Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
March 17th, 2008

Mencari Bentuk Manajemen Riset

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

Beberapa bulan terakhir ini Menteri Kesehatan dan departemennya masuk berita.  Pertama terkait ungkapan Menkes dalam bukunya bahwa telah terjadi konspirasi antara WHO dan beberapa perusahaan farmasi yang melanggar hak-hak bangsa Indonesia.  Sebabnya, virus avian flu (flu burung) yang diserahkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO), ternyata dipakai oleh sejumlah perusahaan farmasi di negara maju untuk riset dan pengembangan vaksin flu burung tanpa seijin pemerintah Indonesia, dan kemudian justru akses bangsa Indonesia atas vaksin tersebut begitu sulit atau mahal.  Padahal korban tewas flu burung sudah puluhan orang.

Yang kedua adalah adalah kasus publikasi sebuah penelitian di IPB tentang terkontaminasinya sejumlah susu bayi kemasan dengan suatu jenis bakteri yang bisa berbahaya.  Menkes merah telinganya atas penelitian yang menurutnya dibuat tanpa kejelasan apa masalahnya, karena menurutnya selama ini tidak ada kasus keracunan susu bayi.  Menurut beberapa sumber di IPB, sebenarnya penelitian tersebut sudah dilakukan tahun 2006 lalu, dan hasilnya juga sudah ditindaklanjuti Depkes.  Entah apa motivasi di balik publikasi baru-baru ini.

Kita tidak ingin mengupas tuntas persoalan yang dihadapi Menteri Kesehatan.  Namun kita ingin menyoroti bahwa semua persoalan di atas berpangkal dari jeleknya manajemen riset kita.  Negeri ini sudah memiliki Undang-undang no 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian & Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sipteknas).  Namun faktanya di lapangan masih banyak persoalan manajemen dan teknis yang harus dipecahkan.

Pertama, tentang riset apa yang mau dilakukan, antar para pelaku riset seperti tak ada koordinasi.  Sebenarnya tidak masalah ada overlap antar peneliti, karena hal itu dapat menjadi ajang validasi hasil riset antar mereka.  Namun validasi ini jarang dilakukan, karena justru overlap ini terjadi lebih karena mereka tidak saling tahu.  Dalam hal ini perhimpunan-perhimpunan ilmiah juga belum mampu menjadi katalisator.  Perhimpunan-perhimpunan ilmiah di negeri ini kebanyakan hanya ajang silaturahmi dan “konkow-konkow” elit pengurusnya.  Pengurusnya ini juga kebanyakan justru birokrat atau pengusaha, bukan peneliti tulen, dan perhimpunan ilmiah itu sekedar dipakai alibi untuk jalan-jalan atau tidur di hotel atas biaya kantor.  Maka dari awal sudah dapat ditebak bahwa riset kita banyak yang tidak nyambung, baik dengan lembaga sejenis maupun dengan calon penggunanya.  Dampaknya, banyak hibah-hibah riset yang ditawarkan lembaga-lembaga multinasional (misalnya Asia Pacific Network atau Uni Eropa) yang sulit dimanfaakan oleh peneliti Indonesia, sebab mensyaratkan bahwa topiknya harus regional (minimal melibatkan 3 negara) dan dikerjakan oleh beberapa lembaga dari setiap negara yang saling mengisi.  Ini sekaligus indikator bahwa lembaga-lembaga riset kita miskin jejaring.

Kedua, riset-riset yang telah dikerjakan, sangat sulit diketahui orang lain akan keberadaannya.  Bahkan riset-riset di perguruan tinggi, yang sudah mencetak doktor atau magister, sulit kita dapatkan secara bebas sekalipun hanya daftar judulnya saja.  Sejumlah orang beralasan itu agar ide dalam karya tersebut tidak dijiplak.  Namun alasan itu tentu tidak masuk akal.  Di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika, tesis-tesis master atau PhD banyak yang ditaruh di web sehingga dapat diunduh oleh siapa saja melalui internet, sebagian bahkan tidak sekedar judul dan abstraknya, namun bahkan full text.  Mereka tidak khawatir riset mereka dijiplak orang, karena sadar, bahwa penjiplak itu sesungguhnya sedang menipu dirinya sendiri.  Penjiplak tak akan pernah lebih maju daripada yang dijiplak.  Tatkala para penjiplak berbangga diri dengan karya yang sebenarnya bukan hasil pikirannya, “korbannya” justru telah melesat jauh meninggalkannya.

Ketiga, masuknya sejumlah peneliti asing atau penelitian di Indonesia yang didanai asing tentu saja harus dicermati.  Banyak peneliti di Indonesia tidak lebih dari buruh-buruh intelektual yang mau dibayar murah.  Rendahnya apresiasi terhadap penelitian yang tercermin pada rendahnya APBN riset (kurang dari 0,2%) menyebabkan para peneliti terpaksa sering “mengasong”.  Datangnya peneliti asing atau penelitian pesanan asing bagi mereka adalah berkah.  Yang dicari sering hanya uang.  Sering bahkan mereka tak tertarik menulis paper ilmiah berdasarkan data yang mereka kumpulkan sendiri.  Akibatnya ribuan paper ilmiah tentang fenomena di Indonesia justru ditulis oleh orang asing.

Keempat, dunia bisnis di Indonesia masih jarang tertarik untuk terjun ke bidang baru yang sarat riset.  Kalau ada insinyur Indonesia menemukan alat untuk meningkatkan efisiensi mesin mobil, mustahil dia dapat menjual alat itu agar dipakai oleh Honda di Indonesia.  Agen Honda di Indonesia hanya tertarik dengan penjualan produk Jepang.  Mungkin lain bila insinyur tadi ketemu chief scientist Honda di Jepang sana.  Dari sini tampak, bahwa semestinya yang proaktif memasarkan hasil riset tadi adalah pemerintah.

Di beberapa negara maju, pemerintah mensponsori hasil riset untuk dikomersialisasikan dalam bentuk proyek yang berjudul Public-Private-Partnership (PPP).  Contohnya, Badan Ruang Angkasa Jerman (DLR) mengembangkan satelit pemetaan berteknologi radar yang resolusinya 1 meter.  Satelit bernama TerraSAR-X in dikembangkan dengan APBN Jerman (sektor publik) dan modal swasta.  Operasionalisasi satelit ini, termasuk downlink data dan distribusi, juga dilakukan oleh suatu perusahaan swasta.  Inilah partisipasi sektor privat.  Selama masa PPP ini, data TerraSAR-X dipakai baik secara komersial (berbayar) maupun saintifik (gratis) untuk komunitas para peneliti, bahkan ke peneliti di luar negeri.  Padahal 1 scene citra TerraSAR-X itu berharga 4500 Euro (sekitar Rp. 60 juta).  Setelah lima tahun (yakni tahun 2012) akan dievaluasi apakah negara Jerman masih perlu membiayai proyek ini, atau keseluruhan sistem TerraSAR-X harus dibiayai swasta.  Saat ini ada beberapa satelit pemantau bumi yang sepenuhnya dibiayai secara komersial, antara lain Ikonos atau Quickbird.

Model PPP sangat menarik bagi banyak investor.  Tetapi tentu saja tidak segala jenis pelayanan publik (jika setuju bahwa riset seharusnya merupakan layanan publik pemerintah kepada rakyatnya) dapat dijalankan model PPP.  Salah satu model PPP yang sekarang sedang dimatangkan oleh Kantor Menristek adalah membangun sistem informasi bencana.  Inisiatif ini adalah untuk memberi informasi secepatnya ke semua pengguna telepon seluler di suatu lokasi bila ada bencana (misal tsunami) secara gratis.  Karena pemerintah (Bakornas Penanggulangan Bencana) tidak punya cukup dana untuk menyebarkan informasi ini, maka swasta masuk.  Kompensasi untuk swasta adalah mereka diberi kesempatan menyelipkan iklan.  Namun secara teknis, model ini barangkali baru dapat optimal bila pengguna ponsel berteknologi 3G sudah cukup banyak.  Namun bila diasumsikan yang akan memakai layanan ini adalah para turis asing yang sebagian besar sudah membawa ponsel 3G dan ingin merasa aman berwisata di pantai Kuta (Bali), mungkin kita dapat memahami.

Namun banyak pertanyaan yang muncul di sini.  Bila proyek itu rugi, sejauh mana swasta ikut menanggung?  Bila untung, apakah negara sebagai wakil publik ikut mendapatkan bagi hasilnya? Bila sistem gagal, sejauh mana tanggungjawab pemerintah?  Lalu swasta siapa yang akan dipilih?  Boleh ada berapa swasta agar tidak ada monopoli?  Apakah sistemnya transparan dan bagaimana menguji akuntabilitasnya?  Banyak hal-hal ini yang harus diklarifikasi dari awal.  Agar PPP, terutama yang terkait dengan penelitian, tidak justru menjadi seperti sengketa operator busway dengan Badan Layanan Umum Transjakarta.

Tags: ,

.

Leave a Reply