Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Simulasi Hitungan Subsidi BBM

Wednesday, January 18th, 2012

Simulasi  Hitungan Subsidi BBM

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor?  Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM saat ini?  Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya terpuaskan.

Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.

Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi.  Untuk minyak mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang dihitung dengan liter.  1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel.  Untuk gas alam (LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic (TSCF).  Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel.  Tapi karena kandungan energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE).  Ada juga satuan energi yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik.  1 Peta Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.

Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur, minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar), minyak bakar, lilin hingga asphalt.  Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7 liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan nilai oktannya berbeda.

Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap hari.  Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi.  Kadang suatu sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi.  Jadi angka lifting adalah angka rata-rata.  Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi maupun di pasar.  Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai, laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada.  Di pasar dunia juga harga bervariasi mengikuti musim.  Ketika musim dingin orang butuh lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung.  Dan karena minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.

Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN.  Ini karena di APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu.  Jadi bagi Pertamina harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN.  Yang Rp 0,- adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah.  Untuk mengangkatnya perlu biaya juga.  Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi dsb.

Contoh asumsi itu adalah, untuk APBN 2011:

Lifting                : 970.000 barrel/hari
Harga minyak     :US$ 80 / barrel
Nilai tukar 1 US$ = Rp. 9300,-

Dari ketiga asumsi ini, didapat angka sebagai berikut:

Produksi tahunan minyak mentah adalah 970.000 x 365 = 354,1 juta barrrel / tahun dan pendapatan negara dari minyak mentah adalah 354,1 juta barrel x US$ 80 x Rp. 9300 = Rp. 263,4 Trilyun.  Angka inilah yang harus dibayarkan oleh siapapun yang akan membeli minyak mentah tersebut, baik Pertamina maupun dari Luar Negeri.

 Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40% dari harga lifting).

Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun.  Tetapi, untuk sebuah “ongkos”, Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar.  Mungkin ini termasuk cost-recovery di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak asing, dan keuntungan pertamina hulu.

Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.

Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN 2011 adalah 38,2 juta kiloliter.  Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter.  Kalau ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.

Masalahnya data prosentase produk-produk kilang minyak di dalam negeri cukup sulit dijampai.
Yang ada adalah data dari Kementrian ESDM tentang Arus minyak nasional pada tahun 2007.

Dari sini bisa disimulasi sembilan hal (dalam juta barrel):

A. Minyak mentah sendiri yang diproduksi (348)
B. Minyak mentah sendiri yang diekspor (135)
C. Minyak mentah sendiri yang diolah (204)
D. Minyak mentah impor yang diolah (116)
E. BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri (244)
F. Hasil non BBM (89)
G. BBM yang diimpor (150)
H. Total BBM yang dijual (392)
I. BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276)

 

Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter).  Harga B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk BBM).  Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter.  Harga H karena merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter.  Hanya harga I yang mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp. 4500/liter atau US$ 0,715/liter.  Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus minyak dalam satuan yang sama.

Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).

Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non subsidi = Rp. 571,79 T.

Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi Rp. 581,44 T.

Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65 T.  Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat tingkat motorisasi yang semakin besar.  Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya, pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga tertentu.  Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.

Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi (huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di Harian Kompas 10 Februari 2011.  Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3), maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T.  Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp. 4815/liter, maka defisit sudah kembali 0.  Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.

Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T.  Jadi pada model ini, subsidi baru 0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.

Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru.  Semoga bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu.  Maklum penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan.  Tetapi tolong, tunjukkan hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap.  Agar kami kaum intelektual tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

 

 

 

flow migas nasional dari KemESDM 2007