Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Filsafat Ghaib vs Filsafat Alam

Friday, May 23rd, 2014
al kindi - fahmiamhar.com

al kindi – fahmiamhar.com

Dr. Fahmi Amhar

Bicara sejarah peradaban Islam, orang sering menduga bahwa perkembangan sains saat itu karena umat Islam menekuni filsafat yang semula dipelajari dari buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani.  Adalah para mutakalimin yang dipaksa keadaan untuk belajar filsafat, yakni untuk meladeni perdebatan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Syam yang sudah terlebih dahulu menekuni filsafat Yunani.  Namun menurut an-Nabhani (dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 1), generasi kedua setelah mutakalimin sudah menekuni filsafat tak lagi untuk modal berdebat, tetapi sudah murni karena filsafat ternyata olah pikir yang mengasyikkan.

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan eksperimen dan percobaan ilmiah, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis dengan berbagai premis dan aksioma, mengajukan beberapa solusi, lalu memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses itu dimasukkan ke dalam sebuah dialektika.  Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir rasional dan logika bahasa.

Logika merupakan ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Itu membuat filsafat sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. (more…)

Satu Negeri Ikut Ujian

Sunday, June 16th, 2013

fahmi-amhar-ikut-ujianDr. Fahmi Amhar

Bagaimana suasana Ujian Nasional (UN) tahun ini di daerah Anda?  Semoga baik-baik saja.  Tetapi diketahui luas bahwa tahun ini, pelaksanaan UN secara nasional sangat buruk.  Soal ujian datang terlambat, tertukar, lembar jawaban terlalu tipis dan sobek bila dihapus, dan di atas itu semua kecurangan masih terjadi, sebagian bahkan sistemik, yakni justru didalangi oleh pejabat setempat.  Oleh panitia pusat sudah diatur bahwa setiap ruang mendapat 20 soal yang berbeda, sehingga semakin sulit untuk mencontek, dan semakin lama bila guru pengawas ikut membuatkan jawaban buat peserta.  Namun realita, kunci jawaban untuk ke-20 soal itu tertayang di internet.  Entah apa motivasi yang mengunggahnya, mungkin dia kesal dengan UN secara keseluruhan.

Ketika tahun 1984 dulu EBTANAS SMA dimulai, idenya memang sekadar untuk pemetaan standar pendidikan.  Nilai EBTANAS Murni (NEM) tidak untuk standar kelulusan, tetapi hanya berpengaruh 33 persen hingga maksimum 60 persen.  Saat itu sangat jarang siswa yang mendapat NEM rata-rata di atas 7.  Ketika EBTANAS berganti nama menjadi UN, dan hasilnya dijadikan standar kelulusan, maka dimulailah kecurangan sistemik itu.  Para kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan takut kehilangan jabatannya bila nilai UN siswa di bawah tanggung jawabnya jelek.  Mereka lalu melakukan segala cara.

Sekarang ini, kalau anak kita mendapat angka 8 sebagai nilai rata-rata UN, boleh jadi dia akan sulit mendapatkan sekolah lanjutan, karena yang angkanya 9 banyak sekali.  Tetapi tetaplah bersyukur bila itu didapat dengan jujur.  Prof Dr Indra Djati Sidi (mantan Dirjen Dikdasmen) mengatakan, hasil UN yang jujur hanya 20 persen.

Tak heran bahwa banyak dugaan UN ini bukanlah usaha serius memetakan dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air, tetapi lebih pada proyek bernilai trilyunan rupiah yang sayang jika dihapuskan.  Salah satu buktinya, sekolah dengan hasil UN bagus justru dikembangkan menjadi RSBI dan mendapat dukungan finansial lebih besar.  Sementara sekolah di daerah terpencil dengan guru terbatas dan murid yang setiap hari harus berjibaku mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke sekolah, hanya mendapat perhatian ala kadarnya. (more…)

Belajar Memilih Sekolah & Mengoptimalkan Yang Ada

Friday, January 11th, 2013

Apakah Anda puas dengan sekolah Anda atau sekolah anak-anak Anda?

Apakah sekolah-sekolah itu lebih baik atau tidak sebaik RSBI/SBI yang baru saja dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi?

Saya “beruntung” lahir di tahun 1968 dan besar ketika di Indonesia RSBI/SBI belum dikenal.  Rumah masa kecil saya ada di samping sebuah Madrasah Ibtidaiyah swasta.  Karenanya, ketika mau masuk SD saya sempat minta ke ibu saya agar masuk MI itu saja, biar dekat …  Tetapi ibu saya akhirnya memasukkan saya ke sebuah SD Negeri yang lebih jauh, padahal beliau sendiri dulu sekolah di MI yang dinaungi oleh yayasan yang sama dengan MI samping rumah itu.  Kakak-kakak saya juga semuanya sekolah di SD Negeri.  Katanya MI sebelah rumah itu kurang bagus, muridnya nakal-nakal dan yayasannya mengalami kesulitan keuangan untuk membayar guru maupun merawat fisik sekolahnya.

SDN saya itu terletak di kampung. Kalau hujan, jalannya sangat becek dan berlumpur.  Biasanya kalau hujan, kami memilih ke sekolah tidak pakai sepatu, daripada sepatunya cepat rusak.  Waktu itu SD saya itu tidak punya toilet, tidak punya sambungan listrik, dan areanya tidak berpagar.  Kalau anak-anak mau kencing, ya kencing saja di kebun, sedang anak perempuan suka minta ijin kencing di rumah terdekat yang memiliki sumur.  Kalau hari mendung, maka di dalam kelas gelap sekali, karena tidak ada lampu.  Kalau hujan maka bocor di sana sini, dan suara guru jadi tidak kedengaran, kalah sama suara hujan.  Dan kalau sekolah sudah selesai, maka anak-anak kampung banyak yang menjadikan area sekolah jadi arena petak umpet atau perang-perangan.  Ayam juga kadang-kadang ikut belajar di kelas, dan tak lupa berak di sana 🙂

SD saya dulu masih lebih baik dari SD daerah terpencil ini ... :-)

SD saya dulu masih lebih baik dari SD daerah terpencil ini … 🙂

Di sekolah ada lapangan upacara yang disemen, tetapi sudah berlubang di sana-sini.  Lapangan ini nyaris hanya buat upacara tiap Senin, yang amanat dari Inspektur Upacara selalu saja soal kebersihan.  Kalau buat olahraga, kaki jadi sakit.  Akhirnya, kami lebih suka olahraga di lapangan rumput yang agak jauh.  Untuk ke lapangan rumput itu, kami bisa memilih dua jalan: pertama lewat samping kandang sapi, kedua lewat kuburan.  Kalau lewat kandang sapi, kami harus melewati jembatan dari sebatang pohon kelapa yang licin.  Beberapa anak kadang terpeleset, lalu tubuhnya jatuh ke selokan yang penuh kotoran sapi.  Sedang kalau lewat kuburan, kami kadang bertemu dengan kalajengking atau bahkan ular. (more…)