Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Infrastruktur Data Spasial Nasional

Sunday, August 12th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Pada 25-26 Juni 2007 ini, di Jakarta berlangsung Rapat Koordinasi Nasional Infrastruktur Data Spasial Nasional (Rakornas-IDSN).  Makhluk apa sesungguhnya IDSN ini?

Data Spasial adalah data hasil pengukuran, pencatatan, dan pencitraan terhadap suatu unsur keruangan yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional.   Infrastruktur berarti semua yang diperlukan guna mengelola data spasial, baik itu si data sendiri (fundamental data set), format bakunya, perangkat teknologi jaringannya, aturan main dengan data, lembaganya hingga orang-orangnya.

Istilah IDSN mulai dipopulerkan di Amerika Serikat sejak sekitar satu dekade  Ide dasarnya adalah sebagian besar urusan masyarakat itu terkait dengan suatu data keruangan, yang lokasi atau posisinya itu signifikan dalam pengambilan kesimpulan.

Contoh: ketika kita memilih tempat tinggal, pekerjaan, sekolah anak hingga pilihan berlibur, semua ini pasti terkait dengan data spasial.  Kita ingin tinggal di lokasi yang air atau udaranya masih baik, tidak terlalu bising, namun infrastrukturnya siap dan aksesnya mudah.  Kita juga ingin bekerja di tempat yang strategis namun tidak terlalu jauh dari rumah.  Demikian juga untuk yang lain.  Untuk itulah kita perlu data atau informasi seperti peta, buku alamat, rute angkutan umum, kode pos dan sebagainya. 

 

Mencari Sinergi

Berbagai lembaga membuat, mengumpulkan, mengelola, menetapkan dan menyebarkan data spasial, misalnya:

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan jaringan kontrol geodesi, geoid nasional, cakupan foto udara, hipsografi (matriks elevasi atau peta kontur), batimetri dasar laut, garis pantai, utilitas, penutup lahan, sistem lahan, dan liputan dasar laut (sea bed cover) dan sebagainya.

Badan Pertanahan Nasional dengan kerangka dasar kadastral dan bidang tanah, aspek legalitas atas tanah, penggunaan tanah, zona nilai tanah / nilai aset kawasan, karakteristik tanah dan sebagainya.

Departemen Keuangan dengan data pertanahan yang terkait dengan perpajakan, tanah yang dijaminkan untuk keperluan perbankan dan sebagainya.

Departemen Dalam Negeri dengan data batas wilayah NKRI, wilayah administrasi kepemerintahan, nama-nama tempat (toponimi) dan sebagainya.

Departemen Perhubungan dengan data rute dan izin trayek transportasi umu, volume lalu lintas dan sebagainya.

Departemen Komunikasi dan Informatika dengan data wilayah kode pos, kode area telepon, posisi antene BTS telekomunikasi seluler dan sebagainya.

Departemen Pekerjaan Umum dengan data jaringan jalan, tubuh air/hidrologi lingkungan bangunan (termasuk data kawasan rawan banjir), jaringan air bersih, instalasi limbah, rencana tata ruang dan sebagainya.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan data lingkungan budaya, posisi-posisi tempat atau fasilitas wisata, volume wisatawan dan sebagainya.

Badan Pusat Statistik dengan data wilayah pengumpulan data statistik, hasil kegiatan statistik dan sebagainya.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan data kuasa pertambangan, geologi, sumberdaya mineral, seismik eksplorasi, gayaberat, sumur pemboran dan hidrogeologi, vulkanologi, peta rawan bencana geologi dan sebagainya.

Departemen Kehutanan dengan data kawasan hutan (termasuk lokasi-lokasi HTI dan HPH), sumberdaya hutan, keanekaragaman hayati, taman nasional dan sebagainya.

Departemen Pertanian dengan data klasifikasi tanah, lokasi lahan pangan, perkebunan dan sebagainya.

Departemen Kelautan dan Perikanan dengan data oseanografi, potensi sumberdaya laut, kondisi wilayah pesisir dan sebagainya.

Departemen Perdagangan dengan data lokasi pasar atau toko yang telah terdaftar, gudang Bulog, dan sebagainya.

Departemen Kesehatan dengan data lokasi fasilitas medis, gudang obat, daerah epidemi dan sebagainya.

Departemen Sosial dengan data lokasi masyarakat adat, kawasan pengungsian, daerah rawan sosial dan sebagainya.

Badan Meteorologi dan Geofisika dengan data iklim dan geofisika, informasi cuaca, gempa dan sebagainya.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan data cakupan citra satelit, posisi daerah yang terliput gerhana dan sebagainya.

Sebenarnya bila semua pelaku di atas mengerjakan dengan baik tugas pokoknya serta saling berkoordinasi, semua akan baik-baik saja.  Realitasnya, kemampuan SDM-nya amat beragam, jumlah uang yang terlibat juga tidak sama, ditambah masyarakat sering menginginkan jalan pintas – karena jalan resminya kurang jelas atau terlalu panjang.  Akibatnya, baik secara pribadi maupun kelembagaan, terjadi tumpang tindih pekerjaan.

Kalaupun pekerjaannya an sich tak tumpang tindih, namun dalam pengumpulan data masih mungkin tumpang tindih.  Misalnya, suatu lembaga pemerintah telah mengadakan citra satelit yang mahal, namun lembaga lainnya membeli lagi citra yang sama, karena ketidaktahuan atau aturan main yang tidak kondusif.  Celakanya, kedua pembelian tadi sama-sama harus ditanggung oleh rakyat melalui APBN.

 

Idealnya

Kita memang harus memiliki data spasial yang dibangun dan diselenggarakan dengan baik, dikelola secara terstruktur, transparan dan terintegrasi dalam suatu jaringan nasional.  Ini akan sangat penting dalam upaya memberikan kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial antar lembaga pemerintah dan antar lembaga pemerintah dengan masyarakat.  Kemudahan pertukaran dan penyebarluasan data spasial akan memberikan manfaat untuk meningkatkan efisiensi baik anggaran pemerintah, maupun masyarakat sekaligus mendorong pengembangan ekonomi.

Di level masyarakat kita membayangkan suatu aplikasi seperti berikut:

Pak Haji Ahmad bermaksud membangun sebuah pesantren terpadu, yang menggabungkan pendidikan, dakwah dan agrobisnis.  Untuk itu, dia cukup menyalakan komputer, mengaktifkan koneksi internet dan membuka portal IDSN.  Dia akan disambut oleh peta dasar Indonesia yang dapat diperbesar dan diklik.  Aplikasi semacam ini sudah ada di internet misalnya Google Earth (http://earth.google.com).

 

 

Contoh tampilan Google-Earth – tinggal ditambah dengan aplikasi multi sektoral dalam IDSN

 


Salah satu aplikasi di portal impian ini adalah mencari lahan bebas masalah.  Tiga masalah saja yang akan dicek: bebas bencana – bebas sengketa – dan sesuai tata ruang.

Setelah pak Haji Ahmad memilih perkiraan lokasi, dia menjalankan aplikasi untuk mencek bebas bencana – misalnya untuk bencana longsor.  Sebuah modul akan mencari data hipsografi ke server Bakosurtanal – yang secara simultan (on-fly) akan diolah menjadi data lereng.  Lalu modul yang sama akan mencek kondisi geologisnya ke server Badan Geologi, mencari informasi curah hujan tahunan ke server BMG, dan melihat kondisi vegetasi dari citra satelit aktual di server LAPAN.  Setelah itu modul tersebut akan segera menghitung apakah daerah itu rawan longsor berdasarkan kaidah-kaidah yang diprogramkan di dalamnya.  Hal serupa juga dapat dilakukan untuk bencana yang lain, dengan data pada server yang berbeda.

Kemudian setelah itu, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul untuk mencek legalitas, yang dalam hal ini akan mencari tahu ke server BPN.   Dapat ditambahkan juga pengecekan ke server Depdagri untuk mencari tahu tanah itu persisnya ikut wilayah administrasi mana.  Juga ke server Depkeu untuk mencari tahu status perpajakannya.

Terakhir, agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, pak Haji Ahmad mengaktifkan modul tata ruang.  Modul ini akan ”lari” ke server Departemen PU dan Bappeda.

Setelah semua informasi itu terkumpul, barulah pak Ahmad mendapat ”saran” dari komputer, untuk memutuskan apakah rencana tersebut bisa diteruskan atau dikaji ulang.

Semua ”mimpi sorga” di atas hanya akan terwujud dan efektif bila (1) semua lembaga terkait memang berniat untuk membuka data yang dimilikinya; (2) semua data yang ditawarkan itu dalam kualitas (akurasi, kemutakhiran) yang memadai serta disajikan dalam format yang dapat dibuka bersama-sama; (3) semua lembaga menyetor metadata yang berisi informasi singkat atas data spasial yang dikelolanya sehingga pencariannya mudah; (4) ada software bebas (free & open source) yang didedikasikan untuk pertukaran data dan berbagai aplikasi bersama; (5) terdapat server dan jaringan internet yang aman, lancar dan handal – tidak sering terganggu.

Beberapa informasi mungkin sama sekali bebas, sementara informasi lain dikenakan biaya – maka untuk itu perlu ada mekanisme pembayaran elektronik (e-cash) yang aman.

Suatu mekanisme pelayanan publik yang mudah, murah, aman dan berkualitas adalah kewajiban negara yang diamanahkan oleh syariah.  Sejauh mana kesiapan setiap pihak yang terlibat dalam mewujudkan pelayanan publik semacam ini menjadi ”indikator kesiapan syariah” yang sesungguhnya dari setiap pelaku pelayanan publik.

Menyelesaikan Masalah Pertanahan

Saturday, May 26th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007

Sebuah kasus pertanahan yang cukup kolosal sedang menarik perhatian anak negeri.  Areal seluas 59 hektar, yang di atasnya telah berdiri ribuan bangunan, termasuk fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, yang mayoritas mengantongi sertifikat tanah, tiba-tiba terancam tergusur, karena konon proses jual belinya puluhan tahun yang lalu bermasalah.  Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung telah memerintahkan agar tanah di Meruya Selatan Jakarta Barat itu dikosongkan karena telah menjadi hak PT Porta Nigra.

Masyarakatpun resah.  Harga tanah dan bangunan di sana mendadak turun.  Real estate merugi.  Banyak pihak menduga ini hanya akal-akalan mafia tanah untuk dapat memborong tanah dengan harga murah.  Gubernur DKI konon siap pasang badan membela masyarakat melakukan upaya Peninjauan Kembali.  Sementara itu pengacara PT Porta Nigra menuduh BPN telah sewenang-wenang saat memberikan sertifikat atas tanah yang sedang dijadikan sita jaminan.

Lepas dari soal kepastian hukum kasus yang sedang hangat ini, sebenarnya sejauh mana ”state of art”  dari teknologi yang dapat digunakan untuk mencegah kasus semacam ini terulang lagi di masa depan?.

 Administrasi Pertanahan

Kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) – yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda – dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).  Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.

Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).  Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB.  Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut.  Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap.  Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.

Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu.  Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).

Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu.  Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.  

 Teknologi Pertanahan

Untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, dewasa ini tersedia setidaknya tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.

(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan.  Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut.  Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah.  Ortofoto dan batas-batas ini lalu diumumkan minimal dua bulan di kantor pemerintah setempat.  Pada masa kini, data semacam ini dapat ditayangkan di internet – mirip yang ada dalam bentuk yang lebih sederhana di Google Earth

Bila tidak ada komplain, maka setelah dua bulan klaim itu dapat dinyatakan sah.  Bila ada sengketa, maka dilakukan penegasan batas (ajudikasi) di lapangan, di mana kedua belah pihak bertemu, sepakat, untuk kemudian dibuat berita acara. 

Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu.  Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan.  Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah.  Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS).  Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS. 

(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu.  Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya.  Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim), sehingga dapat ditemukan tanah-tanah terlantar yang tidak produktif – yang umumnya tanah-tanah yang dikuasai seseorang namun tak termanfaatkan.

(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya.  Di negara-negara maju, LIS ini terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam.  LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan.  Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud.  LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang.  Bahkan LIS dapat digunakan untuk mencegah pemberian izin atau konsesi yang tumpang tindih (misalnya antara hutan lindung dan pertambangan). 

LIS juga dapat membantu mendata dengan cepat tanah-tanah yang harus dibebaskan untuk suatu proyek publik (misalnya pengadaan tanah untuk sekolah, saluran pencegah banjir atau pengadaan makam).  Kalau LIS ini digunakan oleh pemerintah yang menerapkan syariat Islam, LIS ini dapat digunakan untuk memantau tanah pertanian yang terlantar lebih dari tiga tahun (sehingga menurut syariat Islam harus disita oleh negara), atau mendeteksi kemungkinan penyewaan tanah pertanian bila tanah itu dimiliki seseorang yang domisilinya sangat jauh. 

Sistem administrasi pertanahan terpadu akan memudahkan negara merencanakan kawasan pertanian pangan – termasuk alih fungsinya, menghitung subsidi penggarapan lahan atau zakat untuk komoditi pertanian tertentu, hingga membuat perencanaan ruang yang lebih rapi.  Kota-kota peninggalan masa khilafah (seperti Cordoba) dikenal rapi.  Kota dari abad-8M ini bahkan sudah memiliki drainase yang baik.  Ini hanya bisa dilakukan bila ada sistem pertanahan yang relatif rapi, yang teknologi saat ini semestinya lebih mendukung lagi.

Insya Allah dengan sistem pertanahan syari’ah, yang dilaksanakan oleh aparat yang amanah dan kafaah (capable), serta didukung dengan teknologi pertanahan yang tepat, kisruh pertanahan di masa depan tidak terjadi lagi.

 Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional.  Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Pembuatan Footstep Geospatial

Friday, December 1st, 2006

proceeding Geomatics Research Forum

Elyta Widyaningrum, Fahmi Amhar, Dodi Sukmayadi, Harry Ferdiansyah

Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi & Tata Ruang
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
contact: elyta_widya@yahoo.com

 

Abstrak:

Dalam rangka ‘1st Geospatial Technology Exhibition’ di Jakarta Convention Center pada 23-27 Agustus 2006, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang membuat pijakan kaki atau footstep bagi para pengunjung sepanjang kurang lebih 30 meter.  Layaknya “karpet merah” pada pagelaran-pagelaran bergengsi, footstep bertema geospasial ini dibuat untuk memberi perkenalan singkat proses perjalanan data geospasial dari citra menjadi peta, sekaligus memberi gambaran tak terputus tentang data spasial dari bagian barat pulau Jawa hingga sebelah timur Madura.  Tulisan singkat ini akan menceritakan proses pembuatan footstep tersebut.

 

 

Pendahuluan:

Tuntutan yang diberikan atas tim footstep cukup berat: menyiapkan suatu set variasi data spasial yang sekaligus meliputi suatu daerah memanjang sehingga cukup untuk dicetak dalam suatu lembaran dengan ukuran kurang lebih 1 meter x 30 meter.

Data spasial yang tersedia di Pusat PDRTR dan dipakai dalam berbagai proses pembuatan peta cukup banyak, dari foto udara yang dapat discan, data IFSAR (ORI & DSM), Landsat, SPOT, Aster, Ikonos, Quickbird, Radarsat, DEM dari SRTM, hingga peta-peta rupabumi digital, peta RBI cetak berbagai skala dan sebagainya.

Namun untuk mendapatkan berbagai data itu dalam satu kesinambungan (seamless) area yang membentang tanpa terputus, agak sulit.  Keadaan Indonesia yang berpulau-pulau serta letak pulau-pulau yang tak tepat membentang dari barat ke timur atau dari utara ke selatan, membuat pilihan yang ada tidak terlalu banyak.

Andai seluruh data yang ada sudah tersimpan dalam sistem basis data spasial yang seamless, mestinya tidak terlalu sulit untuk menarik data yang terletak miring misalnya dari Aceh hingga Lampung, atau dari Anyer hingga Banyuwangi serta langsung ditransformasikan sehingga menjadi bentuk memanjang yang diinginkan.

Namun ketika sebagian besar data masih tersimpan secara sheetwise, mau tidak mau hanya data yang terletak dalam satu garis yang dapat diproses lebih lanjut.  Dari itu didapatkan bahwa data yang paling memenuhi syarat adalah data 1:25.000 dari Pelabuhan Ratu di Jawa Barat memanjang lurus ke timur hingga pantai timur pulau Madura.

Pada kawasan terpilih ini, berbagai variasi medan akan terwakili, dari pantai, gunung, hutan, desa maupun kota, baik di tengah seperti Bandung maupun di tepi seperti Semarang dan Surabaya.

Jenis data spasial yang tersedia di kawasan ini sebenarnya sangat beragam.  Hampir seluruh peta di kawasan ini dibuat dari foto udara 1:30.000 atau 1:50.000.  Sebagian juga sudah diupdate dengan citra IFSAR, SPOT, Aster atau Quickbird. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya hanya dipilih empat jenis data, yaitu: citra komposit Landsat 7 ETM+ band 543 resolusi 15m, DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) resolusi 90 m, data vector peta rupabumi digital 1:25.000 dan data scan peta RBI cetak skala yang sama.

Ukuran footstep didasarkan pada muka peta RBI 1:25.000 yaitu sekitar 56 x 56 centimeter tiap lembarnya. Karena kawasan terpilih terdiri dari 2 x 63 nlp, maka panjang footstep menjadi sekitar 35 m dan lebar sekitar 1 m.

Agar cerita proses kreatif “perjalanan dari citra menjadi peta” mudah dipahami, diputuskan untuk merangkai data tersebut dari barat ke timur dalam urutan sebagai berikut:

  1. Citra Landsat
  2. DEM dari SRTM dalam 2 jenis warna
  3. Vector peta Rupabumi dimulai dari kontur, kemudian secara akumulatif berangsur-angsur ditambah dengan hidrografi, jaringan perhubungan, penutup lahan, gedung dan bangunan, nama geografis lalu terakhir batas administrasi.
  4. Peta RBI cetak.

 

 

Gambar 1: Kawasan terpilih yang dibuat footstep

 


Proses Pembuatan

  1. Data Landsat

Sebelum citra Landsat dipotong, dilakukan perhitungan posisi potongan dengan mengacu pada index Nomor Lembar Peta RBI 1:25.000. Batas pemotongan disimpan dalam vector file (misal shp atau dxf).

Pemotongan dilakukan dari citra yang telah dimozaik berdasarkan batas yang telah dibuat. Untuk proses ini digunakan software GlobalMapper™ yang mampu mengolah data vector dan raster secara bersamaan.

Setelah dipotong, data disimpan dalam file yang bergeoreferensi (misal GeoTiff). Ukuran citra yang akan ditampilkan kurang lebih 7 meter (13 NLP).

 

  1. Data DEM SRTM

Proses pemotongan pada bagian ini harus memperhatikan posisi akhir citra Landsat. Data DEM SRTM ditampilkan dalam dua warna yaitu: multicolor (rainbow) dan hillshading.  Warna rainbow dapat memberi efek 3D bila dilihat dengan kaca mata khusus.  Sedang warna hillshading dipakai selanjutnya sebagai latar belakang vektor peta RBI digital.  Proses ini juga menggunakan software GlobalMapper™.

  1. Data vektor Peta RBI 1:25.000

Pada mulanya, data vektor peta RBI ada dalam koordinat UTM dan untuk kawasan terpilih ini ada 2 zone (48 dan 49).  Untuk dapat digabung dengan data Landsat dan SRTM, maka seluruh data harus ditransformasi ke koordinat geografis.    Proses ini juga dengan mudah dapat dilakukan dalam software GlobalMapper™.

Data vektor peta RBI dibagi dalam tujuh bagian tema utamanya. Masing-masing bagian berisikan 2 x 5 NLP (atau 1 x 2,5 m) sehingga total panjang data adalah 2 x 35 NLP (1 x 17,5m).  Adapun tampilan dari masing-masing bagian adalah:

Bagian pertama menampilkan kontur saja.

Bagian kedua menampilkan kontur dan hidrografi (danau, sungai, pantai).

Bagian ketiga: kontur, hidrografi dan jaringan perhubungan (jalan, rel kereta api, transmisi tegangan tinggi).

Bagian keempat: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan dan batas penutup lahan (vegetasi, permukiman).

Bagian kelima: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan serta objek-objek gedung dan bangunan.

Bagian keenam: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan, objek-objek gedung dan bangunan dan nama geografis (toponimi).

Bagian ketujuh: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan, objek-objek gedung dan bangunan, nama geografis dan batas administrasi.

Penentuan nomor-nomor lembar peta yang terlibat dilakukan dalam software ArcView™ dengan mengoverlay indeks peta RBI 1:25.000 di atas peta garis pantai pulau Jawa.  Data pada kawasan terpilih diaktifkan kemudian dilihat pada tabel.  Tabel ini kemudian diekspor ke MS-Excel™ untuk dibuat batch-script untuk mengcopy file-file yang dibutuhkan.

 

  1. Data scan Peta RBI cetak skala 1:25.000

Data scan peta RBI cetak yang digunakan hanya 2 x 2 NLP (atau sekitar 1 x 1 meter). Data scan peta terkadang memiliki warna yang kurang homogen antara satu dengan lainnya, tergantung pada kualitas scanning dan kondisi kertas. Data scan ini harus diregistrasi agar memiliki referensi yang sama dengan data lainnya, lalu disimpan pada format yang sesuai (GeoTiff file).

Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat 10 bagian data dengan jenis yang berbeda.

 

Penggabungan

Seluruh data raster tersimpan dalam format GeoTiff, sedang data vektor pada umumnya tersimpan dalam format DXF.  Setelah penggabungkan secara geometris, langkah terpenting selanjutnya adalah “melebur” data vektor itu ke dalam raster.  Pada software GlobalMapper™ hal ini dilakukan dengan menu GeoTiffExport.  Yang perlu diperhatikan adalah “sample spacing”-nya.  Resolusi yang sesuai dengan skala peta 1:25.000 mestinya adalah 2,5 meter.  Namun karena footstep ini akan dibaca orang sambil berdiri (4-5x jarak baca), maka demi menghemat ukuran file, diputuskan untuk memakai ukuran resampling 10 meter.  Pada ukuran ini yang akan mengalami penuruan kualitas terutama adalah teks, baik pada data vektor peta RBI maupun pada data scan peta RBI cetak.  Idealnya memang untuk teks ada perlakukan khusus.

Agar data yang sangat besar ini dapat diolah lebih lanjut dengan software pracetak, yakni AdobePhotoshop™ dengan daya tampung file yang terbatas (maksimal cetak 10 meter), maka terpaksa data gabungan inipun masih dipotong-potong lagi menjadi beberapa bagian siap cetak.  Dalam berbagai kasus, sepertinya AdobePhotoshop™ juga mengalami masalah bila vektor yang dirasterisasi terlalu kompleks. 

Dengan dipotong-potong, timbul masalah pada saat printing, sebab tiap selesai mencetak satu bagian, printer otomatis akan membuat jarak sebelum memulai mencetak bagian yang baru.  Tanpa software yang memadai untuk cetak, diperlukan pengaturan manual yang presisi, agar atas data yang berkesinambungan ini, tidak muncul gap-gap semacam itu.

 

 

Gambar 2: Foto footstep dalam penggunaan di pameran IGTE di arena JCC

 

Referensi

Adobe System (2002): Photoshop 7 Manual

Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi Indonesia.

Global Mapper (2005): On-line Manual

 

Acknowledgement

Ucapan terimakasih kepada PT Datascripp yang memfasilitasi cetak footstep sehingga dapat menjadi milestone kemampuan kedua pihak – Bakosurtanal untuk data spasial, dan Datascripp untuk percetakan.