Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Pencegahan Penyakit di Masa Khilafah

Sunday, October 9th, 2011

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal.  Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun.  Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.

Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah.  Baru 40 persennya untuk terapi.  Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.

Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan.  Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati.  Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy.  Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit.  Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.

Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal.  Kadang ditambah bekam dan ruqyah.  Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun.  Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.

Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”.  Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.

Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi.  Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.

Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?

Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19.  Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella).  Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah!  Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya.  Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.

Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam.  Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan.  Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.

Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi.  Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata!  Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.

Copy halaman kitab Qanun fit Thib karya Ibnu Sina

Copy halaman kitab Qanun fit Thib karya Ibnu Sina

Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18.  Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”.  Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker!  Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno.  Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.

Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang telanjur sakit.  Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana.  Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh.  Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran.  Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran.  Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.

Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik.  Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah.  Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.

Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.

Minyak dari para ulama

Sunday, July 24th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Menaikkan harga BBM (mengurangi subsidinya), pasti tidak populer.  Membatasi distribusi premium hanya ke kendaraan umum, teknisnya susah.  Jangan-jangan nanti banyak angkot alih jasa, tidak lagi membawa penumpang tapi berganti jadi makelar premium buat mobil pribadi.  Maka pemerintah dapat ide baru, menghapus premium sama sekali, dan subsidinya tidak dialihkan ke pertamax.  Di dunia, memang tinggal sangat sedikit negara yang masih memakai BBM ber-oktan 88 seperti premium, dengan alasan kurang ramah lingkungan  Di negara maju, premium hanya dijual terbatas pada mobil antik, yang mungkin menjadi barang koleksi.

Tetapi bicara premium berarti bicara minyak, dan kalau kita menengok ke belakang, itu berarti bicara prestasi umat Islam dalam teknik kimia dan teknik perminyakan.

Banyak bukti menunjukkan bahwa para kimiawan muslim adalah yang pertama-tama memproduksi bahan bakar dari minyak bumi mentah.  Sebelumnya, manusia hanya mengenal minyak organik, baik dari tumbuhan (seperti minyak kelapa) atau hewan (lemak unta).

 

Sebotol minyak mentah, umumnya sulit terbakar.

Tentu saja, pada awalnya hasil olahan minyak mentah itu masih sangat sederhana, seperti nafta (lilin) dan ter (aspal).  Tapi pada akhir abad-8 M, jalanan di Baghdad sudah diaspal dengan hasil olahan minyak melalui suatu proses yang disebut “destilasi destruktif”.  Al-Qazwini, dalam kitabnya Aja’ib Al-Buldan (Negeri Ajaib) menuturkan ada dua jenis campuran aspal dan pasir yang digunakan melapisi jalan, yang dikenal kuat dan lekat.

Dr Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition juga memaparkan infrastruktur transportasi jalan di zaman kekhalifahan Islam, terutama di Baghdad. Pembangunan jalan beraspal di kota itu telah dimulai sejak Khalifah Al-Mansur pada 762 M. Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam History of Arab juga melukiskan jalan-jalan di Baghdad dan Cordoba telah berlapis aspal, dan di malam hari telah diterangi lampu minyak. Kali pertama peradaban Barat mengenal jalan beraspal adalah pada 1824 M, yaitu di Champs-Elysees Paris, Perancis.

Pada abad-9 M, Muhammad ibn Zakarīya ar-Rāzi menemukan cara menghasilkan kerosene (minyak tanah) dari minyak mentah.

Masih pada abad-9 M, sebuah ladang minyak di dunia pertama kali dimanfaatkan di sekitar Baku (Azerbaijan) untuk menghasilkan nafta.  Deskripsi al-Mas’udi (abad-10) dan Marcopolo (abad-13) menggambarkan adanya hasil dari sumur minyak mencapai jumlah ratusan kapal perhari.

Sebuah Sumur minyak tua.

Berbeda dengan rekan-rekan ilmuwan sebelumnya, pada abad-11 Abū Alī ibn Sīnā menemukan “minyak essensial”.  Minyak esensial adalah cairan “hidrofobik terkonsentrasi” yang mengandung senyawa aroma-atsiri dari tanaman. Minyak atsiri juga dikenal sebagai minyak ethereal atau aetherolea, atau hanya sebagai minyak extrak tanaman dari, seperti minyak cengkeh, tetapi bukan sekedar “minyak tanaman” seperti minyak kelapa.

Minyak essensial adalah “penting” dalam arti bahwa ia membawa aroma khas esensi tanaman. Minyak atsiri membentuk suatu kategori khusus untuk tujuan medis, farmakologi, atau kuliner.  Pada umumnya minyak atsiri diekstraksi dengan penyulingan.  Proses lainnya termasuk ekspresi, atau ekstraksi pelarut.  Mereka digunakan dalam parfum, kosmetik, sabun dan produk lainnya untuk aroma makanan dan minuman, dan untuk menambah “aroma dupa” dan “produk pembersih” rumah tangga.

Teknologi perminyakan sangat berkembang di tubuh umat Islam ketika mereka masih memiliki visi menjadi umat yang terbaik di dunia.

Karena itu, tidak sedikit para ilmuwan – yang dibesarkan dalam pendidikan Islam seperti hafal al-Qur’an di usia 10 tahun –  berlomba terjun dalam riset teknologi.  Mereka mendapat dorongan penelitian dari Qur’an dan Sunnah, dan memanfaatkan hasil penelitiannya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslim.  Namun demikian, berbeda dengan riset yang didorong oleh ideologi kapitalisme, “riset Islam” tidak pernah menjajah dan memboroskan sumber daya alam dan lingkungan.

Sementara itu negara Daulah Khilafah masih efektif melakukan dakwah ke seluruh dunia dengan memberi contoh nyata, yakni menerapkan Islam dan menunjukkan bahwa penerapan Islam itu menjadika

Infrastruktur Transportasi Negara Khilafah

Wednesday, July 20th, 2011

Dr. Fahmi Amhar

Seorang ahli teknik sipil bertanya, seperti apa konsep infrastruktur transportasi negara khilafah?  Tentu tidak dengan serta merta pertanyaan ini dapat dijawab.  Apalagi bagi banyak orang, persoalan transportasi seakan hanya persoalan teknis.  Dan di zaman dulu teknologinya masih sangat berbeda, dan jumlah penduduknya juga masih sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin tidak pernah ada.

Tetapi, bagi seorang muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada.  Maka dalam persoalan infrastruktur transportasi, kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:

Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta.  Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.

Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi.  Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki.  Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.

Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah.  Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti.  Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik.  Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.

Telekomunikasi dalam ujud yang sederhana juga makin berkembang.  Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih.  Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.

Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan.  Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.

Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan.  Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang.  Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan muslim sudah memikirkan.  Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”

Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini.  Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.  Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.  Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya.  Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf.  Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu.  Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!

Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908.  Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km.  Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap Khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman.  Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.

Perang Dunia-I mengakhiri semuanya.  Tak cuma Khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir.  Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.