Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Teknologi Kelautan untuk Negara Adidaya

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Indonesia adalah negara kepulauan.  Konon ada lebih dari 13.000 pulau di sana.  Garis pantainya lebih dari 90.000 kilometer.  Luasnya hampir delapan juta kilometer persegi.  Namun hasil laut kita cuma sepersepuluh Cina yang negara benua.  Demikian juga Angkatan Laut kita teramat kecil, jauh lebih kecil dari Angkatan Darat.  Kapal perang hanya 148 dari jumlah ideal 500 untuk menjaga seluruh batas perairan.  Dan itupun tidak semua berlayar.  Ada yang tidak lengkap suku cadangnya atau tidak punya solar.  Kita cuma punya dua kapal selam, padahal Singapura yang hanya sebuah pulau kecil saja punya 20 kapal selam.  Tak heran jika hasil laut kita lebih banyak dijarah kapal-kapal asing (illegal fishing).  Dan kita tidak mampu berbuat banyak.  Bagaimana mau mengejar kalau kapal-kapal asing itu dapat berenang lebih cepat?

Mungkin semua ini karena kita tidak punya visi negara adidaya.  Sebuah negara adidaya, atau yang bervisi menjadi adidaya, pasti membangun kekuatan lautnya.  Amerika Serikat contohnya.  Angkatan laut AS jauh lebih besar dari angkatan daratnya.  Juga Cina yang galangan kapalnya mampu membangun 400 kapal setiap tahun!  Dan jangan lupa: Daulah Islam pun ternyata demikian.

Adalah Umar bin Khattab yang memutuskan membangun armada muslim demi menghadapi Romawi.  Romawi memiliki jajahan-jajahan di seberang lautan seperti Afrika Utara dan Timur Tengah.  Mencapai negeri-negeri itu lewat darat sangat tidak efisien.  Karena itu, untuk mematahkan Romawi, kaum muslim harus membangun angkatan laut.

Suatu angkatan laut terbangun dari beberapa bagian.  Ada pelaut yang mengoperasikan kapal.  Ada marinir yang akan diturunkan dari kapal untuk masuk ke daratan dan bertempur menaklukkan sebuah wilayah.  Ada navigator yang memberi orientasi di mana posisi kapal berada dan kemana mereka harus menuju.  Ada petugas isyarat yang melakukan komunikasi ke segala pihak yang dianggap perlu baik di laut maupun di darat.  Ada teknisi mekanik yang menjaga agar kapal tetap berfungsi.  Ada bagian logistik yang menjamin bahwa kapal tetap memiliki kemampuan dayung atau layar yang cukup.  Kalau sekarang berarti pasokan bahan bakar, makanan dan air tawar.  Dan ada bagian administrasi yang menjaga agar seluruh perbekalan di laut tertata dan digunakan optimal.  Seluruh hal-hal di atas telah dan tetap dipelajari di semua akademi angkatan laut dari zaman Romawi hingga kini.

Ketika angkatan laut muslim pertama dibangun, modal pertamanya jelas keimanan.  Mereka termotivasi oleh berbagai seruan Qur’an ataupun Hadits Rasulullah, bahwa kaum muslim adalah umat yang terbaik dan bahwa sebaik-baik pasukan adalah yang masuk Konstantinopel atau Roma.  Motivasi mabda’i ini yang menjaga semangat mereka mempelajari dan mengembangkan berbagai teknologi yang dibutuhkan.  Maka sebagian kaum muslim pergi ke Mesir untuk belajar astronomi.  Mereka mengkaji kitab Almagest karangan Ptolomeus agar dapat mengetahui posisi lintang bujur suatu tempat hanya dengan membaca jam dan mengukur sudut tinggi matahari, bulan atau bintang.  Ada juga yang pergi ke Cina untuk belajar membuat kompas.  Sebagian lagi mempelajari buku-buku Euclides sang geografer Yunani untuk dapat menggambar peta.  Jadilah mereka orang-orang yang dapat menentukan posisi dan arah di lautan.

Kemudian pembuatan kapal menjadi industri besar di negeri-negeri Islam, baik dalam konstruksi kapal dagang maupun kapal perang.  Selain galangan kapal utama, terdapat galangan-galangan pribadi di pingir sungai-sungai besar dan di sepanjang pantai di daerah Teluk dan Laut Merah.  Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik yang kecil hingga kapal dagang besar dengan kapasitas lebih dari 1000 ton dan kapal perang yang mampu menampung 1500 orang.  Menulis pada abad-4 H (abad 10M), al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Semua kapal muslim mencerminkan karakteristik tertentu.  Kapal dagang biasanya berupa kapal layar dengan rentangan yang lebar relatif terhadap anjangnya untuk memberi ruang penyimpanan (cargo) yang lapang.  Kapal perang agak lebih ramping dan menggunakan dayung atau layar tergantung fungsinya.  Semua kapal dan perahu itu dibangun dengan bentuk papan luar rata (carvel-built), yaitu kayu-kayu diikatkan satu sama lain pada sisi-sisinya, tidak saling menindih sebagaimana lazimnya kapal dengan bangun berkampuh (clinker-built) di Eropa Utara.  Kemudian kayu-kayu itu didempul dengan aspal atau ter.  Tali untuk menambatkan kapal dan tali jangkar terbuat dari bahan rami, sedangkan salah satu pembeda dari kapal-kapal muslim adalah layar lateen yang dipasangkan pada sebuah tiang berat dan digantung dengan membentuk sudut terhadap tiang kapal.  Layar lateen tidak mudah ditangani, tetapi jika telah dikuasai dengan baik, layar ini memungkinkan kapal berlayar lebih lincah daripada layar persegi.  Dengan demikian kapal muslim tidak terlalu banyak mensyaratkan rute memutar saat menghindari karang atau badai, sehingga total perjalanan lebih singkat.

Begitu banyaknya kapal perang yang dibangun kaum muslim di Laut Tengah, sehingga kata Arab untuk galangan kapal, dar al-sina’a, menjadi kosa kata bahasa Eropa, arsenal.  Perhatian para penguasa muslim atas teknologi kelautan juga sangat tinggi.  Sebagai contoh, Sultan Salahuddin al Ayubi (1170 M) membuat elemen-elemen kapal di galangan kapal Mesir, lalu membawanya dengan onta ke pantai Syria untuk dirakit.  Dermaga perakitan kapal ini terus beroperasi untuk memasok kapal-kapal dalam pertempuran melawan pasukan Salib.

Uji kualitas atas bahan-bahan pembuat kapal seperti kayu sant (Acacia Nilotica), juga rami untuk bahan tali dan tekstil terpal untuk layar, dilakukan dengan ketat agar kapal yang dihasilkan juga bermutu tinggi.

Di sisi lain, para pujangga menulis kisah-kisah para pelaut dengan menawan, seperti hikayat Sinbad yang populer di masyarakat.  Di luar sisi-sisi magis yang sesungguhnya hanya bumbu cerita, kisah itu mampu menggambarkan kehidupan pelaut secara real sehingga menarik jutaan pemuda untuk terjun ke dalam berbagai profesi yang terkait kelautan.

Tanpa teknologi kelautan yang handal, mustahil daulah Islam yang sangat luas itu mampu terhubungkan secara efektif, mampu berbagi sumberdayanya secara adil, dan terus memperluas cakupan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia, termasuk hingga ke Nusantara.  Dengan teknologi kelautan, negara khilafah mampu bertahan beberapa abad sebagai negara adidaya.

 

 

Kapal dengan type layar lateen

 

 

Kapal khas arab

Gelombang Pasang & Perlindungan Pantai

Sunday, June 10th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Jum’at 18 Mei 2007 dan sebagian hingga Senin 21 Mei 2007, berbagai daerah di Indonesia dikejutkan oleh gelombang pasang.  Ombak setinggi 2-3 meter telah menyapu kawasan pantai, bahkan masuk ke daratan hingga 50-200 meter.  Berbeda dengan tsunami yang selalu didahului dengan gempa di dasar laut, gelombang pasang ini praktis tidak terdeteksi dari awal.  Akibatnya penduduk pantai hanya dapat pasrah menyaksikan rumah-rumah mereka tergerus gelombang, tambak mereka rusak, dan perahu-perahu mereka terseret ke tengah laut.

Banyak teori dilontarkan untuk menjelaskan fenomena alam tersebut.  Teori-teori ini dibangun dari analisis data yang ada, yang meliputi data pasang surut paras laut, kecepatan angin hingga temperatur permukaan laut.  Tidak semua analisis itu dianggap memuaskan oleh para ilmuwan.  Di antara teori tersebut yang paling kuat adalah bahwa gelombang pasang ini merupakan sinergi dari tiga fenomena yang terjadi serentak yakni: (1) Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali.  Pada 17 Mei terjadi bulan baru sehingga bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum), sehingga kombinasi gravitasi keduanya mampu mengangkat air hingga mencapai pasang maksimal.  (2) Gelombang Kelvin – yakni gelombang di samudra atau atmosfir yang mengimbangi gaya Coriolis (gaya akibat rotasi bumi).  Gaya ini mengarah dari masing-masing kutub ke equator dengan tendensi ke timur dengan kecepatan tetap, hingga membentur pantai atau saling berbenturan dengan gelombang Kelvin dari arah yang berlawanan di equator. (3) Gelombang Swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih besar daripada riak (ripples).  Angin terjadi karena perbedaan tekanan udara akibat perbedaan pemananasan.  Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan yang berbeda.

Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-masing pada kondisi maksimum, menghasilkan gelombang yang maksimum pula.  Ketika gelombang ini bertemu topografi dasar laut yang melandai di dekat pantai, puncak gelombang ini akan tampak membesar, sehingga ketika menghantam pantai menimbulkan bencana yang mengerikan.

 

Perlindungan Pantai

Lepas dari penyebab gelombang pasang dan mekanismenya yang barangkali masih menarik bagi para peneliti hingga beberapa saat ke depan, yang harus kita siapkan adalah sistem antisipasinya.  Perlindungan kawasan pantai memang sudah saatnya menjadi perhatian serius negeri ini, mengingat panjang garis pantainya lebih dari 81.000 kilometer.  Gelombang pasang, tsunami, dan abrasi mengancam di banyak lokasi.  Lebih dari itu perubahan ekosistem pantai karena pendangkalan (sedimentasi) maupun pencemaran masih terus terjadi.

Sistem pertahanan alam yang paling efektif sebenarnya adalah hutan bakau (mangrove).  Keberadaan mangrove di lepas pantai dapat meredam gelombang pasang bahkan tsunami hingga kekuatannya tinggal sepertiganya.  Keberadaan mangrove juga mampu menjaga lingkungan pantai dari abrasi.  Mangrove juga menjadi habitat dari banyak organisme pantai, sehingga kerusakan mangrove bisa berarti kepunahan keragaman hayati.

Namun derap kapitalisme telah membuat kerusakan mangrove kita sangat cepat.  Selain terjadi konversi besar-besaran area mangrove menjadi tambak atau pemukiman, kerusakan mangrove juga terjadi karena penjarahan untuk dijadikan kayu bakar akibat mahalnya bahan bakar minyak.  Di beberapa lokasi, pantai bahkan diurug (direklamasi) dengan mengorbankan lahan yang sebelumnya tumbuh mangrove.

Saat ini tidak mudah untuk mendapatkan data luas mangrove yang tersisa secara nasional, apalagi mendapatkan data perkembangannya dari tahun ke tahun.  Kerusakan memang kasat mata bila kita mendatangi lokasi-lokasi yang dulu diketahui memiliki mangrove, namun untuk menghitungnya secara nasional diperlukan data dari citra satelit. Karena ”sabuk” mangrove di pantai sebenarnya tidak terlalu lebar, maka perlu citra satelit resolusi tinggi untuk dapat merekamnya. 

Untuk dapat melakukan pencegahan atau mitigasi dari bencana yang mengancam kawasan pantai, pemerintah dapat melakukan pemetaan daerah rawan (zonasi).  Secara umum, kawasan-kawasan budidaya (permukiman, tambak, infrastruktur) di pantai yang landai, menghadap laut lepas tanpa pelindung seperti pulau atau karang, serta tidak memiliki mangrove, adalah zona-zona rawan.  Kawasan itu perlu mendapatkan persiapan khusus untuk menghadapi bencana dari arah laut. 

Selain mitigasi, sistem peringatan dini (early warning system) sebaiknya juga dibangun.  Pasca tsunami Aceh 2004, memang ada usaha dari pemerintah untuk membangun TEWS (tsunami early warning system).  Hanya saja sistem yang terdiri dari GPS, seismometer, sensor tekanan air di dasar laut, stasiun pasang surut dan super komputer ini memang belum tuntas terkoneksi satu dengan yang lain, apalagi siap dioperasikan di lapangan.  Namun andaikata sudah lengkappun, sistem ini hanya efektif untuk tsunami, belum untuk gelombang pasang.

Untuk gelombang pasang sepertinya perlu ada tambahan dan modifikasi di beberapa elemen TEWS.  Sistem ini misalnya harus memasukkan data pantauan temperatur laut hingga ribuan mil di seputar Indonesia, sehingga munculnya gelombang Swell dapat terdeteksi.  Pelampung (buoys) yang terhubung ke sensor tekanan dasar laut juga mestinya tidak hanya berfungsi sebagai pengirim data ke pusat pengolah data TEWS namun juga sensor gelombang itu sendiri.  Bahkan jumlah buoys ini harus ditambah cukup signifikan untuk ”memagari” pantai kita – tidak hanya menghadap ke arah patahan lempeng kontinen yang potensial terjadi gempa dan tsunami, tetapi juga ke segala arah potensial datangnya gelombang Kelvin dan gelombang Swell. 

Yang disesalkan, andaikata sistem ini telah terbangun, kita bisa jadi belum bisa merawatnya.  Tanpa edukasi ke masyarakat yang intensif, sistem ini barangkali dalam waktu singkat akan tidak operasional lagi.  Saat ini saja, banyak buoys milik Dirjen Perhubungan Laut yang hilang dicuri orang, padahal buoys itu hanya berfungsi sebagai rambu-rambu pelayaran dan tidak memiliki komponen elektronik yang mahal seperti untuk TEWS.

Dengan demikian, perlindungan pantai memang memerlukan tindakan yang komprehensif.  Teknologi bisa saja berguna untuk meredam dampak bencana.  Namun dalam jangka panjang perlu langkah-langkah rekondisi masyarakat agar mereka peduli bencana, termasuk hanya mengkonversi kawasan pantai dengan menyiapkan mitigasinya, tidak merusak atau menghilangkan alat-alat yang dipasang untuk sistem peringatan dini, juga tidak membuat politik ekonomi yang berakibat mangrove semakin cepat musnah.

Sementara itu hanya dengan penerapan syariat Islam yang mengatur masalah pantai sebagai kepemilikan umum (yang siapapun seharusnya memiliki akses dan menarik manfaatnya), sehingga tidak secara sembrono dikonversi menuruti keinginan para kapitalis, maka pantai kita akan lebih lestari, untuk dapat kita wariskan ke anak cucu kita.

 Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional.  Tulisan ini adalah pendapat pribadi.