Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
December 4th, 2006

Politik Teknologi & Kekayaan Intelektual

Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Utama, Bakosurtanal

(Tabloid Suara Islam, minggu 1-2 Desember 2007)

 

Bagi suatu bangsa, teknologi adalah suatu agen ekonomi yang paling signifikan, di samping politik, hukum serta perubahan sosio-kultural.  Karena itu, untuk membangkitkan ekonomi, perlu kebangkitan teknologi.  Apapun ideologi yang dianut suatu bangsa, kebangkitan ekonomi tanpa teknologi sulit dibayangkan. 

Namun politik pengembangan teknologi bagi banyak negara berkembang saat ini dikeluhkan terhambat oleh rezim “hak kekayaan intelektual” (HKI).  Mereka menganggap, hak-hak itu adalah rekayasa negara-negara maju untuk membatasi akses teknologi bagi negara berkembang.  Karena itu ada “perlawanan” pada sebagian mereka dengan membiarkan pembajakan karya berhak-cipta, misalnya buku atau software.  Di sisi lain, negara-negara maju mengklaim, maraknya pelanggaran HKI itu justru akan mematikan potensi teknologi suatu bangsa. 

Karena itu perlu ditelusuri lebih dalam, bagaimana sesungguhnya rezim HKI ini dalam teori dan realita.

 

Teori

HKI adalah pengakuan hukum oleh negara yang memberikan pencipta atau penemu hak mengatur secara eksklusif penggunaan gagasan yang diciptakannya untuk jangka waktu tertentu sebagai kompensasi dari pengumumannya kepada publik (publikasi).  Istilah ‘kekayaan intelektual’ bermakna bahwa hasil pikiran dapat dilindungi oleh hukum sebagaimana bentuk hak milik fisik lainnya.

Hak eksklusif ini secara umum ada dua kategori: pertama: hak eksklusif memperbanyak ciptaan untuk tujuan komersial, tanpa melarang orang lain mengekspresikan ide yang sama dalam bentuk yang berbeda; kedua: hak melarang orang lain mengerjakan sesuatu yang telah didaftarkan, meski mereka belum pernah mendengar atau melihat apa yang diklaim sebagai kekayaan intelektual itu.

Dalam realita, pemilik paten suatu obat misalnya, dapat menghalangi orang lain membuat atau menjual obat itu tanpa seizinnya, namun di sisi lain, sang pemilik itu juga tidak bisa melakukannya sendiri tanpa lisensi khusus dari otoritas pengatur.

Hal ini karena hukum yang mengatur HKI biasanya bersifat teritorial; sehingga dapat berbeda-beda di tiap negara.  Di Indonesia UU HKI mencakup Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri, yang terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman

Hak cipta (copyright) ada pada karya kreatif atau seni (buku, film, musik, lukisan, foto dan software) dan pemegangnya diberi hak eksklusif untuk jangka waktu tertentu mengontrol reproduksi (mengcopy) atau adaptasinya (penerjemahan, pengangkatan buku menjadi film, dsb). 

Paten diberikan untuk penemuan baru yang berguna bagi industri.  Pemiliknya diberi hak eksklusif untuk mengkomersilkan penemuannya untuk 20 tahun sejak tanggal pendaftarannya.

Desain industri memproteksi suatu bentuk alat atau desain (misal spareparts, mebel atau motif tekstil) dari penjiplakan.  Hal sejenis ada pada desain sirkuit terpadu yang dipakai memproduksi chip elektronik.

Varietas tanaman memproteksi dalam jangka waktu tertentu suatu jenis tanaman unggul yang telah didapatkan dari riset yang lama dan mahal.

Merek dagang adalah tanda unik yang diberikan untuk membedakan suatu barang atau jasa dari produsen atau pedagang lainnya.

Rahasia dagang (terkadang disebut pula “confidential information”) adalah suatu rahasia bisnis yang tidak dipublikasikan, namun diketahui orang-orang tertentu di perusahaan itu, dan membocorkannya adalah melanggar hukum, sekalipun orang-orang yang mengetahui itu sudah tidak bekerja di sana.  Rezim HKI memberi kesempatan untuk mencatatkan pada negara apa yang termasuk rahasia dagang itu.

Perlindungan hak cipta biasanya diberikan selama 70 tahun, paten 20 tahun, desain industri, sirkuit terpadu atau varietas tanaman bervariasi – umumnya juga maksimum 20 tahun, sedang merek dagang dan rahasia dagang tidak terbatas.

Dengan mempublikasikan karya-karya intelektual ini – meski dengan membatasi pemanfaatannya – diharapkan para peneliti di seluruh dunia dapat meningkatkan kreatifitasnya, sehingga terus menghasilkan karya-karya baru.  Database paten yang memang terbuka (semacam www.uspto.gov) adalah sumber informasi teknologi terlengkap yang ada di dunia.  Di sana tersedia lebih dari 6 juta deskripsi rinci teknologi – bahkan sebagian besar belum pernah masuk ke pasar, mungkin karena tidak menemukan investornya.

 

Kritik & Kontroversi

Kontroversi terjadi ketika undang-undang HKI mendorong untuk membuat inovasi agar diketahui umum, namun pada saat yang sama memberi pencipta atau penemu hak eksklusif pemanfaatan karya mereka itu untuk jangka waktu tertentu.

Para ekonom kapitalis biasanya meyakinkan bahwa pasar bebas tanpa hak eksklusif akan membawa produksi intelektual yang lebih rendah.  Hal ini karena para pencipta atau penemu itu umumnya bukan pemilik modal besar.  Tanpa perlindungan hukum yang memadai, mereka akan khawatir bila karya ciptaan atau penemuan mereka justru dikomersilkan oleh perusahaan besar, dan perusahaan itulah yang untung besar sedang para pencipta dan penemu hanya mendapat hasil yang pas-pasan.  Dengan menaikkan balasan bagi para penulis, penemu dan penghasil karya intelektual, melalui royalti yang dijamin rezim HKI, maka efisiensi diharapkan akan naik. 

Namun di sisi lain, membatasi penggunaan bebas dari ide dan informasi akan juga menimbulkan biaya, ketika penggunaan teknik terbaik untuk suatu tugas tertentu jadi terhalang.

Masalah ini mencuat karena memang tidak mudah menilai baik biaya menghasilkan maupun manfaat yang didapat dari karya intelektual.  Semua hitung-hitungan selalu didasarkan pada banyak asumsi – yang mungkin benar di lingkungan mikro, namun sulit digeneralisasi secara makro.

Memang ada karya intelektual yang dihasilkan dalam riset yang mahal dan lama (riset obat, bibit unggul atau mesin hemat energi).  Namun ada pula yang ide itu muncul begitu saja, atau didasarkan temuah ilmiah lain yang tidak dilindungi rezim HKI atau telah ditemukan sebelum rezim HKI ada.  Sebagaimana diketahui, penemuan fisika, kimia atau matematika yang tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh industri, tidak dilindungi HKI, dan hanya konsumsi akademis saja.  Fakta juga, nilai ekonomis karya intelektual sering tidak tergantung biaya pembuatannya.  Penciptaan lagu atau software, terkadang hanya berbiaya kecil, namun memberi penghasilan sangat tinggi.  Margin profitnya jauh lebih tinggi dari margin pada industri manufaktur barang-barang fisik pada umumnya.

Karena itu, bagaimana nilai investasi yang harus dishare oleh pengguna atau investor dalam bentuk royalty itu harus ditentukan?  Di sisi lain investor juga ingin nilai yang diinvestasikan itu kembali.  Dalam lingkup kecil, investor dapat menghitung penghematan yang dia dapatkan dengan karya intelektual itu.  Namun dalam skala besar, hal itu sulit, karena benefit suatu perusahaan juga terkait iklan, persaingan usaha, perkembangan teknologi (yang dapat membuat daluarsa penemuan teknologi sebelumnya) dan kondisi makro ekonomi lainnya.  Bahkan sekedar dalam akuntansi saja, pembukuan asset dari karya intelektual itu tidak mudah.

Di beberapa jenis produk memang ada hubungan antara peningkatan jumlah penemuan dengan introduksi rezim HKI.  Namun pendapat ini digugat orang dengan alasan bahwa wajar bila makin hari makin banyak penemuan teknologi, karena memang elemen yang dapat dikombinasikan semakin banyak.

Yang jelas, di bawah rezim HKI, publik dicegah dari mengambil manfaat dari penggunaan informasi yang dipublikasikan tanpa khawatir melanggar syarat-syarat pemegang HKI.  Biaya yang ditanggung publik juga sulit dikuantifikasi.  Sebaliknya, biaya yang “ditanggung pemegang HKI” sering dipublikasikan.  Bussiness Software Alliance (BSA) yang gencar menyisir pembajakan software mengklaim bahwa di seluruh dunia pembajakan software telah merugikan para penciptanya senilai 29 Milyar Dollar.  Namun tidak pernah dihitung kerugian pengguna akibat software yang dibeli legal namun tidak optimal.

Di dunia, hanya Amerika Serikat dan Inggris yang secara terus menerus menerima laba netto dari HKI dan juga pendukung utama sistem HKI.  Ini yang dicoba diubah oleh negara-negara seperti China, India dan negara berkembang.  Namun “aksi perlawanan” bukan hanya tindakan di negara-negara berkembang.  Banyak kalangan dari negara maju sendiri yang akhirnya melihat ketimpangan rezim HKI, dan lalu berinisiatif membuat jalur alternatif. 

Orang seperti Wilhelm Conrad Roentgen, penemu sinar tembus dari Jerman, menolak usulan agar mempatenkan penemuannya, karena dia ingin mesin itu menjadi wakaf bagi kemanusiaan.

Dalam bidang software, muncul Open Source Society dan Free Software Foundation.  Software bebas copy seperti Linux dengan segala aplikasinya sudah mengkhawatirkan Microsoft, sampai Microsoft di Rusia, Cina, India dan Thailand menawarkan harga khusus super murah kepada instansi pemerintah.

Bahkan World Intelectual Property Organizaiton (WIPO) sendiri telah mengkritik dirinya. Pada 2004 dalam deklarasi Geneva WIPO dianjurkan untuk fokus lebih banyak pada kebutuhan negara bekembang dan untuk melihat HKI sebagai salah satu dari banyak alat untuk pembangunan, dan bukan berhenti pada dirinya sendiri.

Masalahnya, bagi negeri-negeri muslim, lepas dari soal pro atau kontra rezim HKI, sudahkah politik teknologi mereka efektif?  Sudahkan ilmuwan mereka dihargai lebih dari artis, olahragawan atau politisi?  Sudahkah teknolog mereka berkarya untuk memiliki kemerdekaan teknologi, dan bukan sekedar corong produk ber-HKI dari negara-negara maju? 

Tags:

.

One Response to “Politik Teknologi & Kekayaan Intelektual”

  1. Butuh analisis lanjutannya pak, banyak simpang siur di masyarakat.

Leave a Reply