransum halal.

Kalaupun ada yang kita anggap negatif di Eropa adalah gaya hidup bebas (liberalisme).  Pasangan kumpul kebo bukan tabu di sana.  Bahkan juga terjadi di antara orang baik-baik, misalnya kalangan akademiisi.  Tetapi para pelaku di Eropa relatif “tahu diri”, sehingga tidak banyak ekses negatif seperti kekerasan atau aborsi.    Jumlah aborsi per pasangan kumpul kebo, atau bahkan per populasi, mungkin jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di Eropa.  Demikian juga konsumsi minuman keras.  Penduduk Eropa jelas konsumen minuman keras yang fanatik.  Hampir tiap acara makan akan didampingi setidaknya bier, kadang juga wine.  Tetapi mereka juga “tahu diri”.  Sangat sedikit yang kemudian bawa kendaraan sambil mabuk.  Dan sekalipun semalaman mereka mabuk, esoknya mereka sudah bisa bekerja keras lagi dengan tingkat kualitas yang tinggi.

Jadi apa lagi yang masih bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia?

 

Kadang-kadang, kita merasa bangga masih memiliki seni budaya yang eksotik.  Kita punya batik, gamelan, angklung, tari-tarian dan sebagainya.  Tetapi ketika diadu dengan kesenian mereka yang memang sudah mendunia (misalnya Symphony V Beethoven atau Johan Strauss dalam New Year Concert), kita masih merasa keciiiil sekali.  Bahkan kita kadang bangga dengan Bhinneka Tunggal Ika, dengan Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia, dengan Pancasila, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa semua masih dalam teori.

Kenyataan ini membuat kita jadi mengerti, kenapa ketika upacara Sumpah Pemuda atau 17-Agustus di KBRI, tidak muncul rasa haru yang patriotik di kalangan orang-orang Indonesia.  Yang muncul justru lagu Indonesia Raya yang terbata-bata, Pancasila yang agak lupa, dan Sumpah Pemuda yang “entahlah apa relevansinya”.  Bagi mereka yang menetap di Luar Negeri, negara itulah tanah airnya, bahasa di situlah bahasanya, sedang bangsanya?  tergantung, dengan siapa mereka menikah!  Kalau mereka menikahi warga setempat, ya akan susah bicara “bangsa Indonesia”.

Tentang “budaya bangsa”, bukankah budaya itu sebuah proses yang dinamik?  Apa yang hari ini kita sebut “budaya Indonesia”, sejatinya berabad-abad yang lalu adalah budaya Cina, budaya Arab, budaya India dan sebagainya.  Maka tidak mustahil apa yang saat ini kita cemooh sebagai “budaya Barat”, suatu saat bisa menjadi “budaya Indonesia”.  Masih mending kalau itu budaya tepat waktu, budaya bekerja profesional, atau budaya anti korupsi.  Tetapi bagaimana dengan budaya minum bier, budaya kumpul kebo atau budaya hidup bebas lainnya ?  Kalau sudah begini, maka rasa-rasanya nasionalisme kita mulai goyah.  Nasionalisme kita mulai kehilangan pijakan.

Apalagi ketika mahasiswa sudah kenal bekerja di Eropa.  Ternyata bekerja di Eropa sangat enak.  Ada fairness yang sangat tinggi.  Orang dihargai benar-benar sesuai prestasinya.  Tidak kena PGPS layaknya PNS di Indonesia.  PGPS = Pintar Goblog Penghasilan Sama.  🙂  Orang juga tidak perlu menyuap untuk mendapatkan kesempatan, atau korupsi sekedar agar hidupnya tercukupi.  Tidak perlu.  Maka banyak mahasiswa yang semula dikirim dengan beasiswa pemerintahpun akhirnya enggan untuk pulang.  Mereka lebih memilih tetap tinggal di Luar Negeri, hidup dengan lebih berkualitas di masyarakat yang lebih berkualitas.  Sebagian bahkan telah memiliki permanent resident atau bahkan pindah kewarganegaraan.  Untuk mengurangi rasa bersalah, kadang-kadang mereka mencarikan beasiswa atau kesempatan sejenis bagi mahasiswa Indonesia.  Atau mereka membangun jejaring dengan institusi di Indonesia untuk berbagi informasi atau teknologi.

Sebagian dari mereka ada yang pulang ke tanah air dan sempat bekerja mengabdikan ilmunya di lembaga pemerintah.  Tetapi  budaya yang masih kurang sehat di birokrasi membuat mereka tidak bertahan, dan akhirnya hengkang mengabdi kepada perusahaan asing yang lebih bonafid dalam segala-galanya.

Apakah mereka kurang nasionalisme ?

Nasionalisme yang seperti apa ?

Pada akhirnya memang cinta bangsa dan tanah air ini harus dibuktikan melalui sejumlah ujian.

Dan ujian yang paling tepat adalah ketika ada konflik kepentingan.  Ketika tawaran bekerja di LN dengan gaji tinggi dan fairness disandingkan dengan mengabdi di Indonesia dengan gaji “penghinaan” dan sering terdholimi – tetapi bekerja di LN itu lebih memberikan manfaat kepada masyarakat mereka yang sudah maju dan makmur, sedang mengabdi di Indonesia pasti memberikan manfaat kepada masyarakat kita yang sedang berkembang dan belum makmur. Ujian yang lebih nyata lagi adalah ketika kita menjadi anggota tim negosiator suatu perjanjian antar negara, yakni ketika kita harus mempertahankan prinsip di tengah-tengah tawaran pribadi yang menarik ataupun ancaman pribadi yang menakutkan.  Contoh misalnya dalam persoalan konvensi-konvensi internasional, atau rencana pinjaman Luar Negeri, di situ komitmen cinta bangsa dan tanah air benar-benar diuji.

Tetapi tunggu dulu!  Kadang-kadang, mereka yang dikritik sebagai “penggadai” bangsa dan negara, sejatinya pada saat perundingan juga merasa sedang mencintai bahkan memperjuangkan bangsa dan tanah air.  Mereka memperjuangkan agar Indonesia mendapatkan hutang dari IMF atau Bank Dunia, tanpa menyadari bahwa dalam jangka panjang itu akan menjerat lehernya sendiri.  Mereka merasa sedang berjuang untuk Indonesia ketika meminta agar Freeport memperpanjang kontraknya di Papua, karena merasa itu akan memberikan sumbangan yang besar bagi ekonomi Indonesia, tanpa menyadari, bahwa Indonesia bisa memperoleh manfaat yang lebih besar dengan mengolah sumberdaya alam itu sendiri, tanpa campurtangan asing.

Karena itu, mencintai bangsa dan tanah air memang fitrah, karena setiap orang pasti memiliki ikatan emosional dengan orang-orang dan lingkungan yang telah membesarkannya, tapi ini masih belum cukup untuk menentukan sikap yang benar.  Kita masih memerlukan kecerdasan dan level berpikir yang lebih tinggi, sehingga dari sikap cinta yang emosional itu muncul tindakan atau aksi rasional yang tepat yang dapat menjadikan kita benar-benar bangkit, lepas dari keterpurukan dan bahkan kemudian mengungguli bangsa-bangsa yang telah maju saat ini. Capaian-capaian prestasi kita di kancah dunia pasti akan membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia.  Kalau itu sudah terjadi, maka tak perlu lagi kita ribut-ribut soal nasionalisme.  Semuanya akan berjalan secara alami.  Ini sangat terasa misalnya ketika kita menorehkan prestasi dalam Olympiade Fisika Internasional, atau karya saintifik anak bangsa ternyata menjadi rujukan seluruh pakar dunia, atau gagasan-gagasan kita di bidang hukum laut internasional ternyata diikuti oleh PBB (UNCLOS).  Tetapi prestasi-prestasi cemerlang ini semua muncul karena level berpikir yang lebih tinggi, bukan berpikir emosional, sekalipun itu bernama nasionalisme.

Kegagalan Kebangkitan ala Indonesia

Monday, May 21st, 2012

Definisi Kebangkitan

Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.

Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.

Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.

Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.

Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya.  Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain.  Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain.  Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain.  Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut.  Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan  besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih.  Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.

Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan.  Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?

Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya.  Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai.  Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.

Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain.  Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.

Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya.  Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif.  Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.

Peta Kebangkitan Dunia

Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika.  Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”.  Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.

Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris.  Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda.  Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.

Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia.  Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua.  Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar.  Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya.  Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.

Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2.  Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela.  China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri.  Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri.  Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.

Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3.  Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman.  Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.

Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3.  Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu.  Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai.  Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana.  Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.

Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan.  Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb.  Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing.  Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif.  Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden.  Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi.  Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll,  Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.

Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi.  Perang Saudara dapat diredam.  Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali.  Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“)  investor asing.  Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.

Faktor Ideologi

Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3.  Amerika bangkit dengan kapitalisme.  Soviet dulu bangkit dengan sosialisme.  Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.

Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri.  Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari.  Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet.  Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.

Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya.  Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap.  Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.

Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3.  Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan  pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.

Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah.  Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.

Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih.  Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.

Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan.  Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.

Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll).   Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia.  Itulah kebangkitan yang kita dambakan.

Penyatuan Daerah Waktu Justru Merugikan

Tuesday, May 15th, 2012

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial

Kalau hari ini seseorang mentransfer uang lewat Bank pada pukul 14.30 dari Jakarta ke Jayapura, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu keesokan harinya.  Dan kalau transfer itu dilakukan pada Jum’at siang, maka dapat dipastikan penerimanya baru dapat menggunakan uang itu Senin pagi.  Hal ini karena perbedaan daerah waktu.  Pada pukul 14:30 di Jakarta (WIB), maka di Jayapura (WIT) sudah pukul 16:30, dan Bank sudah tutup.  Sekalipun sekarang orang bisa menggunakan ATM atau internet-banking, tetapi tetap saja untuk transaksi dalam jumlah besar, kliring hanya dapat dilakukan pada jam buka Bank.

Inilah, dan juga hal-hal sejenis yang terjadi di bursa atau Pasar Modal, yang mendasari gagasan penyatuan daerah waktu.  Ketika WIB, WITA dan WIT disatukan menjadi Waktu Indonesia (WI), di mana yang dijadikan acuan adalah WITA, maka jam 8 di Sabang adalah juga jam 8 di Merauke.  Eloknya lagi – menurut penggagasnya – WI ini juga sama dengan waktu Malaysia dan Singapura yang saat ini sudah sama dengan WITA, yaitu GMT+8.  Saat ini, meski Singapura ada di sebelah barat Batam, tetapi Singapura menggunakan waktu sejam lebih awal dari Batam.  Jadi, bila kita menggunakan WI, kita tak akan lagi dirugikan secara finansial dari “ketertinggalan kita dari Singapura”.  Selama ini, “di Singapura orang sudah rajin berdagang, kita baru berangkat ke kantor, atau bahkan masih tidur…”

Kerugian karena keterlambatan mencairkan transfer atau mengikuti perdagangan di bursa itu konon bisa bernilai trilyunan Rupiah, sehingga gagasan penyatuan daerah waktu akan menguntungkan kita Trilyunan Rupiah.

Tetapi benarkah demikian?

Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh 46 derajat Bujur, atau perbedaan waktu matahari sebesar rata-rata 184 menit.  Setiap perbedaan 1 derajat bujur setara dengan waktu 4 menit.  Ini artinya, jam astronomis (yaitu waktu terbit/terbenam matahari) di Sabang 3 jam 4 menit terlambat dibanding Merauke.

Jam astronomis ini langsung tampak dalam jadwal sholat dan puasa yang diikuti umat Muslim yang merupakan 85% rakyat Indonesia.  Dan jam astronomis ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada ritme biologis (yaitu jam tidur dan jam makan) nyaris seluruh rakyat Indonesia, baik mereka sholat ataupun tidak.  Apa ini artinya?

Kalau Waktu Indonesia diberlakukan dan mengacu pada WITA, maka perbedaan waktu matahari bagi tempat di ujung barat adalah 92 menit terlalu akhir, dan bagi tempat di ujung timur adalah 92 menit terlalu awal.

Secara praktis, dibandingkan dengan zona waktu yang dipakai sekarang, maka di WIB segalanya menjadi 1 jam terlalu awal.  Kalau biasanya sekolah mulai pukul 7 WIB, dan anak-anak berangkat ke sekolah pukul 6.30 WIB, maka setelah WI diberlakukan dan jadwal sekolah tetap, mereka akan berangkat pukul 5.30 WIB.  Di wilayah Jabotabek, pukul 5.30 itu matahari belum terbit!  Di Aceh bahkan waktu Shubuh belum masuk!

Sebaliknya di Papua, sekolah jadi mulai pukul 8 WIT.  Demikian juga, kantor yang semula masuk pukul 8 WIT, menjadi pukul 9 WIT, sudah sangat siang.  Kebalikannya, jam pulang yang semula – misalnya pukul 17 WIT, menjadi pukul 18 WIT.  Sudah cukup gelap, dan mungkin menyulitkan bagi perjalanan di desa-desa pelosok.

Dan kalau saat ini perkantoran biasa istirahat pukul 12-13 untuk istirahat, sholat dan makan, dan nanti jam istirahat ini tetap, maka setelah waktu Indonesia diberlakukan, di bekas WIB, waktu sholat dhuhur baru akan masuk pukul 13 WI.  Kalau mereka menunggu sholat dhuhur, maka mereka akan terlambat bekerja lagi.  Pemborosan.  Sementara bila waktu istirahatnya yang digeser menjadi katakanlah pukul 13-14, sedang masuk bekerja pukul 8, tentu laparnya sudah sulit tertahankan.  Jelas ini masalah.

Sebenarnyalah, di Malaysia atau Singapura yang zona waktunya sama dengan WITA, jam kerja dimulai pukul 9, istirahat pukul 13-14, dan pulang kantor pukul 17.  Praktis tak ada bedanya dengan WIB.  Jadi ternyata tidak benar mitos bahwa mereka “sudah berdagang, kita baru berangkat ke kantor”.

Dilihat dari manfaatnya, yang akan menikmati penyatuan daerah waktu hanya sektor keuangan, yang di Indonesia jumlahnya hanya 1,5 juta jiwa.  Sedang lebih dari 100 juta orang yang bekerja di sektor lainnya, atau puluhan juta anak sekolah akan mengalami kesulitan.  Kalangan penerbangan konon sudah keberatan dengan rencana ini karena pasti akan mengalami transisi dengan sekian banyak persoalan.

 Jadi akan lebih bijaksana kalau tidak perlu ada penyatuan daerah waktu, tetapi cukup perubahan jam buka khusus sektor keuangan.

Zona waktu memang diperlukan ketika dunia sudah terhubung, terutama sejak ditemukannya telegrafi dan kereta api di akhir abad-19.  Tanpa zona waktu, maka setiap daerah akan memiliki jam sendiri-sendiri, sehingga pengaturan jadwal kereta api ataupun jam kirim telegrafi antar dua kota yang berjauhan jadi sangat sulit.  Dalam prakteknya, pengaturan zona waktu itu wajib mempertimbangkan aspek politis, ekonomi, budaya dan ritme hidup masyarakatnya, termasuk aspek ritual agama.