Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Ketahanan Energi

Saturday, July 27th, 2013

Oleh: Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Badan Informasi Geospasial

fahmi-amhar-ketahanan-energiAntrian BBM di SPBU kini telah menjadi pemandangan sehari-hari di banyak wilayah tanah air.  Kalau antrian ini hanya terjadi secara insidental dan lokal, mungkin ini hanya masalah teknis belaka.  Tetapi karena ini gejala nasional dan berlarut-larut, maka ini pasti sistemis.   Sistemis ini ada yang sifatnya kebijakan makro-ekonomis dan ada yang teknis.  Yang makro-ekonomis adalah realita bahwa selama ini, meski produksi energi nasional masih lebih dari cukup, tetapi gas alam dan batubara mayoritas justru diekspor dengan harga jauh di bawah pasar internasional.

Asumsi APBN kita memang baru menghitung produksi minyak (lifting), dan belum produksi energi secara keseluruhan.  Sedang secara teknis, baik minyak, gas dan batubara suatu hari memang akan habis, karena merupakan energi yang tidak terbarukan. Apalagi pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi juga menaikkan kebutuhan energi.  Negara kaya minyak seperti Iran pun paham, bahwa suatu saat minyak mereka akan habis.  Karena itu mereka mengembangkan nuklir.

Nuklir memang efisien, dan tidak menimbulkan gas rumah kaca (CO2) yang berdampak pemanasan global.  Problema nuklir adalah skalanya yang besar, perlu teknologi tinggi dan peran negara yang kuat, yang sanggup menahan tekanan asing yang ketakutan nuklir itu akan digunakan untuk senjata.  Selain itu limbahnya juga masih bermasalah, di samping risiko kecelakaan yang dapat fatal, seperti kasus Chernobyl 1986.  Untuk Indonesia yang masyarakatnya terkenal ceroboh dan birokratnya tidak transparan, wajar jika ”bermain-main” dengan PLTN agak mengkhawatirkan.

Sebenarnya bahan bakar nuklir (Uranium) juga terbatas.  Cadangan di dalam negeri amat kecil, sehingga kalau kita punya PLTN, bahan bakarnya harus impor.  Ketergantungan pada asing tentu saja tidak kita inginkan.

Maka yang layak dikembangkan di negeri ini adalah energi terbarukan.  Berbeda dengan energi baru yang bermakna non konvensional (seperti nuklir), energi terbarukan adalah energi yang di alam praktis tidak akan habis atau selalu diperbarui.  Sumber asal energi ini ada tiga: (1) matahari / surya, (2) magma / panas bumi, (3) efek pasang surut.

Indonesia adalah negeri dengan sekitar 130 gunung api, yang berarti ada sekitar 130 lokasi berpotensi panas bumi.  Panas bumi yang tidak bisa diekspor ini andaikata digunakan untuk pembangkit listrik akan menghasilkan daya di kisaran 30 GW, atau setara dengan seluruh pembangkit PLN saat ini. (more…)

Ketika Keterbatasan Energi menjadi Berkah

Sunday, June 10th, 2012

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Harga Bahan Bakar Minyak memang tidak jadi naik per tanggal 1 April 2012 ini.  Bagi sebagian kalangan, itu dianggap bukti keberhasilan berbagai demonstrasi di seluruh antero negeri.  Bagi sebagian yang lain, itu bukti bahwa masyarakat tidak lagi dapat dibodohi dengan argumentasi ngawur bin tidak akurat, yang diboncengi oleh agenda liberalisasi energi.   Tapi ada sebagian yang tetap kritis, apakah dengan ini berarti ada “hikmah” yang juga tak jadi diraih?

Dalam sejarah, respon manusia terhadap kesulitan selalu ada dua macam: pertama marah, kedua mengambil hikmah – bahkan “berkah”.  Dalam sejarah umat Islam yang panjang, ternyata mereka lebih sering mengambil hikmah.

Krisis energi sebenarnya sudah terjadi berkali-kali.  Di zaman purba, ketika manusia masih hidup dari berburu, dan energi paling banyak didapatkan dari tenaga manusia, pertumbuhan jumlah manusia berakibat cadangan hewan buruan di sekitarnya terus menipis sehingga akhirnya terjadi krisis pangan yang berarti juga krisis energi.  Namun krisis ini kemudian dijawab dengan beralihnya budaya berburu menjadi budaya pertanian dan peternakan, dan ketika tenaga manusia lalu digantikan dengan tenaga hewan yang telah dijinakkan.

Ketika jumlah manusia berikut kebutuhannya semakin meningkat, terjadilah krisis energi lagi.  Tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan industri yang makin menjamur di sekitar perkotaan.  Di situlah daya kreatifitas manusia ditantang lagi.  Muncullah penggunaan energi non hayati.  Rentang masa ini cukup panjang.  Dimulai dari penggunaan energi air sejak zaman Romawi kuno, hingga penggunaan energi fosil (batubara, minyak) di awal revolusi industri (abad 17-18 M).

Umat Islam bukanlah pengguna energi air yang pertama, tetapi mereka memberikan kontribusi yang luar biasa bagi penemuan mesin-mesin energi yang lebih efisien.  Dan meski umat Islam bukan penikmat revolusi industri, mereka telah memberikan kontribusi yang besar pada dunia pertambangan, sehingga membuka jalan untuk exploitasi dan pengolahan energi fosil.

Banu Musa bersaudara (abad 9 M) dan al Jazari (abad 12) adalah orang-orang yang mewariskan mesin-mesin yang sangat inovatif, baik dalam penggunaan energi air maupun untuk pertambangan.

Banu Musa terdiri dari tiga bersaudara, yang saat masih kecil ditinggal mati ayahnya, Musa bin Syakir, yang tewas ketika sedang menyamun!  Namun Khalifah al-Ma’mun yang melihat bakat kecerdasan anak-anak itu justru memerintahkan agar mereka diasuh oleh Yahya bin Abi Mansur, astronom Khalifah dan Mas’ul Baitul Hikmah (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Khilafah).  Muhammad bin Musa tumbuh menjadi astronom, matematikawan dan meteorolog.  Adiknya, Ahmad bin Musa menjadi insinyur pencipta mesin.  Sedang si bungsu Hasan bin Musa besar di geometri dan ilmu konstruksi.

Sinergi tiga bersaudara itu antara lain menemukan desain lampu minyak yang tahan tiupan angin sehingga cocok dipakai di udara terbuka.  Mereka juga membuat alat ventilasi dan mesin keruk yang dirancang secara cerdas dan dimuat dalam buku mereka “Kitab al-Hiyal”.

Saat itu (bahkan di Indonesia hingga saat ini), banyak pertambangan liar yang tidak begitu peduli aspek-aspek keselamatan.  Orang berebutan untuk sampai ke posisi tambang yang diharapkan, sehingga dapat saja orang memulai harinya dengan kekayaan dan menjelang malam dia tak lagi memiliki apa-apa, akibat keduluan orang lain.  Atau dia memulai dengan kemiskinan di pagi hari, dan malamnya menjadi pemilik sumber kekayaaan yang tak terhingga besarnya.  Lokasi tambang bisa menjadi kuburan massal akibat gas beracun atau air bah yang memancar tiba-tiba dari sungai di dalam tanah.

Namun pada penambangan-penambangan yang dikelola pemerintah, sudah digunakan ventilator karya Banu Musa dan pompa air karya Taqiyuddin.

Dengan alat-alat itu tak heran, ketika geografer al-Idrisi (abad 12 M) mengunjungi tambang air raksa di utara Cordoba Spanyol, ia diberitahu bahwa kedalaman lubang tambang dari permukaan tanah tidak kurang dari 250 fanthom (sekitar 457 meter).  Itu tidak mungkin tanpa ventilator, pompa air dan drainase yang memadai.

Tentang pengolahan tambang, Al-Biruni menulis: “Pencarian batu la’l (sejenis rubi) dilakukan dengan dua cara.  Pertama dengan menggali tambang di bawah gunung, dan yang lain dengan mencarinya di antara kerikil dan tanah yang berasal dari reruntuhan gunung akibat gempa bumi atau erosi karena banjir”.  Dalam kitabnya al-Jamahir, al-Biruni membahas tentang berbagai mesin pengolah mineral.  Mesin-mesin itu mirip penggiling kertas, tetapi yang dihancurkannya adalah batuan.  Setelah dihancurkan sampai halus, batuan itu kemudian dapat dipisahkan, misalnya emas dari tembaga.  Seluruh mesin-mesin ini pada abad ke-4 H (atau abad-10 M) telah digerakkan dengan tenaga air.

Meski pada saat itu batubara atau minyak bumi belum banyak diketahui manfaatnya, sehingga teknologinya pun belum berkembang, namun tanpa alat-alat pertambangan yang dikembangkan kaum muslimin saat itu, eksploitasi batubara dan minyak bumi saat ini tidak bisa dibayangkan.

Yang jelas, teknologi bagaimanapun hanyalah alat.  Tanpa tata energi dan sumberdaya mineral yang adil, teknologi itu hanya makin memperkaya mereka yang kuat dan bermodal yang umumnya konsorsium asing, dengan mengabaikan hak-hak pemilik sesungguhnya yaitu umat.  Hanya negara yang benar-benar merdeka, yang berani melawan tekanan asing, sehingga menerapkan syariat, mengembangkan teknologi dengan bersemangat dan menggunakannya sehingga bermanfaat bagi seluruh umat. Hanya dengan itu, keterbatasan energi benar-benar justru mendatangkan berkah![]

Minyak dari para ulama

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Menaikkan harga BBM (mengurangi subsidinya), pasti tidak populer.  Membatasi distribusi premium hanya ke kendaraan umum, teknisnya susah.  Jangan-jangan nanti banyak angkot alih jasa, tidak lagi membawa penumpang tapi berganti jadi makelar premium buat mobil pribadi.  Maka pemerintah dapat ide baru, menghapus premium sama sekali, dan subsidinya tidak dialihkan ke pertamax.  Di dunia, memang tinggal sangat sedikit negara yang masih memakai BBM ber-oktan 88 seperti premium, dengan alasan kurang ramah lingkungan  Di negara maju, premium hanya dijual terbatas pada mobil antik, yang mungkin menjadi barang koleksi.

Tetapi bicara premium berarti bicara minyak, dan kalau kita menengok ke belakang, itu berarti bicara prestasi umat Islam dalam teknik kimia dan teknik perminyakan.

Banyak bukti menunjukkan bahwa para kimiawan muslim adalah yang pertama-tama memproduksi bahan bakar dari minyak bumi mentah.  Sebelumnya, manusia hanya mengenal minyak organik, baik dari tumbuhan (seperti minyak kelapa) atau hewan (lemak unta).

 

Sebotol minyak mentah, umumnya sulit terbakar.

Tentu saja, pada awalnya hasil olahan minyak mentah itu masih sangat sederhana, seperti nafta (lilin) dan ter (aspal).  Tapi pada akhir abad-8 M, jalanan di Baghdad sudah diaspal dengan hasil olahan minyak melalui suatu proses yang disebut “destilasi destruktif”.  Al-Qazwini, dalam kitabnya Aja’ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua jenis campuran aspal dan pasir yang digunakan melapisi jalan, yang dikenal kuat dan lekat.

Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan infrastruktur transportasi jalan di zaman kekhalifahan Islam, terutama di Baghdad. Pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai sejak Khalifah Al-Mansur pada 762 M. Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of Arab juga melukiskan jalan-jalan di Baghdad dan Cordoba telah berlapis aspal, dan di malam hari telah diterangi lampu minyak. Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan beraspal adalah pada 1824 M, yaitu di Champs-Elysees Paris, Perancis.

Pada abad-9 M, Muhammad ibn Zakarīya ar-Rāzi menemukan cara menghasilkan kerosene (minyak tanah) dari minyak mentah.

Masih pada abad-9 M, sebuah ladang minyak di dunia pertama kali dimanfaatkan di sekitar Baku (Azerbaijan) untuk menghasilkan nafta.  Deskripsi al-Mas’udi (abad-10) dan Marcopolo (abad-13) menggambarkan adanya hasil dari sumur minyak mencapai jumlah ratusan kapal perhari.

Sebuah Sumur minyak tua.

Berbeda dengan rekan-rekan ilmuwan sebelumnya, pada abad-11 Abū Alī ibn Sīnā menemukan “minyak essensial”.  Minyak esensial adalah cairan “hidrofobik terkonsentrasi” yang mengandung senyawa aroma-atsiri dari tanaman. Minyak atsiri juga dikenal sebagai minyak ethereal atau aetherolea, atau hanya sebagai minyak extrak tanaman dari, seperti minyak cengkeh, tetapi bukan sekedar “minyak tanaman” seperti minyak kelapa.

Minyak essensial adalah “penting” dalam arti bahwa ia membawa aroma khas esensi tanaman. Minyak atsiri membentuk suatu kategori khusus untuk tujuan medis, farmakologi, atau kuliner.  Pada umumnya minyak atsiri diekstraksi dengan penyulingan.  Proses lainnya termasuk ekspresi, atau ekstraksi pelarut.  Mereka digunakan dalam parfum, kosmetik, sabun dan produk lainnya untuk aroma makanan dan minuman, dan untuk menambah “aroma dupa” dan “produk pembersih” rumah tangga.

Teknologi perminyakan sangat berkembang di tubuh umat Islam ketika mereka masih memiliki visi menjadi umat yang terbaik di dunia.

Karena itu, tidak sedikit para ilmuwan – yang dibesarkan dalam pendidikan Islam seperti hafal al-Qur’an di usia 10 tahun –  berlomba terjun dalam riset teknologi.  Mereka mendapat dorongan penelitian dari Qur’an dan Sunnah, dan memanfaatkan hasil penelitiannya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim.  Namun demikian, berbeda dengan riset yang didorong oleh ideologi kapitalisme, “riset Islam” tidak pernah menjajah dan memboroskan sumber daya alam dan lingkungan.

Sementara itu negara Daulah Khilafah masih efektif melakukan dakwah ke seluruh dunia dengan memberi contoh nyata, yakni menerapkan Islam dan menunjukkan bahwa penerapan Islam itu menjadika