Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
October 21st, 2009

Ketika Bencana tak hanya diratapi dengan doa

Dr. Fahmi Amhar

Indonesia bukan hanya negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan manusianya yang ramah, tetapi juga negeri dengan potensi bencana alam yang berlimpah.  Kita berada tepat di batas-batas lempeng Eurasia, Hindia, Australia dan Pasifik.  Kita punya 129 gunung api aktif.  Semua ini berpotensi gempa, longsor, tsunami dan erupsi yang mampu menghancurkan kehidupan dalam seketika, sebagaimana baru saja terjadi di Sumatera Barat dan Jambi tahun 2009 ini.  Kita juga berada di persimpangan angin dan arus laut antara Asia – Australia dan antara Hindia – Pasifik.  Maka bencana banjir, abrasi gelombang pasang, puting beliung, kekeringan hingga kebakaran hutan juga rajin berkunjung.  Namun, kenyataannya bangsa ini masih belum banyak belajar.  Seharusnya mereka adalah maestro-maestro dunia dalam menghadapi bencana.  Seharusnya bangsa-bangsa sedunia banyak belajar ke Indonesia.  Namun yang terjadi, bala bencana baru dihadapi dan diratapi sebatas dengan doa?

Apakah demikian juga yang terjadi di masa lalu, ketika Daulah Islam masih tegak?

Sebenarnyalah wilayah Daulah Islam yang amat luas juga tak cuma kaya sumber daya alam tetapi juga bersentuhan dengan berbagai potensi bencana alam.  Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara tak pelak lagi rawan kekeringan.  Banyak sahara yang setiap saat dapat mengirimkan badai gurun yang menyebabkan gagal panen dan berarti paceklik dan kelaparan.  Wilayah lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Efrat-Tigris di Irak adalah wilayah rawan banjir.  Wilayah Turki, Iran dan Afghanistan sampai sekarang juga wilayah yang sangat rawan gempa.  Selain itu kadang-kadang wabah penyakit yang hingga abad 18 belum diketahui pasti baik penyebab maupun obatnya datang menghantam, misalnya penyakit cacar atau pes.  Namun toh Daulah Islam tetap berdiri tegak lebih dari 12 abad.  Kalaupun Daulah ini kemudian sirna, itu bukan karena kelaparan, penyakit, atau bencana alam, tetapi karena kelemahan di antara mereka sendiri, terutama elit politisnya, sehingga dapat diperalat oleh para penjajah untuk saling bertengkar, membunuh dan memusnahkan.

Untuk mengantisipasi kekeringan (yang penyebabnya kini telah ditemukan para ahli dengan istilah siklus el-Niño) para penguasa muslim di masa itu telah membangun bunker gudang makanan.  Bunker ini biasanya berupa ruangan di bawah tanah yang dijaga agar tetap kering.  Di situ disimpan bahan makanan seperti gandum, kurma, minyak goreng dan sebagainya yang cukup untuk persediaan selama dua musim.  Bunker ini tak cuma berguna sebagai cadangan logistik bila ada bencana tetapi juga untuk antisipasi bila ada serangan musuh yang mengepung kota.  Saat Perang Dunia ke-2, tentara Jerman di Libya menemukan beberapa bunker di sebuah kota yang telah ditinggalkan penghuninya beberapa puluh tahun.  Yang luar biasa, hampir semua bahan makanan di bunker itu masih bisa dikonsumsi.

Sementara itu untuk mengantisipasi banjir, para penguasa muslim berusaha keras untuk membangun bendungan, terusan dan alat peringatan dini.  Astronom dan Insinyur Al-Farghani (abad 9 M) telah mengkonstruksi sebuah alat yang disebut Nilometer untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil secara otomatis di berbagai tempat.  Setelah bertahun-tahun melakukan pengukuran, al-Farghani berhasil memberikan prediksi banjir sungai Nil baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Namun seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani.  Dia ingin sungai Nil dapat dikendalikan sepenuhnya dengan sebuah bendungan.  Dia umumkan sayembara untuk insinyur yang siap membangun bendungan itu.  Adalah Ibn al-Haitsam, yang semula tinggal di Irak yang berminat dengan sayembara itu, dan dia memenangkan kontrak pembangunannya.  Namun tatkala dia berjalan ke arah hulu sungai Nil guna menentukan lokasi yang tepat untuk bendungan, dia tertegun menyaksikan pyramid-pyramid raksasa yang dibangun Fir’aun di sana.  Dia berpikir, “Fir’aun yang sanggup membangun pyramid saja tak mampu membendung sungai Nil, apalah artinya aku?”  Karena malu atau takut menanggung konsekuensi hukumnya karena membatalkan kontrak, Ibn al-Haitsam kemudian pura-pura gila, sehingga oleh penguasa Mesir dia dijatuhi tahanan rumah dan seluruh hartanya diawasi negara.  Dalam tahanan rumahnya itulah Ibn al-Haitsam mendapat waktu untuk melakukan berbagai eksperimen optika, sehingga dia lalu menjadi Bapak fisika optika.  Dia baru dilepas beberapa tahun kemudian setelah penguasa Mesir ganti dan orang sudah mulai melupakan kasusnya.  Meski Ibn al-Haitsam tak berhasil membangun bendungan pada masanya, namun fisika optikanya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam menemukan mekanika lanjut dari pengamatan planet melalui teleskop.  Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.

Di Turki, untuk mengantisipasi gempa, yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa.  Sinan, seorang arsitek yang dibayar Sultan Ahmet untuk membangun masjidnya yang terletak berseberangan dengan Aya Sofia, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.  Masjid itu, dan juga masjid-masjid lainnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya pada saat itu cukup stabil.  Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tidak menimbulkan dampak yang serius pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.

Jadi bencana-bencana alam selalu diantisipasi terlebih dulu dengan ikhtiar.  Penguasa Daulah Islam menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana.  Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan yang tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan masyarakat untuk selalu tanggap darurat.  Aktivitas jihad adalah cara yang efektif agar masyarakat selalu siap menghadapi situasi yang terburuk.  Mereka tahu bagaimana harus mengevakuasi diri dengan cepat, bagaimana menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, bagaimana mengurus jenazah yang bertebaran, dan bagaimana merehabilitasi diri pasca kedaruratan.

Para pemimpin dalam Daulah Islam juga orang-orang yang terlatih dalam tanggap darurat.  Mereka orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan dalam situasi normal maupun genting, bukan orang-orang yang hanya pandai menjaga image dalam acara seremonial atau ikut meratap dalam doa bersama.

 

Tags: , ,

.

Leave a Reply