Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
January 2nd, 2008

Mencari Peta Bencana

dimuat di harian KR 8 Januari 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Tahun Baru diwarnai dengan bencana baru.  Dan kita sekali lagi terbangun dari tidur panjang: bencana yang acap kali terjadi belum membuat kita lebih cerdas.

Baru saja, ada orang yang bertanya: adakah Bakosurtanal siap dengan peta banjir kawasan Solo-Ngawi-Bojonegoro?  Paling tidak untuk emergency, evakuasi, dan rehabilitasi.  Banyak LSM dan ormas yang siap terjun tapi belum punya peta.

Ketika ditanyakan pada pejabat yang pernah punya proyek pemetaan bencana, dijawab sudah diupload di web Bakosurtanal.  Ketika dilihat di web, ternyata file di situ hanya file jpeg (yang kalau diprint pasti gambarnya pecah) setara skala 1:1000.000. Jadi 1 cm di peta itu sama dengan 10 km di lapangan!  Untuk overview satu propinsi, peta itu masih bisa dipakai, tetapi untuk bergerak di lapangan tentu jauh dari memadai!

Celakanya lagi, di peta itu: Solo, Ngawi dan Bojonegoro sempat digambar tidak rawan banjir!  Tidak ada penjelasan metode pembuatan peta tersebut.  Tetapi dapat diduga, hal itu karena (1) sumber data yang dipakai hanya peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000 yang toleransi kesalahan vertikalnya sekitar 3 meter; (2) pembuatannya, meski sudah melibatkan BMG dan Departemen PU, namun hanya berdasarkan data historis jangka pendek, belum dari spatial-system-dynamic-modelling; (3) generalisasinya terlalu excessive, sehingga untuk daerah rawan banjir praktis hamir seluruh Kabupaten dianggap rawan.  Ya kalau seluruh Kabupaten rawan banjir, lantas di mana bisa ditampung pengungsi dan menurunkan logistik? Semoga peta ini belum sempat disosialisasikan…

Ketika hal ini disampaikan ke para pejabat yang berwenang, ada oknum pejabat yang menanggapi begini: “Coba anda bikin metode yang lebih baik …”.  Weleh-weleh … padahal dulu waktu pembuatan peta itu kita tidak pernah diajak rembugan, boro-boro kecipratan …  Tapi ini masih mending, ada juga oknum pejabat lain yang justru meradang, karena kita dianggap menyampaikan informasi tidak melalui jalur birokrasi yang sah.  Perlu diketahui, banjir ini terjadi saat cuti bersama.  Jadi kita mengontak para pejabat eselon satu itu dengan sms dan telepon.  Kalau ini dianggap lancang, dan harus menunggu surat-menyurat konvensional, ya kapan korban di lapangan bisa ditolong?

Kita introspeksi, ini memang karena Bakosurtanal hingga saat ini belum punya PUSAT PEMETAAN KEBENCANAAN yang memadukan berbagai data di Bakosurtanal, BMG, Lapan, ESDM, PU, dll.  Di Bakornas-Penanggulangan Bencana juga tidak ada.  Dan di UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, urusan peta bencana diserahkan ke daerah, padahal daerah belum tentu ada orangnya yang peduli dan mampu.  Walhasil, urusan pemetaan bencana adalah urusan voluntary.  Hanya, sekali-sekali ada inisiatif yang kemudian mendapatkan kucuran anggaran dari DIPA.  Itu juga sebenarnya tidak besar.

Tahun 2002, ketika banjir besar melanda Jakarta, dan banyak orang menawarkan pemetaan banjir, Dewan Geomatika Indonesia pernah mencoba membuat kajian pemetaan banjir.  Hasilnya: saat ini masih cukup sulit menghasilkan peta banjir yang akurat.  Penyebabnya tiga macam:

(1) Kita tidak punya peta 3-Dimensi yang cukup rinci dengan toleransi kesalahan vertikal maksimum 25 centimeter, dan resolusi spasial 1 meter; ini artinya mencakup selokan, gorong-gorong, tanggul pembatas jalan dan sebagainya. Peta dari Dinas Pengukuran dan Pemetaan Tanah (DPPT) DKI, yang konon berskala 1:1000 – 1:5000, pernah ditawarkan, tapi ternyata cuma ada 1 titik tinggi tiap 1 hektar, sedang jalan, selokan dan lainnya belum 3-Dimensi.  Jadi ya susah, padahal banjir sudah terjadi ketika genangan air di jalan sudah mencapai 30 cm lantaran terhalang tanggul pembatas jalan, atau gorong-gorong mampet.

(2) Data seperti di atas, yaitu mencakup sepanjang daerah aliran sungai, akan sangat besar, sehingga modelling secara spatial-system-dynamic memerlukan processor paralel – ditaksir minimal sekitar 100 Pentium-IV @ 1 GHz.  Dengan prosesor seperti ini diharapkan model yang dihasilkan dapat berpacu dengan peristiwa di alam, sehingga bisa untuk early warning.  Pada umumnya sih orang mengambil jalan moderat dengan membuat “pre-run-model”.  Jadi model-model disimulasi lebih dahulu, yang kemudian tinggal dipanggil saat di lapangan menunjukkan indikator tertentu.

(3) Untuk bisa melakukan modelling parallel itu, diperlukan beberapa SDM pakar, antara lain: ahli informasi spasial (pemetaan), ahli pemodelan system-dynamic & programmer yang menguasai pemrograman dalam lingkungan paralel, dan yang terakhir ini cukup sulit didapatkan di Indonesia.

Jadi untuk saat ini terus terang kita belum berani mengerjakan pemodelan banjir yang sesungguhnya, kecuali kalau baru sekedar “main-main”, misalnya:

(1) Ambil citra satelit Quickbird atau Radar (ALOS-Palsar) sebelum banjir dan setelah banjir, lalu tinggal digambar/delineasi kawasan yang terendam.  Tapi gambar ini tidak memperlihatkan dinamika air, padahal genangan itu kan bergerak.  Apa yang saat citra diambil tidak tergenang, boleh jadi beberapa jam kemudian tergenang, sedang yang semula tergenang cuma 20 centimeter, bisa jadi berubah menjadi 2 meter.

(2) Tentukan beberapa ratus titik di lapangan (paling gampang pilih tiang listrik), lalu ukur tingginya dengan GPS, pasang sticker berskala di tiang listrik itu yang menunjukkan angka elevasi absolut di atas permukaan laut, kemudian saat banjir bikin survei kecil-kecilan (boleh melibatkan masyarakat setempat) untuk memantau skala tertinggi yang disentuh air banjir.  Mereka tinggal kirim sms dalam format tertentu, sehingga peta dapat diupdate dari menit ke menit.  Ini mudah dan murah.  Namun tentu hanya bisa menggambarkan banjir yang telah terjadi, belum yang masih mungkin terjadi di masa depan.

Memang kuncinya di spatial-system-dynamic, di mana komponen seperti curah hujan maksimum, landcover, pendangkalan sungai, kondisi selokan, gorong-gorong, pintu air, pompa serta situasi pasang surut dapat dimodelkan semua.

Berani?  Maksudnya berani membiayainya, dan juga mencarikan personilnya?  Kalau berani, sistem ini nanti dapat dipakai juga untuk AMDAL.  Jika ada orang bikin real-estate baru, atau membuka kebun baru, maka sebelum terjadi apa-apa, dapat disimulasi, apakah proyek itu kelak dapat mengakibatkan banjir atau tidak.  Kalau berpotensi banjir (sekalipun banjirnya tidak di situ), ijin tidak usah diberikan.

Gitu aja koq repot.  Tidak repot, tapi sekali lagi siapa berani?  Kita memang perlu pemimpin yang pemberani, yang takutnya hanya kepada Allah saja.

Tags: ,

.

Leave a Reply