Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
May 30th, 2006

Menarik Hikmah dari Tsunami

Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Sabtu 8 Januari 2005.

KATA Tsunami tiba-tiba menjadi akrab bagi kita. Namun saya terus terang sangsi, apakah keakraban ini akan membuahkan perubahan sikap kita yang selama ini relatif cuek dengan alam, dengan moral dan dengan ilmu pengetahuan.

Kalau kita bercermin pada media massa yang lebih suka ‘bersendagurau’ dengan aneka kontes bintang (AFI, KDI, Indonesian Idol, Penghuni Terakhir,… ) dan baru pasca bencana tanpa putus menayangkan Indonesia Menangis – itupun tidak semua stasiun, kita koq perlu pesimis. Bisa saja akan banyak peristiwa lain yang mengalihkan perhatian kita (bencana di daerah lain atau hiruk pikuk Pilkada). Apakah Aceh akan terlupakan? Atau kongkritnya apakah dari Tsunami ini tidak kita ambil hikmah? Karena Tsunami bisa saja menyambar daerah lain, dan bencana tidak cuma tsunami!

Kalau kita tidak mau mengubah diri kita, yakni pikiran dan perasaan kita dalam memandang dan menyikapi hidup ini, maka nasib kita tidak akan berubah. Nanti ketika ada bencana lagi, dan mungkin langsung mengenai kita, kita akan tetap terbirit-birit, panik, tak ada koordinasi dan kerugian bisa jadi jauh lebih besar. Tak salah Allah berjanji: sesungguhnya Dia tak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka (QS 13:11).

Antara Amanah dan Ikhtiar

Sikap terbijak pertama adalah memandang pada hakikatnya semua ini milik Allah dan kita hanya mendapat amanah untuk menjaga dengan hak guna sesuai ketentuan-Nya. Jika titipan itu diambil kembali oleh pemiliknya, semestinya kita bersyukur, karena tanggungjawab kita berkurang. Meski begitu di dalam hak guna itu juga terkandung kewajiban untuk memaksimalkan ikhtiar. Ikhtiar ini meliputi pasca maupun pra-bencana.

Ikhtiar pasca-bencana meliputi aktivitas yang akut (pertolongan korban, penguburan jenazah, rehabilitasi infrastruktur dansebagainya) berikut hal-hal yang terkait (dana, sarana transportasi dan alat berat, logistik, petugas dan relawan) maupun aktivitas jangka panjang (terapi mental, pengasuhan anak yatim, pencarian orang hilang, hingga revitalisasi kehidupan ekonomi).

Sedang ikhtiar pra-bencana berusaha mencegah agar bencana ini tidak terulang lagi, di manapun. Memang tak ada manusia mampu mencegah tsunami, seperti juga tak ada yang mampu meramal kapan gempa. Gempa dengan magnitudo 9 Skala Richter memang mungkin hanya terjadi seribu tahun sekali, tapi apa lantas kita tak ada antisipasi?

Banyak cara agar Tsunami tidak menimbulkan korban dan kerusakan yang besar. Ikhtiar itu antara lain: tata ruang yang tepat (sehingga zone rawan tsunami tak menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial), pembuatan peredam tsunami (pemecah ombak, hutan mangrove, tanggul pantai), sistem peringatan dini (karena dari gempa ke tsunami ada selang waktu setengah hingga beberapa jam), pembuatan tempat-tempat evakuasi aman yang dapat dijangkau dalam setengah jam, pelatihan masyarakat secara terjadwal untuk menghadapi kondisi darurat dan adanya sistem-sistem antisipasi bencana (meliputi sistem informasi, SOP, posko). Sehingga ketika bencana itu tiba, pertolongan mudah terkoordinasi.

Di sinilah pemerintah wajib berperan. Kalaupun Pos Peduli Aceh tumbuh seperti jamur (dan kadang tidak transparan), pemerintahlah yang seharusnya memiliki inisiatif, mengoptimalkan instrumen yang dimilikinya. Pemerintah bisa menggerakkan TNI dan Polri dari manapun di Indonesia. Pemerintah bisa juga memobilisasi alat-alat berat atau transportasi milik swasta atau bahkan meminjam dari luar negeri. Pemerintah juga bisa mewajibkan semua media agar membantu. Dia bisa pula melarang hura-hura tahun baru, di saat ada penderitaan yang luar biasa.

Pemerintah juga memiliki dana sarana dan birokrasi untuk mengimplementasikan hasil-hasil riset. Riset Tsunami di Indonesia sudah sering dilakukan, namun hasilnya cuma masuk perpustakaan. Sayang dengan expertise yang sudah dikumpulkan oleh lembaga-lembaga seperti Bakosurtanal, BMG, ITB, BPPT dan sebagainya. Bakosurtanal sudah melakukan riset geodinamika sejak 25 tahun. Riset ini bahkan menarik banyak peneliti dari luar negeri, dan sebagian malah didanai dari mereka. BMG punya Pusat (Studi) Gempa Nasional. ITB punya software untuk menghitung gempa dan tsunami. Dan Balai Penelitian Dampak Bencana BPPT punya Lab Teknik Pantai di UGM yang biasa melakukan simulasi tsunami untuk studi perlindungan pantai. Mereka juga telah mengembangkan sistem informasi geografis yang bisa dengan cepat menghitung berapa kerugian materi yang ditimbulkan oleh suatu gempa-Tsunami dengan magnitudo dan jarak episenter tertentu.

Sayang riset semacam ini malah cenderung mudah dipangkas, konon karena ‘tidak jelas manfaatnya’. Orang sering bertanya-tanya, buat apa geodesi & geodinamika yang memasang GPS-permanen dan mengukur gerakan kerak bumi dengan akurasi sub-milimeter? Padahal riset ini antara lain akan menunjukkan zona rawan gempa.

Antara Persatuan dan Peradaban

Kita ikut sangat bersedih dengan musibah Aceh. Penggalangan bantuan yang paling kolosal dalam sejarah Indonesiapun muncul. Perasaan ini tidak muncul ketika kota Bam di Iran rata oleh gempa serupa. Juga tidak muncul saat kota Fallujah di Iraq dihajar oleh bom-bom Amerika.

Bisa demikian, karena Aceh masih senegara dengan kita. Andaikata GAM sudah melepaskan Aceh dari Indonesia, mungkin kita akan lebih ‘masa bodoh’. Bangsa lainpun juga demikian dalam memandang kita. Maka, meski dari berbagai negeri Muslim (terutama yang kaya minyak) bantuan mengalir, nilainya tentu tak akan sesignifikan dengan andai mereka satu negara dengan kita.

Maka musibah Aceh ini mengajari kita, bahwa adalah kepentingan kita semua, agar negeri-negeri Muslim bersatu di bawah satu kepemimpinan, seperti di zaman Khilafah Rasyidah. Dengan itu kita akan maksimal dalam saling menanggung dan mengisi kekurangan kita. Barangkali Allah memberi musibah di wilayah ‘ter-Islam’ negeri ini, untuk mengingatkan kaum muslimin sedunia, bahwa mereka itu satu tubuh. Mereka menyembah Tuhan yang sama, mengikuti Nabi yang sama, membaca Kitab yang sama, salat ke Kiblat yang sama dan pergi haji ke tempat yang sama. Untuk apa sekat-sekat nasionalisme memisahkan mereka?

Bencana ini adalah cara Allah memuliakan manusia. Korbannya akan dimuliakan dengan kesabaran dan baik sangkanya kepada Allah. Sedang yang hidup dimuliakan dengan darmanya menolong sesama, dan ikhtiarnya di masa selanjutnya. Boleh jadi kamu benci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu suka sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qs. 2:216)

Mereka juga telah membuktikan, bahwa selain amal kebajikan yang melekat di dalam dada, apapun bisa lenyap seketika. Bencana ini juga cara Allah untuk ‘mengocok’ kartu nasib. Orang-orang yang di masa lalu telah punya ‘segalanya’, tiba-tiba kehilangan semuanya. Harta hanyut, rumah roboh, kendaraan hancur, keluarga tewas semua, ijazah lenyap – bahkan sekolah yang mengeluarkannyapun hilang dan guru-gurunya entah bagaimana. Hal yang sama terjadi dengan surat tanah, kertas saham dan polis asuransi. Orang-orang itu kini kembali dari nol lagi. Sebaliknya orang-orang yang sebelumnya belum memiliki apa-apa mungkin punya kondisi re-start yang lebih baik, karena mereka tak perlu sangat menangisi apa yang hilang.

Kalau Allah mau, musibah itu bisa hadir di tempat kita, mungkin berupa longsor, gunung meletus, angin ribut, kecelakaan lalulintas, kerusuhan atau teror. Bila saat itu kita sedang jauh dari syari’at atau sedang maksiat, habis kita dunia akherat. Maka mestinya kita selalu siap mati dalam keridhaan Allah. Kita harus selalu di jalan syari’at. Dan para penguasa punya kewajiban syari’at lebih banyak dari rakyatnya.

Mereka wajib mengatur politik, ekonomi, pendidikan, pertahanan dan hubungan luar negerinya sesuai syari’at. Kemudian rakyatnya yang masih hidup, segar bugar, banyak harta, banyak ilmu, bisa tertawa, juga punya kewajiban yang lebih besar dari para pengungsi Aceh, yang kini tak punya apa-apa lagi, bahkan sudah sulit untuk tertawa. Marilah kita tarik hikmah dari Tsunami ini. q – m

*) Dr Ing Fahmi Amhar, Ahli geodesi, Peneliti di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional-Bakosurtanal.

Tags:

.

Leave a Reply